IBADAH haji perpisahan kini sudah selesai, dan sudah tiba
pula saatnya puluhan ribu orang yang menyertai Nabi dalam
ibadah ini akan pulang ke rumah masing-masing. Penduduk Najd
pulang mendaki dataran tinggi, penduduk Tihama ke daerah
pantai dan penduduk Yaman dan Hadzramaut serta daerah-daerah
sekitarnya menuju arah selatan. Nabi dan sahabat-sahabat pun
bertolak menuju Medinah.
Bila mereka sudah sampai dan menetap lagi di kota itu,
keadaan seluruh semenanjung sudah aman. Tetapi, yang masih
selalu menjadi pikiran buat Muhammad ialah soal beberapa
daerah yang masih di bawah kekuasaan Rumawi dan Persia di
daerah Syam, Mesir dan Irak. Dari pihak seluruh jazirah itu
kini sudah tidak ada apa-apa lagi. Orang secara
berbondong-bondong datang memeluk agama Allah, perutusan
datang berturut-turut ke Yathrib menyatakan kesetiaannya,
menyatakan kehendaknya bernaung di bawah bendera Islam, dan
semua orang sudah menggabungkan diri kepadanya ketika dalam
ibadah haji perpisahan itu. Raja-raja Arab dengan daerahnya
masing-masing itu betapa takkan ikhlas kepada Nabi dan
kepada agamanya, jika oleh Nabi yang ummi itu mereka
dibiarkan tetap dengan kekuasaannya dan dalam kemerdekaannya
sendiri pula! Bukankah Bad-han - Gubernur Persia di Yaman -
dibiarkannya dalam kekuasaan itu tatkala ia menyatakan
keislamannya dan lebih menyukai kesatuan wilayah Arab itu
dan membuang penyembahan api Persia? Timbulnya
gerakan-gerakan semacam pemberontakan yang diadakan oleh
beberapa orang di sepanjang jazirah, tidak sampai akan
menghanyutkan Nabi dalam pemikirannya atau akan menimbulkan
rasa kuatir dalam hati, setelah ternyata pengaruh agama baru
ini sudah tersebar ke segenap penjuru, semua wajah menghadap
hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa, kalbu beriman hanya
kepada Allah Yang Maha Esa.
Itu sebabnya, tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri
sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan. Memang
ada beberapa kabilah yang berjauhan dari Mekah - begitu
mengetahui Muhammad mendapat sukses dengan ajarannya itu -
cepat-cepat pula mereka menyambut orang yang datang
mendakwakan diri nabi dari kabilah mereka itu, dengan
harapan mereka akan mendapatkan nasib seperti yang ada pada
Quraisy, meskipun kabilah-kabilah ini, karena letaknya yang
jauh dari pusat agama baru, tidak mengetahui keadaan yang
sebenarnya. Akan tetapi ajakan kepada kebenaran Tuhan itu
sudah benar-benar berakar di tanah Arab. Tidak mudah orang
akan dapat melawannya. Apa yang telah dialami Muhammad demi
menyampaikan ajaran ini, beritanya sudah sampai ke
mana-mana. Kiranya takkan ada orang yang sanggup memikul
beban ini, selain putera Abdullah itu. Setiap ada orang
hendak mendakwakan diri dengan dasar kepalsuan, pasti
kepalsuan itu akan segera terbongkar. Setiap ada orang yang
mendawakan kenabian tidak pernah ia dalam nasibnya akan
mendapat sukses secara berarti.
Datang Tulaiha - pemimpin Banu Asad, salah seorang pahlawan
Arab dalam perang dan yang berkuasa di Najd - mendakwakan
diri, bahwa dia seorang nabi dan rasul, dan ia memperkuat
dakwaannya itu dengan membuat ramalan mengenai sebuah tempat
sumber air, ketika golongannya itu dalam perjalanan hampir
mati kehausan. Tetapi selama Muhammad masih hidup ia tidak
berani mengadakan "pemberontakan" dan baru ia mengadakan
pemberontakan itu setelah Rasulullah berpulang ke
rahmatullah. Pembangkangan Tulaiha ini oleh Khalid
bin-'l-Walid dihancurkan dan dia sendiri kembali lagi ke
pihak Muslimin dan menjadi orang Islam yang baik.
Juga Musailima, juga Aswad al-'Ansi, yang selama hidup Nabi,
tidak lebih baik daripada nasib Tulaiha. Musailima ini
pernah mengirim surat kepada Nabi dengan mengatakan bahwa
dia nabi, dan "Separoh bumi ini buat kami dan yang separoh
lagi buat Quraisy; tapi Quraisy adalah golongan yang tidak
suka berlaku adil."
Setelah surat itu dibaca kedua orang utusan Musailima itu
oleh Nabi ditatapnya, dan hendak memberikan kesan kepada
mereka, bahwa Nabi akan menyuruh supaya mereka dibunuh,
kalau tidak karena memang adanya ketentuan bahwa para utusan
harus dijamin keselamatannya. Kemudian Nabi membalas surat
Musailima dengan mengatakan ia sudah mendengarkan isi
suratnya dengan segala kebohongannya itu, dan bahwa bumi ini
kepunyaan Allah yang akan diwarisi oleh hamba-hamba yang
berbuat kebaikan. Dan salam bagi orang yang mengikut
bimbingan yang benar.
Adapun Aswad al-'Ansi - penguasa Yaman sesudah Bad-han
meninggal - orang ini mendakwakan sebagai ahli sihir dan
mengajak orang dengan sembunyi-sembunyi. Karena sudah merasa
dirinya sebagai orang penting di daerah selatan, wakil
Muhammad yang di Yaman diusirnya, dan dia pergi lagi ke
Najran, anak Bad-han di sana dibunuhnya, isterinya dikawini
dan singgasana diwarisinya. Ia hendak menyebarkan
pengaruhnya di kawasan itu. Tapi bahaya ini tidak banyak
mempengaruhi pikiran Muhammad. Dalam hal ini tidak lebih ia
hanya mengutus orang kepada wakilnya1 di Yaman dengan
perintah supaya Aswad dikepung atau dibunuh. Sekali lagi
kaum Muslimin di Yaman berhasil memalcsa Aswad, dan dia
sendiri mati dibunuh isterinya sendiri sebagai balasan atas
dibunuhnya anak Bad-han suaminya yang dulu.
***
Sekembalinya dari ibadah haji perpisahan, pikiran dan
perhatian Muhammad tertuju ke bagian utara, sebab daerah
selatan sudah tidak perlu dikuatirkan lagi. Sebenarnya sejak
terjadinya ekspedisi Mu'ta, dan Muslimin kembali dengan
membawa rampasan perang dan sudah merasa puas pula melihat
kepandaian Khalid bin'l-Walid menarik pasukan, sejak itu
pula Muhammad sudah memperhitungkan pihak Rumawi
matang-matang. Ia berpendapat kedudukan Muslimin di
perbatasan Syam itu perlu sekali diperkuat, supaya mereka
yang dulu pernah keluar dan jazirah ini ke Palestina, tidak
kembali lagi menghasut perang dan mengerahkan penduduk
daerah itu. Oleh karena itu ia menyiapkan pasukan perangnya
yang cukup besar, seperti persiapannya yang dulu, tatkala ia
mengetahui rencana Rumawi hendak menyerbu perbatasan jazirah
itu dan dia sendiri yang memimpin pasukan sampai di Tabuk.
Tetapi waktu itu pihak Rumawi sudah menarik pasukannya
sampai ke perbatasan dalam negeri dan ke dalam benteng
mereka sendiri. Sungguh pun begitu daerah utara ini harus
tetap diperhitungkan, kalau-kalau kenangan lama - di bawah
lindungan Kristen dan pihak yang merasa berkuasa di bawah
Imperium Rumawi waktu itu - akan bangkit kembali dan
mengumumkan perang kepada pihak yang pernah mengeluarkan
orang-orang Nasrani di Najran dan di luar Najran di bilangan
Semenanjung Arab itu.
Oleh karena itu, selesai ibadah haji perpisahan di Mekah,
belum lama lagi kaum Muslimin tinggal di Medinah, Nabi
mengeluarkan perintah supaya menyiapkan sebuah pasukan besar
ke daerah Syam, dengan menyertakan kaum Muhajirin yang
mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan ini dipimpin
oleh Usama b. Zaid b. Halitha. Usia Usama waktu itu masih
muda sekali, belum melampaui duapuluh tahun. Kalau tidak
karena terbawa oleh kepercayaan yang teguh kepada
Rasulullah, pimpinan Usama atas orang-orang yang sudah lebih
dahulu dan atas kaum Muhajirin serta sahabat-sahabat besar
itu, tentu akan sangat mengejutkan mereka. Tetapi
ditunjuknya Usama b. Zaid oleh Nabi dimaksudkan untuk
menempati tempat ayahnya yang sudah gugur dalam pertempuran
di Mu'ta dulu, dan akan menjadi kemenangan yang dibanggakan
sebagai balasan atas gugurnya ayahnya itu, di samping
semangat yang akan timbul dalam iiwa pemuda-pemuda, juga
untuk mendidik mereka membiasakan diri memikul beban
tanggungjawab yang besar dan berat.
Muhammad memerintahkan kepada Usama supaya menjejakkan
kudanya di perbatasan Balqa' dengan Darum di Palestina,
tidak jauh dari Mu'ta tempat ayahnya dulu terbunuh, dan
supaya menyerang musuh Tuhan itu pada pagi buta, dengan
serangan yang gencar, dan menghujani mereka dengan api. Hal
ini supaya diteruskan tanpa berhenti sebelum berita sampai
lebih dulu kepada musuh. Apabila Tuhan sudah memberi
kemenangan, tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu.
Dengan membawa hasil dan kemenangan itu ia harus segera
kembali.
Sekarang Usama dan pasukannya berangkat ke Jurf (tidak jauh
dari Medinah). Mereka mengadakan persiapan hendak berangkat
ke Palestina. Tetapi, dalam pada mereka sedang bersiap-siap
itu tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit, dan sakitnya makin
keras juga, sehingga akhirnya tidak jadi mereka berangkat.
Bisa jadi orang akan bertanya: Bagaimana sebuah pasukan yang
persiapan dan keberangkatannya diperintahkan oleh
Rasulullah, tidak jadi berangkat karena dia sakit? Ya,
Perjalanan pasukan ke Syam yang akan mengarungi sahara dan
daerah tandus selama berhari-hari itu bukan soal ringan, dan
tidak pula mudah buat kaum Muslimin - dengan Nabi yang
sangat mereka cintai melebihi cinta mereka kepada diri
sendiri - akan meninggaIkan Medinah sedang Nabi dalam
keadaan sakit, dan yang sudah mereka sadari pula apa
sebenarnya dibalik sakitnya itu. Ditambah lagi mereka memang
belum pernah melihat Nabi mengeluh karena sesuatu penyakit
yang berarti. Penyakit yang pernah dideritanya tidak lebih
dari kehilangan nafsu makan yang pernah dialaminya dalam
tahun keenam Hijrah, tatkala ada tersiar berita bohong bahwa
ia telah disihir oleh orang-orang Yahudi, dan satu penyakit
lagi yang pernah dideritanya sehingga karenanya ia berbekam,
yaitu setelah termakan daging beracun dalam tahun ketujuh
Hijrah. Cara hidupnya dan ajaran-ajarannya memang jauh dari
gejala-gejala penyakit dan akibat-akibat yang akan timbul
karenanya. Dalam membatasi diri dalam makanan, dan makannya
yang hanya sedikit; kesederhanaannya dalam berpakaian dan
cara hidup; kebersihannya yang dipeliharanya luar biasa
dengan mengharuskan wudu yang sangat disukainya, sampai
pernah ia berkata: kalau tidak karena kuatir akan
memberatkan orang ia ingin mewajibkan penggunaan siwak2 lima
kali sehari, - kegiatannya yang tiada pernah berhenti,
kegiatan beribadat dari satu segi dan kegiatan olah-raga
dari segi lain, kesederhanaan dalam segalanya - terutama
dalam kesenangan; keluhurannya yang jauh dari segala hawa
nafsu, dengan jiwa yang begitu tinggi tiada taranya;
komunikasinya dengan kehidupan dan dengan alam dalam
bentuknya yang sangat cemerlang, dan tiada putusnya, - semua
itu menjauhkan dirinya dari penyakit dan dapat memelihara
kesehatan. Bentuk tubuh yang sempurna tiada cacat, perawakan
yang tegap kuat, seperti halnya dengan Muhammad, akan jauh
selalu dari penyakit.
Jadi kalau sekarang ia jatuh sakit, wajar sekali menjadi
kekuatiran sahabat-sahabat dan orang-orang yang
mencintainya.
Wajar sekali mereka merasa kuatir, menyatakan betapa ia
pernah mengalami kesulitan dan penderitaan hidup selarna
duapuluh tahun terus-menerus. Sejak ia terang-terangan
berdakwah di Mekah mengajak orang menyembah Allah Yang tiada
bersekutu dan meninggalkan semua berhala yang pernah
disembah nenek-moyang mereka, ia sudah mengalami pahit
getirnya penderitaan-penderitaan yang sungguh menekan jiwa,
sehingga ia terpisah dari sahabat-sahabatnya yang kemudian
disuruhnya hijrah ke Abisinia, dan dia sendiri yang terpaksa
berlindung di celah-celah gunung tatkala pihak Quraisy
mengumumkan pemboikotannya. Juga ketika ia berangkat hijrah
dari Mekah ke Medinah - setelah Ikrar 'Aqaba - ia hijrah
dalam keadaan yang gawat dan sangat berbahaya, ia hijrah
tanpa ia ketahui lagi apa yang akan terjadi terhadap dirinya
di Medinah kelak. Pada tahun-tahun pertama ia tinggal di
sana, ia telah menjadi sasaran kongkalikong dan intrik
orang-orang Yahudi.
Kemudian, dengan adanya pertolongan Tuhan orang di seluruh
jazirah itu datang berbondong-bondong menerima agama ini,
tugas dan pekerjaannya telah bertambah jadi berlipat ganda
banyaknya dan untuk penjagaannya sangat memerlukan tenaga
dan daya upaya yang sungguh berat. Begitu juga Nabi a.s.
telah menghadapi sendiri beberapa peperangan yang sungguh
dahsyat dan mengerikan sekali. Mana pula saat yang lebih
mengerikan daripada peristiwa Uhud, ketika kaum Muslimin
dalam keadaan kucar-kacir, ia berJalan mendaki gunung,
dengan terus-menerus secara ketat diintai oleh Quraisy,
dihujani serangan sehingga gigi gerahamnya pecah! Mana pula
saat yang lebih dahsyat kiranya daripada peristiwa Hunain,
ketika kaum Muslimin dalam pagi buta itu kembali mundur dan
lari tunggang-langgang, sehingga kata Abu Sufyan: Hanya laut
saja yang akan menghentikan mereka. Sedang Muhammad berdiri
tegak, tidak beranjak surut dari tempatnya, seraya ia
berseru kepada kaum-Muslimin: Mau ke mana, mau ke mana!
Kemarilah kemari! Kemudian mereka kembali sampai mendapat
kemenangan. Tugas risalah! Tugas wahyu! Dan itu daya upaya
rohani yang sungguh meletihkan dalam komunikasi yang
terus-menerus dengan rahasia alam nurani dan alam Ilahi. Itu
daya upaya, yang oleh karenanya pernah diceritakan tentang
Nabi yang berkata, "Suruh Hud dan yang semacamnya membuat
aku jadi tua."3
Semua itu disaksikan oleh sahabat-sahabat Muhammad. Mereka
melihat dia memikul beban yang begitu berat tidak mengenal
sakit. Apabila kemudian ia jatuh sakit, sudah sepantasnya
sahabat-sahabatnya itu jadi kuatir, dan menunda perjalanan
dari markas mereka di Jurf ke Syam, sebelum mereka yakin
benar apa yang akan terjadi dengan kehendak Tuhan kepada
diri Nabi.
Ada suatu peristiwa yang membuat mereka lebih cemas lagi.
Pada malam pertama Muhammad merasa sakit ia tak dapat tidur,
lama sekali tak dapat tidur. Dalam hatinya ia berkata, bahwa
ia akan keluar pada malam musim itu, musim panas yang
disertai hembusan angin di sekitar kota Medinah. Ketika
itulah ia keluar, hanya ditemani oleh pembantunya, Abu
Muwayhiba. Tahukah ke mana ia pergi? Ia pergi ke
Baqi'l-Gharqad, pekuburan Muslim di dekat Medinah.
Sesampainya di pekuburan itu ia berbicara kepada penghuni
kubur, katanya, "Salam sejahtera bagimu, wahai penghuni
kubur! Semoga kamu selamat akan apa yang terjadi atas
dirimu, seperti atas diri orang lain. Fitnah telah datang
seperti malam gelap-gulita, yang kemudian menyusul yang
pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang pertama."
Abu Muwayhiba ini juga bercerita, bahwa ketika pertama kali
sampai di Baqi'l-Gharqad Nabi berkata kepadanya:
"Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni Baqi,
ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!"
Setelah memintakan ampun dan tiba saatnya akan kembali, ia
menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya:
"Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci isi dunia ini
serta kekekalan hidup di dalamnya, sesudah itu surga. Aku
disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan surga."
Kata Abu Muwayhiba:
"Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi dunia ini dan
hidup kekal di dalamnya, kemudian surga."
"Tidak, Abu Muwayhiba," kata Muhammad. "Aku memilih kembali
menghadap Tuhan dan surga."
Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa yang
telah didengarnya; sebab Nabi mulai menderita sakit ialah
keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi'. Orang
jadi makin cemas, dan pasukan tidak jadi bergerak. Memang
benar, bahwa Hadis yang dibawa melalui Abu Muwayhiba ini
oleh beberapa ahli sejarah diterima dengan agak sangsi.
Disebutkan bahwa bukan karena sakit Muhammad itu saja yang
membuat pasukan tidak jadi bergerak ke Palestina, tetapi
karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh
penunjukan Usama dalam usia semuda itu sebagai pemimpin
pasukan yang terdiri dari orang-orang penting dalam kalangan
Anshar dan Muhajirin yang mula-mula. Itulah yang lebih
banyak mempengaruhi tidak berangkatnya pasukan itu daripada
sakitnya Muhammad. Dalam memberikan pendapatnya ahli-ahli
sejarah itu berpegang pada peristiwa-peristiwa yang sudah
pembaca ikuti dalam bagian (bab) ini. Kalau kita tidak akan
mendebat mereka yang berpendapat seperti apa yang
diceritakan oleh Abu Muwayhiba secara terperinci itu, kita
pun mendapat alasan akan menolak dasar kejadian-kejadian
itu, dan menolak kepergian Nabi ke Baqi'l-Gharqad serta
memintakan ampunan buat penghuni kubur, juga adanya perasaan
yang kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini pun tidak menolak
adanya spiritisma sebagai salah satu gejala psychis.
Perasaan yang kuat akan dekatnya ajal itu sudah banyak
dialami orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang
dapat menceritakan apa yang diketahuinya tentang
peristiwa-peristiwa itu. Juga adanya hubungan antara yang
hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa lampau dengan
masa datang, kesatuan yang tidak terbatas oleh ruang dan
waktu, dewasa ini sudah pula dapat ditentukan, meskipun -
menurut kodrat bentuk kita -masih terbatas sekali kita akan
dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Kalau sudah itu yang dapat kita lihat sekarang dan sudah
diakui oleh ilmu pengetahuan, tidak ada alasan kita akan
menolak dasar peristiwa seperti apa yang diceritakan oleh
Abu Muwayhiba itu, juga tak ada alasan kita dapat menolak
adanya apa yang sudah dapat dipastikan mengenai komunikasi
Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta
ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu
sekian kali lipat daripada yang biasa ditangkap oleh para
ahli dalam bidang ini.
Keesokan harinya bila tiba waktunya ia ke tempat Aisyah,
dilihatnya Aisyah sedang mengeluh karena sakit kepala: "Aduh
kepalaku!" Tetapi ia berkata - sedang dia sudah mulai merasa
sakit: "Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala."
Tetapi sakitnya belum begitu keras dalam arti ia harus
berbaring di tempat tidur atau akan merintanginya pergi
kepada keluarga dan isteri-isterinya untuk sekedar mencumbu
dan bergurau. Setiap didengarnya ia mengeluh Aisyah juga
mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.
Lalu kata Nabi, "Apa salahnya kalau engkau yang mati lebih
dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu,
menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!"
Karena senda-gurau itu cemburu kewanitaannya timbul dalam
hati Aisyah yang masih muda itu, sekaligus cintanya akan
gairah hidup ini, lalu katanya:
"Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah,
dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh
aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin
baru dengan isteri-isterimu."
Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengijinkan ia
terus bergurau.
Setelah rasa sakitnya terasa agak berkurang, ia mengunjungi
isteri-isterinya seperti biasa. Tetapi kemudian sakitnya
terasa kambuh lagi, dan terasa lebih keras lagi. Ketika ia
sedang berada di rumah Maimunah ia sudah tidak dapat lagi
mengatasinya. Ia merasa perlu mendapat perawatan. Ketika itu
dipanggilnya isteri-isterinya ke rumah Maimunah. Dimintanya
ijin kepada mereka, setelah melihat keadaannya begitu, bahwa
ia akan dirawat di rumah Aisyah. Isteri-isterinya
mengijinkan ia pindah.
Dengan berikat kepala, ia keluar sambil bertopang dalam
jalannya itu kepada Ali b. Abi Talib dan kepada 'Abbas
pamannya. Ia sampai di rumah Aisyah dengan kaki yang sudah
terasa lemah sekali.
Pada hari-hari pertama ia jatuh sakit, demamnya sudah terasa
makin keras, sehingga ia merasa seolah seperti dibakar.
Sungguh pun begitu, ketika demamnya menurun ia pergi
berjalan ke mesjid untuk memimpin sembahyang. Hal ini
dilakukannya selama berhari-hari. Tapi tidak lebih dari
sembahyang saja. Ia sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap
dengan sahabat-sahabatnya. Namun begitu apa yang dibisikkan
orang bahwa dia menunjuk anak yang masih muda belia di atas
kaum Muhajirin dan Anshar yang terkemuka untuk menyerang
Rumawi, terdengar juga oleh Nabi. Meskipun dari hari ke hari
sakitnya bertambah juga, tapi dengan adanya bisik-bisik
demikian itu rasanya perlu ia bicara dan berpesan kepada
mereka. Dalam hal ini ia berkata kepada isteri-isteri dan
keluarganya:
"Tuangkan kepadaku tujuh kirbat air dari pelbagai sumur,
supaya aku dapat menemui mereka dan berpesan4 kepada
mereka."
Lalu dibawakan air dari beberapa sumur, dan setelah oleh
isteri-isterinya ia didudukkan di dalam pasu kepunyaan
Hafsha, ketujuh kirbat air itu disiramkan kepadanya.
Kemudian katanya: Cukup. Cukup.
Lalu ia mengenakan pakaian kembali, dan dengan berikat
kepala ia pergi ke mesjid. Setelah duduk di atas mimbar, ia
mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan
dan memintakan ampunan buat sahabat-sahabatnya yang telah
gugur di Uhud. Banyak sekali ia mendoakan mereka itu.
Kemudian katanya :
"Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu.
Demi hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang
kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga
kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan,
seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan."
Muhammad diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga diam,
tiada yang bicara. Kemudian ia meneruskan berkata lagi:
"Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara
dunia dan akhirat dengan apa yang ada padaNya, maka ia
memilih yang ada pada Tuhan."
Muhammad diam lagi, dan orang-orang juga diam tidak
bergerak. Tetapi Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang
dimaksud oleh Nabi dengan kata-kata terakhir itu adalah
dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya
persahabatannya dengan Nabi, ia tak dapat menahan air mata
dan menangis sambil berkata:
"Tidak. Bahkan tuan akan kami tebus dengan jiwa kami dan
anak-anak kami."
Kuatir rasa terharu Abu Bakr ini akan menular kepada yang
lain, Muhammad memberi isyarat kepadanya:
"Sabarlah, Abu Bakr."
Kemudian dimintanya supaya semua pintu yang menuju ke mesjid
ditutup, kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Setelah
semua pintu ditutup, katanya lagi:
"Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam
bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba
Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan)
maka Abu Bakrlah khalilku. Tetapi persahabatan dan
persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Tuhan
mempertemukan kita."
Bilamana Muhammad turun dari mimbar, sedianya akan kembali
pulang ke rumah Aisyah, tapi ia lalu menoleh kepada orang
banyak itu dan kemudian katanya:
"Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu
baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang
Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah.
Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan
yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu
berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah5
kesalahan mereka."
Ia kembali ke rumah Aisyah. Tetapi energi yang digunakannya
selama ia dalam keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya
terasa lebih berat lagi. Sungguh suatu pekerjaan berat,
terutama buat orang yang sedang menderita demam, ia keluar
juga setelah disirami tujuh kirbat air; ia keluar dengan
membawa beban pikiran yang sangat berat: Pasukan Usama,
nasib Anshar kemudian hari, nasib orang-orang Arab yang kini
telah dipersatukan oleh agama baru itu dengan persatuan yang
sangat kuat. Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya ia
berusaha hendak bangun memimpin sembahyang seperti biasanya,
ternyata ia sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata:
"Suruh Abu Bakr memimpin orang-orang sembahyang."
Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan salat
mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.
"Tapi Abu Bakr orang yang lembut hati, suaranya lemah dan
suka menangis kalau sedang membaca Qur'an," kata Aisyah.
Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan suara
lebih keras Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih
dirasakannya:
"Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan Yusuf.
Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!"
Kemudian Abu Bakr datang memimpin sembahyang seperti
diperintahkan oleh Nabi.
Pada suatu hari karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika
oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang
dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai
pengganti Abu Bakr. Oleh karena Umar orang yang punya suara
lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya
terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
"Mana Abu Bakr?" tanyanya. "Allah dan kaum Muslimin tidak
menghendaki yang demikian."
Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki
Abu Bakr sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin
orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama
untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Tatkala sakitnya sudah makin keras, panas demamnya makin
memuncak, isteri-isteri dan tamu-tamu yang datang
menjenguknya, bila meletakkan tangan di atas selimut yang
dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat meletihkan
itu. Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang menengok. Ia
sangat mencintai puterinya itu, cinta seorang ayah kepada
anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan.
Apabila ia datang menemui Nabi, ia menyambutnya dan
menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk. Tetapi
setelah sakitnya demikian payah, puterinya itu datang
menemuinya dan mencium ayahnya.
"Selamat datang, puteriku," katanya. Lalu didudukkannya ia
disampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika itu,
Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain
Fatimah pun jadi tertawa. Bila hal itu oleh Aisyah
ditanyakan, ia menjawab:
"Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah
s.a.w."
Tetapi setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya
membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya
sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian
dibisikkannya lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya
yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.
Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi air
dingin diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia meletakkan
tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka. Begitu
tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak
sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang
sudah sangat payah sekali. Karena perasaan sedih yang
menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai
penderitaan ayahnya itu:
"Alangkah beratnya penderitaan ayah!"
"Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari
ini," jawabnya.
Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan
penderitaan.
Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan
penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada
nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan
mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal
ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam
keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak
orang, ia berkata:
"Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat
buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah
sesat."
Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit
Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada kita sudah ada
Qur'an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang
menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan
yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan:
Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada
pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata:
"Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di
hadapan Nabi."
Tetapi Ibn 'Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang
waktu karena tidak segera menuliskan apa yang hendak
dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan
pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman:
"Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu." (Qur'an,
6:38)
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar
dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usama dan anak
buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah. Bila
Usama kemudian masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi
sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya
Usama, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya
kepada Usama sebagai tanda mendoakan.
Melihat keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat
hendak membantunya dengan pengobatan. Asma' - salah seorang
kerabat Maimunah - telah menyediakan semacam minuman, yang
pernah dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di
Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan karena
demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman
itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya:
"Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?"
"Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput
dada," kata 'Abbas pamannya.
"Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu
kepadaku."
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah - supaya
meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang
berpuasa.
Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai
terasa berat. Kuatir bila ia meninggal harta masih di
tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan.
Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama
sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa
melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum
hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya
kepada mereka: Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu?
Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian
dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah
diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:
"Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia
menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya."
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada
fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya
sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang
diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan
dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat
pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan
berikat kepala dan bertopang kepada Ali b. Abi Talib dan
Fadzl bin'l-'Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami
orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang
melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira
yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam
sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka
meneruskan salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira
melihat semua itu.
Abu Bakr merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan
yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau
tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya
untuk memberikan tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad
mendorongnya dari belakang seraya katanya Pimpin terus orang
bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu
Bakr dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
Selesai sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan
kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar
sampai ke luar mesjid:
"Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun
datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah
kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi
Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang
dihalalkan oleh Qur'an, juga aku tidak akan mengharamkan
sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur'an. Laknat Tuhan
kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai
mesjid."
Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju,
bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama b.
Zaid datang menghadap kepadanya dan minta ijin akan membawa
pasukan ke Syam, dan Abu Bakrpun datang pula menghadap
dengan mengatakan:
"Rasulullah!6 Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan
nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian
Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?"
Nabi pun mengijinkan. Abu Bakr segera berangkat pergi ke
Sunh di luar kota Medinah - tempat tinggal isterinya. Umar
dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum
Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua
dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, - sebab sebelum
itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah
mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya
semakin keras sampai ia pingsan.
Sekarang ia kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali
hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan
hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat
lemah sekali.
Dipandangnya laki-laki itu oleh Aisyah, dengan kalbu yang
penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang penuh
rasa iba hati karena ia lemah, ia sakit. Ia ingin sekiranya
ia dapat mencurahkan segala yang ada dalam dirinya untuk
mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.
Akan tetapi, kiranya perginya Nabi ke mesjid itu adalah
suatu kesadaran batin, yang akan disusul oleh kematian.
Setelah memasuki rumah, tiap sebentar tenaganya bertambah
lemah juga. Ia melihat maut sudah makin mendekat. Tidak
sangsi ia bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja
lagi. Ya, kiranya apakah yang diperhatikannya pada
detik-detik yang masih ada sebelum ia berpisah dengan dunia
ini? Adakah ia mengenangkan hidupnya sejak diutus Tuhan
sebagai pembimbing dan sebagai nabi, mengenangkan segala
yang pernah dialaminya selama itu, kenikmatan yang diberikan
Tuhan kepadanya sampai selesai, kemudian hati merasa lega
karena kalbu orang-orang Arab itu sudah terbuka menerima
agama yang hak? Ataukah selama itu ia tinggal hanya membaca
istighfar - meminta pengampunan Tuhan dan dengan seluruh
jiwa ia menghadapkan diri seperti yang biasanya dilakukan
selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam saat-saat terakhir
itu ia harus menahan penderitaan sakratulmaut sehingga tidak
lagi punya tenaga akan mengingat?
Dalam hal ini beberapa sumber masih sangat berlain-lainan
sekali keterangannya. Sebagian besar menyebutkan bahwa pada
hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu - 8
Juni 632 - ia minta disediakan sebuah bejana berisi air
dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia
mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki
dari keluarga Abu Bakr datang ke tempat Aisyah dengan
sebatang siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian
rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah
benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah
dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi.
Kemudian dengan itu ia menggosok dan membersihkan giginya.
Sementara ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri
kepada Allah sambil berdoa, "Allahumma ya Allah! Tolonglah
aku dalam sakratulmaut ini."
Aisyah berkata - yang pada waktu itu kepala Nabi berada di
pangkuannya, "Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat
di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata
pandangannya menatap ke atas seraya berkata, "Ya Handai
Tertinggi7 dari surga."
"Kataku, 'Engkau telah dipilih maka engkau pun telah
memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.' Maka
Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada8 dan
leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang
lain. Dalam kurangnya pengalamanku9 dan usiaku yang masih
muda, Rasulullah s.a.w. berpulang ketika ia di pangkuanku.
Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri
dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul
mukaku."
Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih menjadi
perselisihan orang ketika itu, sehingga hampir-hampir timbul
fitnah di kalangan mereka dengan segala akibat yang akan
menjurus kepada perang saudara, kalau tidak karena Tuhan
Yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan agama yang
sebenarnya ini.
Catatan kaki:
1 yaitu Mu'adh b. Jabal (A)
2 Siwak, batang kayu kecil dengan dilunakkan ujungnya
dipakai menggosok dan membersihkan gigi (A)
3 Bandingkan: Al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari (jilid 2 p. 117)
dalam menafsirkan Surah Hud ayat 112 (11 : 112) dan Mufradat
Raghib, sub verbo "dzall" (A).
4 Ahida ila, berarti 'berwasiat' (N), atau 'berpesan' (A).
5 Tayawaza 'an yakni 'afa 'an (N), 'memaafkan' (A).
6 Aslinya "Ya Nabiullah' (A)
7 Ar-Rafiq'-A'la pada umumnya ahli-ahli filologi mengartikan
kata rafiq ini, dengan 'handai taulan;' 'yang lemah-lembut;'
'teman seperjalanan;' 'kawan hidup, suami atau isteri' (LA).
Dalam istilah Hadis: rafiq berarti 'para nabi yang menempati
tempat tertinggi,' untuk jamak dan tunggal (N); kata rafiq
dalam Qur'an (4: 691 berarti 'teman seperjalanan' (N) dan
rafiq dalam doa di atas ada yang mengartikan 'Tuhan' yakni
'Yang lemah-lembut kepada hambaNya' (N). Berarti 'teman'
dalam surga, (Qur'an, 4:69) demõkian sebagian besar
ahli-ahli tafsir Qur'an. Dalam terjemahan ini dengan
kira-kira dipergunakan kata 'Handai Tertinggi' (A).
8 Sahr 'berarti paru-paru, yakni ia meninggal sedang
bersandar di dadanya yang menjurus ke paru-paru' {N) (A).
9 Safah, harfiah: kebodohan (A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar