Latest Post

Hadiah Fatihah

Written By Moh Wahyudi on Senin, 27 Juni 2011 | 02.42

      Di antara tradisi umat Islam adalah membaca surat al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah boleh.

Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.

Ibnu 'Abidin berkata: "Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW. Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadarlnya dan membalas budi baiknya.”

“Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua semua amal umatnya otorrntis masuk dalam timbahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan:

اَللّهُمَّ صَلِّي عَلَى مُحَمَّدٍ

Ya Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A’lam.” (lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar, jilid II, hlm. 244)

Ibnu Hajar al Haytami juga menuturkan kebolehan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an untuk Nabi dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah.

Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, hhm. 270, mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.

Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, apalagi untuk para wali dan orang-orang saleh karena mereka jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat, kemuliaan dan kesempumaan dan tidak ada dalil yang melarang menghadiahkan bacaan Al-Qur'an untuk para wali dan orang­-orang shaleh tersebut.

Langkah-langkah Aswaja dalam Memutuskan Masalah Keagamaan

             Di dalam memutuskan suatu masalah, tentu kita tidak dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut. Kita tidak menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil-dalil yang jelas.

Jangan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, dan jangan pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah-tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram.

Adapun langkah-langkahnya, sebagai berikut; pertama, Kita melihat apakah perbuatan tersebut ada perintahnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah? Kedua, Apabila perbuatan tersebut, tidak ada perintahnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut?

Ketiga, kalau perintah terhadap perbuatan tersebut tidak ada dan juga larangannya, di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, kita tinjau kembali; apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama? Keempat, kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada madlaratnya (bahayanya) terhadap agama?

Setelah tahap-tahap tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum:
1. Apabila ada perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah.
2. Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak lepas dari haram atau makruh
3. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung mashlahat, maka hukumnya sunnah (baik).
4. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa madlarat maka hukumnya haram.
5. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung mashlahat dan madlarat maka hukumnya mubah.

Sebagai contoh langkah-langkah pemutusan masalah, adalah bagaimana hukumnya membaca Surat Yasin malam Minggu? Di antara jawabannya sebagai berikut; perintah membaca Yasin malam Minggu tidak ada, juga larangan membaca Yaasin malam minggu tidak ada. Karena mereka dapat berkumpulnya hanya pada malam minggu, mereka mengadakan bacaan Yasin pada malam tersebut, karena bahayanya membaca Yasin malam Minggu tidak ada. Sedangkan manfa’atnya jelas, mengikat ukhuwah Islamiyah dan dzikir kepada Allah SWT. Dengan demikian, maka hukum membaca Yasin pada malam Minggu itu sunnah dalam Ilmu Fiqih.

Doa pada 7 atau 40 Hari Setelah Kematian

         Sudah menjadi tradisi orang NU, kalau ada keluarga yang meninggal, malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun jauh. Mereka ikut belasungkawa atas segala yang menimpa, sambil mendoakan untuk yang meninggal maupun yang ditinggalkan.

Selain bersiap menerima tamu, sanak keluarga, handai tolan, dan keluarga dekat, pada hari kedua sampai ketujuh, mereka akan mengadakan bacaan tahlil dan do’a yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal dunia. Soal ada makanan atau tidak, bukan hal penting, tapi pemanfaatan pertemuan majelis silaturrahim itu akan terasa lebih berguna jika diisi dengan dzikir.

Sayang, bagi orang-orang awam yang kebetulan dari keluarga miskin, mereka memandang sajian makanan sebagai keharusan untuk disajikan kepada para tamu, padahal substansinya sebenarnya adalah bacaan tahlil dan do’a adalah untuk menambah bekal bagi si mayit.

Kemudian, peringatan demi peringatan itu menjadi tradisi yang seakan diharuskan, terutama setelah mencapai 40 hari, 100 hari, setahun (haul), dan 1000 hari. Semua itu berangkat dari keinginan untuk menghibur pada keluarga yang di tinggalkan sekaligus ingin mengambil iktibar bahwa kita juga akan menyusul (mati) di kemudian hari.

Dalil yang dapat dibuat pegangan dalam masalah ini adalah:

قَالَ طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا

Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)

Jika suatu amaliyah atau ibadah sudah menjadi keputusan atau atsar atau amal sahabat (dalam hal ini Tاawus) maka hukumnya sama dengan hadits mursal yang sanadnya sampai kepada Tabi’in, dan dikatagorikan shahih dan telah dijadikan hujjah mutlak (tanpa syarat). Ini menurut tiga imam (Maliki, Hanafi, Hambali).

Sementara Imam Syafi’i hanya mau berhujjah dengan hadits mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadits yang lain atau kesepakatan sahabat. Dalam hal ini, seperti disebut di atas, ada riwayat dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan Tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.

Maksud dari kalimat فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ atau "sebaiknya mereka" dalam keterangan di atas adalah bahwa orang-orang di zaman Nabi Muhammad SAW melaksanakan hal itu, sedang Nabi sendiri tahu dan mengafirmasinya. (Al Hawi lil Fatawa as Syuyuti, Juz II hal 183)

Nabi Tidak Melakukan Semua Perkara Mubah

Nabi Tidak Melakukan Semua Perkara Mubah Apabila ada orang yang mengharamkan sesuatu dengan berdalih bahwa hal itu tidak pemah dilakukan Rasulullah SAW, maka sebenamya dia mendakwa sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, dakwaannya tidak dapat diterima.

Demikian Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari dalam "Itqanush Shunnah fi Tahqiqi Ma’nal-Bid’ah". Lebih lanjut beliau mengatakan: ”Sangat bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah, karena kesibukannya dalam mengurus tugas-tugas besar yang telah memakan sebagian besar waktunya.

Tugas berat Nabi antara lain menyampaikan dakwah, melawan dan mendebat kaum musyrikin serta para ahli kitab, berjihad untuk menjaga cikal bakal Islam, mengadakan berbagai perdamaian, menjaga keamanan negeri, menegakkan hukum Allah, membebaskan para tawanan perang dari kaum muslimin, mengirimkan delegasi untuk menarik zakat dan mengajarkan ajaran Islam ke berbagai daerah dan lain sebagainya yang dibutuhkan saat itu utnuk mendirikan sebuah negara Islam.

Oleh karena itu, Rasulullah hanya menerangkan hal-hal pokok saja dan sengaja meninggalkan sebagian perkara sunah lantaran takut memberatkan dan menyulitkan umatnya (ketika ingin mengikuti semua yang pernah dilakukan Rasulullah) jika beliau kerjakan.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganggap cukup dengan menyampaikan nash-nash Al-Qur'an yang bersifat umum dan mencakup semua jenis perbuatan yang ada di dalamnya sejak Islam lahir hingga hari kiamat. Misalnya ayat-ayat berikut:

وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ

"Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya." (Al-Baqarah [2]: 197)

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Siapa yang melakukan amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amal itu." (QS. Al-An'am [6]: 160)

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan." (QS. Al-Hajj [22]: 77)

وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْناً

"Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, maka akan Kami tambahkan baginya kebaikan atas kebaikan itu." (QS. Asy-Syura [42]: 23)

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ

"Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat biji sawi, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah [99]: 7)

Banyak juga hadis-hadis senada. Maka siapa yang menganggap perbuatan baik sebagai perbuatan bid'ah tercela, sebenamya dia telah keliru dan secara tidak langsung bersikap sok berani di hadapan Allah dan Rasulnya dengan mencela apa yangtelah dipuji.
          Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:

"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".

b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?

Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid'ah dan sesat.

Berdzikir Memakai Tasbih

          Berdzikir Memakai Tasbih Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah" 33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?


Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.

Pengobatan Alternatif

Pengobatan Alternatif Selain murah, pengobatan alternatif merupakan salah satu pilihan dalam ikhtiar menyembuhkan penyakit berat. Bahkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan pertolongan medis suatu ketika dapat disembuhkan dengan pengobatan alternatif. Pengobatan ini ada yang menggunakan jamu-jamu tradisional, ada pula dengan menggunakan doa-doa melalui jalan supranatural.

Pengobatan alternatif dengan menggunakan jamu tentu tidak ada masalah. Yang menjadi pertanyaan adalah apabila menggunakan doa-doa. Apakah hal itu dapat dibenarkan? Dan bolehkah memasang tarif sebagai imbalan atas jasa yang telah diberikan?

Berobat dari sakit merupakan anjuran agama. Karena hal ini termasuk salah satu ikhtiar untuk mencapai kesembuhan. Salah satu bentuk pengobatan itu menggunakan doa-doa, yang dalam bahasa Arab disebut denga ruqyah. Hal ini dibolehkan karena Rasulullah SAW sendiri pernah mengajarkan bermacam-macam do' a untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Di antaranya adalah :

عَنْ مَسْرُوْقٍ عَنْ عَائِشَةَ أنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُعَوِّذُ بَعْضَ أهْلِهِ يَمْسَحُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى وَيَقُوْلُ "اللّهُمَّ رَبِّ النَّاسِ اَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِيْ لا شِفَاءَ إلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمَا -- صخيح البخاري

"Dari Masruq, dari Aisyah, bahwa Nabi SAW mengobati sebagian keluarganya. Beliau mengusap dengan tangannya yang kanan seraya berdo'a. "Ya Allah Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit dan sembuhkanlah dia. Karena Engkau adalah Dzat yang dapat menyembuhkan, tidak ada kesembuhan (yang hakiki) selain kesembuhan dari-Mu. Dengan kesembuhan yang tidak akan berlanjut dengan kekambuhan". (HR Bukhori, 5302)

Dalam hadits yang lain dijelaskan: Dari Ustman bin Abil Ash bahwa beliau mengadu pada Nabi SAW tentang penyakit yang ia derita sejak masuk Islam. Nabi SAW kemudian bersabda: "Letakkan tanganmu di anggota badanmu yang sakit. Lalu bacalah basmalah tiga kali, dan bacalah sebanyak tujuh kali:

أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Aku berlindung kepada Allah SWT dari keburukan apa yang aku rasakan dan aku takutkan. (Shahih Muslim, 4082)

Atas dasar hadits ini ulama sepakat bahwa pengobatan dengan menggunakan doa-doa itu dibenarkan. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menyatakan dalam sebuah kitabnya:

"Ibn al-Hajj berkata "Tidak apa-apa berobat menggunakan Iembaran yang ditulisi surat atau ayat Al-Qur'an, Ialu dicelupkan ke dalam air yang bersih. Kemudian diminumkan kepada orang sakit. Dengan izin Allah SWT, si sakit tersebut menjadi sembuh". (Abwabul Faraj, 45) .

Tentang ongkos yang diterima juga dibolehkan berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW:

"Dari Abu Sa'd al-Khudri RA, beliau berkata, "Suatu ketika Rasul SAW mengutus kami sebanyak tiga puluh rombongan berkuda, untuk pergi ke sebuah daerah. Lalu kita mampir di suatu pemukiman kaum Arab. Kami meminta agar mereka mau menjamu rombongan kami, namun mereka menolaknya. Setelah itu, kepala suku mereka disengat kalajengking. Salah seorang mereka datang kepada kami dan berkata, "Apakah kalian punya, doa-doa yang dapat digunakan untuk menyembuhkan sengatan kalajengking?" Saya menjawab, "Ya saya bisa, tapi saya tidak akan mengobati pemimpinmu itu kalau kamu tidak memberikan imbalan pada kami.” Mereka menjawab, "baiklah kami akan memberikan upah sebanyak tiga puluh kambing."

Abu Sa'fd al-Khudri melanjutkan ceritanya, "Setelah itu, aku membacakan surat al-Fatihah sebanyak tujuh kali. (Setelah sang pemimpin sembuh) kami menerima tiga puluh kambing itu, kemudian kami ragu, lalu mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian tersebut. Setelah itu Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kamu bahwa surat al-Fatihah itu merupakan do' a yang telah kamu gunakan dan hasilnya kamu berikan kepadaku." (HR Ahmad, 10648)

Dari beberapa penjelasan ini, dapat dipahami bahwa menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan doa-doa dibenarkan. Dan mengambil ongkos dari pengobatan itu juga diperbolehkan.

Khusu’ dalam Shalat

           Khusu’ dalam Shalat Para ulama selalu menekankan agar kita mengerjakan shalat dengan khusu’. Apakah yang dimaksud dengan khusu’ itu? Dan apa pula manfaatnya?

Khusu’ dalam shalat merupakan perkara yang sangat penting, sebab hal itu merupakan tujuan utama dari shalat yang kita kerjakan. Sesuai dengan firman Allah SWT:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Tunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS Thaha: 14)

Dalam istilah ahli hakikat, khusu’ adalah patuh pada kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa khusu’ adalah rasa takut yang terus menerus ada di dalam hati (Kitab At-Ta’rifat, 98).

Lebih jelas lagi, Syeikh ’Ala’udin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi mengatakan, khusu’ dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan segala yang diucapkannya, baik berupa bacaan Al-Qur’an maupun dzikir. (Tafsir Al-Khazin, juz V, hal 32)

Jadi khusu’ merupakan kondisi di mana seseorang melakukan shalat dengan memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah shalat, serta dilakukan dengan tenang, penuh konsentrasi, meresapi dan menghayati ayat juga semua dzikir yang dibaca dalam shalat.

Dengan cara inilah shalat yang kita lakukan setiap hari akan menjadi khusu’ serta memberikan implikasi yang positif pada kehidupan kita. Yakni mencegah manusia dari perbuatan buruk dan kemungkaran.

Allah SWT Berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ


Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan yang buruk dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45)

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Celakalah orang yang melakukan shalat tapi hati mereka luapa apa yang ia lakukan. (QS Al-Ma’un: 5)

Melihat arti pentingnya khusu dalam shalat, Syeikh Ali Ahmad aj-Jurjani berkata bahwa ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan shalat dengan khusu’ berrarti ia telah sampai pada tingkat keimanan yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam kitab karangan beliau, bahwa ”sesungguhnya khusu’ dan menghadirkan hati dalam shalat, serta tetangnya anggota (dan melaksanakan sesuai syarat dan rukunnya) merupakan iman yang sempurna.” (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, juz II, hal 79).

Di samping itu, khusu’ merupakan syarat diterimanya shalat di sisi Allah SWT. Dalam kitab Sullam at-Tauufiq disebutkan, ”di Samping syarat-syarat agar shalat dapat diterima di sisi Allah SWT, ... harus menghadirkan hati dalam shalat (khusu’), maka tidak ada pahala bagi seseorang dalam shalatnya kecuali pada saat hatinya datang dalam shalatnya. (Sullam at-Taufiq, 22).

Karena itu orang yang melaksanakan shalat, tapi hatinya tidak khusu, maka seakan-akan ibadah yang dilakukan sia-sia, karena tidak diterima di sisi Allah.

Namun begitu, harus diakui bahwa khusu’ ini merupakan perkara yang berat sekali. Apalagi bagi kita yang masih awam. Sedikit sekali orang yang mampu khusu’ dalam shalatnya. Kalau kenyataannya seperti itu, maka minimal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana khusu’ itu bisa terwujud dalam shalat kita walaupun hanya sesaat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali:

”Maka tidak mungkin untuk mensyaratkan manusia agar menghadirkan hati (khusu’) dalam seluruh shalatnya. Karena sedikit sekali orang yang mampu melaksanakannya, dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah bagaimana dalam shalat itu bisa khusu’ walaupun hanya sesaat saja.” (Ihya ’Ulum ad-Din, Juz I, hal 161).

Kesimpulannya adalah khusu’ dalam shalat merupakan satu kondisi di mana kita melakukan shalat dengan tenang dan penuh konsentrasi, menghayati dan meresapi arti dan makna shalat yang sedang dikerjakan. Dan itu merupakan perkara yang sangat penting, agar ibadah yang kita laksanakan dapat dirasakan dalam kehidupan nyata, tidak semata-mata formalitas untuk menggugurkan kewajiban.

Mengeraskan Bacaan ’Basmalah’ dalam Shalat Berjamaah

                Apakah Wajib Mengeraskan Bacaan ’Basmalah’ dalam Shalat Berjamaah? Bagaimana hukum membaca basmalah atau lafadz

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

dalam Surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya? Sebelum menjawab pertanyaan ini akan dibahas mengenai status surat al-Fatihah dalam shalat.

Membaca Surat al-Fatihah merupakan rukun shalat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW berikut ini:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ صَامِتٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi SAW menyampaikan padanya bahwa tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca suratt al-Fatihah. (HR Muslim)

Sementara basmalah merupakan ayat dari Surat al-Fatihah. Maka tidak sah jika seseorang shalat tanpa membaca basmalah berdasarkan dengan firman Allah SWT :

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ  

Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi Muhammad) tujuh ayat yang berulang-ulang dan Al-Qur’an yang agung. (QS al-Hijr: 87)

Yang dimaksud dengan ”tujuh ayat yang berulang-ulang”' adalah Surat al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu terdiri dari ayat yang dibaca secara berulang-ulang pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama adalah basmalah. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ أُمُّ الْقُرْآنِ وَ أُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِ

Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasalullah SAW bersabda, ”alhamdu lillahi rabbil 'alamin” merupakan induk Al-Qur’an, pokoknya al-Kitab, serta Surat as-Sab'ul Matsani. (HR Abu Dawud)

Berdasarkan dalil ini, Imam Syafi'i RA mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, maka raka' at shalatnya tidak sah.

قَالَ الشَّافِعِيُّ  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الآيَاتُ السَّابِعَةُ فَإِنْ تَرَكَهَا أَوْ بَعْضَهَا لَمْ تُجْزِهِ الرَّكْعَةُ الَّتِيْ تَرَكَهَا فِيْهَا

Imam Syafi'f RA mengatakan bahwa basmalah merupakan tujuh ayat dari surat al-Fatiاah. Apabila ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya, maka raka'atnya tidak cukup. (Al-Umm, juz I, haL 129)

Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka basmalah ini juga dianjurkan untuk dikeraskan ketika seseorang membaca al-Fatihah dalam shalatnya, sesuai dengan Hadits Nabi SAW:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ بِالْبَسْمَلَةِ

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW (selalu) mengeraskan suaranya ketika membaca basmalah (dalam shalat). (HR Bukhari)

Menjelaskan hadits ini, 'Ali Nayif Biqa'i dalam tahqiq kitab Idza Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi karangan Syeikh as-­Subki menjelaskan:

"Ibn Khuzaimah berkata dalam kitab Mushannaf-nya menyatakan, pendapat yang menyatakan sunnah mengeraskan basmalah merupakan pendapat yang benar. Ada hadits dari Nabi SAW dengan sanad yang muttashil (urutan perawi hadfts yang sampai langsung kepada Nabi Muhanzmad SAW), tidak diragukan, serta tidak ada keraguan dari para ahli hadfts tentang shahih serta muttashil-nya sanad hadfts ini. Lalu Ibn Khuzaimah berkata, telah jelas dan telah terbukti bahwa Nabi SAW (dalam hadits tersebut) mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat.” (Ma’na Qawl al-Imam al-Muththalibi Izda Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi, hal 161)

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk dikeraskan dalam shalat jahriyyah atau shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan suara yakni maghrib, isya’ dan subuh dan beberapa shalat sunnah berjamaah yang dikerjakan pada malam hari.

Sunnah artinya lebih utama dikerjakan tapi tidak sampai pada hukum wajib. Kesunnahan mengeraskan bacaan basmalah ini sebagaimana sunnahnya mengeraskan keseluruhan al-Fatihah dalam shalat jahriyyah tersebut.

Mahallul Qiyam

Written By Moh Wahyudi on Minggu, 26 Juni 2011 | 07.23

        Mahallul Qiyam, Menghadirkan Nabi dalam Doa Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap shalat, kita selalu mengucapkan:

اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ

“assalamualika ayyuhan nabiy”, salam kepada Engkau wahai Nabi

Silakan diperhatikan redaksinya, pada saat menyebut Nabi dalam shalat kita diharuskan memakai kata ganti كَ atau kata ganti orang kedua atau dlamir mukhatab, yang berarti kamu atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan dlamir ghaib هُ atau dia, atau beliau. Kita menyebut Nabi dengan engkau. Ini artinya bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW hadir di hadapan kita.

Kita bisa menyimpulkan bahwa doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT dalam tahiyat akhir itu tidak akan diterima tanpa menyebut Nama Muhammad SAW, tanpa menghadirkan beliau.

Maka pada setiap doa, setelah kita berucap ”Alhamdulillah” segala puji bagi Allah, kita teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru setelah itu kita sampai pada inti dari doa kita. Ini artinya saat berdoa, saat menyembah Allah harus ada makhluk Allah bernama Muhammad SAW. Kita membutuhkan Nabi Muhammad SAW saat berdoa kehadirat Allah SWT.

Begitu pentingnya kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam setiap doa. Kita ambil contoh lagi, dalam tradisi warga pesantren, saat kita mengadakan ritual aqiqah atau acara syukuran untuk bayi yang baru dilahirkan. Keluarga bayi yang menyelenggarakan aqiqah tidak akan mengeluarkan bayi sebelum sampai pada momen mahallul qiyam, pada saat-saat kita berdiri membaca:

يَا نَبِي سَلَامْ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلْ سَلَامْ عَلَيْكَ

Silakan diperhatikan, dalam kalimat yang kita baca ”Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu”; seakan-akan Nabi hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran tawashul kepada Nabi, atau memanjatkan doa dengan perantaraan Rasulullah SAW.

Demikianlah apa yang telah diajarkan oleh para ulama pendahulu kita, dan di Indonesia amaliyah ini ditransformasikan kepada umat melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Keistimewaan Bulan Ramadhan dan Doa-doa

Written By Moh Wahyudi on Senin, 20 Juni 2011 | 04.28

                    Keistimewaan Bulan Ramadhan dan Doa-doa Pilihan Bulan Ramadhan memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar. Semua amal soleh yang dilakukan pada bulan ini akan mendapat balasan lebih banyak dan lebih baik. Oleh karena itu kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal kebajikan dan meninggalkan kemaksiatan. Diantara keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadhan tersebut, disebutkan dalam beberapa riwayat:

1. Ramadhan adalah bulan penuh berkah, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan pun dibelenggu. Pada bulan Ramadhan terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah SAW bersabda:

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌمُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فَيْهِ أبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فَيْهِ أبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلًّ فَيْهَ الشَّيَاطَيْنُ فَيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ ألْفِ شَهْرٍ

Telah datang Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, maka Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa pada bulan itu, saat itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat dan pada bulan itu pula terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. (HR. Ahmad)

2. Allah SWT membebaskan penghuni neraka pada setiap malam bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:

إذَا كَانَ أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أبْوَابُ الجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِيْ مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ  
Jika awal Ramadhan tiba, maka setan-­setan dan jin dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Sedangkan pintu-pintu surga dibuka, dan tidak satu pintu pun yang ditutup. Lalu ada seruan (pada bulan Ramadhan); Wahai orang yang menginginkan kebaikan, datanglah. Wahai orang yang ingin kejahatan, tahanlah dirimu. Pada setiap malam Allah SWT memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka. (HR Tirmidzi)

3. Puasa bulan Ramadhan adalah sebagai penebus dosa hingga datangnya bulan Ramadhan berikutya. Rasulullah SAW bersabda:

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَاُن إلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاةٌ مَا بَيْنَهُنَّ إذَاجْتَنَبَ اْلكَبَائِرَ

Jarak antara shalat lima waktu, shalat jum’at dengan jum’at berikutnya dan puasa Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya merupakan penebus dosa-­dosa yang ada diantaranya, apabila tidak melakukan dosa besar. (HR Muslim)

4. Puasa Ramadhan bisa menebus dosa-dosa yang telah lewat, dengan syarat puasanya ikhlas. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa dibulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari dan Muslim)

5. Barangsiapa memberi buka orang yang puasa maka mendapat pahala sebanyak pahala orang puasa tersebut.

مَنْ فَطَرَ صَائِمًا كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أجْرِ الصَّا ئِمِ لَا يَنْقُصَ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْئٌ

Barangsiapa memberi perbukaan (makanan atau minuman) kepada orang yang berpuasa, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut. (HR Ahmad)

6. Sedekah yang paling baik adalah pada bulan Ramadhan.

أيُّ الصَّدَقَةِ أفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فَيْ رَمَضَانَ


Rasulullah SAW pemah ditanya; Sedekah apakah yang paling mulia? Beliau menjawab: “Yaitu sedekah dibulan Ramadhan.” (HR Tirmidzi)

7. Orang yang banyak beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan, maka dosa-­dosanya diampuni oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

8. Doa orang yang berpuasa adalah mustajab Rasulullah SAW bersabda:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ ؛دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

Ada tiga macam doa yang mustajab, yaitu doa orang yang sedang puasa, doa musafir dan doa orang yang teraniaya. (HR Baihaqi)

9. Puasa dan ِAl-Qur’an yang dibaca pada malam Ramadhan akan memberi syafaat kepada orang yang mengerjakannya kelak dihari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:

اَلصُّيَامُ وَاْلقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَقُوْلُ اَلصِّيَامُ أيْ رَبِّ مَنَعْتُهُُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتَ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِى فَيْهِ وَيَقُوْلُ اْلقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِالَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيْهِ قَالَ فَيُشَفِّعَانِ

Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: “Ya Rabbi, aku mencegahnya dari makan dan minum di siang hari”, ِAl-Qur’ an juga berkata: “Aku mencegahnya dari tidur dimalam hari, maka kami mohon syafaat buat dia.” Beliau bersabda: “Maka keduanya dibolehkan memberi syafaat.”  (HR Ahmad)

10. Orang yang melaksanakan Umrah pada bulan Ramadhan maka mendapat pahala seperti melakukan Haji. Rasulullah SAW bersabda:

فَإِنَّ عُمْرَةَ فِيْ رَمَضَانَ حَجَّةٌ

Sesungguhnya umrah dibulan Ramadhan sama dengan pahala haji. (HR Bukhari)



Doa-Doa Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan mulia, penuh berkah dan mustajab, maka kita sangat dianjurkan banyak berdoa. Diantara doa-doa penting dibaca pada bulan Ramadhan adalah:

1. Doa Bulan Rajab dan Sya'ban Menyambut Ramadhan:

اَللَّهُمَّ باَرِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْناَ رَمَضَانَ

"Ya Allah, berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya'ban dan pertemukan kami dengan bulan Ramadhan." (HR Ahmad)

2. Doa Lailatul Qadr:

اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا

Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Dzat Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami, wahai Dzat yang Maha Pemurah. (HR Tirmidzi)

3. Doa Shalat Witir:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّْوْسِ

Maha Suci Engkau penguasa yang memiliki kesucian. (HR Nasai)

سُبُّوْحٌ قُدُّْوْسٌ رَبُّنَا وَرَبُّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوْحِ

Maha Suci Engkau Dzat yang memiliki kesucian, Tuhannya para Malaikat dan Ruh. (HR Daruquthni)

4. Menjelang Berbuka Sebaiknya Membaca doa:

أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ اللهُ أسْتَغْفِرُ اللهُ أسْألُكَ رِضَاكَ وَالْجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

Saya bersaksi tidak ada Tuhan Selain Allah, Saya mohon ampun kepada Allah, Saya mohon Ridha-Mu, Surga­Mu dan selamatkanlah saya dari neraka." Mu dan selamatkanlah saya dari neraka.

5. Doa Buka Puasa

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَاءُ وَابْتَلَّتْ العُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأجْرُ إنْ شَاءَ اللهُ

Ya Allah, Aku berpuasa hanya untuk-­Mu dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Hilanglah rasa haus, tenggorakan menjadz basah, semoga pahala ditetapkan, insya Allah." (HR Abu Dawud)

6. Jika Berbuka di Tempat Saudara dianjurkan mengucapkan:

أفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ اْلأبْرَارَ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ الْمَلاَئْكَةُ

Telah berbuka di tempatmu orang-orang yang puasa. Orang-orang baik memakan makanan kalian, dan para malaikat mendoakan kalian." (HR Abu Dawud)

Lailatul Qadar

        Tidak ada kepastian mengenai kapan datangnya Lailatul Qadar, suatu malam yang dikisahkan dalam Al-Qur’an "lebih baik dari seribu bulan". Ada Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, meyebutkan bahwa Nabi pernah ditanya tentang Lailatul Qadar. Beliau menjawab: “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan." (HR Abu Dawud).

Namun menurut hadits lainnya yang diriwayatkan Aisyah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar itu pada tanggal gasal dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan.
(HR. Bukhari)

Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadal itu terjadi pada 17 Ramadhan, 21 Ramadhan, 24 Ramadhan, tanggal gasal pada 10 akhir Ramadhan dan lain-lain.

Diantara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar adalah untuk memotivasi umat agar terus beribadah, mencari rahmat dan ridha Allah kapan saja dan dimana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari saja.

Jika malam Lailatul Qadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, maka orang akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal tersebut dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat.

Umat Islam hanya ditunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Di antara tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar adalah:

1. Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim.

2. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasarkan riwayat, Imam Ahmad.

Dalam Mu'jam at- Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Malam Lailatul Qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas."

Amalan-amalan untuk Mendapatkan Laiatul Qadar

Para ulama kita mengajarkan, agar mendapatkan keutamaan Lailatul Qadar, maka hendaknya kita memperbanyak ibadah selama bulan Ramadhan, diantaranya:

1. Senantiasa shalat fardhu lima waktu berjama'ah.
2. Mendirikan shalat malam atau qiyamul lail (shalat tarawih, tahajud, dll)
3. Membaca Al-Qur'an sebanyak-banyaknya dengan tartil.
4. Memperbanyak dzikir, istighfar dan berdoa.
5. Memperbanyak membaca:

اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا

Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Dzat Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami, wahai Dzat yang Maha Pemurah.

Meneruskan Tradisi Berdakwah para Pendahulu

Written By Moh Wahyudi on Minggu, 19 Juni 2011 | 23.27

          Dakwah dapat diartikan mengumpulkan manusia dalam kebaikan dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar dengan cara amar ma’ruf nahi munkar. Sandaran pendapat ini adalah firman Allah Swt:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran 3: 104)

Ayat tersebut merupakan landasan umum mengenai dakwah: amar ma’ruf nahi munkar. Tak diragukan lagi bahwa ajaran tentang dakwah merupakan bagian integral dalam Islam. Di samping dituntut untuk hidup secara Islami, kita juga dituntut untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh umat manusia. Dan berkat dakwah pula agama Islam dapat menyebar dan diterima di mana-mana, di hampir semua belahan benua.

Dakwah adalah tradisi yang diwariskan para Nabi dan Rasul beserta para pengikut setianya. Para ulama, kiai-kiai yang membawa misi Islam ke negeri ini mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk kepentingan dakwah demi kejayaan Islam dan kehidupan yang damai bagi para pemeluknya di bawah naungan ridla Ilahi.

Dapat dikatakan bahwa dengan bermodalkan spirit demi menegakkan agama Allah para Walisongo berhasil mengislamkan kawasan Melayu-Nusantara sebagai agama mayoritas meskipun pada awalnya penduduk lokal telah menganut agama Hindu dan Budha serta kepercayaan lokal lainnya selama berabad-abad. Hal ini membuktikan betapa arti pentingnya sebuah prencanaan dan strategi dakwah yang dilakukan oleh para pejuang Islam sejati (para pendahulu kita) dalam merombak suatu tatanan masyarakat tanpa menimbulkan gejolak atau konflik-horisontal yang berkepanjangan. Sehingga tampilan wajah Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia kini menjadi agama yang ramah, toleran, penuh kedamaian dan mengedepankan suasana keselarasan sosial.

Sebaliknya, tanpa adanya dakwah yang intensif dan terprogram dengan baik maka nilai-nilai Islam sudah barang tentu akan semakin jauh ditinggalkan oleh masyarakat dan komunitas manusia. Di mana musuh-musuh Islam akan senantiasa menghendaki keruntuhannya. Karena begitu pentingnya, maka dakwah tidak dapat dianggap enteng dan sepele.

Sesuai dengan visi dan misi kelahirannya, bahwa NU merupakan jam’iyah keagaman yang bergerak di bidang dakwah Islam, yang meliputi masalah keagamaan, pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Dalam konteks ini pula hingga saat ini NU tetap konsisten pada jalur kulturalnya. Memilih model dakwah kultural ini tak lain adalah upaya melestarikan prestasi dakwah para muballigh Islam awal di bumi Nusantara yang lebih terkenal dengan sebutan Walisongo.

Merupakan best-practice dari pada model dakwah warisan Walisongo yaitu soal kemampuannya dalam menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat setempat berikut tradisi maupun kultur lokal. Yakni dengan memperlihatkan kesantunan ajaran Islam disertai perilaku-perilaku yang ramah dan meneduhkan, sehingga tampilan wajah Islam memiliki daya tarik nan memukau kepada penduduk pribumi yang pengaruhnya terus meluas hingga ke pusat-pusat kekuasaan kerajaan di masa itu.

Jasa para Walisongo memiliki peranan penting dalam mengantarkan model perjuangan para generasi da’i/kiai selanjutnya. Berkat jasa-jasanya Islam telah merambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa, bahkan telah menyebar ke seluruh Nusantara. Perlu penulis tegaskan kembali bahwa, keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya yang tepat. Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkan darah.

Strategi dakwah yang kemudian oleh sejarawan dikenal dengan model strategi akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam dalam menyikapi proses-proses inkulturasi dan akulturasi. Dari sudut pandang sosiologi, sepertinya strategi yang diterapkan Walisongo benar-benar memperhatikan seluruh konteks maupun situasi yang melingkupi masyarakat setempat sehingga nampak jelas tidak begitu mementingkan kehadiran simbol-simbol Islam yang mencerminkan budaya Timur Tengah. Justru penekanannya terletak pada nilai-nilai substantif Islam dengan kerja-kerja dakwah kultural yang penuh nuansa dialogis dan toleran.

Upaya rekonsiliasi kultural antara Islam dan budaya lokal ini kerap dilakukan oleh para Walisonggo sebagai kreasi dakwahnya, dan bukti-bukti historisnya sangat mudah dilacak, sebut misalnya ornamen yang terdapat pada bangunan masjid Wali seperti yang terdapat pada bentuk arsitektur masjid Demak dan menara masjid Kudus atau budaya kirim do’a seperti budaya tahlilan yang lazim oleh warga nahdliyin disebut slametan.

Dengan kata lain upaya rekonsiliasi antara Islam dan budaya lokal yang pernah digagas dan dikembangkan oleh para Walisongo pada akhirnya melahirkan corak Islam yang khas Melayu-Nusantra atau Islam Indonesia sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Master Of Education: 73 Golongan Umat Islam

73 Golongan Umat Islam


        Imam Turmudzi, Abu Dawud dan Ibn Majah, masing-masing dalam kitab Sunan-nya meriwayatkan hadits tentang penggolongan umat Islam menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan atau firqoh, dan hanya satu golongan di antaranya yang selamat dari ancaman siksa neraka, yaitu golongan yang konsisten pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya (Jama’ah) atau yang kemudian disebut dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) sebagaimana disebut dalam karya monumentalnya, Al-Farq bainal-Firaq hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa sumber sanad, antara lain; Anas bin Malik, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abu Umamah dan Watsilah bin al-Asqa.
Respon para ulama kalam terhadap hadits tersebut ternyata tidak sama. Setidaknya, ada tiga macam respon yang diberikan;
Pertama, hadits-hadits tersebut digunakan sebagai pijakan yang dinilainya cukup kuat untuk menggolongkan umat Islam menjadi 73 firqah, dan di antaranya hanya satu golongan yang selamat dari neraka, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antara kelompok ini antara lain; Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (Al-Farq bainal-Firaq), Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfarayini (at-Tabshir fid Din), Abu al-Ma’ali Muhammad Husain al-‘Alawi (Bayan al-Adyan), Adludin Abdurrahman al-Aiji (al-Aqa’id al-Adliyah) dan Muhammad bin Abdulkarim asy-Syahrastani (al-Milal wan Nihal). Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (vol-3) menilai bahwa hadits tersebut dapat diakui kesasihannya.
Kedua, hadits-hadits tersebut tidak digunakan sebagai rujukan penggolongan umat Islam, tetapi juga tidak dinyatakan penolakannya atas hadits tersebut. Di antara mereka itu, antara lain; Imam Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful Mushollin) dan Imam Abu Abdillah Fakhruddin ar-Razi (I’tiqadat firaqil Muslimin wal Musyrikin). Kedua pakar ilmu kalam ini telah menulis karya ilmiahnya, tanpa menyebut-nyebut hadits-hadits tentang Iftiraq al-Ummah tersebut. Padahal al-Asy’ari disebut sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketiga, hadits Iftiraqul Ummah tersebut dinilai sebagai hadits dla’if (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan rujukan. Di antara mereka adalah Ali bin Ahmad bin Hazm adh-Dhahiri, (Ibn Hazm, al-Fishal fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal).
Pengertian firqah atau golongan dalam hadits tersebut, oleh para ulama dan para ahli tersebut, berkaitan dengan Ushuluddin (masalah-masalah agama yang fundamental dan prinsipil), bukan masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah yang berkaitan dengan hokum-hukum amaliyah atau yang kerap disebut sebagai masalah khilafiyah, semacam qunut shalat subuh, jumlah raka’at tarawih, ziarah kubur, dan lain-lain.
Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul-Hamid, seorang ulama’ yang banyak men-tahqiq karya-karya unggulan dalam ilmu kalam, seperti karya Imam al-Asy’ari, al-Baghdadi di atas, menyatakan kesulitannya untuk memperoleh hitungan yang valid terhadap firqoh-firqoh baru, seperti Ahmadiyah dan lain-lain.
Demikian itulah masalah yang muncul dari hadits 73 firqoh. Selain itu, ada masalah-masalah lain yang masih memerlukan studi lebih lanjut yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyyah dan diniyyah, seperti; apa yang dijadikan parameter untuk menentukan suatu kelompok umat ini menjadi firqah tertentu yang mandiri yang berbeda statusnya dari kelompok lain. Lalu, apa sebetulnya yang paling banyak menjadi pemicu timbulnya firqah-firqah tersebut?
Terakhir, sejauhmana peran realitas historis dan kultural dalam mempengaruhi perjalanan dan dinamika firqah-firqah tersebut. Tentu saja, masih banyak lagi yang perlu dikaji lebih lanjut.

I'tikaf

Fasal Tentang I'tikaf I'tikaf artinya berdiam di dalam masjid dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pada setiap bulan Ramadhan selama 10 hari yang terakhir, selalu melaksanakan i'tikaf. Bahkan secara khusus --pada tahun wafatnya--, beliau beri'tikaf pada bulan Ramadhan itu selama 20 hari, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibu Hurairah.

Pelaksanaan i 'tikaf oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat selama 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan itu erat kaitannya dengan Lailatul Qadar. Dalam artian, Nabi dan para shahabat beri'tikaf atau bertekun ibadah untuk berjaga-jaga ketika turun Lailatul Qadar.

Sedikit pun tidak disangsikan lagi bahwa, tempat pelaksanaan i'tikaf itu adalah masjid. Namun, masalahnya adalah masjid yang mana? Sementara Rasulullah SAW melaksanakan i'tikaf di masjidnya sendiri, yakni masjid Nabawi di Madinah. Oleh sebab itulah, ada banyak pendapat mengenai dimana seharusnya i'tikaf itu di­laksanakan. Lantaran pengertian masjid tempat i 'tikaf yang ditunjukkan Al Qur'an dianggap masih relatif.

Firman Allah SWT:

وَأنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ


"Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS Al Baqarah 2: 187)

Pendapat pertama; i'tikaf itu hanya dapat dilaksanakan di 3 masjid. Yakni Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina. Dimana pendapat ini didasar­kan pada hadits yang menjelaskan bahwa, dilarang atau tidak akan diberangkatkan kendaraan kecuali menuju 3 masjid tersebut di atas.

Pendapat kedua, menyatakan; i'tikaf itu harus dilaksanakan di Masjid Jami'. Yakni masjid yang biasa digunakan untuk mendirikan shalat 5 waktu berjamaah dan ibadah Jum'at. Pendapat ini mungkin tepat, jika dikaitkan bahwa i'tikaf yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW itu di masjidnya sendiri yang termasuk dalam kategori Masjid Jami'.

Menurut pendapat kami, jika kita perhatikan Al-Baqarah ayat 187 sebagaimana tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengertian masjid yang dinyatakan itu sifatnya umum. Lantaran tidak diikuti dengan satupun nama masjid tertentu. Baik dari ketiga masjid sebagaimana pendapat di atas, maupun selain Masjid Jami'.

Dengan demikian, mengacu pada lahirnya ayat ini, dapat diambil kesimpulan bahwa; i'tikaf dapat dilaksanakan di Masjid Jami' dan lainnya seperti mushalla misalnya; Walaupun memang, i'tikaf Ramadhan itu lebih baik dilaksanakan di Masjid Jami', supaya ketika harus melaksanakan kewajiban ibadah Jum'at misalnya, ia tak perlu lagi keluar dari masjid tempat i'tikafnya menuiu Masiid Jami'.

Apakah yang Dikerjakan Ketika Beri'tikaf?

Sesuai dengan tujuan i'tikaf yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka orang yang sedang i'tikaf hendaknya memperbanyak amal ibadah. Misalnya, dengan cara; shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, istighfar, shalawat Nabi, serta memperbanyak do 'a dan tafakkur. Begitu pula dapat dengan cara melakukan kebajikan lainnya, seperti; mempelajari tafsir, hadits, dan atau ilmu-ilmu agama Islam lainnya. Orang yang sedang beri'tikaf hendaknya menghindari segala hal yang tidak ada manfaatnya, baik dalam perbuatan maupun ucapan.

Sabda Rasulullah SAW bersabda:

مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ


"Di antara kebaikan seorang Islam adalah, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmitzi dan Ibnu Majah, dari Abu Bashrah)

Daam konteks i'tikaf, termasuk dalam hal yang tidak bermanfaat adalah, berdiam diri dengan sia-sia. Jadi, bukan berdiam karena tafakkur.

Orang yang sedang i'tikaf, wajib melaksanakan segala sesuatu yang merupakan unsur atau hakikat dari i'tikaf itu sendiri. Lantaran unsur-unsur itulah yang disebut sebagai rukun. Niat misalnya, yang wajib dilaksanakan untuk setiap ibadah, juga wajib dilaksa­nakan ketika i'tikaf. Karena petunjuk secara umum dalam suatu hadits telah jelas, bahwa setiap ibadah wajib disertai dengan niat.
Selain itu, orang yang sedang beri'tikaf juga wajib tinggal di dalam masjid, lantaran tinggal di dalam masjid merupakan unsur penentu untuk dapat disebut i'tikaf.

Orang-orang yang sedang i'tikaf juga wajib menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya. Seperti, bersetubuh dan keluar dari masjid tanpa alasan yang sah.


Dapatkah I'tikaf Dilaksanakan Setiap Saat?

Sejauh yang kami dapat dari keterangan berbagai hadits, i'tikaf itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW hanya pada bulan Ramadhan. Dan walaupun pernah dilaksanakan pula olehnya pada 10 hari pertama bulan Syawal, hanya sebagai pengganti i'tikaf Rama¬dhan, yang gagallantaran satu dan lain hal.

Maka boleh jadi, dengan hanya mengambil kesimpulan dari berbagai hadits yang mengungkap tentang i'tikaf Ramadhan, muncul suatu pendapat yang menyatakan bahwa, i'tikaf tidak disunnatkan secara mutlak sebagai suatu bentuk ibadah yang dapat dilaksanakan setiap saat. Pendapat ini, memang cukup beralasan.

Namun menurut kami, jika kita berbicara mengenai perintah melaksanakan nadzar i'tikaf, sebagaimana perintah Rasulullah SAW kepada 'Umar bin Khattab untuk memenuhi nadzar i'tikafnya, maka di dalamnya nampak jelas terkandung pengertian bahwa i'tikaf berarti suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Atau dengan kata lain, i'tikaf adalah suatu ibadah yang dapat dilaksanakan setiap waktu, jika memang kita kehendaki. Seandainya i'tikaf tidak termasuk sebagai suatu bentuk ketaatan kepada-Nya, maka tentu saja Umar bin Khattab tidak akan diperintah untuk memenuhi nadzar i'tikafnya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ نَذَرَ أنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِيْعُهُ


"Siapapun yang telah bematzar akan berbuat taat kepadaAllah, maka laksanakanlah natzar tersebut." (HR. Bukhari)

Selain itu --sebagai tambahan-- terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan melaksanakan natzar yang tidak membawa nilai kebaikan atau ketaatan kepada Allah SWT sebagai ibadah. Dengan demikian, nampak semakin jelas bahwa i'tikaf merupakan suatu bentuk ibadah yang secara mutlak dapat dilaksanakan setiap saat, dengan mendapat pahala meskipun hanya sesaat.

Cara Meng-qadha atau Mengganti Puasa “Qadha'”

      Cara Meng-qadha atau Mengganti Puasa Qadha'” adalah bentuk masdar dari kata dasar “qadhaa”, yang artinya; memenuhi atau melaksanakan. Adapun menurut istilah dalam Ilmu Fiqh, qadha dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam. Misalnya, qadha puasa Ramadhan yang berarti puasa Ramadhan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramadhan.

Namun demikian, menurut para ahli bahasa Arab, penggunaan istilah qadha untuk pengertian seperti tersebut di atas (istilah dalam ilmu fiqh) sama sekali tidak tepat. Lantaran pada dasarnya kata qadha, semakna dengan kata "ada'" yang artinya; pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam.

Oleh sebab itu, tidaklah tepat kata qadha' dimaksudkan untuk istilah yang artinya bertolak belakang dengan ada'. Akan tetapi, nyatanya istilah qadha' tersebut telah membudaya, menjadi baku dan berlaku dalam ilmu fiqh, untuk membedakannya dengan kata ada' yang merupakan pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan.


Wajibkah Qadha' Puasa Dilaksanakan Secara Berurutan?

Qadha' puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 184. Dan tidak ada ketentuan lain mengenai tata cara qadha' selain dalam ayat tersebut.

Adapun mengenai wajib tidaknya atau qadha ' puasa dilakukan secara berurutan, ada dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan bahwa jika hari puasa yang di­tinggalkannya berurutan, maka qadha' harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha' merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha' puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, lantaran tidak ada satu­pun dalil yang menyatakan qadha ' puasa harus berurutan. Sementara Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha' puasa, wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan. Selain itu, pendapat ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits yang sharih jelas dan tegas).

Sabda Rasulullah SAW:

قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

"Qadha' (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. " (HR. Daruquthni, dari Ibnu 'Umar)

Dari kedua pendapat tersebut di atas, kami lebih cendong kepada pendapat terakhir, lantaran didukung oleh hadits yang sharih. Sementara pendapat pertama hanya berdasarkan logika yang bertentangan dengan nash hadits yang sharih, sebagaimana terse. but di atas.

Dengan demikian, qadha' puasa tidak wajib dilakukan secara berurutan. Namun dapat dilakukan dengan leluasa, kapan saja dikehendaki. Boleh secara berurutan, boleh juga secara terpisah.


Bagaimana Jika Qadha' Tertunda Sampai Ramadhan Berikutnya?

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha' puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup yakni, sampai bulan Ramadhan berikutnya. Namun demikian, tidak mustahil jika ada orang-orang –dengan alasan tertentu– belum juga melaksanakan qadha' puasa Ramadhan, sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit misalnya, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha' puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan benkutnya.

Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha' puasa Ra­madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya –tanpa halangan yang sah–, maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran udzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.

Adapun mengenai kewajiban fidyah' yang dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha' puasa Ramadhan tersebut, di antara para Fuqaha ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa; penangguhan qadha' puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Baik penangguhannya tersebut karena ada udzur atau tidak.

Pendapat kedua menyatakan bahwa; penangguhan qadha' puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya ada tafshil (rincian) hukumnya. Yakni jika penangguhan tersebut karena udzur, maka tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Sedangkan jika penangguhan tersebut tanpa udzur, maka menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Sejauh pengamatan kami, kewajiban fidyah akibat penangguhan qadha 'puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidaklah didasarkan pada nash yang sah untuk dijadikan hujjah. Oleh sebab itu, pendapat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Yang dengan demikian, secara mutlak tidak ada kewajiban fidyah, walaupun penangguhan tersebut tanpa udzur.

Bagaimana Jika Meninggal Dunia sebelum Qadha?

Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT. Sehingga orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban qadha' puasa Ramadhan, sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.

Adapun dalam praktik pelaksanaan qadha' puasa Ramadhan tersebut, ada dua pendapat yakni; Pendapat pertama, menyatakan bahwa; pelaksanaan qadha' puasa Ramadhan orang yang meninggal dunia tersebut gapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Hadits tersebut di atas, yang mendukung pendapat pertama ini. Namun oleh perawinya sendiri yakni, Imam Tirmidzi telah dinyatakan sebagai hadits gharib. Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.

Namun demikian, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti; bahwa masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal dunia.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa; jika orang yang memiliki kewajiban qadha' puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib melaksanakan qadha' puasa tersebut, sebagai gantinya. Dan tidak boleh dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha' puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seijin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf seperti dijelaskan di atas. Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yakni, apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu, sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.

Bagaimana Jika Jumlah Hari yang Ditinggalkan Tidak Diketahui?

Melaksanakan qadha' puasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban. Baik qadha' puasa untuk di­rinya sendiri, maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Namun dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus qadha' puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang,sulit diketahui jumlah harinya. .

Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha' puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha' tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Membaca Surat Yasin

    Ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa “Yasin lima quriat lahu”, artinya surat Yasin dibaca sesuai niat si pembaca. Yasin dapat dibaca saat kita mengharap rezeki Tuhan, meminta sembuh dari penyakit, menghadap ujian, mencari jodoh, dan lain-lain.

Akan tetapi, dalam praktik sehari-hari, akhir-akhir ini masyarakat sudah mentradisikan membaca Yasin dalam majelis-majelis kecil di kampung-kampung. Bahkan sudah lazim bacaan Yasin digabung dengan Tahlil. Tahlil dan Yasin telah menyatu menjadi bacaan orang-orang NU, dan selalu dapat kita dengar dari kelompok-kelompok kecil, kadang di siang hari, sore hari, malam hari, dan pagi hari.

Lebih dari itu, surat Yasin sudah menjadi kebiasaan masyarakat bila salah satu keluarga ada yang sakit kritis. Surat Yasin dibaca dengan harapan jika bisa sembuh semoga cepat sembuh, dan jika Allah menghendaki yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga cepat diambil oleh-Nya dengan tenang.

Ada kalanya Yasin dibaca sendirian, ada juga bersamaan dengan tetangga yang lain. Yang jelas, orang yang sakit sudah ridak ada harapan lagi untuk sembuh karena tanda-tanda akan diakhirinya ke­hidupan ini sudah jelas. Dan surat Yasin menjadi pengantar kepulangannya ke hadirat Allah.

Dalil orang-orang NU membaca surat Yasin ini adalah, pertama dalam hadits riwayat Nasa'i bersumber dari Ma'qal bin Yasar al-Muzan mengatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda:

اقْرَؤُا يس عِنْدَ مَوْتَاكُمْ


Bacalah surat Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.”

Hadits ini juga berlaku bagi yang masih hidup untuk membacakan Yasin untuk yang sudah meninggal. Persis seperti sabda Rasulullah: Laqqinu mautakum La ilaha illallah (Tuntunlah orang mati dengan kalimat La ilaha illallah). Dan termasuk dalam hadits ini adalah bacaan Yasin di atas makam. (Demikian penjelasan dalam kitab Kasyifatus Syubhat, hlm. 263)

Dalam hadits Ma'qal bin Yasar tersebut juga disebutkan bahwa:

يس قَلْبُ القُرْآن لَا يَقْرَؤهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ الآخِرَةَ إلَّا غَفَرَ لَهُ اقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ


Surat Yasin adalah jantung Al-Qur'an. Siapa saja yang membacanya semata-mata karena Allah dan berharap kebahagiaan akhirat maka ia akan diampuni. Maka bacakanlah Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.

Diriwayatkan juga: jika seorang muslim dan muslimah dibacakan surat Yasin ketika mendekati ajal maka akan diturunkan 10 malaikat berkat dari huruf-huruf Yasin yang dibaca. Para malaikat itu berdiri berbaris di samping yang sakit, membacakan shalawat dan istighfar kepadanya dan ikut menyaksikan saat dimandikan dan mengantarkan ia ke makam. (Tafsir Yasin lil Hamamy, hlm. 2)

Dalam kitab Audhaul Ma’ani Ahadits Riyadh as Shalihin disebutkan bahwa bacaan surat Yasin untuk yang sedang mendekati ajal akan menjadi bekal dia, seperti halnyaa ia membawa susu kental dalam perjalanan. Dan surat Yasin pada dasarnya dapat dibaca untuk seseorang setelah meninggal di rumah atau bahkan di makam. (Audhaul Ma’ani, hlm. 376)

Tarhim

         Tarhim ialah suara yang dikumandangkan dari masjid atau mushala dengan maksud membangunkan kaum muslimin muslimat untuk persiapan shalat Shubuh. Lebih dari itu, tarhim membantu membangunkan mereka yang ingin menjalankan shalat tahajjud, karena shalat ini dapat dikerjakan pada saat itu.

Tarhim banyak kita dengar terutama saat bulan suci Ramadhan. Bacaan yang dikumandangkan umumnya bervariasi, ada yang berisi seruan agar kaum muslimin bangun dan siap melakukan shalat shubuh. Ada juga yang mengingatkan pentingnya shalat tahajjud, dan lain-lain.

Setiap masjid NU, bahkan mushalanya juga, bersaut-sautan dengan kalimat-kalimat spesial yang disusun khusus untuk acara tarhim ini. Bisa jadi tarhim ini hanya sekadar mengulang-ngulang hadits:

تَسَحَّرُوا فَإنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ

"Sahurlah kalian karena sahur itu membawa berkah".

Terkadang ditambah dengan kata-kata dari petugas masjid, misalnya: “Sekarang sudah pukul 03.00 WIB, sebentar lagi subuh, bangun… bangun.. .sahur... sahur...” Bagi yang ingin berpuasa, tarhim menuntunnya untuk segera makan sahur.

Akhir-akhir ini masjid dan mushala memang lebih banyak memilih memutar kaset ayat-ayat Al-Qur'an karena lebih praktis ketimbang mendatangkan seseorang yang bersedia mengumandangkan alunan lagu yang merdu.

Dulu, orang-orang yang membawakan tarhim dapat didatangkan dari luar daerah dengan upah yang cukup, ditambah hadiah sarung, baju koko, dan lain-lain. Mereka bisa bertiga atau berempat yang tugasnya (di samping mengisi acara tarhim dari pukul 03.00 sampai Subuh) mereka juga bertugas adzan setiap shalat Fardhu.

Seiring perkembangan zaman, kelompok orang-orang tarhim ini sudah tidak banyak ditemui karena diganti kaset Al-Qur'an yang disetel kurang lebih 30-60 menit sebelum waktu adzan dengan disisipi suara dari petugasnya sepuluh menit sebelum Subuh: “Imsaak. . .  imsaak. . .”

Dalil tarhim ini adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ

Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah bersabda: Kalian tak perlu mencegah Bilal untuk adzan sewaktu sahur karena adzan itu bertujuan untuk mengingatkan siapa saja yang masih berjaga dan sekaligus membangunkan yang tertidur. (Fathul Bari Syarh al-Bukhari, Juz II, hlm 244)

Al-Hafizh berkata dalam kitab Al-Fath: "Pernah terjadi sebelum waktu shubuh, dan bukan hari Jum'at, bacaan tasbih dan shalawat atas Nabi, bukan adzan baik dari sisi bahasa maupun agama."

Dalam Fiqhus Sunnah Juz I, hlm 221-222 terdapat penjelasan bahwa di dalam hadits-hadits lain diterangkan, tarhim yang disuarakan keras itu lebih baik. Namun disuarakan pelan itu lebih baik bila dikhawatirkan munculnya sikap riya' atau mengganggu orang yang sedang shalat (tahajjud). Dan selagi aman dari hal-hal tersebut, tentu tarhim dengan suara keras akan lebih baik.

Sunnah dan Bi'dah

              Sering kali terdengar oleh kita perdebatan seputar hal bid'ah dan sunnah. bahkan perdebatan ini menjurus pada perpecahan. Padahal tidak harus demikian, justru perbedaan itu adalah rahmat, asalkan kita mau berlapang dada. Oleh karenanya menjadi penting bagi umat muslim untuk mengetahui apakah bid'ah itu, dan bid'ah seperti apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan? <br />
Menurut para ulama’ bid’ah dalam ibadah dibagi dua: yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Di antara para ulama’ yang membagi bid’ah ke dalam dua kategori ini adalah:
1.     Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, bid’ah dibagi dua; bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Jadi bid’ah yang mencocoki sunah adalah mahmudah, dan yang tidak mencocoki sunah adalah madzmumah.
Bid’ah hasanah/mahmudah dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah bid’ah wajib seperti kodifikasi (pengumpulan) al-Qur’an pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan pengumpulan hadits ke dalam kitab-kitab besar pada zaman sesudahnya.
Sedangkan bid’ah hasanah yang kedua adalah bid’ah sunah, seperti shalat tarawih 20 rakaat pada zaman khalifah Umar bin Khathab.
2.    Imam al-Baihaqi
Bid’ah menurut Imam Baihaqi dibagi dua; bid’ah madzmumah dan ghairu madzmumah. Setiap Bid’ah yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’ adalah bid’ah mahmudah atau ghairu madzmumah. Sedangkan bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah bid’ah yang tidak memiliki dasar syar’i sama sekali.
3.    Imam Nawawi
Bid’ah menurut Imam Nawawi dibagi menjadi dua; bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah.
4.    Imam al-Hafidz Ibnu Atsir
Ibnu Atsir juga membagi Bid’ah menjadi dua; bid’ah yang terdapat petunjuk nash (teks al-Qur’an/hadits) di dalamnya, dan bid’ah yang tidak ada petunjuk nash di dalam¬nya.
Jadi setiap bentuk bid’ah yang menyalahi kitab dan sunah adalah tercela dan harus diingkari. Akan tetapi bid’ah yang mencocoki keumuman dalil-dalil nash, maka masuk dalam kategoti terpuji.
Lalu bagaimana dengan hadits
كُلُّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ
Setiap bid’ah adalah sesat.
Berikut ini adalah pendapat para ulama’:
1.    Imam Nawawi
Hadits di atas adalah masuk dalam kategori ‘am (umum) yang harus ditakhshish (diperinci).
2.    Imam al-Hafidz Ibnu Rajab
Hadits di atas adalah dalam kategori ‘am akan tetapi yang dikehendaki adalah khash (‘am yuridu bihil khash). Artinya secara teks hadits tersebut bersifat umum, namun dalam pemaknaannya dibutuhkan rincian-rincian.
Ada sebagian ulama’ yang membagi bid’ah menjadi lima bagian sebagai berikut,
1.    Bid’ah yang wajib dilakukan : contohnya, belajar ilmu nahwu, belajar sistematika argumentasi teologi dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang-orang atheis dan orang-orang yang ingkar kepada agama Islam, dll.
2.    Bid’ah yang mandub (dianjurkan): contohnya, adzan menggunakan pengeras suara, mencetak buku-buku ilmiah, membangun madrasah, dan lain-lain.
3.    Bid’ah yang mubah : contohnya, membuat hidangan makanan yang berwarna warni, dan sejenisnya.
4.    Bid’ah yang makruh : contohnya, berlebihan dalam menghias mushaf,  masjid dan sebagainya.
5.    Bid’ah yang haram: yaitu setiap sesuatu yang baru dalam hal agama yang bertentangan dengan keumuman dalil syar’i. misalnya solat isya tujuh rekaat dll.
(disarikan dari buku Tradisi Amaliah NU dan Dalilnya, penerbit LTM (Lembaga Ta'mir Masjid) PBNU
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger