Latest Post

Suap Politik Tetaplah Risywah, Bukan Sedekah

Written By Moh Wahyudi on Senin, 19 Mei 2014 | 06.45


Suap Politik Tetaplah Risywah, Bukan Sedekah
Katib Aam PBNU KH Malik Madani mengaku prihatin terhadap adanya upaya pengaburan status hukum suap (korupsi), di antaranya dengan pengalihan istilah dari risywah menjadi shadaqah, yang membuat orang semakin permisif terhadap praktik haram ini.

Keprihatinan ini muncul dalam seminar tentang Ahlul Halli wal Aqdi bersama para kiai Jawa Barat di Pondok Pesantren al-Falah II, Nagrek, Bandung, Ahad (18/5). Menurutnya, politik uang pada pemilu beberapa waktu lalu merebak luar biasa. Dan parahnya, di saat yang sama berkembang penggunaan istilah yang menyesatkan.

“Saya selaku  Katib Aam PBNU menegaskan bahwa money politic bukan shadaqah siyasah (sedekah politik), tapi risywah siyasah (suap politik). Berlaku baginya hadits Rasulullah SAW: ar-râsyi wal murtasyi fin nâr. Penyuap maupun yang disuap tempatnya di neraka,” tuturnya.

Hukum ini, bagi Kiai Malik, juga berlaku bagi makelar atau tim sukses yag turut membantu praktik suap politik tersebut. Ia menyebut kelompok semacam ini sebagai tim sukses yang tidak bertanggung jawab.

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga mengutip hadits yang menjelaskan bahwa Allah tidak akan menurunkan rahmat kepada mereka yang mengangkat pemimpin hanya karena motivasi duniawi.

“Jadi kalau ini sampai terjadi di Pilpres, Pileg, dan pemilihan pemimpin di lingkungan Nahdlatul Ulama, berarti telah terjadi demoralisasi yang luar biasa,” ujarnya seraya menilai dampak ini lebih banyak ditimbulkan oleh demokrasi di Indonesia yang terlalu liberal.

Karenanya, di NU Kiai Malik mengusulkan adanya sistem ahlul halli wal aqdi, yakni sistem rekrutmen pemimpin yang melibatkan sekelompok orang terpilih. Sebagai ormas, NU lebih cocok menggunakan cara ini, mengingat kepentingannya berbeda dari kepentingan partai politik. (Mahbib Khorion)

Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat

Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat
Kajian tentang kerukunan umat beragama di Indonesia adalah masalah yang penting untuk kita ketahui bukan saja bagi para pemuka agama, para pejabat di lingkungan Kementerian Agama, melainkan bagi seluruh lapisan masyarakat. Lalu, hal-hal apa saja yang memperkuat adanya kerukunan umat beragama di Indonesia?

Buku Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat karya Prof Dr HM Atho Mudzar menguraikan konsepsi tersebut. Dalam buku ini, telah disebutkan bahwa adanya nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan terhadap ajaran agama. Bahkan sebagiannya mengklaim bahwa nilai-nilai Pancasila sejalan dengan atau bahkan bersumber dari ajaran agama mereka. Masing-masing umat beragama telah merumuskan bingkai teologis mereka dalam kerangka Pancasila. Sampai di sini, terdapat dua hal penting yang mengikat kerukunan umat beragama di Indonesia. Pertama, konsensus tentang Pancasila sebagai the common platform, dan kedua, pengakuan tentang keserasian isi Pancasila dengan teologi agama-agama yang ada. (halaman 3)

Dari hal yang telah disebutkan di atas, tentu saja masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi semakin kuatnya kerukunan umat beragama di Indonesia. Faktor-faktor tersebut dapat berupa melalui kebijakan Pemerintah yang secara sadar dirumuskan untuk terciptanya kebebasan agama, faktor kesejarahan yang telah dicatat dalam sejarah bahwa agama-agama pada awalnya datang dengan damai bukan dengan kekerasan atau peperangan.

Dari temuan di atas, kerukunan umat beragama di Indonesia memang telah diatur dengan sebaik-baiknya. Namun, bagaimana dengan adanya pembaharuan dalam pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah maupun lingkungan sosial keagamaan pengikut Aswaja di Indonesia? Bagaimana cara kita untuk menjaga Aswaja dan kerukunan umat beragama?

Secara garis besar, pembaharuan-pembaharuan dalam pemikiran Aswaja dapat ditemukan dalam pemikiran tentang Al-Qur'an dan syariah (politik, hukum keluarga dan ekonomi). Namun, pembaharuan pemikiran Aswaja tentang Al-Qur'an tidak lagi berkutat pada persoalan seperti apakah Al-Qur'an itu makhluk atau bukan, melainkan tertuju kepada pertanyaan bagaimana memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur'an sebagai pedoman utama bagi umat Islam. (halaman 16)

Dalam kenyataannya, dalam lingkungan sosial pengikut Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia masih terdapat gerakan-gerakan sempalan yang tidak menyentuh kepada pilar-pilar keimanan Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka berpendapat bahwa tidak lagi memerlukan kitab-kita tafsir klasik yang dapat mengusik pendirian kaum Sunni yang sangat menghormati para ulama pengarang kitab-kitab klasik tersebut dan kelompok ini keluar dari empat madzhab yang biasa dipegangi kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.

Keadaan ini tentu sangat mengusik kehidupan sosial Aswaja saja namun juga mengusik kerukunan umat beragama di Indonesia karena setiap gerakan yang menyimpang dari pilar-pilar keimanan Aswaja memiliki pendapat tentang pembelaan diri bahwa mereka tidak menyimpang dari ajaran Aswaja.

Dengan keadaan seperti yang tersebut di atas, pembelaan diri yang dilakukan oleh suatu gerakan tertentu harus diatur dalam Undang-Undang sehingga kerukunan umat beragama di Indonesia akan terjaga dan tidak akan terdapat perpecahan umat Islam di Indonesia akibat adanya keegoisan dari masing-masing gerakan tersebut.

Untuk masalah tersebut, pemerintah bukan saja membuat Peraturan Perundang-undangan namun harus secara tegas memberi peringatan terhadap gerakan-gerakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam, sehingga kita sebagai umat beragama dapat hidup dengan rukun dan tenteram karena keadaan seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kalaupun keadaan ini dibiarkan begitu saja, pasti akan menggerogoti kerukunan umat beragama di Indonesia akibat keegoisan-keegoisan yang dimiliki oleh setiap gerakan-gerakan yang tidak sesuai dengan pilar-pilar keimanan Aswaja tersebut.

Namun sampai saat ini, satu-satunya wadah yang dinilai mau dan mampu menampung seluruh elemen umat Islam Indonesia adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Oleh karena itu, harapan umat banyak tertuju kepada MUI untuk mengelola kerukunan internal umat Islam dan mengingat bahwa tekanan perubahan sosial yang dapat mempengaruhi kerukunan internal itu sangat banyak, baik dalam bentuk pertambahan dan penyebaran jumlah penduduk, tingkat pendidikan yang terus menganga, langkanya sumber-sumber daya, maupun penggunaan teknologi dan komunikasi yang tinggi. Sehingga MUI harus mampu meningkatkan kemampuan manajemen yang rasional serta segera meninggalkan model kepemimpinan konservatif yang dijalankan selama ini.

Pesan moral dari buku ini adalah kita harus mampu menjaga Aswaja dari gerakan-gerakan yang tentunya akan menggerogoti pilar-pilar keimanan Aswaja itu sendiri maupun dapat mengganggu kerukunan umat Islam khususnya di Indonesia. Namun, cara kita sebagai umat Islam dalam menjaga kerukunan umat harus sesuai dengan syariat Islam atau tidak boleh bertentangan, sehingga tidak terdapat diskriminasi sosial terhadap aliran atau gerakan-gerakan tertentu yang menyimpang dari pilar-pilar keimanan Aswaja tersebut. Karena masih banyak tantangan yang akan dihadapi kaum Muslimin untuk memperkuat dan memberdayakan Islam dalam berbagai aspek kehidupan.

Keterbelakangan umat dalam kehidupan ekonomi dan pendidikan khususnya menciptakan suasana yang tidak cukup kondusif. Kegiatan ekonomi yang tidak sesuai dengan syariat Islam dapat menjerumuskan orang ke dalam pemahaman dan tindakan yang radikal yang tidak menguntungkan. Begitu juga dengan pendidikan, keterbelakangan pendidikan memunculkan ketiadaan harapan dan keputusasaan bagi masa depan yang dapat berujung pada radikalisme.

Karena itulah, pemberdayaan kehidupan ekonomi dan pendidikan anak umat harus menjadi suatu prioritas utama karena akan memperkuat Indonesia yang menghadapi berbagai gejolak zaman akibat globalisasi.

Namun, kita tidak boleh hanya mengandalkan pendidikan yang tinggi semata melainkan kita juga harus memiliki akhlak yang baik yang telah diajarkan sejak kita kecil sehingga akhlak yang telah diajarkan tersebut menjadi kebiasaan-kebiasaan yang mampu menjadi dorongan positif untuk melakukan ibadah maupun kegiatan yang positif pula.

Pada akhirnya, melihat realitas yang telah disebutkan di atas, menjaga diri dengan perilaku kita sebagai umat Muslim di Indonesia sangat perlu diketahui dan dilakukan untuk menjaga Aswaja maupun kerukunan umat beragama. Buku ini adalah buku yang perlu dibaca guna agar kita mengetahui latar belakang Ahlussunnah wal Jamaah dan mengetahui lingkungan sosial  yang terdapat dalam Aswaja.


Judul: Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat
Penulis: Prof Dr HM Atho Mudzar
Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2012
Tebal : 114 Halaman
ISBN : 978-602-8739-12-2
Peresensi : Eka Nur Indahsari, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

KH Abdul Halim Shiddiq Pelopor Ansor dan Muslimat NU Jember

Written By Moh Wahyudi on Minggu, 18 Mei 2014 | 19.40


KH Abdul Halim Shiddiq Pelopor Ansor dan Muslimat NU Jember
Tidak banyak yang tahu siapa di balik pembentukan Gerakan Pemuda Ansor dan Muslimat NU di Jember. Dialah  KH Abdul Halim Shiddiq. Kakak kandung Rais Aam PBNU 1984-1991 KH Ahmad Shiddiq ini mensponsori kelahiran dua badan otonom NU tersebut.

Semasa hidupnya, Kiai Halim dikenal sebagai ulama yang suka berorgnisasi dan pencetak muballigh. Ketika itu, kekuasaan Belanda masih kuat mencengkeram negeri ini, Kiai Halim mengadakan perlawanan dengan melakukan kaderisasi pemuda dan calon muballigh. Untuk itu, ia mendirikan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) guna mewadahi kumpulan pemuda tersebut. Dan ternyata  cukup banyak muballigh yang tercetak dari PPI. Lembaga inilah yang ternyata kemudian menjadi embrio Ansor di Kabaputen Jember.

Tidak hanya itu, Kiai Halim juga menggarap potensi kaum perempuan dengan membentuk “Himayatus Syarafil Muslimat wal Banat”. Artinya, pelindung kemulian wanita Islam. Dalam waktu yang tak terlalu lama, organisasi ini diubah namanya menjadi “Islahul Muslimat” di bawah binaan Ustadzah Solihah dan istrinya, Nyi Hayat Muzayyanah. Belakangan, Islahul Muslimat berganti nama menjadi Muslimat NU.

Sebagai muballigh, Pendiri pesantren ASHRI Talangsari, Jember ini sangat disukai karena sifatnya yang merakyat. Ia menggunakan sepeda onthel untuk menghadiri undangan tabligh meski di pelosok desa. Bahkan saat sudah mempunyai  mobil jeep pun, ia masih kerap kali keleling tabligh dengan sepeda onthelnya. Selain melakukan tabligh di  “darat”, ia juga menggelar tabligh di udara melalui radio amatir ASHRI. Itu karena ia memandang  bahwa  dakwah melalui radio jangkauannya lebih luas.

Kiai Halim tergolong berani dan teguh pendirian. Untuk urusan fiqh, ia sangat keras. Contohnya, saat itu ia mendapati orang berjualan dedeh (daging yang terbuat dari darah). Kiai yang lahir pada 20 Mei 1912 ini kemudian menyampaikan hukum keharaman mengonsumsi dedeh saat pengajian di radio ASHRI. Bahkan, ia menuntut Bupati Jember Soejarwo bertanggung jawab. Sang bupati pun merespon dengan cepat, dengan melakukan razia di pasar  dan membuat aturan larangan menjual daging haram tersebut.

Sikap yang sama, Kiai Halim tunjukkan dalam soal keberadaan patung di dekat alun-alun, yang juga berseberangan dengan halaman masjid jamik Jember, al-Baitul Amien. Melalui radio ASHRI, ia  menyatakan ketidak setujuannya terhadap pendirian patung tersebut. Bahkan ia mengancam tidak akan berkhotbah di masjid jamik jika patung itu masih ada di sana. Bahkan ia bepesan jika meninggal dunia, mayatnya tak rela dilewatkan di depan patung yang juga berdekatan dengan masjid tersebut.

Kiai Halim  meninggal dunia di rumah sakit Patrang, pada malam Selasa, 23 Maret 1970. Ribuan orang turut berduka, mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pemakaman Turbah Condro, Kaliwates, Jember. Ia meninggalkan dua orang istri; Nyai Muzayyanah dan Nyai Najmu Laili yang asli Belanda. Sekarang putra-putrinya menjadi tokoh dan sebagian mengasuh pesantren. (Aryudi A Razaq/Mahbib)

Kiai Abdurrahman Mranggen, Pendiri Pesantren dan Pemimpin Tarekat

Kiai Abdurrahman Mranggen, Pendiri Pesantren dan Pemimpin Tarekat
KH. Abdurrahman dilahirkan dan dibesarkan di kampung Suburan Desa Mranggen Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak pada tahun 1872 M. Beliau adalah putra dari seorang guru ngaji yang shalih yaitu KH. Qashidil Haq bin Abdullah Muhajir. Selain mengajar, sang ayah juga giat berkebun dan menyewakan sebagian rumahnya untuk penginapan para pedagang luar kota.
Sejak kecil KH. Abdurrahman dididik oleh ayahnya sendiri. Setelah beranjak dewasa, barulah beliau belajar di Pondok Pesantren di daerah Tayem Purwodadi Jawa Tengah. Kemudian beliau juga pernah belajar di pesantren yang berada di seberang sungai Brantas JawaTimur. Kemudian terakhir beliau belajar di Pondok Pesantren Sapen Penggaron Semarang (dulu ikut Kabupaten Demak) yang diasuh KH. Abu Mi’raj yang akhirnya beliau diambil menjadi menantunya.
Karena minat belajarnya yang tinggi, setelah menetap di rumah selain mengajar beliau juga belajar kepada beberapa guru, diantaranya kepada Syekh KH Sholeh Darat, seorang ulama kenamaan dari Semarang Barat. Beliau juga belajar kepada KH. Ibrahim Brumbung Mranggen, dari sinilah beliau mendalami ilmu thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah.
Syekh KH Ibrahim kemudian berkenan mewisuda beliau menjadi khalifah setelah lulus ujian, yaitu pada suatu hari KH. Ibrahim berkata kepada murid-muridnya: “Barangsiapa yang nanti tidak batal shalatnya maka dialah yang berhak menyandang kholifah.”
Awal kisahnya bermula saat di tengah-tengah shalat jamaah berlangsung terlihatlah seekor ular yang merayap dari arah KH. Ibrahim menuju para jamaah. Tentu saja hal ini membuat para makmum ketakutan lari tunggang langgang dan membatalkan shalatnya, kecuali KH. Aburrahman yang masih tetap khusyu’ meneruskan shalatnya. Maka dengan demikian beliau dinyatakan berhak untuk menyandang khalifah thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandliyah.
Beliau adalah profil seorang yang konsekuen dan berdedikasi tinggi. Beliau menyadari sebagai seorang yang berilmu, tentu mempunyai kewajiban tugas dan tanggung jawab yang tinggi untuk senantiasa mengamalkan ilmu-ilmu yang dikuasai demi pengabdian kepada Allah dan RasulNya, Agama, Nusa dan Bangsa. Oleh karena itu, beliau dalam keseharian selalu melayani dan berkhidmah kepada masyarakat, santri dan keluarganya demi menggapai ridha Allah Swt.
Dalam hal duniawiyah, beliau juga mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu beliau tidak segan-segan dan tidak malu untuk berdagang walau dalam skala yang kecil. Tentu sebagai seorang tokoh agama dan berilmu tinggi, dalam berdagang pun beliau selalu amanah, dapat dipercaya dan yang paling disukai oleh pelanggannya. Beliau tidak pernah mengambil untung banyak.
Dengan bertambah banyaknya para pelanggan yang berbelanja kebutuhan kepada beliau, tidak membuatnya lupa dari tugas dan kewajibannya. Beliau tidak pernah berangkat jualan sebelum mengerjakan amalan rutinnya, yaitu shalat Dhuha. Sekalipun di pasar sudah ditunggu para pelanggannya, beliau tetap istiqamah terhadap ibadah dan amalan rutinitasnya.
Dari kepribadian beliau inilah masyarakat mulai simpati dan tertarik kepada beliau sehingga ada diantara mereka yang ikut nengaji dan sebagiannya menitipkan putranya kepada beliau. Hanya saja pada saat itu yang nyantri kepada beliau semuanya masih menjadi santri kalong, artinya pada malam hari mereka mengaji dan pagi harinya mereka pulang untuk bekerja atau membantu orang tua.
Beliau juga dikenal sebagai seorang yang luwes dalam setiap pergaulan. Sehingga nampak sifat beliau apabila bergaul dengan kiai akan nampak kekiaiannya, bergaul dengan bangsawan akan nampak kebangsawanannya.
KH. Abdurrahman sempat beristri dengan Ibu Nyai Suripah, ipar dari KH. Ibrahim Brumbung Mranggen, dan dikaruniai empat orang putra namun kesemuanya dipanggil Allah Swt. sewaktu masih usia kecil (setelah Ibu Nyai Suripah wafat).
Kemudian beliau menikah lagi dengan Hj. Shafiyyah (nama kecilnya Fatimah) binti KH. Abu Mi’raj bin Kiai Syamsudin Penggaron Semarang. Pernikahannya kali ini beliau dikaruniani sebelas putra dan putri, yaitu:
1. Hafshah (lahir di kapal dalam perjalanannya menuju ke tanah suci dan meninggal di Jakarta dalam perjalanannya pulang ke tanah air)
2. KH. Utsman (wafat tahun 1967 M)
3. Bashirah (wafat sewaktu kecil)
4. KH. Muslih (wafat tahun 1981 M)
5. KH. Muradi (wafat tahun 1980 M)
6. Rahmah (wafat sewaktu kecil)
7. KH. Fathan (wafat tahun 1945 M)
8. KH. Ahmad Muthohar (wafat tahun 2005 M)
9. Hj. Rahmah Muniri (almarhumah)
10. Faqih (wafat sewaktu kecil)
11. Tasbihah Muhri
Tiada jalan yang tak berujung, tiada awal yang tak berakhir. Demikian pula halnya dengan KH. Abdurrahman, setelah menekuni jalan kehidupannya dengan penuh pengabdian, menyebarkan syariat agama Islam dan setelah mengenyam pahit getirnya kehidupan ini mulai dari seorang santri sampai menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat yang disegani, beliau berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 20 Dzulhijjah 1360 H/1941 M dalam usia 70 tahun. Dan tanggal wafat beliau ini, setiap tahun diperingati haul keluarga yang dihadiri ribuan murid-murid beliau dengan tujuan berharap berkah dari beliau dan mengingat kembali perjuangan beliau semasa hidup. Pesan beliau pada keluarganya juga murid-muridnya yang akan selalu tetap diingat agar selalu belajar dan atau mengajar.

Abdus Shomad-Ahmad Dliya’uddin
Pondok Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen Demak

KH Amirullah Ilyas: Pejuang Aswaja DKI Jakarta


KH Amirullah Ilyas: Pejuang Aswaja DKI Jakarta
Senin (20/1/2014) pukul 16.25 WIB, KH Amirullah Ilyas telah pulang ke Rahmatullah. Dalam perjalanan hidupnya, beliau sangat gigih dan penuh semangat dalam memperjuangkan nilai-nilai Aswaja NU di tengah masyarakat. Bersama KH Zaini Sulaiman, KH Amirullah mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Az Zainiyah dan masjid Al-Husniyah.
“Semasa hidupnya almarhum dikenal gigih memperjuangkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Saya menjadi ketua sementara almarhum jadi sekretaris. Lalu beliau menjadi wakil dan bahkan Ketua di banyak organisasi di Tubuh NU. Sejak tingkat Ranting sampai Wilayah Provinsi DKI Jakarta Raya. Almarhum adalah orang baik, orang baik, orang baik,” ucap KH. Hasbullah Amin saat memberikan kesaksian serta melepas kepergian almarhum.
Selain sosok yang gigih dan ulet dalam memperjuangkan Islam Aswaja, KH Amirullah Ilyas juga seorang aktivis organisasi yang ulet. Berbagai organisasi sosial kemasyarakatan di bawah naungan NU pernah ia ikuti. Bahkan seringkali ia menjadi penentu dari putaran roda organisasi tersebut. Beliau pernah menjadi ketua IPNU Cabang Pulo Gadung (1962-1965), Ketua Ranting merangkap Ketua Bidang Pendidikan GP.Ansor Cab.Pulogadung (1965-1969), Ketua GP Ansor Cab.Pulogadung sekaligus Sekretaris Partai NU Cab. Pulogadung (1975-1984), Ketua GP Ansor Cab. Cakung (1977-1979), Sekretaris PCNU Cakung (1979-1984), Ketua PCNU Jakarta Timur sekaligus dilantik di Graha Purna Yudha dalam jajaran Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta.
Hingga saat ini, semua SK Organisasi di bawah bendera NU yang pernah beliau masuki sejak tahun 1959 masih tersimpan dengan rapi. Hal itu menjadi salah satu bukti betapa cintanya KH Amirullah pada NU. Saking cintanya pada NU dan organisasi yang dia pimpin, KH Amirullah Ilyas pernah mengundurkan diri dari jabatan PNS di lingkungan Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya. Hal itu beliau lakukan agar beliau bisa lebih konsentrasi mengurusi Organisasi dan NU. Nyata sekali bahwa KH Amirullah lebih memprioritaskan perjuangan yang tak jarang menuntut pengorbanan dibanding kenyamanan finansial yang seringkali melenakan.
Di mata keluarga, KH Amirullah Ilyas adalah sosok yang sangat penyayang namun tetap tegas dan disiplin. Terlebih dalam mendidik serta menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada putra-putrinya. Mungkin ini adalah buah dari kedekatan beliau dengan para ulama dan Habaib. Putra-putrinya dimasukkan dimasukkan sekolah umum, namun wajib masuk Madrasah Diniyah.
“Sejak pertama kali ada televisi, kami diperbolehkan menonton. Tapi jika sudah mau masuk waktu maghrib, TV wajib dimatikan. Kami juga diharuskan shalat berjamaah. Setelah solat kami harus mengaji Al-Qur’an. Baru setelah itu mempelajari pelajaran di sekolah atau madrasah. Aturan ini berlaku hingga akhir hayat beliau.” Kata salah satu putra Kiai Amirullah Ilyas.
Amirul mukminin Umar ibn al-Khattab pernah berkata, bahwa seorang lelaki yang berani meremehkan solatnya maka dalam urusan lainnya ia akan lebih berani meremehkannya. Mafhum mukhalafah atau pemahaman terbaliknya, seorang lelaki yang bisa menjaga solatnya dengan baik maka dalam urusan lain ia akan lebih bisa menjaga dengan baik. Dalam masalah ini kita bisa meneladani sikap KH Amirullah.
Seperti dikatakan istrinya, KH Amirullah Ilyas sangat menjaga urusan sholat. Baik saat berada di rumah maupun saat berada di dalam perjalanan. Beliau juga secara istiqomah menjalankan sunnah Nabi SAW, bangun malam sebelum fajar untuk menjalankan solat malam. Juga berdzikir serta meminta ampunan pada Allah. Salah satu amalan sunnah yang pelakunya akan dikaruniai Allah  Swt. derajat mulia dan posisi terpuji.
Di detik-detik akhir hidupnya, Kiai Amirullah  memanggil istri dan semua putra-putrinya. Ia lalu meminta maaf kepada semuanya atas segala kekhilafan yang pernah dia lakukan. Kiai Amirullah lalu meminta dihadapkan ke arah kiblat. Terdengar lirih lisannya mengucapkan kalimah syahadat. Dan seutas senyum tersungging di bibirnya saat ia berangkat menemui pencipta dan pemiliknya. (Ahmad Rofiq/Anam)

Mengenal KH Usman Abdurrahman Mranggen


Mengenal KH Usman Abdurrahman Mranggen
KH Usman adalah putra pertama KH Abdurrohman Mranggen Demak, yang pada awalnya dididik langsung oleh orangtuanya sebelum disuruh mondok ke Brumbung Mranggen Demak yang di asuh oleh KH Ibrohim.
Selepas dari Brumbung, ia meneruskan belajar di pondok pesantren Lasem yang diasuh oleh KH Kholil dan KH. Ma'shum. Sekembalinya dari pesantren Lasem, pada tahun 1926 beliau berusaha mengembangkan pesantren Futuhiyyah dan pada tahun 1927 diserahi tanggung jawab mengelola pesantren di bawah pengawasan KH. Abdurrohman.
Usaha da'wah yang dilaksanakan oleh beliau lebih banyak yang berorientasi keluar, dalam arti lebih sering melakukan dak'wah keliling. Da'wah keliling yang beliau lakukan berbentuk masrokhiyah (seni teater, sandiwara) dengan musik rebana yang dipandu dengan tarian zipin dan pencak silat yang disisipi ceramah agama.
Beliau lebih terkenal sebagai sosok seorang pendekar yang alim, karena pada saat itu wilayah Mranggen lebih dikenal dengan kaum abangan, jadi da'wah dengan teater lebih menguntungkan.
Pada tahun 1927 ia dibantu oleh adiknya, KH Muslih, berusaha mendirikan madrasah yang kemudian diberi nama Futuhiyyah atas usulan adiknya. Namun madrasah yang baru berjalan satu tahun ini diminta NU untuk merealisasikan progam pendidikannya, tetapi perkembangan tersendat sendat dan akhirnya hilang. Selanjutnya tahun1929 beliau mendirikan madrasah lagi, namun tidak lama dibedol lagi oleh NU cabang Mranggen, dan nasibnya pun sama.
Sekitar tahun 1931, pimpinan diserahakan kepada KH. Muslih dan berhasil mendirikan madrasah tidak boleh dipindah atau dibedol. Setelah itu KH. Muslih pergi mondok lagi dan kepemimpinan pondok diserahkan lagi kepada KH. Usman dan madrasah diserahkan kepada KH Murodi beserta para guru.
Setelah KH Muslih pulang dari Termas sekitar tahun 1935 kepemimpinan pondok diserahkan kepadanya. Hal ini karena ia lebih memusatkan perhatiannya da’wah keliling dan NU cabang Mranggen, sedangkan KH. Murodi melanjutkan belajar di Makkah.
Disamping itu ia juga membuka pesatren khusus putri yang diberi nama An Nuriyyah, sampai akhir hayat beliau tetap membantu pengajaran di pondok Futuhiyyah meski ia sudah memiliki pesantren sendiri. Beliau wafat pada tahun 1967 dengan menorehkan berbagai kemajuan selama masa kepemimpinan beliau di Futuhiyyah. Kemajuan selama masa kepemimpinan KH Usman diantaranya penataan manajemen pesantren, penataan manajeman madrasah, dan pendidikan seni dan keterampilan.
Selain itu masih banyak kemajuan kemajuan dan peran sertanya dalam pendidikan pesantren atau dalam perjuangan meraih kemerdekaan.

Abdus Shomad, Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger