Pada 5 Mei 1808 Gubernur Jenderal HW Daendels mengeluarkan keputusan agar di seluruh Jawa dibuat jalan raya (dalam literatur kolonial disebut grooten postweg) sebagai bagian dari usaha mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Inggris. Itulah yang kita kenal dalam pelajaran sejarah di sekolah.
Menyimak pasal pertama keputusan tersebut, jelas alasan pembangunan jalan adalah kepentingan ekonomi. ”Bahwa selama musim kering harus dibangun jalan besar dari Buitenzorg (sekarang Bogor) sampai ke Karang Sambung melalui Cipanas, Cianjur, Bandung, Parakamuncang, dan Sumedang supaya ketika warga penduduk memanen kopi, bahkan juga ketika mengirim hasil panen padi, tidak lagi harus lewat jalan buruk dan sulit dilalui.”
Pengalaman menempuh jalanan yang buruk diperoleh ketika sang Gubernur Jenderal menempuh perjalanan Bogor-Semarang pada 29 April 1808, dilanjutkan pada 19-20 Juni ke wilayah Kerajaan Mataram/Yogya-Solo (Vorstenlanden), terus lewat jalur selatan ke sudut Jawa bagian timur (Java’s Oosthoek) menyusuri Sedayu-Tuban-Bangil-Pasuruan- sampai ke Surabaya. Dari Surabaya lewat jalur utara melalui Rembang-Kudus-Japara, tiba kembali di Bojong/Semarang pada 24 Juli 1808.
Pasal selanjutnya dari keputusan 5 Mei tersebut lebih bersifat pelaksanaan teknis, yang justru kemudian menjadi identitas ciri jalan pos. Misalnya, ”setiap 400 rijnlandsche roeden (sekarang kira-kira sama dengan 1,5 km) ditandai dengan tonggak batu (disebut paal), lebar jalan 2 Rijnlandsche roeden (kira-kira 7,5 meter). Ciri lain adalah poststation pada setiap 8-9 kilometer yang oleh warga dikenal sebagai pesanggrahan, semacam tempat beristirahat sementara atau tempat penggantian kuda pos.
Selain kepentingan ekonomi, ada pula keperluan terkait dengan pembaharuan administrasi yang dilancarkan Daendels. Misalnya, pembagian wilayah Jawa dalam sembilan prefectur, mengikuti model Perancis.
Patut dicatat bahwa sistem dan model Perancis yang diterapkan Daendels di Jawa bukan semata- mata karena Daendels diangkat oleh Kaisar Louis Napoleon ketika negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis atau karena Daendels adalah seorang Patriot yang anti-Oranye. Hal itu karena yang bersangkutan adalah satu-satunya gubernur jenderal yang sama sekali tidak paham tentang situasi Asia dibandingkan dengan para pendahulunya yang umumnya tumbuh besar dan memulai karier di wilayah koloni VOC.
Pembangunan jalan pos memudahkan dan mempercepat komunikasi sehingga pengiriman berita tidak lagi memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Jalan pos menjadi sarana kontrol dalam administrasi pemerintahan, termasuk pula tournee dengan tujuan inspeksi oleh para petinggi kolonial menjadi lebih mudah tanpa perlu menunggu musim yang cocok.
Bagaimana mungkin mempertahankan tanah Jawa dari ancaman serbuan armada Inggris dengan keuangan negara yang kempis? Kepentingan ekonomi menjadi pekerjaan pokok yang pertama-tama harus dilaksanakan. Itulah alasan utama memulai jalan pos di daerah Priangan agar pengiriman hasil preangercultuur berjalan lancar sampai ke pusat kekuasaan di Batavia.
Jalan pos dibangun hampir tanpa biaya dari pemerintah kolonial. Sistem tradisional dalam membangun jalan, memperbaiki desa, membersihkan makam dimanfaatkan dan dilegalkan dengan nama herendiensten, yang sering disebut kerja rodi.
Lewat herendiensten inilah jalan pos dibangun. Ada darah, nyawa, dan air mata penderitaan yang terkubur di sepanjang jalan pos. Selalu ada sumbangsih dalam pembangunan negeri ini oleh warga bangsa sendiri.
Para pekerja herendiensten sesungguhnya bukan tanpa kompensasi. Mereka mendapat bayaran berupa uang dan juga beras. Antara Sumedang-Cirebon, mereka mendapat bayaran 4 riksdalder sebulan dengan beras 4 gantang. Sementara pekerja yang bujangan bayarannya ditentukan berdasarkan konsumsi beras dan garam selama sebulan. Orang Eropa yang cacat juga dipekerjakan dengan bayaran 24 stuivers (120 sen) sehari.
Pelajaran kolonial
Jalan pos diselesaikan dalam tempo setahun lebih, dimulai Mei 1808 dan selesai pertengahan 1809. Jalan sepanjang 1.000 km itu dapat ditempuh dalam 300 jam berjalan kaki.
Di samping jalan pos sebagai proyek utama, dibangun pula jalan untuk berbagai keperluan. Misalnya, jalan sepanjang pantai utara dari Batavia ke Cirebon, jalan untuk keperluan militer di jalur selatan dari Semarang ke Yogya-Solo.
Di daerah pedalaman juga dibangun jalan untuk mengangkut barang dan hasil bumi. Di samping jalan pos dibangun jalan pedati untuk warga.
Atas prakarsa Daendels, terciptalah sistem jaringan jalan. Gubernur jenderal berikutnya tinggal menambah, memperluas, memperbaiki, dan memelihara jalur transportasi tersebut.
Dapat pula dicatat bahwa panjang jalan yang ditandai dengan paal (tonggak kecil dicat putih dengan garis hitam dan dibubuhi angka menunjukkan jarak) menjadi patokan ketika pemerintah akan memperbaiki jalan. Sebagai contoh, pada 1857 ditentukan bahwa pemeliharaan jalan yang dibebankan ke residensi Batavia mulai dari paal 4 (Kwitang) sampai paal 7 (Meester-Cornelis/Jatinegara) terus ke poststation yang pertama, yaitu Bidara Cina lalu ke Pulo Gadung-Bekasi sampai perbatasan dengan Karawang.
Ketika cultuurstelsel dilaksanakan, banyak rel jalan lori dibuat untuk mengangkut tebu ke berbagai pabrik pengolahan gula. Namun, pembukaan jalan kereta api pertama di Jawa justru dibangun setelah cultuurstelsel berakhir, yaitu pada 1871 dengan jalur antara Semarang dan Kedung Jati. Jika jalan pos dibangun mengandalkan tenaga herendiensten (baru dihapus tahun 1916), jalan kereta api dibangun dengan melibatkan perusahaan swasta Eropa sesuai tuntutan arus ekonomi liberal saat itu.
Pada periode bersamaan, wilayah Sumatera mulai memperoleh perhatian pemerintah kolonial. Eksploitasi hutan menumbuhkan berbagai perkebunan—terutama karet—milik swasta di wilayah Sumatera Timur. Muncullah kelas buruh yang dikenal sebagai kuli kontrak yang diboyong beramai-ramai, termasuk tenaga buruh dari daratan China.
Pertambangan juga menjadi komoditas ekspor yang baru. Jalan kereta api dibangun untuk mengirim batu bara dari Ombilin/ Sawahlunto ke Pelabuhan Padang (Emmahaven); kelak diperpanjang sampai Pekanbaru.
Di Sumatera Timur, jalur kereta api dibangun ketika pengeboran minyak dimulai dari Pangkalan Brandan ke Belawan Deli. Pada 1940, jalur kereta api terbentang sepanjang Sumatera Timur sebagai wilayah penghasil minyak dan karet: mulai dari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) sampai Rantau Prapat.
Pembangunan jalur kereta api di wilayah Aceh juga bagian strategi militer dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Pembukaan jalur kereta api di Sumatera Selatan didasari alasan ekonomi semata, dengan dimulainya pengeboran minyak di Prabumulih, Muara Enim, dan Martapura. Tahun 1940 jalur kereta api diperluas ke Teluk Betung dan ke arah Lubuk Linggau.
Kalimantan—sekalipun kaya hasil tambang dan hutan—tidak sempat mengalami pembangunan jalan kereta api. Begitu juga Sulawesi dan wilayah Indonesia timur. Kesalahan terbesar pemerintah kolonial adalah terlalu mementingkan dan memusatkan aktivitas di Pulau Jawa dan kemudian Sumatera pada pertengahan abad ke-19.
Jika beban berat Jawa adalah akibat kebijakan kolonial, apakah Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, yang dapat menentukan pilihan sendiri untuk membangun negeri ini akankah melanjutkan kesalahan politik pemerintah kolonial?
Mona Lohanda Sejarawan, Peneliti, Bekerja di Arsip Nasional RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar