Home » » Memahami Situasi Sosio Politik Indonesia Awal Abad XX

Memahami Situasi Sosio Politik Indonesia Awal Abad XX

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 05 Juli 2011 | 21.27

Permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kekuasaannya memperoleh definisi kewilayahan baru dengan selesainya upaya-upaya penaklukan (pencaplokan) bumi nusantara. Tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya jadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pencanangan kebijakan penjajahan baru. Masalah-masalah dalam masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan yang begitu besar sehingga, dalam masalah-masalah politik, budaya, agama, rakyat Indonesia menempuh jalan baru. Perubahan yang cepat terjadi di semua wilayah yang baru saja ditaklukan oleh Belanda.(Ricklefs, Cet I, 2005, hal 319-341)
Kira-kira pada pergantian abad ini banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan, apakah ini dengan menggali “mutiara-mutiara Islam” dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan kepada kawan-kawan mereka seagama di Abad Tengah untuk mengatasi Barat. (Deliar Noer, Cet 7, 1995, hal 71)
Ada tiga hal yang paling mendasar akan situasi sosial politik yang terjadi di bumi nusantara awal abad XX, sejak entitas politik dan sosial yang tak terkira jumlahnya di kepulauan Indonesia telah “dipersatukan” atas nama “Negara Kesatuan Pemerintahan Hindia Belanda”, yaitu :
1. Aspek Hukum
Kepulauan Nusantara dalam paradigma Kerajaan Belanda adalah wilayah Belanda yang ada di daratan Hindia, yang berlaku hukum-hukum Belanda dimana warga (rakyat) yang berada di wilayah hindia ini telah menjadi “obyek hukum”. Seluruh penduduk yang ada dalam kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda diatur dalam Indische Staatsregeling (IS), yang salah satu pasalnya mengatur keberlakuan hukum atas obyek hukum yang berbeda. Di ketentuan pertama, yakni Pasal 163 IS mereka membagi penduduk Indonesia kepada tiga kelompok. Pembagian kepada tiga kelompok ini juga berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi masing-masingnya.
Kelompok dengan dasar Pasal 131 IS ini dapat dilihat sebagai berikut:
1. Golongan Eropa
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Bumi Putera
Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang eropa lain di luar Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Kemudian juga ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan Undang- Undang serta anak-anak klasifikasi golongan eropah dimaksud yang lahir di tanah jajahan.
Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan eropah maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini di antaranya adalah orang Arab, India, dan China.
Sedangkan golongan terakhir, yakni Bumi Putera terdiri dari orang Indonesia asli. Pengelompokan yang demikian ini–seperti disinggung terdahulu–berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropah hukum yang berlaku adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing berlaku hukumnya sendiri.
Lihat tentang Politik Hukum Kolonial Belanda disini
2. Politik Etis
Gagasan politik kolonial baru pertama-tama diucapkan secara resmi oleh van Dedem sebagai anggota parlemen 1891 yang selanjutnya diteruskan oleh Van Kol (golongan sosialis), van Deventer (Golongan liberalis) dan Brooschooft. Politik yang diperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat serta efesiensi dan dikenal dengan nama Politik Etis .
Untuk menjaga kepentingan modal asing yang mana Nederland menjalankan politik “pintu terbuka “, yang mengijinkan masuknya modal dan barang produksi industri asing dengan syarat-syarat yang sama seperti modal dan produksi, ditempuh oleh Belanda suatu politik yang mengambil sikap berdamai dengan gerakan emansipasi yang hendak mewujudkan aspirasi nasional, suatu politik yang terkenal dengan nama politik asosiasi dan diharapkan oleh kaum Etisi dapat memperkuat sistem kolonial .
Politik asosiasi mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia dimana dua golongan yakni Eropa dan pribumi akan dapat hidup berdampingan di dalam masyarakat itu. Golongan pribumi yang telah mendapat pendidikan Barat akan dapat bekerja sama dengan golongan Eropa .
Lihat tentang Politik Etis di sini
3. Sistem Pemerintahan Feodalistik
Pemerintahan Belanda pasca VOC sesudah abad 19 menerapkan sistem pemerintahan/birokrasi modern dengan mempertahankan asas-asas sistem kekuasaan dan sosok budaya ‘ Adi-Luhung “Jawa – Mataram. Pulau Jawa dan kemudian kepulauan Indonesia yang menjadi negara birokrasi, negara pangreh-praja yang hirarkis dan rumit, meskipun efesian istilah Umar Hayam “Beambten staat” atau Negara Pegawai.
Ciri Negara Birokrasi adalah Penggunaan pekerja yang digaji dalam kepegawaian. Pegawai pemerintahan inilah yang menjadi “priyayi baru” dengan status “pangreh praja” atau “pegawai negeri sipil” yang mengabdi kepada pemerintahan Hindia Belanda.
Lihat tentang feodalisme disini
Dari sudut pandang hukum dan politik, sejatinya kekuasaan Kerajaan Belanda di bumi Nusantara baru mulai di awal abad XX, sementara sejak kedatangan kongsi dagang Belanda di abad XVII sampai abad XIX adalah upaya dari Belanda untuk menguasai wilayah Nusantara yang harus berhadapan dengan perlawanan dari negara-negara Islam di Nusantara yang berdaulat atau dengan kata lain Belanda membutuhkan waktu 300 tahun untuk bisa menjajah Nusantara selama kurang dari 50 tahun.
Maka dimulai awal abad XX inilah situasi berubah, sebuah perlawanan baru muncul dari rakyat indonesia atau kaum Bumi Putera (Putera Bumi Nusantara) untuk melepaskan belenggu penjajahan, untuk membebaskan bumi nusantara, untuk membebaskan perbudakan manusia atas manusia, untuk menjadi manusia merdeka, untuk memiliki kedaulatan sendiri. Situasi rakyat di seluruh kepulauan Nusantara yang memiliki satu musuh yang sama yaitu “Negara Kesatuan Pemerintahan Hindia Belanda”.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger