Latest Post

Kitab Jurumiyyah

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 29 November 2011 | 20.02


مَتنُْ الآْجُرُّومِيَّةِ فِي اَلنَّحْوِ
للشيخ الصنهاجي
 بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيم 
قَالَ اَلمُْصَنِّفُ -رحمه اَللَّهُ -:
أَنْوَاعُ اَلْكَلاَمِ
اَلْكَلاَمُ : هو اَللَّفْظُ اَلمُْرَكَّبُ, اَلمُْفِيدُ بِالْوَضْع وَأَقْسَامُهُ ثَلاَثَةٌ : اسم وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ جَاءَ لمَِعْنًى
لَى, 8 نْ, وَعَ 8 ى, وَعَ 8 نْ, وَإِلَ 8 يَ مِ 8 فْضِ, وَهِ 8 رُوفِ اَلخَْ 8 لَّامِ, وَحُ 8 فِ وَال 8 ولِ اَلأَْلِ 8 تَّنْوِينِ, وَدُخُ 8 فض وَال 8 الخ 8 عْرَفُ ب Z مُ يُ Z الاِسْ Z فَ
وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءُ, وَالْكَافُ, وَاللَّامُ, وَحُرُوفُ اَلْقَسَمِ, وَهِيَ اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاء وَالْفِعْلُ يُعْرَفُ بِقَدْ, وَالسِّينِ وَسَوْفَ وَتَاءِ اَلتَّأْنِيثِ اَلسَّاكِنَة وَالحَْرْفُ مَا لاَ يَصْلُحُ مَعَهُ دَلِيلُ اَلاِسْمِ وَلاَ دَلِيلُ اَلْفِعْلِ .
بَابُ اَلإِْعْرَاب اَلإِْعْرَابُ هُوَ تغيير أَوَاخِرِ اَلْكَلِمِ لاِخْتِلاَفِ اَلْعَوَامِلِ اَلدَّاخِلَةِ عَلَيْهَا لَفْظًا أَوْ تَقْدِيرًا.
زْم 8 فْضُ, وَلاَ جَ 8 نَّصْبُ, وَالخَْ 8 عُ, وَال 8 رَّفْ 8 كَ اَل 8 نْ ذَلِ 8 مَاءِ مِ 8 لِلأَْسْ 8 زْمٌ, فَ 8 فْضٌ, وَجَ 8 صْبٌ, وَخَ 8 عٌ, وَنَ 8 عَةٌ رَفْ Z هُ أَرْبَ Z سَامُ Z وَأَقْ
فِيهَا, وَلِلأَْفْعَالِ مِنْ ذَلِكَ اَلرَّفْعُ, وَالنَّصْبُ, وَالجَْزْمُ, وَلاَ خَفْضَ فيها .
بَابُ مَعْرِفَةِ عَلاَمَاتِ اَلإِْعْرَاب لِلرَّفْعِ أَرْبَعُ عَلاَمَاتٍ : الضمة ، والواو وَالأَْلِفُ, وَالنُّون مِ, 8 سَّالِ 8 ثِ اَل 8 ؤَنَّ 8 مْعِ اَلمُْ 8 يرِ, وَجَ 8 مْعِ اَلتَّكْسِ 8 فْرَدِ, وَجَ 8 مِ اَلمُْ 8 وَاضِعَ فِي اَلاِسْ 8 عَةِ مَ 8 ي أَرْبَ 8 عِ فِ 8 لرَّفْ 8 لاَمَة لِ 8 تَكُونُ عَ 8 ضَّمَّةُ فَ Z ا اَل Z أَمَّ Z فَ
وَالْفِعْلِ اَلمُْضَارِعِ اَلَّذِي لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْء وكَ, 8 يَ أَبُ 8 مْسَةِ, وَهِ 8 مَاءِ اَلخَْ 8 ي اَلأَْسْ 8 مِ, وَفِ 8 سَّالِ 8 رِ اَل 8 ذَكَّ 8 مْعِ اَلمُْ 8 وْضِعَينِْ فِي جَ 8 ي مَ 8 عِ فِ 8 لرَّفْ 8 ة لِ 8 لاَمَ 8 تَكُونُ عَ 8 وَاوُ فَ Z ا اَلْ Z وَأَمَّ
وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَال وَأَمَّا اَلأَْلِفُ فَتَكُونُ عَلاَمَةً لِلرَّفْعِ فِي تَثْنِيَةِ اَلأَْسْمَاءِ خَاصَّة مِير 8 مْعٍ, أَوْ ضَ 8 مِيرُ جَ 8 ثْنِيَةٍ, أَوْ ضَ 8 مِيرُ تَ 8 هِ ضَ 8 ضَارِعِ, إِذَا اِتَّصَلَ بِ 8 فِعْلِ اَلمُْ 8 ي اَلْ 8 عِ فِ 8 لرَّفْ 8 ة لِ 8 لاَمَ 8 تَكُونُ عَ 8 نُّونُ فَ Z ا اَل Z وَأَمَّ
اَلمُْؤَنَّثَةِ اَلمُْخَاطَبَةِ .
Muqaddimah
بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ
Telah berkata pengarang kitab ini (As Syaikh As Shonhajy) rahimahullah :
Macam-macam Kalam
Al kalam adalah Lafadz yang tersusun yang berfaedah dengan bahasa arab. Kalam itu ada
tiga bagian : Isim, fi’il, dan huruf yang memiliki arti.
Isim itu dikenal dengan khafadh, tanwin, dan kemasukan alif dan lam. Dan huruf khafadh itu
adalah :
مِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءُ, وَالْكَافُ, وَاللَّام
dan huruf qasam (sumpah) yaitu waw, ba dan ta.
Fiil itu dikenal dengan huruf
قَدْ, وَالسِّينِ وَسَوْفَ وَتَاءِ اَلتَّأْنِيثِ اَلسَّاكِنَةِ (ta ta’nits yang mati) Huruf itu adalah sesuatu yang tidak sah bersamanya petunjuk isim dan petunjuk fi’il.
Bab Al I’rab
I’rab itu adalah berubahnya akhir-akhir kalimat karena perbedaan amil-amil yang masuk atasnya
baik secara lafadz atau taqdir. Bagian i’rab itu ada empat, yaitu rafa’, nashab, khofadh atau jar,
dan jazm.
Setiap isim itu bisa rafa’, nashab, khafad dan tidak bisa jazm
Setiap fi’il itu bisa rafa’, nashab, jazm, dan tidak bisa khofadh.
Bab Mengenal tanda-tanda I’rab
1. Bagi rafa’ itu ada empat tanda, yaitu dhammah, waw, alif dan Nun
Adapun Dhammah, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada empat tempat :
1. Pada Isim Mufrad,
2. Jama’ taktsir
3. Jama’ muannas salim, dan
4. fiil mudhari’ yang tidak bersambung di akhirnya dengan sesuatu
Adapun waw, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada dua tempat :
1. Pada jama’ mudzakkar salim, dan
2. Isim-isim yang lima yaitu
أَبُوكَ, وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَال Adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada isim-isim tatsniyyah yang tertentu
Adapun Nun maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada fi’il mudhari yang bersambung dengan
dhamir tatsniyah, dhamir jama’, dan dhamir muannats mukhatabah.
2. Bagi Nashab itu ada lima tanda, yaitu Fathah, alif, kasrah, ya, dan hadzfunnuun (membuang
nun).
Adapun fathah maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tiga tempat :
1. Pada Isim Mufrad
2. Jama’ taksir, dan
3. fi’il Mudhari apabila masuk atasnya amil yang menashobkan dan tidak bersambung di
akhirnya dengan sesuatupun
adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada isim-isim yang lima contohnya :
.aku melihat bapakmu dan saudaramu)dan apa-apa yang menyerupai contoh ini( رَأَيْتُ أَبَاكَ وَأَخَاكَ
Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada jama’ muannats salim
Adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tatsniyah dan jama’
Adapun Hadzfunnuun, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada fi’il-fi’il yang lima yang ketika
rafa’nya dengan tetap nun.
3. Bagi Khafadh atau jar itu ada 3 tanda, yaitu kasrah, ya, dan fathah.
Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
1. Isim Mufrad yang menerima tanwin
2. jama’ taksir yang menerima tanwin, dan
3. jama’ muannats salim
adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
1. Pada isim-isim yang lima
2. Isim Tatsniyah, dan
3. jama’
adapun fathah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada isim-isim yang tidak menerima
tanwin.
4. Bagi jazm itu ada 2 tanda, yaitu sukun dan al hadzfu (membuang).
Adapun sukun, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il yang shahih akhirnya
Adapun al hadzfu, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il mudhari yang mu’tal akhirnya
dan pada fi’il-fi’il yang ketika rafa’nya dengan tetap nun.
Fashl (pasal)
Yang di i'rab itu ada dua bagian : ada yang di i’rab dengan harkat (baris) dan ada yang di i’rab
dengan huruf.
Maka yang di i’rab dengan baris itu ada empat macam :
1. Isim Mufrad
2. Jama’ taktsir
3. Jama’ muannats salim, dan
4. Fi’il Mudhari’ yang tidak bersambung dengan akhirnya sesuatupun
Dan semuanya itu (yang di i’rab dengan baris) di rafa’kan dengan dhammah, dinashabkan dengan
fathah, dan dijazmkan dengan sukun. Dan keluar dari itu tiga hal; jama’ muannats salim
dinashabkan dengan kasrah, isim yang tidak menerima tanwin dijarkan (dikhafadhkan) dengan
fathah dan fi’il mudhari’ yang mu’tal akhirnya dijazmkan dengan membuang akhirnya
Yang dii’rab dengan huruf itu ada empat macam :
1. Isim Tatsniyah
2. Jama’ mudzakkar salim
3. isim-isim yang lima, dan
4. fi’il-fiil yang lima, yaitu يفعلان وتفعلان ويفعلون وتفعلون وتفعلين
adapun isim tatsniyah, maka ia dirafa’kan dengan alif, dinashabkan dengan ya dan dijarkan
dengan ya.
Adapun jama’ mudzakkar salim, maka ia dirafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan ya dan
dijarkan dengan ya.
Adapun Isim-isim yang lima, maka di rafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan alif, dan
dijarkan dengan ya.
Adapun fi’il-fi’il yang lima, maka dirafa’kan dengan huruf nun, dan dinashabkan dan dijazamkan
dengan membuang huruf nun.
Bab tentang Fi’il-fi’il
Fi’il itu ada tiga :
1. Fiil Madhi
2. Fiil Mudhari’
3. Fiil Amr
Contohnya ضَرَبَ (madhi), (mudhari’) , وَيَضْرِبُ (amr’), وَاضْرِبْ
Maka Fiil Madhi itu difathahkan selamanya dan fiil amar dijazamkan selamanya dan fiil
mudhari’ itu fiil yang di awalnya terdapat salah satu dari huruf tambahan yang empat yang
terkumpul dalam perkataan anaytu (alif, nun, ya, dan ta). Fiil mudhari’ itu dirafa’kan selamanya
kecuali adaa amil nashab atau jazm yang masuk padanya.
Maka amil nashab (huruf yang menashabkan) itu ada sepuluh, yaitu:
أَنْ, وَلَنْ, وَإِذَنْ, وَكَيْ, وَلاَمُ كَيْ, وَلاَمُ اَلجُْحُودِ, وَحَتَّى, وَالجَْوَابُ بِالْفَاءِ, وَالْوَاوِ, وَأَوْ.
Dan amil jazm itu ada delapan belas, yaitu :
لَمْ, وَلمََّا, وَأَلَمْ, وَأَلمََّا, وَلاَمُ اَلأَْمْرِ وَالدُّعَاءِ, وَ "لاَ" فِي اَلنَّهْيِ وَالدُّعَاءِ, وَإِنْ وَمَا وَمَنْ وَمَهْمَا, وَإِذْمَا ، وأي وَمَتَى,
)dan idzan pada syair tertentu( . وَأَيْنَ وَأَيَّانَ, وَأَنَّى, وَحَيْثُمَا, وَكَيْفَمَا, وَإِذًا فِي اَلشِّعْرِ خاصة
Bab Tentang Isim-isim yang Dirafa’kan
Isim-isim yang dirafa’kan itu ada tujuh :
1. Isim Faa’il
2. Isim Maf’ul yang tidak disebut failnya (naaibul fa’il)
3. Mubtada
4. khabar mubtada
5. Isim Kaana dan saudara-saudaranya
6. khabar inna dan saudara-saudaranya
7. Dan yang mengikuti yang dirafa’kan, yaitu ada empat : Na’at, ‘athaf, taukid, dan badal
Bab Faa’il
Faa’il adalah isim yang dirafa’kan yang disebut sebelum faa’il itu fi’ilnya. Dan faa’il itu ada dua
bagian, yaitu faa’il isim dzhahir dan faa’il isim dhamir.
Maka faa’il isim dzhahir itu seperti contoh
قَامَ زَيْدٌ, وَيَقُومُ زَيْدٌ, وَقَامَ الزَّيْدَانِ, وَيَقُومُ الزَّيْدَانِ, وَقَامَ الزَّيْدُونَ, وَيَقُومُ الزَّيْدُونَ, وَقَامَ اَلرِّجَالُ, وَيَقُومُ اَلرِّجَالُ,
وَقَامَتْ هِنْدٌ, وَقَامَتْ اَلْهِنْدُ, وَقَامَتْ الْهِنْدَانِ, وَتَقُومُ الْهِنْدَانِ, وَقَامَتْ الْهِنْدَاتُ, وَتَقُومُ الْهِنْدَاتُ, وَقَامَتْ اَلْهُنُودُ,
وَتَقُومُ اَلْهُنُودُ, وَقَامَ أَخُوكَ, وَيَقُومُ أَخُوكَ, وَقَامَ غُلاَمِي, وَيَقُومُ غُلاَمِي,
Dan Faa’il isim dhamir itu ada 12, yaitu :
ضَرَبْتُ, وَضَرَبْنَا, وَضَرَبْتَ, وَضَرَبْتِ, وَضَرَبْتُمَا, وَضَرَبْتُمْ, وَضَرَبْتنَُّ, وَضَرَبَ, وَضَرَبَتْ, وَضَرَبَا, وَضَرَبُوا,
وضربن
Bab Maf’ul yang tidak disebut Faa’ilnya (Naaibul faa’il)
Naaibul faa’il adalah isim yang dirafa’kan yang tidak disebut bersamanya faa’ilnya. jika fi’ilnya
itu fi’il madhi maka didhammahkan huruf awalnya dan dikasrahkan apa yang sebelum akhirnya
dan jika fi’ilnya itu fi’il mudhari’ maka didhammahkan huruf awalnya dan difathahkan huruf
yang sebelum akhirnya. Naa’ibul faa’il itu ada dua, yaitu Naaibul faa’il isim dzhahir dan naaibul
faa’il isim dhamir.
Maka naaibul faa’il isim dzhahir itu contohnya :
ضُرِبَ زَيْدٌ" وَ"يُضْرَبُ زَيْدٌ" وَ"أُكْرِمَ عَمْرٌو" وَ"يُكْرَمُ عَمْرٌو
dan naaibul faa’il isim dhamir contohnya:
ضُرِبْتُ وَضُرِبْنَا, وَضُرِبْتَ, وَضُرِبْتِ, وَضُرِبْتُمَا, وَضُرِبْتُمْ, وَضُرِبْتنَُّ, وَضُرِبَ, وَضُرِبَتْ, وَضُرِبَا, وَضُرِبُوا,
وضُربن
Bab Mubtada dan khabar
Mubtada adalah isim yang dirafa’kan yang terbebas dari amil-amil lafadzh.
Khabar adalah isim yang dirafa’akan yang disandarkan kepada mubtada’. Contohnya :
"زَيْدٌ قَائِمٌ" وَ"الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ" وَ"الزَّيْدُونَ قَائِمُونَ "
Mubtada itu ada dua bagian, yaitu mubtada isim dzahir dan mubtada isim dhamir
Maka Mubtada isim dzahir itu adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya (seperti
contoh di atas)
Mubtada isim dhamir itu ada dua belas :
أنا ونحن وأنتَ وأنتِ و وأنتما وأنُتم وأنتن وهو وهى وهما وهم وهن
Dan apa-apa yang menyerupai contoh ini( أنا قائم( و)نحن قائمون )contohnya :
Khabar itu ada dua bagian, yaitu khabar mufrad dan khabar ghair (bukan) mufrad.
Khabar mufrad contohnya زيد قائم
Khabar ghair mufrad itu ada empat :
1. Jar dan majrur
2. dzharaf
3. fi’il beserta faa’ilnya
4. Mubtada beserta khabarnya.
Contohnya: ( (زيد فى الدار وزيد عندك وزيد قام ابوه وزيد جاريته ذاهبة
Bab Amil-amil yang masuk kepada mubtada dan khabar
Amil-amil yang masuk kepada mubtada dan khabar itu ada tiga macam, yaitu kaana dan saudarasaudaranya,
innna dan saudara-saudaranya dan dzhanna (dzhanantu) dan saudara-saudaranya.
Adapun kaana dan saudarasaudaranya
maka
sesungguhnya mereka
merafa’kan isism (mubtada) dan menashabkan khabar. Maka kaana dan suadara-saudaranya itu
adalah : , كَانَ, وَأَمْسَى, وَأَصْبَحَ, وَأَضْحَى, وَظَلَّ, وَبَاتَ, وَصَارَ, وَلَيْسَ, وَمَا زَالَ, وَمَا اِنْفَكَّ, وَمَا فَتِئَ, وَمَا بَرِحَ
,وَمَا دَامَ
dan apa-apa yang bisa ditashrif dari semuanya, seperti :
كَانَ, وَيَكُونُ, وَكُنْ, وَأَصْبَحَ وَيُصْبِحُ وَأَصْبِحْ,
Contohnya :
"كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا, وَلَيْسَ عَمْرٌو شَاخِصًا"
dan sesuatu yang menyerupai contoh ini.
Adapun inna dan saudara-saudaranya maka sesungguhnya mereka itu menashabkan mubtada
dan merafa’kan khabar. inna dan saudara-saudaranya adalah :
إِنَّ، وَأَنَّ، وَلَكِنَّ، وَكَأَنَّ، وَلَيْتَ، وَلَعَلَّ،
: contohnya إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ، وَلَيْتَ عَمْرًا شَاخِصٌ
Makna inna dan anna adalah untuk taukid (penekanan), laakinna untuk istidraak
(mempertentangkan), kaanna untuk tasybih (penyerupaan), laita untuk tamanniy (pengandaian),
la’alla untuk tarajiy (pengharapan kebaikan) dan tawaqqu’ (ketakutan dari nasib buruk).
Adapun dzhanantu (dzhanna) dan saudara-saudaranya maka sesunggunya mereka itu
menashabkan mubtada dan khabar karena keduanya itu (mubtada dan khabar) adalah maf’ul bagi
dzhanna dan saudara-saudaranya. Dzhanantu dan saudara-saudaranya itu :
ظَنَنْتُ، وَحَسِبْتُ، وَخِلْتُ، وَزَعَمْتُ، وَرَأَيْتُ، وَعَلِمْتُ، وَوَجَدْتُ، وَاتَّخَذْتُ، وَجَعَلْتُ، وَسَمِعْتُ؛
: contohnya ظَنَنْتُ زَيْدًا قَائِمًا، وَرَأَيْتُ عَمْرًا شاخصًا
Bab Na’at (sifat)
Na’at itu mengikuti yang disifati pada keadaan rafa’nya, nashabnya, khafadhnya, ma’rifatnya,
dan nakirahnya. Contohnya:
قَامَ زَيْدٌ اَلْعَاقِلُ, وَرَأَيْتُ زَيْدًا اَلْعَاقِلَ, وَمَرَرْتُ بِزَيْدٍ اَلْعَاقِلِ.
Ma’rifat (kata khusus) itu ada lima:
: Isim Dhamir (kata ganti), contohnya . أَنَا وَأَنْتَ 1
:Isim Alam (nama), contohnya . زَيْدٍ وَمَكَّةَ 2
: Isim Mubham (kata tunjuk), contohnya . هَذَا, وَهَذِهِ, وَهَؤُلاَءِ 3
: Isim yang terdapat alif lam (al), contohnya. اَلرَّجُلُ وَالْغُلاَمُ 4
5. apa-apa yang diidhafahkan kepada salah satu dari ini yang empat.
Nakirah (kata
umum) adalah setiap isim yang tersebar (beraneka ragam) pada jenisnya ,tidak tertentu pada
sesuatupun. Dan untuk memudahkannya, nakirah itu adalah setiap yang dapat اَلرَّجُلُ
وَالْغُلاَمُ menerima alif lam, contohnya
Bab ‘Athaf
Huruf ‘athaf ada sepuluh, yaitu :
اَلْوَاوُ, وَالْفَاءُ, وَثُمَّ, وَأَوْ, وَأَمْ, وَإِمَّا, وَبَلْ, وَلاَ, وَلَكِنْ, وَحَتَّى فِي بَعْضِ اَلمَْوَاضِعِ
Waw, fa, tsumma, aw, am, imma, bal, la, laakin, dan hatta pada sebagian tempat.
Jika kamu athafkan dalam keadaan rafa’ maka rafa’akan, dalam keadan nashab maka
nashabkan, dalam keadaan khafad maka khafadhkan, dalam keadaan jazm maka jazmkan.
Contohnya :
"قَامَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو, وَرَأَيْتُ زَيْدًا وَعَمْرًا, وَمَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَعَمْرٍو, وَزَيْدٌ لَمْ يَقُمْ وَلَمْ يَقْعُدْ
Bab Taukid (menekankan atau menguatkan)
Taukid itu mengikuti yang diperkuat dalam keadaan rafa’nya, nashabnya, khafadhnya, dan
ma’rifatnya. Taukid itu telah tertentu lafadzh-lafazhnya, yaitu :
اَلنَّفْسُ, وَالْعَينُْ, وَكُلُّ, وَأَجْمَعُ
Dan yang mengikuti ajam’u, yaitu
أَكْتَعُ, وَأَبْتَعُ, وَأَبْصَعُ
Contohnya :
قَامَ زَيْدٌ نَفْسُهُ, وَرَأَيْتُ اَلْقَوْمَ كُلَّهُمْ, وَمَرَرْتُ بِالْقَوْمِ أَجْمَعِينَ .
Bab Badal
Apabila dibadalkan isim dengan isim atau fi’il dengan fi’il maka mengikuti badalnya itu pada
seluruh i’rabnya. Badal itu ada empat :
. بَدَلُ اَلشَّيْءِ مِنْ اَلشَّيْء 1
. بَدَلُ اَلْبَعْضِ مِنْ اَلْكُلِّ 2
.بَدَلُ اَلاِشْتِمَالِ 3َ
. بَدَلُ اَلْغَلَطِ 4
Contohnya:
"قَامَ زَيْدٌ أَخُوكَ, وَأَكَلْتُ اَلرَّغِيفَ ثُلُثَهُ, وَنَفَعَنِي زَيْدٌ عِلْمُهُ, وَرَأَيْتُ زَيْدًا اَلْفَرَسَ
Kamu ingin berkata al farasa (kuda) akan tetapi kamu ternyata salah,
maka kamu ganti dengan zaidan menjadi رَأَيْتُ زَيْدًا اَلْفَرَسَ
Bab Isim-isim Yang dinashabkan
Isim-isim yang dinashabkan itu ada lima belas:
1. Maf’ul bih
2. Mashdar
3. Dzharaf zaman
4. Dzharaf makan
5. Hal
6. Tamyiz
7. Mustatsna
8. Isim Laa
9. Munada
10. Maf’ul min ajlih
11. Maf’ul ma’ah
12. Khabar kaana
13. Isim inna
14. khabar saudara kaana dan isim saudara inna
15. Yang mengikut dinashabkan, yaitu ada empat : na’at, ‘athaf, taukid, dan badal
Bab Maf’ul bih
Maf’ul bih adalah isim yang dinashabkan yang dikenakan padanya suatu perbuatan.
: Contohnya ضَرَبْتُ زَيْدًا, وَرَكِبْتُ اَلْفَرَسَ
Maf’ul bih itu ada dua bagian, yaitu maf’ul bih dzhahir dan maf’ul bih dhamir.
Maf’ul bih dzhahir telah dijelaskan sebelumnya (pada bab-bab yang menjelaskan tentang
dzhahir).
Sedangkan maf’ul bih dhamir itu terbagi menjadi dua:
1. Muttashil (bersambung)
Maf’ul bih dhamir muttashil ada dua belas, yaitu :
ضَرَبَنِي, وَضَرَبَنَا, وَضَرَبَكَ, وَضَرَبَكِ, وَضَرَبَكُمَا, وَضَرَبَكُمْ, وَضَرَبَكُنَّ, وَضَرَبَهُ, وَضَرَبَهَا, وَضَرَبَهُمَا, وَضَرَبَهُمْ,
وَضَرَبَهُنَّ
2. Munfashil (terpisah)
Maf’ul bih dhamir munfashil ada dua belas, yaitu:
إِيَّايَ, وَإِيَّانَا, وَإِيَّاكَ, وَإِيَّاكِ, وَإِيَّاكُمَا, وَإِيَّاكُمْ, وَإِيَّاكُنَّ, وَإِيَّاهُ, وَإِيَّاهَا, وَإِيَّاهُمَا, وَإِيَّاهُمْ, وَإِيَّاهُنَّ .
Bab Mashdar
Mashdar adalah isim yang dinashabkan yang datang menempati tempat ketiga dalam tashrif fi’il.
Contohnya :
ضَرَبَ يَضْرِبُ ضَرْبًا
Mashdar terbagi dua :
1. Lafdzhy
2. Ma’nawy
Jika lafazdh mashdarnya bersesuaian dengan lafadzh fi’ilnya maka itu trmasuk mashdar lafdzhy
contohnya :
قَتَلْتُهُ قَتْلاً
Dan jika mashdarnya bersesuaian dengan makna fi’ilnya bukan lafadhznya maka itu adalah
mashdar ma’nawy. Contohnya :
جَلَسْتُ قُعُودًا, ، وقمت وُقُوفًا
Bab Dzharaf Zaman (keterangan waktu) dan Dzaharaf Makan (keterangan
tempat)
Dzharaf zaman itu adalah isim zaman yang dinashabkan dengan taqdir maknanya fi (pada).
Contoh dzharaf zaman :
اَلْيَوْمِ, وَاللَّيْلَةِ, وَغَدْوَةً, وَبُكْرَةً, وَسَحَرًا, وَغَدًا, وَعَتَمَةً, وَصَبَاحًا, وَمَسَاءً, وَأَبَدًا, وَأَمَدًا, وَحِينًا
Dzharaf makan adalah isim makan yang dinashabkan dengan taqdir maknanya fi (pada).
Contohnya:
أَمَامَ, وَخَلْفَ, وَقُدَّامَ, وَوَرَاءَ, وَفَوْقَ, وَتحَْتَ, وَعِنْدَ, وَمَعَ, وَإِزَاءَ, وَحِذَاءَ, وَتِلْقَاءَ, وَثَمَّ, وَهُنَا
Bab Haal
Haal adalah isim yang dinashabkan yang menjelaskan tata cara yang sebelumnya samar.
Contohnya :
جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا" وَ"رَكِبْتُ اَلْفَرَسَ مُسْرَجًا" وَ"لَقِيتُ عَبْدَ اَللَّهِ رَاكِبًا"
Haal itu pasti nakirah dan haal itu hanya terjadi setelah kalamnya sempurna dan shahibul haal itu
pasti ma’rifat.
Bab Tamyiz
Tamyiz itu adalah isim yang dinashabkan yang menjelaskan dzat yang sebelumnya samar.
Contohnya :
"تَصَبَّبَ زَيْدٌ عَرَقًا", وَ"تَفَقَّأَ بَكْرٌ شَحْمًا" وَ"طَابَ مُحَمَّدٌ نَفْسًا" وَ"اِشْتَرَيْتُ عِشْرِينَ غُلاَمًا" وَ"مَلَكْتُ تِسْعِين نَعْجَةً" وَ"زَيْدٌ أَكْرَمُ مِنْكَ أَبًا" وَ"أَجْمَلُ مِنْكَ وَجْهًا"
Tamyiz itu pasti nakirah dan tamyiz hanya terjadi setelah kalamnya sempurna
Bab Istitsna
Huruf istitsna itu ada delapan, yiatu :
إِلَّا, وَغَيْرُ, وَسِوَى, وَسُوَى, وَسَوَاءٌ, وَخَلاَ, وَعَدَا, وَحَاشَا
Maka mustatsna (kalimat yang di istitsnakan) dengan huruf illaa dinashabkan jika
: kalamnya taam mujab contohnya قَامَ اَلْقَوْمُ إِلَّا زَيْدًا" وَ"خَرَجَ اَلنَّاسُ إِلَّا عَمْرًا
Jika kalamnya manfiy taam, maka boleh menjadikannya badal atau menashabkannya
: karena istitsna contohnya مَا قَامَ اَلْقَوْمُ إِلَّا زَيْدٌ" وَ"إِلَّا زَيْدًا
Jika kalamnya naaqish (kurang), maka i’rabnya sesuai dengan amil-amilnya,. Contohnya:
"مَا قَامَ إِلَّا زَيْدٌ" وَ"مَا ضَرَبْتُ إِلَّا زَيْدًا" وَ"مَا مَرَرْتُ إِلَّا بِزَيْدٍ
Dan Mustatsna dengan khalaa, ‘adaa, dan haasyaa maka boleh kita menashabkannya atau
menjarkannya. Contohnya :
"قَامَ اَلْقَوْمُ خَلاَ زَيْدًا وَزَيْدٍ" وَ"عَدَا عَمْرًا وَعَمْرٍو" وَ"حَاشَا بَكْرًا وَبَكْرٍ" .
Bab Laa
Ketahuilah! Bahwa apabila laa bertemu langsung dengan isim nakirah maka laa menashabkan
isim nakirah dengan tanpa tanwin dan tidak mengulang-ulang laa. Contohnya : لاَ رَجُلَ فِي اَلدَّارِ
Jika laa tidak bertemu langsung dengan nakirah maka wajib mengulang-ulang laa.
Contohnya : لاَ فِي اَلدَّارِ رَجُلٌ وَلاَ اِمْرَأَةٌ
J i k a m e n g u l a n g - u l a n g l a a
(berarti bertemu langsung dengan nakirah), maka boleh mengamalkannya (menjadikan laa
sebagai amil yang menashabkan) atau menyia-nyiakannya. Maka jika kamu suka, kamu katakan :
لاَ رَجُلَ فِي اَلدَّارِ وَلاَ اِمْرَأَةَ
Dan jika kamu suka, kamu katakan:
لاَ رَجُلٌ فِي اَلدَّارِ وَلاَ اِمْرَأَةٌ" .
Bab Munada (yang dipanggil)
Munada itu ada lima, yaitu :
)nama-nama(, 1المفرد اَلْعَلَمُ .
)nakirah yang termaksud(, 2 وَالنَّكِرَةُ اَلمَْقْصُودَةُ .
)nakirah yang tidak termaksud(, 3 وَالنَّكِرَةُ غَيْرُ اَلمَْقْصُودَةِ .
)yang diidhafahkan(, 4 وَالمُْضَافُ .
)yang menyerupai mudhaf( 5 وَالشَّبِيهُ بِالمُْضَافِ .
Adapun mufrad ‘alam dan nakirah maqsudah maka ia dimabnikan atas dhammah
dengan tanpa tanwin contohnya يَا زَيْدُ وَيَا رَجُلُ
Dan tiga munada sisanya itu tidak lain dinashabkan.
Bab Maf’ul min Ajlih
Maf’ul min ajlih adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sebab-sebab
terjadinya suatu perbuatan. Contohnya :
قَامَ زَيْدٌ إِجْلاَلاً لِعَمْرٍو وَقَصَدْتُكَ اِبْتِغَاءَ مَعْرُوفِكَ .
Bab Maf’ul Ma’ah
Maf’ul ma’ah adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sesuatu yang
bersamanya dilakukan suatu perbuatan. Contohnya :
جَاءَ اَلأَْمِيرُ وَالجَْيْشَ وَاِسْتَوَى اَلمَْاءُ وَالخَْشَبَةَ
Adapun khabar kaana dan saudara-saudaranya dan ismu inna dan saudara-saudaranya maka
sungguh telah diberikan penjelasannya pada bab isim-isim yang dirafa’akan begitu juga dengan
yang mengikut dinashabkan (na’at, ‘athaf, taukid, badal) telah dijelaskan disana.
Bab Isim-isim yang Dikhafadhkan (dijarkan)
Isim-isim yang dikhafadhkan itu ada tiga bagian :
1. Dikhafadhkan dengan huruf khafadh
2. Dikhafadhkan dengan idhafah
3. Dikhafadhkan karena mengikuti yang sebelumnya
Adapun yang dijarkan dengan huruf yaitu apa-apa yang dijarkan dengan huruf
dan dengan huruf sumpah yaitu , مِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءِ, وَالْكَافِ, وَاللَّامِ
مُذْ, وَمُنْذُ. dan dengan اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاءُِ
Adapun yang dijarkan dengan idhafah maka contohnya: دٍ8 لاَمُ زَيْ 8 غُ dan yang dijarkan dengan hafah itu ada dua, pertama yang ditaqdirkan dengan lam dan kedua yang ditakdirkan dengan min.
Maka yang ditaqdirkan dengan lam contohnya: غُلاَمُ زَيْدٍ
Dan yang ditaqdirkan dengan min contohnya: ثَوْبُ خَزٍّ وَبَابُ سَاجٍ وَخَاتمَُ حَدِيدٍ
-Allah Maha Mengetahui kebenaran

GUS MAKSUM Sang Pendekar Pagar Nusa

Written By Moh Wahyudi on Rabu, 23 November 2011 | 21.54



Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji. Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah pendekar pilih tanding.

Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren. Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.
Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.
Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985 berkumpulah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon, bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.
Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “Pagar Nusa” yang merupakan kepanjangan dari “Pagarnya NU dan Bangsa.” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ahmad Sidiq.
Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan (Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista Surabaya).
Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.
Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.
Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa. (A Khoirul Anam)

Nahdhotul Ulama



Sejarah

Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut  dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan(Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikanTaswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri(Kebangkitan Pemikiran)sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai denganKomite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernamaNahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham Keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Sikap Kemasyarakatan
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke Khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Basis Pendukung
Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.
Dinamika
Prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak mengambil kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa organisasi ini hidup secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Prestasi NU antara lain:
  1. Menghidupkan kembali gerakan pribumisasi Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.
  2. Mempelopori perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.
  3. Mempelopori berdirinya Majlis Islami A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut memperjuangkan tuntutan Indonesia berparlemen.
  4. Memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
  5. Berubah menjadi partai politik, yang pada Pemilu 1955 berhasil menempati urutan ketiga dalam peroleh suara secara nasional.
  6. Memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh perwakilan dari 37 negara.
  7. Memperlopori gerakan Islam kultural dan penguatancivil society di Indonesia sepanjang dekade 90-an.
Tujuan Organisasi
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Usaha Organisasi
  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
  3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Struktur
  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
  4. Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)
Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Mustasyar (Penasehat)
  2. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Syuriaah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:
  • 31 Pengurus Wilayah
  • 339 Pengurus Cabang
  • 12 Pengurus Cabang Istimewa
  • 2.630 Majelis Wakil Cabang
  • 37.125 Pengurus Ranting


Fiqih Siyasah

Written By Moh Wahyudi on Rabu, 09 November 2011 | 04.08


1.1  Pendahuluan 

Dalam peradaban manusia, tidak terlepas dari perbuatan yang menciptakan hukum dan peraturan. Perbuatan tersebut sangat berguna dalam peraturan dan tingkah laku manusia sehari-hari. Hal inilah yang membuat seorang manusia akan berarti dalam kehidupannya. Perbuatan yang menciptakan hukum ini, memerlukan sebuah lembaga atau tempat untuk menciptakan hal itu.
Tempat dan lembaga tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan disebut daerah. Secara mendasar daerah inilah yang memerlukan akan hukum dan perbuatan hukum. Apabila kedua hal tersebut ada didalam daerah itu, maka daerah tersebut akan teratur dan tentram.
Sedangkan cara pengaplikasian dari hukum dan peraturan hukum, menerlukan sebuah kendaraan yang sangat penting. Kepentingan ini berguna dalam hal pengaturan daerah tersebut. Hal yang dimaksud adalah politik. Dalam kajian teoritis umum, politik adalah sebuah teori dan cara untuk mengatur dalam daerah, yang bersifat munuju sebuah ketatanegaraan yang aman dan damai. Perkembangan politik ini sudah lama berkembang, sejak kerajaan Yunani dan Romawi sampai saat ini. Perkembangan politik initidak pernah habis dibahas.
Dalam perjalanan sejarah, politik terbagi bermacam-macam, ada yang bercorak Monarchi, Oligarki, Republik, dan lain sebaginya. Semua corak tersebut diterima secara umum dan banyak negara yang menganutnya.
Bukan hanya politik secara umum saja yang ada, melainkan dalam Islampun politik juga ada. Hal ini dapat kita lihat dalam kajian Fiqh Siyasah. Dan kajian inilah yang berlandaskan Al-Quran dan Hadist.
1.2  Permasalahan
Dari kajian diatas, maka timbullah sebuah pertanyaan tentang bagaimana corak dan pembagian tentang Poltik Islam ini. Hal ini terlihat bahwa banyak sekali teori serta pendapat yang berkembang mengenai hal ini. Maka tugas individu ini yang akan membahas mengenai hal yang berkaitan dengan bidang-bidang Fiqh Siyasah. Serta pengertian Politik Islam secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Politik Islam
Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatn umat juga dibahas dan diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam yang dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah.
Fiqh Siyasah dalam koteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam). Secara bahasa Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Siyasah adalah hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya. Pembahasan diatas dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam disebut Fiqh Siyasah.
2.2 Bagian-bagian Fiqh Siyasah
Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan penamaan Politik Islam dalam Islam adalah Fiqh Siyasah. Maka dalam kajian kali ini akan dibahas mengenai bidang-bidang Fiqh Siyasah. Dan Fiqh Siyasah ini menurut Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
1.      Siyasah Dusturiyah
2.      Siyasah Maliyah
3.      Siyasah Dauliyah
4.      Siyasah Harbiyah
2.2.1 Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah. Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan. Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat.
Sedangkan menurut Pulungan (2002, hal:39) Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dlam suatu negara, karena hal ini menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan kepala negaranya.
2.2.2 Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan negara.
Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.
Dari pembahsan diatas dapat kita lihat bahwa siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara serta keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
2.2.3 Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash (Pulungan, 2002. hal:41).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.
2.2.4 Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau darurat.
Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian (Pulungan, 2002. hal:41).

KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa dalam berpolitik ada tata cara dan bernuansa Islam. Serta juga bukan hanya masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Melainkan segala masalah yang menyangkut aspek yang berkenaan dengan kemanusian dan kemaslahatan umat.
Kajian Politik Islam sangatlah sempurna dan merupakan hal yang sangat di harapkan untuk di praktekkan. Diantara kajian Fiqh Siyasah (Politik Islam) ada beberapa bagian yang mengatur masalah dalam negeri, luar negeri, keuangan negara, serta keadaan perang atau darurat dalam negara.

Hukum Benford

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 08 November 2011 | 02.38


Hukum Benford
 
Salah satu teknik untuk meyakinkan kita bahwa ayat-ayat al-Qur'an benar-benar diturunkan oleh Tuhan adalah dengan penerapan Hukum Benford disesuaikan dengan maksud ketiga ayat sebelumnya, (al-Jinn 72 :28), (al-Muddatstsir 74: 30) dan (al-Hadid 57: 25). 1
 
Frank Benford, fisikawan dari General Electric, beberapa puluh tahun yang lalu, menemukan fenomena menarik dari alam. Apakah jumlah batu di pantai, jumlah kata dan huruf dari majalah, ataukah uang yang ada di bank, angka yang paling sering muncul adalah "1" . Benford bukan satu-satunya yang menemukan fenomena menarik ini. 19 tahun sebelum ber­akhirnya abad ke-19, astronom Amerika dan juga ahli matematika, yaitu Simon Newcomb, telah mengetahui bahwa halaman­halaman buku yang tebal, dengan mendistribusikan digit "1" sampai "9" dengan pola yang menakjubkan, memberikan suatu pola yang relatif sama. Namun penemuan ini dengan cepat dilupakan orang sampai 57 tahun kemudian muncullah Frank Benford. la merumuskan pola angka setelah meneliti dan menganalisis 20.229 satuan angka dari mana saja mereka berasal; sungai, konstanta fisika, tingkat kematian, dan sebagainya.
 
Hasilnya adalah-ditunjukkan dalam pola distribusi=­sekitar 30,1% dimulai dengan angka 1; 17,6% dimulai dengan angka 2; 12,5% dimulai angka 3; 9,7% dimulai angka 4; 7,9 %r dimulai angka 5; 6,7% dimulai angka 6; 5,8% dimulai angka 7; 5,1 % dimulai dengan angka 8; dan 4,9 %r dimulai angka 9.

Tahun 1995, 114 tahun setelah penemuan Newcomb, Theodore Hill membuktikan bahwa hukum alam yang baru telah ditemukan oleh Benford. (Perhatikan, angka-angka abad ke­19, 57,114, dan 1995. Semuanya "kebetulan" kelipatan 19).
 
Pernyataan Matematika
 
Proceeding of the American Philosophical Society tahun 1938 mengeluarkan rumus matematika sebagai berikut:

Kemungkinan yang terjadi adalah digit n, di mana n = 1, 2, 3, .... 9
 
Log10(n+1) - Log10(n) , atau
 
1 30,1 %

Teori matematika ini, 3 dipakai luas sebagai metode yang sedcrhana untuk menemukan kecurangan-kecurangan laporan para pembayar pajak, atau laporan akuntan yang dicurigai. Cara yang sederhana namun dapat memberikan indikasi kepada peneliti, bahwa ada sesuatu yang salah pada kertas laporan perusahaan atau pembayar pajak.
2 17,6 %
3 12,5 %
4 9,7%
5 7,9%
6 6,7%
7 5,8%
8 5,1%
9 4,6%

 
Hukum Benford dan al-Qur' an
 
Murad Abdul Majeed 4 dari Amerika Serikat membuktikan bahwa aplikasi Hukum Benford ini bisa diterapkan pada al­Qur'an dengan menemukan jumlah ayat tiap surat, dari 114 surat yang berawal dengan digit 1, 2,3 sampai 9. Misalnya saja, surat kesatu adalah al-Fatihah, jumlah ayat adalah 7, dengan awalan digit 7. Sedangkan surat kedua, al-Baqarah jumlah ayatnya 286, diawali digit 2, dan seterusnya. Dengan cara yang sama kita akan dapatkan tabel berikut ini.
TABEL 8.1 DISTRIBUSI AYAT-AYAT AL-QUR'AN
BERDASARKAN HUKUM BENFORD
Digit Jumlah Ayat per Surat Juml. Surat
1

 
176, 120, 165, 129, 109, 123, 111, 128, 111, 110, 135, 112, 118, 182,18,
13,14,11, 11, 18, 12, 12, 19, 17, 19, 15, 11,19, 11, 11
 
30
 
2
 
286, 200,206, 227, 29, 29, 22, 24, 28, 28, 20, 29, 25, 22, 26, 20, 21
 
17
 
3
 
34, 30, 37, 35, 38, 30, 31, 36, 30, 3, 3, 3
 
12
 
4
 
43, 45, 45, 49, 44, 40, 90, 46, 42, 4, 4
 
11
 
5
 
52, 54, 54, 53, 59, 55, 52, 52, 56, 50, 5, 5, 5, 5
 
14
 
6
 
64, 69, 60, 60, 62, 6, 6
 
7
 
7
 
7, 75, 78, 77, 73, 75, 78, 7 
 
8
 
8
 
88, 83, 88, 85, 89, 8, 8, 8, 8, 8
 
10
 
9
 
99, 98, 93, 96, 9
 
5
 

Artinya ada 30 surat dengan jumlah ayatnya dimulai de­ngan digit "1", ada 17 surat dengan jumlah ayatnya dimulai digit "2", dan seterusnya. Distribusi tiap digit akan sama dengan rasio distribusi Hukum Benford. Tapi, itu tidak akan ditunjuk­kan di sini, yang akan diperlihatkan adalah jika kita jumlahkan perkalian jumlah surat pada kolom paling kanan dengan digit di kolom paling kiri. Akan dihasilkan bilangan yang dienkripsi sebagai berikut:

(30x1) + (17x2) +( 12x3) + (11 X4) + (14x5) + (7x6) + (8 x7) + (10x8) + (5x9) = 437 atau (19x23)!
 
AI-Qur'an terdiri dari 30 juz, 114 surat clan 6.236 ayat. Ini berarti, dengan Hukum Benford kita bisa mengatakan, bila ada digit yang berubah, berkurang atau bertambah, maka ada se­suatu yang salah pada kitab ini. Karena, jumlahnya bukan merupakan kelipatan 19 dengan distribusi Benford. Kita juga bisa mengatakan bahwa pernyataan ayat 30 pada Surat al­Muddatstsir benar adanya. Fakta lainnya adalah digit "1" atau "Esa" ada di dalam 30 surat, sama dengan banyaknya pemba­gian juz al-Qur'an. Di mana bilangan 30 merupakan salah satu angka yang sering muncul dalam struktur al-Qur'an. Seperti yang telah diketahui, angka 30 adalah bilangan komposit yang ke-19.
 
Sebelum diteruskan, mari kita teliti ulang, mengapa angka 30 ini kembali muncul? Sejatinya, bagaimana hubungannya dengan angka 114 atau banyaknya surat?
 
Setelah diteliti ulang akan ditemukan 5 surat di mana no­mor surat dan ayatnya berjumlah 114. Sehingga total jumlah ke-5 surat tadi adalah (19 x 30) atau 570.
TABEL 8.2 ENKRIPSI SURAT, AYAT, DAN ANGKA 114
No
 Nama Surat
No. Surat
Jumlah Ayat
Jumtah No. Surat + ayat
1
 AI-Hijr
15
99
114
2
 Az- Zumar (Rombongan-rombongan)
39
75
114
3
 AI-Ma*arij (Tempat-tempat Naik)
70
44
114
4
 AI-GIzasyiynh (Hari Pembalasan)
88
26
114
5
 AI-Ma' un (Barang-barang yang Berguna)
107
7
114
 
Jumlah
 
319
 
251
 
570,
atau (19x30)
Uji berikutnya adalah hasil pemetaan dengan Hukum Benford yang menghasilkan pemetaan digit ayat-ayat al-Qur'an dalam sebuah peta berbentuk matriks. "Jika al-Qur'an ini asli dan diturunkan dari langit, peta ini pun mempunyai (keanehan) kodetifikasi tertentu".
TABEL 8.3 PEMETAAN DIGIT AYAT-AYAT AL-QUR'AN
BERDASARKAN HUKUM BENFORD
Digit Jumlah Ayat Persurat Dalam Digit
1
 
1,7,6, 1,2,0 1,6,5, 1,2,9, 1,0,9, 1,2,3, 1,1,1, 1,2,8, 1,1,1, 1,1,0, 1,3,5, 1,1,2, 1,1,8, 1,8,2,1,8, 1,3, 1,4 1,1, 1,1, 1,8, 1,2, 1,2, 1,9, 1,7, 1,9, 1,5, 1,1, 1,9, 1,1, 1,1
 
2
 
2,8,6, 2,0,0, 2,0,6, 2,2,7, 2,9, 2,9, 2,2, 2,4, 2,8, 2,8, 2,0, 2,9, 2,5, 2,2, 2,6, 2,0, 2,1
 
3
 
3,4, 3,0, 3,7, 3,5, 3,8, 3,0, 3,1, 3,6, 3,0, 3, 3, 3
 
4
 
4,3, 4,5, 4,5, 4,9, 4,4, 4,0, 4,0, 4,6, 4,2, 4, 4
 
5
 
5,2, 5,4, 5,4, 5,3, 5,9, 5,5, 5,2, 5,2, 5,6, 5,0, 5, 5, 5, 5
 
6
 
6,4, 6,9, 6,0 ,6,0, 6,2,6,6
 
7
 
7, 7,5, 7,8, 7,7, 7,3, 7,5, 7,8, 7
 
8
 
8,8, 8,3, 8,8, 8,5, 8,9, 8, 8, 8, 8, 8
 
9
 
9,9, 9,8, 9,3, 9,6, 9
 


Berikutnya, dari 227 digit, kita pilih bilangan prima saja, sedangkan yang bukan bilangan prima dihapus dan diberi tanda - (lihat Tabe 18.4).
 
Luar biasa. Enkripsi dengan bilangan 19, lihat baris digit 1 dan digit 9: hasilnya 17 digit bilangan prima. Jumlah digit tersebut adalah (8 x 2) + (4 x 3) + (3 x 5) + (2 x 7) = 57, atau (19 x 3).
 
Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur'an, bila dipetakan dalam digit berbentuk matriks, mempunyai enkripsi sebagai berikut.
 
TABEL 8.4 PEMETAAN DIGIT AYAT-AYAT AL-QUR'AN
YANG MERUPAKAN BILANGAN PRIMA
 
Digit Jumlah Ayat Persurat Dalam Digit
1
 
-,7,-, -,2,- -,-,5, -,2,-, -,-,-, -,2,3, -,-,-, -,2,-, -,-,-, -,-,-, -,3,5, -,-,2, -,-,-, -,-,2,-,-, -,3, -,- -,-, -,-, -,-, -,2, -,2, -,-, -,-, -,-, -,5, -,-, -,-, -,-, -,-
 
2
 
2,-,-, 2,-,-, 2,-,-, 2,2,7, 2,-, 2,-, 2,2, 2,-, 2,-, 2,-, 2,-, 2,-, 2,5, 2,2, 2,-, 2,-, 2,-
 
3
 
3,-, 3,-, 3,7, 3,5, 3,-, 3,-, 3,-, 3,-, 3,-, 3, 3, 3
 
4
 
-,3, -,5, -,5, -,-, -,-, -,-, -,-, -,-, -,2, -, -
 
5
 
5,2, 5,4, 5,4, 5,3, 5,-, 5,5, 5,2, 5,2, 5,-, 5,-, 5, 5, 5, 5
 
6
 
-,-, -,-, -,- ,-,-, -,2,-,-
 
7
 
7, 7,5, 7,-, 7,7, 7,-, 7,5, 7,-, 7
 
8
 
-,-, -,3, -,-, -,5, -,-, -, -, -, -, -
 
9
 
-,-, -,-, -,3, -,-, -
 

Tingkat 1
Jumlah ayat 6.236 dan jumlah nomor surat 6.555, digitnya dijumlahkan berarti 6+2+3+6+6+5+5+5 =38 atau (19x 2).
 
Tingkat 2
Aplikasi Hukum Benford pada ayat-ayat al-Qui an, jumlah digit awal (bilangan "1" sampai "9") adalah 437 atau (19 x 23).
 
Tingkat 3
Ayat-ayat al-Qur'an dalam 114 surat terdiri dari 227 digit merupakan bilangan prima kembar. Angka ini, ter-enkripsi de­ngan 17 digit angka bilangan prima kembar pula, pada baris digit 1 dan 9, jumlah digitnya 57 atau (19 x 3).
 
Pembaca dapat menyimpulkan bahwa bukan suatu kebe­tulan jika al-Qur'an mempunyai sistem kodetifikasi yang bertingkat, matematis bilangan prima, teristimewa bilangan prima kembar 19,11 atau dengan bilangan lainnya. "Segala sesuatu dihitung satu persatu (dengan teliti)" Satu ayat atau bahkan satu huruf saja hilang atau disisipkan, akan membuat ketidak­seimbangan dalam struktur matematisnya. Lalu apakah makh­luk jin dan manusia dapat membuat kitab yang serupa ini?
 
Jika manusia normal di-"kode"-kan dengan 23 pasang kromosom. Binatang cicadas dari jenis Magicada (menyerupai jangkrik atau kecoak terbang), timbul dari tanah setiap 13 atau 17 tahun sekali. Kedua-duanya adalah bilangan prima kembar. Mario Markus ahli fisika jurusan Molecular Physiology dari Institut Max Planc menjelaskan bahwa siklus hidup binatang ini 12 tahun sekali, maka semua predator (binatang pemangsa) yang mempunyai siklus hidup 2, 3, 4, dan 6 tahun sekali akan memusnahkannya. Oleh karena itu, jika cicadas mutasi dalam siklus 13 atau 17 tahun sekali, ia akan selamat.
 
Bagi yang memahaminya, al-Qur'an bukanlah kitab biasa. Walaupun kalimat-kalimatnya banyak berbentuk puisi dan prosa, ia bukanlah kitab sastera. Walaupun ratusan ayat menceritakan fenomena alam dan ilmu pengetahuan, ia bukanlah kitab ilmu pengetahuan dan bukan pula sebuah ensiklopedi. Al-Qur'an hanya dapat dimengerti dan dipahami bila dibaca baik-baik dengan mengetahui ilmunya. Hati terbuka, tulus, dan mau menerima. Bagi pembaca yang menginginkan jalan yang lurus, dengan seizin-Nya akan bertambah keimanannya.
"Namun bagi sebagian orang, akibatnya malah lebih buruk serta mer.datangkan kerugian." (al-Isra, 17 : 82).

1. Esensi dari ke[iga ayat ini adalah: "Segala sesuatu diciptakan dengan hitungan", "dalam bilangan 19 ada perumpamaan (ada sesuatu yang aneh)", "dan al-Qur'an diturunkan dari langit", (Jin 72: 28), (al­Muddatstsir 74 : 30) 1, dan (al-Hadid 57 :25). Tetapi untuk meyakinkan semua orang adalah pekerjaan sia-sia. Namun, seperti pandangan al­Qur'an, ini dimaksudkan "untuk menambah keimanan bagi yang telah beriman dan membuat tidak ragu bagi pembaca Kitab".
2. Murad Abdul Mayeed, http //www.subrnission.org/miracle/benford.html
3. Lihat juga jurnal matematika yang berhubungan dengan Hukum Benford, misalnya, htfp://www.mathpages.com/home/kmath302/kmafh302.htm. Lebih lengkap masuklah ke situs-situs Benford Law, Zipp Law, dan hubungan Benford Law dengan bilangan prima.
4.Ilmuwan anggota kelompok "submitfer" di Amerika Serikat, seorang ahli matematika dan peneliti al-Qur'an
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger