Latest Post

Radio Indonesia

Written By Moh Wahyudi on Sabtu, 15 Desember 2012 | 08.13


Tunggu sebentar.....

Radio Internasional


Tunggu sebentar.....

Live Macca And Madina

Written By Moh Wahyudi on Jumat, 14 Desember 2012 | 07.03


Masjid Haramain Mecca – Madinah

LIVE DARI MASJID HARAMAIN, MECCA – MADINAH

Klik “Show”

Siaran langsung dari Masjid Haram Meccah

—–

Siaran langsung dari Masjid Nabawi Madinah

TV ASWAJA Nahdhotul Ulama


TV Channel

Channel Suwuk, Sholawat, Ratib & Al-Qur’an

Nikmati Tayangan Live Streaming

—————– Pilih Channel Klik “Show” —————–

 

 

TV – 9
TV – MADU FM
Majlis Rasululah


 

 

Masjidil Haram Mecca & Masjid Nabawi Madinah (klik..)
Laughing

Al-Qur’an, Beutiful Recitation (klik..)

Channel Lain:

Ulama Kesukaan Wahabi Ternyata Cinta Maulid Nabi

Written By Moh Wahyudi on Rabu, 12 Desember 2012 | 19.03



12 Rabiul AwwalHari yang baik, bulan yang baik serta dengan niat yang baik pula, kami awali tulisan ini dengan Firman Allah berikut ini, agar hati tenang dan nyaman ketika membaca nya dengan baik-baik nanti nya.
Allah ta’ala berfirman :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: jika bapak-bapak kamu , anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.[QS At-Taubah :24].
Rasulullah bersabda :
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
“Tidak beriman seseorang kamu sehingga adalah saya lebih dicintai nya dari orang tua nya dan anak nya dan semua manusia”.[HR Bukhari dan Muslim].
Sikap anti berlebihan terhadap Maulid Nabi, terkesan seakan peringatan Maulid Nabi adalah kesalahan yang mutlak, namun di balik ingkar mereka yang melampaui batas, ternyata ajaran ingkar Maulid Nabi baru ada sejak mereka ada, belum ada jauh sebelum peringatan Maulid ini telah diperingati dan di akui oleh Muslim dan Ulama sedunia, latar belakang ulama yang mereka sukai ternyata para pecinta Maulid dan salah satu dari sekian Para Motivator Maulid, berikut ini sebagian bukti nya :
Pendapat Ibnu Taymiyah Tentang Maulid Nabi
Ibnu Taymiyah berkata :
فتعظيم المولد واتخاذه موسمًا قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه واله وسلم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, itu dikerjakan oleh sebagian manusia, dan mereka mendapat pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW”. [Lihat kitab Iqtidha' Shirathil Mustaqim : 297].
Ibnu Taymiyah juga berkata :
فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون لهم فيه أجر عظيم لحسن قصدهم وتعظيمهم لرسول الله صلى الله عليه وسلم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, itu dikerjakan oleh sebagian manusia, dan mereka mendapat pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW”. [Lihat kitab Majmu' Fatawa 23: 134].
TERNYATA :
Ibnu Taymiyah sosok Syaikhul Islam nya para Wahhabi  dan Tokoh Yang Dipuja dan dibela mati-matian oleh Syaikh-Syaikh Wahabi-Saudi justru membela Maulid Nabi, ada apa dengan Wahabi, kenapa sebagian mereka mengingkari pendapat Ibnu Taymiyah, kenapa sebagian mereka menyangka ini fitnah terhadap Ibnu Taymiyah, kenapa sebagian mereka justru tidak pernah tahu pendapat Ibnu Taymiyah sebenarnya dalam masalah Maulid Nabi, mereka ingin berlepas diri dari Ibnu Taymiyah, yang sangat jelas mendukung Maulid Nabi, seandainya Maulid Bid’ah atau Tasyabbuh, sungguh Ibnu Taymiyah lebih dulu memerangi perayaan Maulid, karena di masa nya perayaan Maulid telah dirayakan setiap tahun, tidak pernah ia bilang Bid’ah, tidak pernah ia bilang Tasyabbuh dengan Natal, tidak pernah ia permasalahkan adakah Nabi dan para sahabat merayakan Maulid seperti ini, tapi Ibnu Taymiyah malah menyatakan Maulid Nabi adalah amalan yang baik, bahkan mendapat pahala bagi yang merayakan nya, karena menurut Ibnu Taymiyah Maulid adalah termasuk sebagian dari cara mengagungkan Nabi, dan termasuk salah satu cara mencintai Nabi, dengan kata lain Ibnu Taymiyah mengakui kebenaran Fatwa Ulama yang membolehkan perayaan Maulid, perbedaan persepsi dalam memahami hakikat makna Bid’ah antara Ibnu Taymiyah dan Wahabi/Salafi, otomatis berujung pada perbedaan kategori, Ibnu Taymiyah punya dua kategori Bid’ah yaitu Bid’ah Dholalah/Sayyiah dan Bid’ah Hasanah, tentu saja setiap hal atau cara baru dalam beramal tidak serta-merta dapat divonis sesat, sementara Wahabi yang salah memahami hakikat makna Bid’ah, membuat mereka tidak punya pilihan lain, setiap hal baru otomatis sesat menurut mereka, dan status hukum bukan lagi pada dalil nya, tapi lebih kepada ada atau tidak nya itu di masa Nabi dan Sahabat, sehingga wajar kalau pada setiap permasalahan yang mereka pertanyakan bukanlah dalil syar’i, dan tanpa sadar mereka telah mengingkari sebagian syari’at Islam atau dengan kata lain inilah ciri Manipulasi Fatwa Ala Wahhabi, semoga kekaguman mereka terhadap Ibnu Taymiyah bisa memperkecil perbedaan selama ini.
Pendapat Ibnu Katsir Tentang Maulid Nabi
Ibnu Katsir memuji Raja Mudhaffar Abu Sa’id Al-Kukburi sebagai berikut :
وكان يعمل المولد الشريف في ربيع الأول ويحتفل به احتفالا هائلا
وكان مع ذلك شهما شجاعا فاتكا بطلا عاقلا عالما عادلا رحمه الله وأكرم مثواه
“Dan dia [Raja Mudhaffar] menyelenggarakan Maulid yang mulia di bulan Rabi’ul awwal secara besar-besaran. Ia juga seorang raja yang cerdas, pemberani kesatria, pandai, dan adil, semoga Allah mengasihinya dan menempatkannya ditempat yang paling baik” [Lihat Kitab Bidayah wan-Nihayah 13 :136]
Ibnu Katsir juga berkata :
إن أول من أرضعته صلى الله عليه وسلم هي ثويبة مولاة أبي لهب وكان قد أعتقها حين بشرته بولادة النبي صلى الله عليه وسلم. ولهذا لما رآه أخوه العباس بعد موته في المنام بعدما رآه بشر خيبة، سأله: ما لقيت؟ قال: لم ألق بعدكم خيراً غير أني سقيت في هذه بعتاقتي لثويبة (وأشار إلى النقرة التي بين الإبهام والتي تليها من الأصابع).
“Sesungguhnya orang pertama kali menyusui Nabi SAW adalah Tsuwaybah yaitu budak perempuan Abu Lahab, dan ia telah dimerdekakan dan dibebaskan oleh Abu Lahab ketika Abu Lahab gembira dengan kelahiran Nabi SAW, karena demikian setelah meninggal Abu Lahab, salah seorang saudaranya yaitu Abbas melihatnya dalam mimpi, salah seorang familinya bermimpi melihat ia dalam keadaan yang sangat buruk,
dan Abbas bertanya : “Apa yang engkau dapatkan ?”
Abu Lahab menjawab : “Sejak aku tinggalkan kalian [mati], aku tidak pernah mendapat kebaikan sama sekali, selain aku diberi minuman di sini [Abu Lahab menunjukkan ruang antara ibu jarinya dan jari yang lain] karena aku memerdekaan Tsuwaybah”. [Lihat kitab Bidayah wan-Nihayah 2 : 272-273, kitab Sirah Al-Nabawiyah 1 :124, kitab Maulid Ibnu Katsir 21].
Ibnu Katsir mengagungkan malam Maulid Nabi, berikut kata beliau :
إن ليلة مولد النبي صلى الله عليه وسلم كانت ليلة شريفة عظيمة مباركة سعيدة على المؤمنين، طاهرة، ظاهرة الأنوار جليلة المقدار
“Sungguh malam kelahiran Nabi SAW adalah malam yang sangat mulia dan banyak berkah dan kebahagiaan bagi orang mukmin dan malam yang suci, dan malam yang terang cahaya, dan malam yang sangat agung”. [Lihat kitab Maulid iIbnu Katsir 19], sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Ad-Durar Al-Kaminah mengatakan bahwa kitab tersebut adalah kitab Ibnu Katsir yang membolehkan Maulid Nabi dan di dalam nya membahas tentang perayaan peringatan Maulid Nabi.
TERNYATA :
Ibnu Katsir yang dianggap sama oleh Salafi-Wahabi dengan mereka dalam semua hal, juga mengagungkan Maulid, bahkan beliau punya kitab tentang kebolehan dan keagungan Maulid Nabi, perbedaan yang sangat mencolok ini tentu tidak aneh, karena Ibnu Katsir adalah seorang Ahlus Sunnah Waljama’ah [Aswaja], cuma mereka tidak mau melepaskan Ibnu Katsir, karena tanpa Ibnu Katsir, mereka tidak punya lagi Ulama hebat, yang bisa mereka sandarkan ajaran mereka, dan penganut Wahabi akan semakin berkurang drastis, dan separuh kebohongan yang mereka tutupi selama ini akan terkuak dengan sendiri nya, buktinya dalam hal ini Ibnu Katsir terlepas dari ajaran Wahabi, perayaan Maulid yang telah dirayakan setiap tahun di masa nya, tidak memvonis pecinta Maulid Nabi dengan Ahlu Bid’ah, apa lagi sampai menyamai dengan perayaan Kuffar [Na'uzubillah], dalam kitab nya Ibnu Katsir memuji Raja Mudhaffar, karena kedermawanan nya dalam perayaan Maulid besar-besaran, bahkan lebih dari itu, ketika para penganut Wahabi menganggap “orang yang merayakan Maulid sama dengan Abu Lahab” ternyata Ibnu Katsir membenarkan kisah tersebut, Ibnu Katsir membenarkan Abu Lahab membebaskan budak nya Tsuwaibah karena kegembiraan nya dengan berita kelahiran Nabi dan dengan sebab itu ia mendapat sedikit air yang dapat ia minum di kubur, karena kekufuran nya telah menghalangi pahala dan fadhilah besar yang seharus nya. Tidak cuma itu, Ibnu Katsir juga percaya bahwa malam Maulid Nabi adalah malam yang penuh berkah, malam yang lebih dari malam lain nya, tentu saja ini sangat bertolak-belakang dengan anggapan Wahabi, karena mereka anggap malam Maulid tidak tidak punya kelebihan apa pun, sama seperti malam sebelum nya atau sesudah nya, semoga perasaan mereka terhadap Ibnu Katsir bisa menimbulkan benih cinta mereka terhadap Maulid Nabi SAW, inyaallah.
Pendapat Imam Al-Dzahabi Tentang Maulid Nabi
Az-Zahabi juga memuji Abu Said Al-Kukburi :
وكان متواضعًا ، خيِّرًا سنّيًا ، يحبّ الفقهاء والمحدّثين
“Dan adalah ia [Raja Mudhaffar] itu yang rendah diri, dan baik dan juga Sunni [Ahlus Sunnah Waljama'ah] dan ia mencintai Fuqaha’ [Ulama Fiqih] dan Muhadditsin [Ulama Hadits]“.[Lihat Siyar A'lam An-Nubala' 22 : 336]
TERNYATA :
Al-Dahabi sama hal nya dengan Ibnu Katsir, ia juga memuji Raja Maulid [raja Mudhaffar], dan dengan jelas Al-Dzahabi menyebut nya dengan Sunni yakni Ahlus Sunnah Waljama’ah, tapi kenapa Wahabi menyebut pecinta Maulid dengan Ahlu Bid’ah ? tidakkah mereka malu kepada Imam mereka ? kenapa justru mencari-cari alasan untuk mengingkari kebenaran dari Ulama yang mereka sukai, kenapa harus menutupi kebenaran yang datang dari diri mereka sendiri, kalau saja kebenaran datang dari orang yang ia musuhi dan benci selama ini, mungkin saja terlalu berat menerima dan mengakui nya, tapi ini kebenaran dari diri mereka sendiri.
Semoga ini menjadi sebuah renungan bagi siapa pun yang terlalu anti dengan Maulid Nabi, bila pun terlalu berat mengakui kelebihan nya, cukuplah dengan berdiri di tengah-tengah saja, tidak perlu ikutan Maulid, dan juga jangan ikutan mencaci-maki Maulid, biarpun nanti nya juga akan sangat menyesal karena tidak bisa merasakan bila ternyata begitu besar nya fadhilah Maulid di akhirat kelak nantinya. atau silahkan kembali membaca  PENJABARAN MENGENAI BID’AH HASANAH DAN DHOLALAH .

Wahabbyi : Memurnikan Tauhid Dengan Menghinakan Kalimat Tauhid?

Melecehkan Kalimat Tauhid 



























Anda tentu masih teringat dengan semaraknya penentangan sehubungan dengan direncanakannya pembakaran Al Quran Oleh Pendeta di Amerika, maka seluruh Ummat Islam dan juga non Islam sangat mengecam rencana itu, apapun alasannya melecehkan simbol simbol Agama sangat bertentangan dengan HAM.
Dan adalagi berita yang cukup menghebohkan Dunia, sehubungan Tentara Amerika yang telah berani membakar Al Quran dan sejumlah materi keislaman di Afganistan, betapa tentara Amerika yang telah memberikan kekuasaan kepada pemerintah baru dari cengkraman Taliban begitu marah dan berani mengobrak abrik markas tentara AS, setidaknya ketersinggungan Rakyat Afganistan begitu cepat terbakar, setelah melihat pelecehan atas kalimat kalimat suci Ummat Islam.
Melecehkan Kalimat Tauhid
Namun siapa sangka Propaganda “Memurnikan Tauhid” yang datang dari Arab saudi sana justru memperlihatkan fakta yang sangat mengerikan dan berbalik melecehkan Kalimat Tauhid.
Memang pelecehan kalimat Tauhid di Saudi sana tidak berasal daro para pembesarnya, namun apa yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakatnya disana menunjukkan aktifitas Dakwah Memurnikan Tauhid tidak terlalu menyentuh dan berpengaruh pada masyarakatnya.
Anda akan tercengang, betapa sebagian Masyarakat disana entah karena kebodohan atau memang efek dari fatwa yang gegabah, membuat masyarakat disana tidak tahu harus berbuat apa dengan simbol Negaranya yang merupakan bentuk kalimat Tauhid itu.
Berikut adalah gambar yang merupakan gambaran dari pelecehan kalimat tauhid itu:
Melecehkan Kalimat Tauhid
Melecehkan Kalimat Tauhid
Memurnikan Tauhid Melecehkan Kalimat Tauhid

Logo Mata Satu Menjadi Trend Di Dunia

Logo Mata Satu
Gambar Mata Satu Ini merupakan satu simbol Hieroglyph (aksara Mesir Kuno) yang berarti Dewa Ra/ Ré yang berarti Dewa matahari.Ra merupakan Dewa Tertinggi dalam kebudayaan Mesir Kuno Karena supremasi kekuasaanya meliputi alam semesta.
Simbol Mata Satu (All-Seeing Eye) (Dajal) Sudah ada sejak ribuan tahun lalu sepertinya contohnya Simbol RA yang terdapat dalam artefak” Mesir Kuno.Sejak abad pertengahan,Mata satu kini terserap dalam simbol-simbol Freemasonry (Perkumpulan Rahasia) yang digunakan dalam ritual mereka,dan Bahkan Dapat Dijumpai Sekarang Ini ”Mata Uang Satu Dolar” atau Anda bisa bertanya sama Mbah Google, ketik saja “Logo Mata Satu” atau “Simbol Mata Satu” bahkan dengan kata kunci “Simbol Zionis”.
Logo Mata Satu: Zionis
Lambang Mata Satu ini begitu mendunia, merambah dalam berbagai aspek mulai dari film film kartun, layar lebar, logo sebuah percetakan.
Logo mata satu di film kartunLogo Mata Satu Film KartunLogo Mata Satu Mainan Anak anak
Dan bahkan entah disengaja atau tidak sebuah sekolah Madrasah (Sekolah yang husus memberi pelajaran keislaman) ikut ikut menempelkan logo mata satu tesebut, lihat gambar dibawah ini:
Logo Mata Satu

Syaikh ‘Utsaimin melarang menghukumi amaliyah tertentu

 

 Syaikh ‘UtsaiminPara Kaum Puritan dalam berbagai tulisan telah menghukumi amaliyah-amaliyah yang telah diamalkan oleh para Aswaja dengan sesat, kebanyakan amaliyah tersebut adalah amaliyah yang terkait dengan suatu adat yang berkembang hasil dari ijtihad ulama-ulama terdahulu, mereka berkeyakinan untuk menghukumi SESAT karena berdasarkan pandangan bahwa hal tersebut termasuk kategori bid’ah, dan juga beradasarkan atas qoidah yang di sampaikan oleh Ibnul Qoyyim yang mengatakan asal sesuatu ibadah adalah haram sehingga tegak atasnya suatu dalil yang memerintahkannya, rupanya mereka salah memahaminya karena pada dasarnya Ibnul Qoyyim sendiri malah memerincikan atas qoidah itu pada hal mu’amalah dan ibadah, yang dimaksud ibadah tersebut adalah ibadah mahdhoh, sementara itu juga untuk hal-hal yang sifatnya adat masuk dalam kategori mu’amalah dan itu adalah boleh[1].

TERNYATA SYEKH MOHAMMAD SHOLIH AL UTSAIMIN MELARANG MENGHUKUMI HARAM ATAS AMALIYAH TERTENTU

Pemahaman atas qoidah tersebut yang salah kaprah menjadikan munculnya tuduhan sesat dan bid’ah yang membabi buta, sehingga menimbulkan kegelisahan dimasyarakat dan kekurangnyamanan, untuk hal itu kita akan membahas qoidah tersebut berdasarkan perspektif ulama terbesar abad ini dari kaum puritan sendiri yaitu Syekh Mohammad Sholih al-Utsaimin dalam kitab Qoidah Fiqhiyahnya.

PANDANGAN SYEKH AL-UTSAIMIN

Beliau dikalangan pengikut Salafy bersama dengan Syekh Nashirudin al-Albany dan Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz dikenal sebagai tiga ulama terbesar era kontemporer sekarang ini dan menjadi rujukan paling utama, keintelektualan beliau dikenal dalam ranah fiqih dan menelorkan karya dalam khazanah fiqih yaitu fan ushul fiqih dan qowaid fiqhiyyah.

Menyikapi Perbedaan dan permasalahan diatas ternyata beliau bersebrangan pandangannya dengan kebanyakan para Salafy hal ini dibuktikan dengan sebuah ungkapan beliau dalam nadzom yang berbunyi:

والاصل في الأشياء حل وامنع # عبادة الا بإذن  الشارع[2]

Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan bahwa asal dari sesuatau itu adalah umum, segala sesuatu itu pada dasarnya adalah boleh dalam hal ini adalah mu’malah termasuk didalamnya, beliau juga tidak memperbolehkan seseorang menuduh haram kepada amaliyah orang lain dan patutlah bagi si tertuduh untuk mempertanyakan dalil kepadanya, hal ini terekam dalam pendapat beliau

وعلى هذه القاعدة لو رأيت رجلا يفعل شيأ فقلت له هذا حرام ,فسيقول لك اين الدليل على تحريم هذا الشيء؟فحينئذ أنت المطالب بالدليل على تحريم هذا الشيء[3]

Lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam menyikapi qoidah diatas ada 3 pendapat dlm menyikapinya, pertama, asal dari sesuatu adalah boleh, hal ini di sampaikan salah satunya oleh Imam Abu Hanifah dengan metoda Istihsannya, kedua, asal dari sesuatu itu adalah haram, qoidah inipun dengan catatan bahwa kita sebagai makhluq tidak boleh menjustifikasi  sesuatu itu salah  yang Allah tidak menolaknya, ketiga di tawaqufkan dan di perincikan (tafshil), maksudnya dasar dari sesuatu yang membawa madhorot itu haram, sedangkan dasar sesuatu yang membawa manfaat adalah boleh.[4]

REALITA DARI PARAPENGIKUT WAHABY

Sudah bukan rahasia gerakan puritan dengan fahamnya yang selalu mendengungkan berantas TBC akhirnya terjebak dalam pemahaman yang eksklusif, kaku dan jumud dan dengan serampangan akhirnya menuduh segala amaliyah yang tidak mereka sepakati dengan bid’ah dam sesat, deskripsi  ini bisa kita lihat dengan fatwa –fatwa yang banyak bermunculan, padahal hal itu pada ranah bukan ibadah mahdhah dan bersifat adat,, Dalam hal  Ibnu Qoyyim mengatakan sedangkan dalam masalah adat beliau  Syekh Ibnul Qoyyim mengatakan asal dari suatu adat adalah di maafkan atau boleh, dan tidak menjadi suatu kekhawatiran selagi tidak sesuatu yang diharamkan

العادات الاصل فيها العفو,فلا يحظر منها الا ما حرمه[5]

Fakta Gerakan Salafy Meresahkan Ummat  Indonesiaan akhirnya berusaha itu membabat habis Legalitas Tradisiislam yang dikembangkan para ulama dahulu yang akan digantikan dengan faham kea-arab-araban, padahal secara prinsip fiqih bersifat elastis sesuai dengan perkembangan waktu dan zaman dan bahkan hal tersebut sudah jauh di kembangkan oleh para sahabat dan ulama salaf.

Berkaca dari pendapat syekh Utsaimin sendiri diatas sungguh pilu bahwa para pengikutnya sendiri banyak mengingkari pendapat beliau yang akhirnya munculnya pedangkalan agama .

BAPA’E OCHA

[1] Abi Abdir rahman Abdul Majid al-Jazairi, al-Qowaid al Fiqhiyyah al-Mustahrijah min I’lam              al –Muwaqi’in, Dar el-Ibnu al-Qoyyim, Mesir, 1421 H, hal.542 – 546

[2]  Al-Utsaimin, Mohammad Sholih, Al Syekh, Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Dar el- Bashirah, Iskandariyah, tt, hal 31

[3] ……..opcit, hal 32

[4] ……….opcit, hal 32

[5] Abi Abdir rahman Abdul Majid al-Jazairi, al-Qowaid al Fiqhiyyah al-Mustahrijah min I’lam              al –Muwaqi’in, Dar el-Ibnu al-Qoyyim, Mesir, 1421 H, hal.542 – 543

WAHABI SEBUAH KONSPIRASI YAHUDI UNTUK MENGHANCURKAN ISLAM DARI DALAM!


Fakta, sejarah, kronologi lengkap bagaimana Yahudi mencipta aliran Wahabi sebagai alat untuk menjayakan politik “devide et impera” atau “devide and conquere” umat Islam.
Konspirasi menjatuhkan Imperium Islam Turki Othmaniyah, terbentuknya aliran Wahabi, berdirinya Dinasti Arab Saudi, dll dikupas secara jelas!
Siapa yahudi, siapa wahabi, siapa Abdul Wahab, Syeikh Majmui (Mr. Hempher), Lawrence of Arabia, Muhammad Al-Saud, dll tokoh yang terlibat dalam konspirasi itu dipaparkan dengan jelas dan faktual.
Ilmu yang bermanfaat!
Bukan ceramah!
Sebuah Dokumentari lengkap dan Tepat.
VCD multimedia, gabungan video, narasi, teks dan gambar yang lengkap!
Simak videonya (Durasi 44 Menit)

sumber: http://www.youtube.com/watch?v=VFEJW53mr-Y&feature=related

The Wahhabi

Oleh: David Livingstone
The Turks had conquered Constantinople, now Istanbul, in 1453, establishing the Ottoman Empire, and had carried out significant expansions into Europe. However, by 1683, the Turks' campaign against the Europeans was curtailed, when they were decisively defeated in Vienna.
The Empire had reached the peak of its expansion. Nevertheless, the Empire continued to command significant amounts of territory, and still held sway in regions where the British colonialism was hoping to expand. Therefore, following their typical strategy of "divide and rule", the British, through their Masonic agent, sought to undermine the Ottoman Empire from within, by pitting against their own brothers in Islam, the Arabs of the peninsula.
Ottoman Empire
Ottoman Empire
It was not legal in Islam for a Muslim to fight another Muslim. Therefore, in order to rile the Arabs against their Turkish brethren, it was necessary to first create a new interpretation of Islam that would sanction such murder, but under the guise of Jihad. This new interpretation came to be known as Wahhabism, and was founded by British agent, Mohammed Abdul Wahhab.
Mohammed ibn Abdul Wahhab was born in 1703, in the small town in a barren wasteland called Najd, in the eastern part of what is now called Saudi Arabia. Ominously, Mohammed, the prophet of Islam, had already refused to confer blessings on the region, claiming that from it would emerge only "disturbances, disorder and the horns of Satan". Abdul Wahhab's father was a chief judge, adhering to the Hanbali school of Islamic jurisprudence, traditionally prevalent in the area. Yet, both he and Abdul Wahhab's brother, Sulayman, detected signs of doctrinal deviance in him from early on. It was Sulayman who would first come out with a lengthy denunciation of his brother.
Following his early education in Medina, Abdul Wahhab traveled outside of the peninsula, venturing first to Basra. He then went to Baghdad, where he married a wealthy bride and settled down for five years. According to Stephen Schwartz, in The Two Faces of Islam, "some say that during this vagabondage Ibn Abdul Wahhab came into contact with certain Englishmen who encouraged him to personal ambition as well as to a critical attitude about Islam."[1] Specifically, Mir'at al Harramin, a Turkish work by Ayyub Sabri Pasha, written between 1933 and 1938, states that in Basra, Abdul Wahhab had come into contact with a British spy by the name of Hempher, who "inspired in him the tricks and lies that he had learned from the British Ministry of the Commonwealth."[2]
MekkahThe details of this relationship are outlined in a little known document by the name of The Memoirs of Mr. Hempher: A British Spy to the Middle East, said to have been published in series in the German paper Spiegel, and later in a prominent French paper. A Lebanese doctor translated the document to Arabic, from which it was translated to English and other languages. The Memoirs outlines the autobiographical account of Hempher, who claims to have acted as a spy on behalf of the British government, with the mission of seeking ways of undermining the Ottoman Empire. Because, as recorded by Hempher, the two principal concerns of the British government, with regards to its colonies in India, China and the Middle East, were:
  1. To try to retain the places we have already obtained;
  2. To try to take possession of those places we have not obtained yet. For we are the sort of people who have developed the habit of taking a deep breath and being patient.
Hempher claims to have been one of nine spies sent to the Middle East for such a purpose. He reports, "we were designing long term plans to wage discord, ignorance, poverty, and even diseases in these countries. We were imitating the customs and traditions of these two countries, thus easily concealing our intentions." The pretext Hempher was offered for his actions was:
We, the English people, have to make mischief and arouse schism in all our colonies in order that we may live in welfare and luxury. Only by means of such instigations will we be able to demolish the Ottoman Empire. Otherwise, how could a nation with a small population bring another nation with a greater population under its sway? Look for the mouth of the chasm with all your might, and get in as soon as you find it. You should know that the Ottoman and Iranian Empires have reached the nadir of their lives.
Therefore, your first duty is to instigate the people against the administration! History has shown that "The source of all sorts of revolutions is public rebellions." When the unity of Muslims is broken and the common sympathy among them is impaired, their forces will be dissolved and thus we shall easily destroy them.
In 1710, the Minister of Colonies sent Hempher to Egypt, Iraq, Arabia and Istanbul, where he learned Arabic, Turkish and Islamic law. After two years, first returned to London for briefing, before being sent to Basra, a mixed city of Sunni and Shiah, where Hempher met Abdul Wahhab. Recognizing his insolence towards the Koran and traditions of Islam, Hempher recognized him as the ideal candidate for the British strategy. To ensure his corruptibility, he had a temporary marriage arranged, known in Islam as Muttah marriage, and not considered legal, with a Christian women sent by the British government to seduce the Muslim men. As he had been told, "We captured Spain from the disbelievers [he means Muslims] by means of alcohol and fornication. Let us take all our lands back by using these two great forces again."
Hempher was then called away to parts of Iran, and then to Baghdad. In the interim, he was concerned that his pupil would be brought back to the fold by those more knowledgeable than he. And so, Hempher advised Abdul Wahhab to venture in the mean time to Iran, an area where the Shiah dominated, and which, according to Hempher, was plagued with ignorance, and therefore, less of a challenge to Wahhab's heterodoxy.
Wabbab did travel to Iran, territory of Shiah, a tradition contrary to his own, which was Sunni, and for which he later engendered quite a hatred. Therefore, his journey can only be explained as having been in the service of Hempher, who specifically advised him, "when you live among the Shiah, make Taqiya; do not tell them that you are Sunni lest they become a nuisance for you. Utilize their country and scholars! Learn their customs and traditions. For they are ignorant and stubborn people." Because, as remarks Hamid Algar, in Wahhabism, A Critical Essay:
If indeed he undertook such a journey despite his antipathy for Shi'ism, the motives that inspired him to do so are a mystery. There is no mention of Muhammed b. ‘Abd al-Wahhab in the Persian sources of the period, which may mean ­ always supposing that he indeed visited Iran ­ that his attempts at propagating his notions of rectitude were disregarded there as significant or that he contradicted himself by making provisional use of the Shi'i practice of taqiya (meaning to shield or guard, the practice that permits the believer to deny publicly his Shia membership for self-protection, as long as he continues to believe and worship in private).[3]
Hempher was then again called back to London. This time his authorities were pleased with his activities, and agreed with his appraisal of Abdul Wahhab. He was then introduced to certain secrets, many of which were contained in a thousand-page book that outlined the deficiencies of the Muslims, and prescribed ways to destroy them. The book notices that, despite commandments to the contrary in Islam, the Muslims' weak points are as follows: sectarian divisions, illiteracy, and poor hygiene making them vulnerable to disease. They are ruled by unjust dictatorships, there is poor infrastructure, general disorderliness, where rules of the Koran are almost never put into practice. They exist in a state of near economic collapse, poverty, and retrogression. The military is weak, and weapons employed are out-of-date or obsolete. Women's right are commonly violated.
What the book recommends corresponds closely with British and then American covert strategy in the Third World into the twentieth century. It recommends, in order to undermine the Muslims' strong points, to popularize their other shortcomings, according to the following methods: foment discord and publish literature to further incite controversies. Obstruct education, and encourage forms of otherworldliness like mystical Sufism. Encourage oppressiveness among emperors. Encourage secularism, or the need to separate religion from state affairs. Aggravate economic decline through sabotage. Accustom statesmen to such indulgences as sex, sports, alcohol, gambling, and interest banking. Then, in order to make the new generation hostile towards their rulers and scholars, expose them for their corruption.
In order to spread the misconception that Islam is chauvinistic towards women, they must encourage the misinterpretation of the verse in the Koran which state, "Men are dominant over women," and the saying, "The woman is altogether evil." Most importantly, they ought to introduce fanaticism among Muslims, and then criticize Islam as a religion of terror.
The means of popularizing these vices were determined as having spies appointed as aides to Islamic statesmen, or passed off as slaves and concubines to be sold to their close relatives. Missionary projects are to be carried out in order to penetrate into all social classes of the society, especially into such professions as medicine, engineering, and bookkeeping. The publication of propaganda was to be issued using as fronts churches, schools, hospitals, libraries and charitable institutions in the Islamic countries. Millions of Christian books were to be distributed free of charge. Spies were to be disguised as monks and nuns, and placed in churches and monasteries, and appointed leaders of Christian movements.
Eventually, the British administrators decided to come straight with Abdul Wahhab about their intentions for him. He agreed to cooperate, but on certain terms. Stipulations were that he was to be supported with adequate financing and weaponry, to protect himself against states and scholars who would certainly attack him after he would announce his ideas. And, that a principality ought to be established in his native country of Arabia.
Finally, Hempher joined Abdul Wahhab in Najd, who was imparted with the obligations of declaring all Muslims, that is, all who did not follow him, as disbelievers, and announce that it is permitted to kill them, to seize their property, to violate their chastity, and to enslave them and sell them at slave markets. He was to discourage Muslims from obeying the Sultan in Istanbul, and provoke revolt against him. He is to allege that all sacred sites and relics are idols, and that respect of them is tantamount of polytheistic and apostasy, and that they ought to be demolished. He is to do his best to produce occasions for insulting the Prophet Muhammad, his Khalifas, and all prominent scholars of Madhhabs, differing schools of legal interpretation. Finally, he was to do his utmost to encourage insurrections, oppressions and anarchy in Muslim countries.
Ultimately, the reforms issued by the British through the mouth of Abdul Wahhab were designed to instigate the Muslims against other Muslims, and more specifically, against the Ottoman Empire. Thus, despite the very grave problems that were plaguing the Muslim world, as well and the encroachment of non-Muslim powers on traditional Muslim lands, Abdul Wahhab sought to identify the ills troubling the Muslims, in according to the stipulations of the plan, as their practice of visiting mausoleums and asking intercession from "saints", or deceased holy men.
Muslim worshippers were often in the habit of visiting the graves of holy men, and asking them to pray on their behalf. To fulfill his obligation to the British, Abdul Wahhab used this pretext to argue that, by asking help from someone other than God, they were actually "worshipping" these holy men, and were ignorantly committing an act of idolatry that caused them to forfeit Islam and become apostates. It was then permitted, he argued, to fight them. This was the pretext used by the British, through the mouth of Wahhabi, to incite the Arabs against the Turks.
To further his argument, Wahhab suggested that all the world of Islam was mired in a state of ignorance, which could be likened to Arabia prior to the arrival of Islam. There are several instances in the Koran where God calls attention to the hypocrisy of a man who will pray to God alone when he is faced with some calamity, but that, once he is free of distress, returns to his idols. Abdul Wahhab declared then, that the Muslims were similar, and that, despite otherwise insisting they were worshipping the one God, they were nevertheless also idol worshippers. Thus, Abdul Wahhab fulfilled the prophecy of the Prophet Mohammed, who warned there would come a group who would "transfer the Koranic verses meant to refer to unbelievers and make them refer to believers."
Ibn Taymiyyah
 Mongol siege of Baghdad Finally, Abdul Wahhab declared it incumbent upon his followers to wage "Jihad" against all the Muslims, and that it was permitted for them to enslave their women and children. This approach was derived from the influence of Ibn Taymiyyah, who remains to this day an important influence guiding the principles of Islamic terrorism. It is strange that, of all the Muslim scholars throughout history that he could have chosen from, that Wahhab, and all modern Muslim "reformers" after him, emphasize the importance of Ibn Taymiyyah, whose orthodoxy was questionable, and who in his own time was repeatedly in conflict with the leading scholars and the ruling establishment.
Ibn Taymiyyah's life was marked by persecutions. As early as 1293, he came into conflict with local authorities for protesting a sentence, pronounced under religious law, against a Christian accused of having insulted the Prophet. In 1298, he was accused of having criticized the legitimacy of the Islamic scholarly establishment, and of anthropomorphism, or ascribing human characteristics to God, despite a tradition in Islam of avoiding all such allusions. Ibn Battuta, the famous traveler and chronicler, reported that while Ibn Taymiyyah was preaching in the mosque, he said, "God comes down to the sky of this world just as I come down now," and descended one step of the pulpit.[4]
Opinions about Ibn Taymiyyah varied considerably. Even his enemies, like Taqi ud Din al Subki, were ready to concede to his virtues: "Personally, my admiration is even greater for the asceticism, piety, and religiosity with which God has endowed him, for his selfless championship of the truth, his adherence to the path of our forbearers, his pursuit of perfection, the wonder of his example, unrivalled in our time and in times past."[5] And yet, he was chided by one of his own students, the famous historian and scholar, Al Dhahabi, who said, "Blessed is he whose fault diverts him from the faults of others! Damned is he whom others divert from his own faults! How long will you look at the motes in the eyes of your brother, forgetting the stumps in your own?"[6] It was for his intemperance that Ibn Battuta declared that Ibn Taymiyyah had a "screw loose".[7]
During the great Mongol crisis of the years 1299 to 1303, and especially during their occupation of Damascus, Ibn Taymiyyah led a party of resistance, and denounced the faith of the invaders which he considered suspect, despite their conversion to Islam. Until the Mongol invasion, Ibn Taymiyyah had lived in Harran, the seat of the occult Sabian community, and may have come under their influence. Their texts expounded on anthropomorphic visions of the cosmic Adam, in a manner similar to the Kabbalistic idea of Shiur Khomah. During the ensuing years, Ibn Taymiyyah was also engaged in intensive polemical activity against the Sufis and Shiah. In 1306, however, he was summoned to explain his beliefs to the governor's council, which, although it did not condemn him, sent him to Cairo. There, Ibn Taymiyyah appeared before another council on the charge of anthropomorphism, and was imprisoned for eighteen months.
If he adhered to such ideas, as was customary among Ismailis, he shared them only secretly with select disciples advanced to higher grades. Abu Hayyan, who knew him personally, held him in great esteem, until he was introduced to a work, in which Ibn Taymiyyah offered anthropomorphic descriptions of God.[8] The book had been acquired deceptively by a man who had pretended to be among his supporters, in order to receive the instructions that Ibn Taymiyyah reserved only for his inner-circle of initiates. This demonstrates that Ibn Taymiyyah had one doctrine he espoused in public, and more esoteric doctrine he confided only to initiates, a doctrine similar to occult ideas.
Ibn Taymiyyah's repudiation of praying to saints was perceived by him as an attempt to purify Islamic monotheism. The pillar of Islamic belief is the unity of God, or monotheism. Islam began as a message that confronted the paganism of the Arabs, and called for a return to the worship of the one God, the same worshipped by the Prophets of the Old Testament. Therefore, worshipping any being or object other than God was considered tantamount to apostasy. This idea Abdul Wahhab carried to the extreme.
The Saudi Family
 Ruins of DariyahEventually, the British Ministry of Commonwealth managed to acquire for Wahhab the support Mohammad Ibn Saud, the Amir of Dariyah. It was agreed between them that, from then on, power would be held among their descendants, with the Saudis maintaining political authority, and the Wahhabis administering the cult. The Saudis are an important Illuminati family, being secret Jews, like their Doenmeh counterparts in Turkey. According to Mohammad Sakher, who was apparently ordered killed for publishing his findings, Ibn Saud, though pretending to defend the reforms of Abdul Wahhab, was of Jewish origin. In the fifteenth century, Sakher maintains, a Jewish merchant from Basra, named Mordechai, immigrated to Arabia, settling in Dariyah, where he claimed to belong to the Arabian tribe of the Aniza, and there assumed the name of Markan bin Dariyah.[9]
The Aniza tribe, to which the Saudis belong, as well as the ruling Sabah family of Kuwait, originally issued from Khaybar in Arabia, and there are well documented traditions about descendants of Jews from the region, who were supposedly forcibly converted to Islam. More specifically, according to modern occult legend, the Aniza are regarded as being the source of the European Witch Cult, through the person of Abu el-Atahiyya. These legends were popularized by Gerald Gardner, the founder of the modern cult of Wicca. Gardner was also a close associate of Aleister Crowley, as well as a Co-Freemason, the irregular branch of French masonry, co-founded by Annie Besant, which admits women to the 33rd degree.
Gardner was also the friend and teacher of notorious charlatan Idries Shah, whose book on Sufism is disguised Luciferianism. Idries Shah described the "Maskhara" Dervishes who were also known as the "Revellers" and the "Wise Ones", whose leader was Abu el-Atahiya. The name Aniza, he maintains, means goat and el-Atahiya was commemorated by the "Revellers" with the symbol of a torch burning between the horns of a goat, in obvious allusion to the Baphomet of the Templars. After Atahiya's death, a group of his followers migrated to Moorish Spain.[10]
In the early eighteenth century, the Aniza had entered the Syrian Desert where they established themselves as a powerful and influential tribe. German traveller Carlsten Niebuhr referred to them in 1761 as the strongest tribe in the Syrian Desert. Today the Aniza remain one of the largest Arabian tribes, having branches in Jordan, Saudi Arabia and Kuwait.
The Saudi family was primarily engaged in banditry. This pitted them in conflict against the Ottoman state. This, however, notes Schwartz, "also created a propensity for them to ally with the British, who were then taking control of the richer and more valuable parts of the Arabian Peninsula: the coastal emirates from Kuwait to Aden."[11] By declaring them all apostates, in 1746, the Wahhabi Saudi alliance made a formal proclamation of "Jihad" against all who did not share their understanding of Islam, thus legalizing their former practice of pillaging.
In Islam, it is a very serious charge to accuse another Muslim of apostasy. A tradition claims that when one makes such an accusation, then surely either the accused or the accuser is an apostate. Such a dire warning did not deter Abdul Wahhab from declaring all those outside of his reforms as unbelievers.
In 1746, even before he had aligned himself with Ibn Saud, Abdul Wahhab sent a thirty-man delegation to the Sharif of Mecca, to seek permission for he and his followers to perform the Hajj pilgrimage. The Sharif discerned an ulterior motive, of his desire to exploit the opportunity to disseminate his heresy, and therefore organized a debate between them and the scholars of Mecca and Medina. Abdul Wahhab's emissaries failed to defend their views, and the Qadi, or chief judge, of Mecca, instead pronounced them unbelievers, declaring that they had been unjustified in declaring others as such.[12]
The Arabian Peninsula
From then on, the Wahhabi movement was characterized by maliciousness towards the Muslims, despite the encroachments the "infidel" British were making in the region. Motivated by a concern for their Indian enterprise, in 1755 Britain made an initial but unsuccessful attempt to pry Kuwait from the Ottomans. Ten years later, Mohammed Ibn Saud died and his son Abul Aziz became ruler of Dariyah. During the following two decades, the Wahhabis extended their sphere of influence, paralleling infiltration by the British. Britain again moved against Kuwait in 1775, seeking protection for their mail service through the territory, and attempted unsuccessfully again to seize it, when they were defeated by the Ottomans.
Nevertheless, the following year, Abdul Wahhab declared himself leader of the Muslims of the world, in direct opposition to the authority of the Sultan in Istanbul, reinforced by a Fatwa ordering "Jihad" against the Ottoman Empire. And, significantly, in 1788, Abdul Aziz ibn Saud was joined by British forces in occupying Kuwait. In 1792, Abdul Wahhab died, and Abdul Aziz assumed the leadership of the Wahhabi movement, and extended raids over the next three years into the city of Medina, and the regions of Syria and Iraq. In 1801, the Wahhabis attacked the Shiah holy city of Karbala, in Iraq, slaughtering thousands of its citizens. They ruined and looted the tomb of Husayn, the grandson of the Prophet Mohammed. As a result, it seems that Abdul Aziz was murdered in 1803, most likely by a Shiah avenger. His son Saud ibn Abdul Aziz then succeeded him. After sacking Karbala, the Wahhabis moved against Mecca. The Ottoman governor of Mecca failed to negotiate a peace, and retreated into the fortress in the city of Ta'if, where he was pursued by some 10,000 Wahhabis
In the taking of Ta'if, the Wahhabis then set about destroying all the holy tombs and burial grounds, followed by the mosques and Islamic madrassas. It is even said that the leather and gilt bindings of the Islamic holy books they had destroyed were used by them to make sandals. Al Zahawi, an Islamic historian of the time, recounted:
They killed everyone in sight, slaughtering both child and adult, the ruler and the ruled, the lowly and the well-born. They began with a suckling child nursing at his mother's breast and moved on to a group studying Koran, slaying them, down to the last man. And when they wiped out the people in the houses, they went out into the streets, the shops, and the mosques, killing whoever happened to be there. They killed even men bowed in prayer until they had exterminated every Muslim who dwelt in Ta'if and only a remnant, some twenty or more, remained.
These were holed up in Bait al Fitni with ammunition, inaccessible to the Wahhabis' approach. There was another group at Bait al Far numbering 270, who fought them that day, then a second and third day, until the Wahhabis sent them a guarantee of clemency; only they tendered this proposal as a trick. For when the Wahhabis entered, they seized their weapons and slew them to a man. They induced others to surrender with a guarantee of mercy and took them to the valley of Waj where they abandoned them in the cold and snow, barefoot, naked and exposed in shame with their women, accustomed to the privacy afforded them by common decency and religious morality. They then plundered their possessions, wealth of any kind, household furnishings, and cash.
They cast books into the streets, alleys, and byways to be blown to and fro by the wind, among which could be found copies of Koran, volumes of Bukhari, Muslim, other canonical collections of Hadith and books of Islamic jurisprudence, all mounting to the thousands. These books remained there for several days, trampled upon by the Wahhabis. None among them made the slightest attempt to remove even one page of Koran from underfoot to preserve it from the ignominy of this display of disrespect. Then, they razed the houses, and made what was once a town a barren waste.
 Mohammed Ali Pasha Next, the Wahhabis entered the holy city of Mecca. Ghalib, the Sharif of the city, repelled them, but Wahhabi raids then turned against Medina. Saud ibn Abdul Aziz addressed the people saying, "there is no other way for you than to submit. I will make you cry out and vanish as I did the people of Ta'if." In Medina, they looted the Prophet's treasure, including books, works of art, and other priceless relics that had been collected over a thousand years. Finally, while in control of these two holy cities, they imposed their version of Islam, barred pilgrims from performing the Hajj, covered up the Kabbah with a rough black fabric, and set about the demolition of shrines and graveyards.
Wahhabi perniciousness against the Ottoman Empire continued to serve British interests. During this period, Britain acquired as a client in southeast Arabia, the state of Oman, with sovereignty over Zanzibar in Africa and parts of the Iranian and neighboring coasts. Britain also expanded its influence northward into the area of the United Arab Emirates. The British also eventually seized control of Aden, on the southern coast of Yemen. Despite these encroachments into Muslim lands, by a hostile non-Muslim power, the Wahhabis would let nothing distract them from their "Jihad" against Islam.
The Wahhabis persisted in their violence in Arabia until 1811, when Mohammed Ali Pasha, the viceroy of Egypt, was engaged by the Ottoman Sultan to address the Wahhabi nuisance. He appointed his son Tosun Pasha commander, but his forces were badly defeated. Ali Pasha then assumed command, and in 1812, swept through Arabia, eradicating the Wahhabi problem. Two of the worst Wahhabi fanatics, Uthman ul Mudayiqi and Mubarak ibn Maghyan, were sent to Istanbul, paraded through the streets, until they were executed.
Ali Pasha also sent troops under his second son, Ibrahim Pasha, to root the Wahhabis out of Syria, Iraq and Kuwait. Those Arabs that had suffered at the hands of the Wahhabis rose in revolt, joining Ali Pasha's forces. In 1818, the Wahhabi stronghold of Dariyah was taken and destroyed, though some of the Saudis received protection from the British in Jeddah. Saud ibn Adbul Aziz had died of fever in 1814, but his heir, Abdullah ibn Saud, was sent to Istanbul, where he was executed along with other captured Wahhabis. The rest of the Wahhabi clan was held in captivity in Cairo. Despite their initial defeat, the Wahhabis regrouped in Najd, establishing a new capital in Riyad. Within a few decades, the Wahhabis began a renewed expansion which, as noted by Hamid Algar, "was fortuitous in that it ultimately brought the Sauds into contact with the British who were not only seeking to consolidate their dominance of the Persian Gulf but also beginning to lay plans for the dismemberment of the Ottoman State."
Footnotes:
[1] Two Faces of Islam, p. 74.
[3] p. 12-13.
[4] Rihla, quoted from Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", Studia Islamica xli (1975). p. 95.
[5] quoted from Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", p. 100
[6] al Nasiha al Dhahabiyya li Ibn Taymiyya, quoted from Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", p. 100
[7] Rihla, quoted from Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose". p. 95.
[8] Nuh Ha Mim Keller, The Re-Formers of Islam. "Question 3 Re-Forming Classical Texts".
[11] Two Faces of Islam, p. 82.
[12] Algar, Hamid. Wahhabism: A Critical Essay, p. 23.
[13] Ibid, p. 86.
[14] Ibid, p. 37.

Peran "Lawrence Of Arabia" di Balik Berdirinya Kerajaan Saudi

Menurut logika yang sehat, seharusnyalah Kerajaan Saudi Arabia menjadi pemimpin bagi Dunia Islam dalam segala hal yang menyangkut keIslaman. Pemimpin dalam menyebarkan dakwah Islam, sekaligus pemimpin Dunia Islam dalam menghadapi serangan kaum kuffar yang terus-menerus melakukan serangan terhadap agama Allah SWT ini dalam berbagai bentuk, baik dalam hal Al-Ghawz Al-Fikri (serangan pemikiran dan kebudayaan) maupun serangan Qital.

Seharusnyalah Saudi Arabia menjadi pelindung bagi Muslim Palestina, Muslim Afghanistan, Muslim Irak, Muslim Pattani, Muslim Rohingya, Muslim Bosnia, Muslim Azebaijan, dan kaum Muslimin di seluruh dunia. Tapi yang terjadi dalam realitas sesungguhnya, mungkin masih jadi pertanyaan banyak pihak. Karena harapan itu masih jauh dari kenyataan.
Craig Unger, mantan deputi director New York Observer di dalam karyanya yang sangat berani berjudul "Dinasti Bush Dinasti Saud" (2004) memaparkan kelakuan beberapa oknum di dalam tubuh kerajaan negeri itu, bahkan di antaranya termasuk para pangeran dari keluarga kerajaan.
"Pangeran Bandar yang dikenal sebagai ‘Saudi Gatsby' dengan ciri khas janggut dan jas rapih, adalah anggoa kerajaan Dinasti Saudi yang bergaya hidup Barat, berada di kalangan jetset, dan belajar di Barat. Bandar selalu mengadakan jamuan makan mewah di rumahnya yang megah di seluruh dunia. Kapan pun ia bisa pergi dengan aman dari Arab Saudi dan dengan entengnya melabrak batas-batas aturan seorang Muslim. Ia biasa minum Brandy dan menghisap cerutu Cohiba, " tulis Unger.
Bandar, tambah Unger, merupakan contoh perilaku dan gaya hidup sejumlah syaikh yang berada di lingkungan kerajaan Arab Saudi. "Dalam hal gaya hidup Baratnya, ia bisa mengalahkan orang Barat paling fundamentalis sekali pun. "
Bandar adalah putera dari Pangeran Sultan, Menteri Pertahanan Saudi. Dia juga kemenakan dari Raja Fahd dan orang kedua yang berhak mewarisi mahkota kerajaan, sekaligus cucu dari (alm) King Abdul Aziz, pendiri Kerajaan Saudi modern.
Bukan hanya Pangeran Bandar yang begitu, beberapa kebijakan dan sikap kerajaan terakdang juga agak membingungkan. Siapa pun tak kan bisa menyangkal bahwa Kerajaan Saudi amat dekat-jika tidak bisa dikatakan sekutu terdekat-Amerika Serikat. Di mulut, para syaikh-syaikh itu biasa mencaci maki Zionis-Israel dan Amerika, tetapi mata dunia melihat banyak di antara mereka yang berkawan akrab dan bersekutu dengannya.
Barangkali kenyataan inilah yang bisa menjawab mengapa Kerajaan Saudi menyerahkan penjagaan keamanan bagi negerinya-termasuk Makkah dan Madinah-kepada tentara Zionis Amerika.
Bahkan dikabarkan bahwa Saudi pula yang mengontak Vinnel Corporation di tahun 1970-an untuk melatih tentaranya, Saudi Arabian National Guard (SANG) dan mengadakan logistik tempur bagi tentaranya. Vinnel merupakan salah satu Privat Military Company (PMC) terbesar di Amerika Serikat yang bisa disamakan dengan perusahaan penyedia tentara bayaran.
Ketika umat Islam dunia melihat pasukan Amerika Serikat yang hendak mendirikan pangkalan militer utama AS dalam menghadapi invasi Irak atas Kuwait beberapa tahun lalu, maka hal itu tidak lepas dari kebijakan orang-orang yang berada dalam kerajaan tersebut.
Langkah-langkah mengejutkan yang diambil pihak Kerajaan Saudi tersebut sesungguhnya tidak mengejutkan bagi yang tahu latar belakang berdirinya Kerajaan Saudi Arabia itu sendiri. Tidak perlu susah-sudah mencari tahu tentang hal ini dan tidak perlu membaca buku-buku yang tebal atau bertanya kepada profesor yang sangat pakar.
Pergilah ke tempat penyewaan VCD atau DVD, cari sebuah film yang dirilis tahun 1962 berjudul ‘Lawrence of Arabia' dan tontonlah. Di dalam film yang banyak mendapatkan penghargaan internasional tersebut, dikisahkan tentang peranan seorang letnan dari pasukan Inggris bernama lengkap Thomas Edward Lawrence, anak buah dari Jenderal Allenby (jenderal ini ketika merebut Yerusalem menginjakkan kakinya di atas makam Salahuddin Al-Ayyubi dan dengan lantang berkata, "Hai Saladin, hari ini telah kubalaskan dendam kaumku dan telah berakhir Perang Salib dengan kemenangan kami!").
Film ini memang agak kontroversial, ada yang membenarkan namun ada juga yang menampiknya. Namun produser mengaku bahwa film ini diangkat dari kejadian nyata, yang bertutur dengan jujur tentang siapa yang berada di balik berdirinya Kerajaan Saudi Arabia.
Konon kala itu Jazirah Arab merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, sebuah kekhalifahan umat Islam dunia yang wilayahnya sampai ke Aceh. Lalu dengan bantuan Lawrence dan jaringannya, suatu suku atau klan melakukan pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan kerajaan yang terpisah, lepas, dari wilayah kekhalifahan Islam itu.
Bahkan di film itu digambarkan bahwa klanSaud dengan bantuan Lawrence mendirikan kerajaan sendiri yang terpisah dari khilfah Turki Utsmani. Sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, di dalam tulisannya "Lawrence of Arabia was a Zionist" seperti yang dimuat di Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007, menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme.
Sejarah pun menyatakan, hancurnya Kekhalifahan Turki Utsmani ini pada tahun 1924 merupakan akibat dari infiltrasi Zonisme setelah Sultan Mahmud II menolak keinginan Theodore Hertzl untuk menyerahkan wilayah Palestina untuk bangsa Zionis-Yahudi. Operasi penghancuran Kekhalifahan Turki Utsmani dilakukan Zionis bersamaan waktunya dengan mendukung pembrontakan Klan Saud terhadap Kekalifahan Utsmaniyah, lewat Lawrence of Arabia.
Entah apa yang terjadi, namunhingga detik ini, Kerajaan Saudi Arabia, walau Makkah al-Mukaramah dan Madinah ada di dalam wilayahnya, tetap menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat. Mereka tetap menjadi sahabat yang manis bagi Amerika.
Selain film ‘Lawrence of Arabia', ada beberapa buku yang bisa menggambarkan hal ini yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Antara lain:
Wa'du Kissinger (Belitan Amerika di Tanah Suci, Membongkar Strategi AS Menguasai Timur Tengah, karya DR. Safar Al-Hawali-mantan Dekan Fakultas Akidah Universitas Ummul Quro Makkah, yang dipecat dan ditahan setelah menulis buku ini, yang edisi Indonesianya diterbitkan Jazera, 2005)
Dinasti Bush Dinasti Saud, Hubungan Rahasia Antara Dua Dinasti Terkuat Dunia (Craig Unger, 2004, edisi Indonesianya diterbitkan oleh Diwan, 2006)
Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia (George Lenczowski, 1992)
History oh the Arabs (Philip K. Hitti, 2006)
Sebab itu, banyak kalangan yang berasumsi bawah berdirinya Kerajaan Saudi Arabia adalah akibat "pemberontakan" terhadap Kekhalifahan Islam Turki Utsmani dan diback-up oleh Lawrence, seorang agen Zionis dan bawahan Jenderal Allenby yang sangat Islamofobia. Mungkin realitas ini juga yang sering dijadikan alasan, mengapa Arab Saudi sampai sekarang kurang perannya sebagai pelindung utama bagi kekuatan Dunia Islam, wallahu a'lam. (Rz)

Penghancuran Situs-situs Sejarah Oleh Kaum Wahhabi Saudi


saudi-miras
Oleh: Syaikh Hisyam Kabbani
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah pembangunan Bayt al-Maqdis di Yerusalem dan penghancuran Yatsrib (Madinah). Sebuah hadits dari Mu’âdz ibn Jabal, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata (bahwa di antara tanda-tanda akhir zaman adalah), “Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, penghancuran Yatsrib dan penghancuran Yatsrib, munculnya pembantaian dan pertempuran dahsyat atau pertikaian berdarah, penaklukan Konstantinopel dan kemunculan Dajjal.
 Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menepuk paha Mu’âdz sambil berkata, “Sungguh, itu merupakan kebenaran, seperti halnya kenyataan bahwa kamu sedang duduk saat ini.”
 yatsribKita mungkin akan berpikir bahwa untuk membangun Yerusalem (Al-Quds) berarti membangun gedung-gedung tinggi beserta tampilan peradabannya yang bisa kita saksikan saat ini, dan bahwa di Madinah tidak akan ada “peradaban” semacam itu.

 Namun, di Madinah telah dibangun gedung-gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel, terowongan-terowongan menuju masjid, dan perluasan masjid. Semua ini tampaknya bertolak belakang dengan hadits yang menyebutkan bahwa Madinah akan hancur.
Ketika kita cermati hadits itu lebih dalam, kita melihat bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak menyebutkan bahwa seluruh kota Yerusalem akan dibangun, tetapi Bayt al-Maqdis akan diperbaiki. Al-Quds mencakup seluruh Yerusalem, dan Bayt al-Maqdis adalah kawasan suci tempat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam naik ke langit dalam rangka Isra’ dan Mi’raj.
Ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak mencakup seluruh bangunan di Yerusalem, seperti yang disebutkan dalam hadits, “pemugaran kembali Bayt al-Maqdis,” yang secara khusus menyebutkan bayt (rumah) untuk menekankan bangunan yang akan dipelihara dan dipugar, termasuk bangunan di sekelilingnya, seperti monumen dan benda-benda sejarah.
 Kawasan tersebut telah dijaga selama berabad-abad, dan dipelihara dalam bentuknya yang asli.  Melalui pengetahuannya yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah melukiskan peristiwa itu 1400 tahun yang lalu. Seperti yang disebutkan terdahulu, situasi Madinah saat ini, dengan bangunan-bangunannya modern, tampak bertolak belakang dengan hadits yang menyebutkan bahwa Madinah akan mengalami penghancuran.
 al-aqshaNamun, dengan pencermatan yang lebih saksama, kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam secara khusus menyebutkan bahwa Yatsrib, bukan Madinah, akan dirusak.
Pernyataan Nabi yang sangat akurat itu mengungkapkan makna yang bisa dipahami dalam konteks modern. Yatsrib adalah kota Nabi tempat munculnya cahaya pengetahuan yang menyinari dunia. Ia merupakan tempat berdirinya pemerintahan Islam yang pertama, dan sumber banyak prestasi para sahabat.
Kharâb Yatsrib berarti bahwa peradaban kota tua Madinah (yang dulu dikenal dengan nama Yatsrib) akan rusak. Dampaknya adalah bahwa segala peninggalan klasik dan tradisional dalam Islam akan dihancurkan pada masa-masa sebelum datangnya Kiamat.
PENGRUSAKKAN BANGUNAN MONUMENTAL ISLAM OLEH KAUM WAHHABI
Pengrusakkan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebarkan versi Islam dengan pemahaman yang dangkal, yang mendiskreditkan dan meremehkan tradisi-tradisi klasik. Kini, kita menyaksikan kemunculan sekelompok orang yang menentang setiap aspek Islam tradisional, Islam arus utama, yang telah dipelihara oleh umat Islam selama lebih dari 1400 tahun. Kelompok tersebut ingin mengubah seluruh pemahaman keagamaan dengan menawarkan Islam “modernis” mereka.
 jabal-uhudOrang-orang tersebut merupakan kelompok minoritas di tubuh umat Islam.  Gagasan-gagasan mereka yang penuh penyimpangan telah disanggah dan ditolak dari berbagai sisi oleh para ulama Islam, seperti yang telah banyak ditulis orang. Tidak ada yang namanya Islam itu dimodernkan, diperbaiki, ataupun dibenahi.  Islam adalah agama yang sempurna, sejak pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hingga Hari Kiamat.
 Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan atasmu nikmatku, dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah 5:3)
 Islam adalah pesan terakhir dan pastilah mampu mengakomodasi semua kehidupan manusia hingga akhir masa.  Islam dapat merangkul semua jenis kebudayaan tanpa sedikit pun menambah atau mengurangi makna Islam itu sendiri.  Oleh karena itu, tidak ada reformasi, renovasi, penambahan, atau pengurangan dalam Islam.
 Sementara Islam sendiri tidak mengenal reformasi, orang-orang Islam sendiri-lah yang perlu mereformasi diri sehingga mereka dapat memahami dan melaksanakan Islam dengan benar.  Dalam kesempurnaannya, Islam mirip dengan bulan purnama: bulatnya tidak kurang dan tidak lebih.
 Kharâb (Penghancuran) Yatsrib disebutkan 2 kali dalam hadits di atas. Kali pertama adalah penghancuran peradaban pengetahuan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yaitu pengrusakan agama dalam bentuk penyimpangan terhadap pesan-pesan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
 Mereka (kaum Wahhabi) yang mengklaim diri sebagai “pembaharu Islam” berusaha menyuguhkan hal-hal baru untuk menggantikan dan menghapus hal-hal klasik dan tradisional dalam Islam.
 Aliran Wahhabi inilah yang pertama kali mengajukan pemahaman yang sepenuhnya baru tentang Islam, dengan kedok “pemurnian” Islam.
 Ideologi Wahhabisme ini telah merusak Islam tradisional atas nama “pemurnian” Islam, seakan-akan semua orang Islam sebelum munculnya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb telah tersesat.
 khandaq1Alih-alih membawa pemurnian, ia justru telah menghancurkan ilmu-ilmu dan praktik keislaman yang telah berakar selama berabad-abad. Semua hal yang telah diwariskan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan generasi Islam sepeninggal beliau tiba-tiba dicap sebagai bentuk penyembahan berhala (syirik) yang harus dimusnahkan.
 Orang-orang Islam yang melaksanakan ibadah haji dijejali dengan bahan-bahan bacaan dan propaganda mereka, sehingga para jemaah itu menganggap bahwa keyakinan dan praktik tradisional mereka bertentangan dengan Islam.  Sekte Wahhabi meragukan tradisi keilmuan yang telah berusia 1400 tahun, dan melontarkan tuduhan kufur, syirik, bidah, dan haram terhadap berbagai praktik dan pemahaman tradisional.
 Kerusakan pertama yang menimpa Yatsrib adalah ketika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menghancurkan ilmu-ilmu “keislaman” dengan cara meracuni pemahaman orang-orang Islam terhadap agama mereka.
 Ungkapan Kharâb Yatsrib yang kedua merujuk pada penghancuran fisik terhadap bangunan dan monumen yang berasal dari masa Nabi di Yatsrib, kota Madinah klasik. Di Madinah memang telah terjadi perluasan Masjidil Haram, tetapi kenyataan tersebut tidak bertolak belakang dengan ungkapan “Kharâb Yatsrib” karena hadits tersebut merujuk pada kota tua Madinah yang dikenal dengan Yatsrib, dan semua yang mewakilinya.
 Segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan Nabi telah dipelihara oleh orang-orang Islam selama bertahun-tahun, apakah masjid tua, benda-benda sejarah, atau makam rasul, para sahabat, istri, dan anak-anaknya.
 Meskipun orang-orang Islam selama berabad-abad sepakat bahwa situs-situs tersebut merupakan bagian penting dalam sejarah dan tradisi Islam, semuanya dihancurkan oleh aliran Wahhabi dengan menggunakan dalih bahwa “semua itu bukan lagi Islam”.
 Pemahaman mereka yang dangkal terhadap Islam mengakibatkan penghancuran sejumlah benda peninggalan sejarah dan monumen. Kharâb berarti “penghancuran,” tetapi kata ini juga bermakna peruntuhan.”
 Memang, kantong-kantong tradisi klasik masih ada, dan hendak dibangun kembali oleh umat Islam, tetapi mereka tidak diperkenankan membangunnya kembali, sehingga yang tersisa hanyalah reruntuhan dan puing-puing bangunan.
 Tidak ada lagi orang yang mengetahui lokasi kuburan para sahabat. Di Gunung Uhud dekat Madinah, kita bisa menyaksikan puing-puing bangunan yang awalnya merupakan makam yang dilengkapi dengan kubah dan hiasan-hiasan indah. Dengan makam yang terlihat jelas, bangunan suci itu mengenang para sahabat yang gugur bersama Hamzah di Gunung Uhud.
 Kini, hanya ada reruntuhan dinding yang diabaikan oleh para pengunjung.  Demikian pula halnya, sudah tidak ada lagi bekas-bekas yang menunjukkan makam para syuhada Badar. Juga, tidak ada lagi tanda kuburan istri Nabi, Khadîjah al-Kubrâ di Jannat al-Mu’ala, Mekah.
 Di Jannat al-Baqî’ (permakaman yang bersebelahan dengan makam dan Masjid Nabi di Madinah), makam ‘Utsmân, ‘Â’isyah dan sejumlah sahabat telah dipelihara oleh penguasa ‘Utsmani hingga awal abad ke-20, namun jejak-jejaknya kini telah dihilangkan. Hal itu merupakan pengrusakan fisik terhadap peradaban Islam yang ada sejak Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tinggal di Yatsrib.
 makam-nabi2Dengan perlahan-lahan dan diam-diam, para pengikut sekte Wahhabi telah melenyapkan semua hal yang terkait dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Islam tradisional, sehingga saat ini nyaris tak tersisa. Di samping Ka’bah di Mekah al-Mukarramah terdapat Maqâm Ibrâhîm, yang memuat jejak kaki Nabi Ibrâhîm ketika beliau membangun Ka’bah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
 “Dan ingatlah ketika Kami menjadikan Baitullah sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian Maqâm Ibrâhîm sebagai tempat shalat.” (QS al-Baqarah 2:125)
 Meskipun demikian, otoritas keagamaan Wahhabi atau salafi di Mekah pernah mencoba melenyapkan Maqâm Ibrâhim. Itu terjadi pada masa almarhum Syekh Mutawallî al-Sya’râwî dari Mesir yang memberi tahu Raja Faisal tentang rencana mereka, sehingga raja memerintahkan mereka agar membiarkan Maqâm Ibrâhîm di tempatnya semula.
 Raja berdiri menentang mereka dalam persoalan serius itu, tetapi banyak kejadian serupa di mana beliau hampir mustahil menahan gelombang pengrusakan terhadap benda-benda peninggalan dan tradisi Islam. Hingga 1960-an, makam ayah Nabi di Madinah ditandai dengan tulisan di dinding sebuah rumah dekat Masjid Nabawi, tetapi tanda itu kini sudah lenyap.
 m-nabawi1Di Masjid Nabawi, semua dinding dan tiang masjid awalnya dihiasi dengan puisi-puisi pujian terhadap Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Para pengikut aliran Wahhabi kemudian menghilangkan hiasan-hiasan itu, baik dengan mengganti dinding marmer itu, atau menghapusnya hingga tidak terlihat lagi hiasan puisi yang tersisa.
 Satu-satunya hal yang tidak dapat mereka lenyapkan adalah tulisan di depan mimbar pada mihrab (tempat salat imam) yang berisi pujian kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallamdan 200 nama beliau. Pada tahun 1936, orang-orang Wahhabi bahkan berusaha memisahkan Masjid Nabawi dari makam Nabi, tetapi negara-negara Muslim bersatu menentang rencana tersebut dan berhasil menggagalkannya, sebuah keberhasilan yang sangat jarang terjadi.
 Di depan gerbang menuju makam Nabi (al-muwâjihâh al-syarîfah), pada awalnya terdapat tulisan: Yâ Allâh! Yâ Muhammad!
Pengikut aliran Wahhabi kemudian menghapus huruf yâ’ dalam ungkapan Yâ Muhammad, sehingga hanya tersisa huruf alif, Â Muhammad, atau Muhammad saja.
 Belakangan, mereka melangkah lebih jauh lagi dengan menempatkan kembali huruf yâ’ pada kata Yâ Muhammad, dan juga menambahkan titik di bawah huruf hâ’ sehingga menjadi huruf jim (ﺝ), dan menambahkan dua titik (di bawah huruf mîm) sehingga menjadi huruf yâ’. Dengan begitu, mereka telah mengubah nama Muhammad menjadi Majîd, salah satu asma Allah. Kini, tulisan tersebut menjadi: Yâ Allâh! Yâ Majîd! Persis seperti ketika melenyapkan makam para sahabat dan keluarga Nabi, mereka kini juga telah menghapus nama Nabi dari makamnya sendiri. Ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah telah memuliakan Nabi saw. dengan menempatkan nama beliau bersanding dengan nama-Nya dalam kalimat syahadat, Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûl Allâh.
 Khârab Yatsrib yang disebutkan 2 kali dalam hadits di atas telah terpenuhi.
 Pertama, dari segi ideologi oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb dan para pengikutnya. Dan kedua, dengan kerusakan fisik yang terus berlangsung terhadap sisa-sisa Islam tradisional. Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, yang hanya sekali disebut, juga sedang berlangsung.
 Ungkapan ‘Umrân Bayt al-Maqdis berarti pembangunan kembali peninggalan-peninggalan klasik di Yerusalem, sementara ungkapan Kharâb Yatsrib berarti penghancuran terhadap cara-cara dan peninggalan klasik di kota Yatsrib
kilroywink
 Kesaksian Penerjemah :
Saya hanya ingin menambahkan sedikit saja tentang kehancuran Kota Madinah, yang baru-baru saya saksikan secara langsung ketika mengunjungi kota Madinah Al-Munawwaroh 17-20 Juli 2005.
 Itung-itung cerita ini sebagai oleh-oleh dari Madinah ya…Dari segi kemajuan tekhnologi tata ruang bangunan dan interior sebuah kota, saya menilai Madinah sangat cantik dan modern serta memiliki kemajuan yang sangat pesat sekali, terutama bangunan-bangunan diseputar Masjid Nabawi dan tempat-tempat sekitar radius 5-10 kilometer dari Masjid Nabawi.
Namun dari sudut pandang sejarah, kota ini seakan-akan tidak memiliki lagi latar belakang sejarah kegemilangan Islam di masa lalu. Secara pribadi saya amat sangat menyayangkan situs-situs sejarah banyak yang dihilangkan oleh pemerintah KSA yang berfaham Wahhabi, seakan-akan kota ini ingin dirubah seperti newyork atau ala singapura. Perubahan ini terjadi dimulai sejak era tahun 1990-an, dimana kebetulan tahun 1993 saya juga pernah mengunjungi kota ini selama 9 hari.
 Perubahan yang terjadi dari hasil pengamatan saya adalah :
 1. Pemakaman syuhada baqi, kalau al-baqi2dulu tahun 1993 kita masih bisa ziarah dan memandang ke makam baqi dengan hanya berdiri seperti halnya bila kita berdiri diluar tempat pemakaman umum di Indonesia.
 Tapi perubahan yang sekarang adalah, pemakaman baqi tidak bisa dilihat atau diziarahi hanya dengan berdiri karena pemakaman itu sekarang sudah dikurung dengan tembok berlapis marmer setinggi kira-kira 6-10 meter tingginya, sehingga kalau kita mau berziarah dan melihat makam syuhada baqi harus menaiki anak tangga dulu sekitar 5 meter.
 Disamping itu kalau dulu kita bebas berziarah kapan saja waktunya sesuai dengan keinginan kita, tapi sekarang tidak sembarang waktu bisa kita lakukan, kecuali antara pkl 07.00 sampai pkl.8.30 pagi waktu setempat. walaupun kita terlambat 5 menit saja, jangan berharap anda bisa menaiki anak tangga karena diujung anak tangga sudah di tutup pintu besi setinggi 3 meter-an, dan bilamana sudah pkl.08.30 anda masih saja berada di atas sana, askar2 kerajaan akan segera menarik-narik badan anda untuk segera keluar dari sana. Jadi memang sekarang sangat dibatasi ruang maupun waktu dalam menziarahi maqam baqi ini.
 Dan yang mengenaskan saya adalah, dibawah tembok setinggi 6-10 meter itu sekarang sudah dibuat kios-kios kecil sebagai tempat usaha para pedagang menjajakan barang dagangannya.
 Entahlah… mungkin 15-20 tahun kedepan Maqam baqi mungkin sudah tidak ada lagi dan areal pemakamannya sudah dijadikan gedung pasar yang modern. Menurut penilaian saya, penutupan areal pemakaman dengan tembok setinggi 6-10 meter saat ini hanya sebagai awal saja, dengan maksud supaya orang tidak lagi secara bebas berziarah kesana, sehingga lama-kelamaan orang akan lupa untuk berziarah ke maqam Baqi ini. Akhirnya setelah orang melupakan areal ini, generasi berikut tak ada lagi yang mengetahui dimana areal pemakaman baqi, selanjutnya mungkin akan dijadikan gedung pertokoan, siapa tahu…?
 qiblatain2. Masjid Qiblatain, (masjid 2 kiblat), dulu tahun 1993 masjid ini memiliki 2 mimbar, satu menghadap Makkah, satu lagi menghadap Baytul Maqdis.Pada mimbar baytul maqdis tertulis dengan berbagai bahasa termasuk dalam bahasa indonesia, yang menceritakan bahwa mimbar ini sebelumnya digunakan sebagai mimbar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika shalat menghadap baqtul maqdis, namun setelah turun ayat (al-Isra..?) yang memerintahkan untuk merubah qiblat dari menghadap masjidil aqsha ke masjidil harom, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berpindah ke mimbar yang sekarang menghadap Masjidil harom (mimbar ke 2).Tapi sekarang ; mimbar yang menghadap Masjidil Aqso sudah dihilangkan sehingga tidak ada tanda lagi bahwa masjid ini memiliki 2 kiblat, sehingga sudah hilang nilai sejarahnya. “Masjid qiblatain” hanyalah tinggal sebuah nama saja, mimbarnya tinggal 1, sepantasnya namapun berubah menjadi Masjid Qiblat, karena mimbarnya hanya satu.
 3. Parit (Khandaq) – yang pernah digunakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk menghalau musuh dalam peperangan Khandaq atau Ahzab- pada tahun 1993 masih ada berupa gundukan tanah yang digali seperti lobang saluran air yang panjang, tapi kini Khandaq hanya tinggal nama, lokasinya sudah diuruk rata.
4. “Tanah basah” tempat dimana Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh pada perang Uhud, sekarang sudah ditutup dengan aspal yang tebal dan dijadikan lokasi parkir kendaraan. Tapi anehnya, walupun sudah dilapisi dengan aspal, aspalnya tetap basah hingga sekarang walaupun sudah 14 abad terpanggang sinar matahari. Konon tanah ini tetap menangis selama-lamanya karena ditumpahi darah. Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib ra, adalah seorang yang sangat gagah berani di medan Uhud, dan mati syahid dibunuh oleh budak Hindun, isteri Abu Sufyan, dan ibu dari Muawiyyah.
peta-nabawi-seputar5. Kota Madinah sebetulnya memiliki sebuah sumur abadi seperti halnya sumur zam-zam di Makkah, perbedaannya kalau sumur zam-zam itu asalnya adalah peninggalan Nabi Ibrahim AS, ketika Siti Hajar istrinya mencarikan air untuk memberi minum putranya Nabi Ismail AS.
Tapi kalau di Madinah adalah peninggalan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yang masih tetap mengeluarkan air hingga sekarang. Namanya adalah sumur “Tuflah”, lokasinya dipinggiran kota Madinah. Tuflah asal katanya berarti air ludah, konon kata kuncen penjaga sumur ini, sumur ini dibuat semasa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam perjalanan menuju kota Madinah, namun ketika itu kehabisan persediaan air.
Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan mu’jizatnya meludahi dengan air ludahnya sendiri suatu tempat di padang pasir yang gersang itu, dan saat itu juga tanah itu mengeluarkan air dan hingga sekarang dijadikan sebuah sumur yang airnya sangat jernih sejernih zam-zam, dan tetap mengalirkan air hingga sekarang. Saya mencoba minum dan berwudhu dari air sumur ini, memang terasa sangat nikmat bagaikan meminum air zam-zam.
Tapi sangat disayangkan, sumur ini sudah jelas sebagai peninggalan sejarah dimasa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tidak dilestarikan sama-sekali bahkan dibiarkan saja oleh Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia yang beraliran Wahhabi sehingga nampak kusam dan tidak terurus sama-sekali. Mungkinkah kaum Wahhabi tidak terlalu suka pada peninggalan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam?
Kata kuncen penjaga, kebanyakan orang-orang yang mengunjungi sumur ini adalah orang-orang Ahlus-Sunnah yang mencintai Ahlul-Bayt, termasuk Anda, Anda dari Indonesia?, katanya…Tapi maaf, disini anda tidak boleh berlama-lama melancong, karena setiap 2 jam sekali ada patroli dari Askar kerajaan dan mata-matanya (spionase) yang mengawasi orang-orang yang berkunjung kesini. Saya khwatir anda ditangkap oleh tentara Wahhabi. Maka bila anda sudah minum dan berwudhu silakan anda segera pergi dari sini.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger