Latest Post

Ini cara Gus Dur ubah keangkeran Istana Merdeka

Written By Moh Wahyudi on Sabtu, 14 Desember 2013 | 01.55

  Ini cara Gus Dur ubah keangkeran Istana MerdekaSegera setelah dilantik menjadi Presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur segera menggagas strategi pemerintahannya. Dia misalnya, akan pulang ke Ciganjur sebulan sekali untuk melakukan salat Jumat di masjid setempat, dan kemungkinan bertanya jawab dengan rakyat.

Untuk urusan pribadi, Gus Dur akan menerima tamu di rumah Ciganjur, sementara urusan negara di Istana Merdeka. Seperti ditulis Greg Barton dalam buku Biografi Abdurrahman Wahid, Gus Dur sekeluarga juga berniat tinggal di Istana Merdeka, yang dulunya kediaman gubernur jenderal Belanda.

Soekarno menggunakan Istana Merdeka sebagai tempat kediaman resmi, sementara Soeharto hanya datang setahun sekali dan tidak pernah tidur di sana. Kata Barton, Soeharto biasanya menghabiskan setengah dari malam 17 Agustus di sana. Penguasa Orde Baru itu jelas tidak betah dan takut karena hantu-hantunya. Artinya, Istana Merdeka sudah lama tidak digunakan.

Ada cerita unik, ketika Gus Dur sekeluarga pindah ke Istana, mereka dihentikan di pintu masuk dan diberitahu bahwa mereka harus bernegosiasi dengan roh halus penjaga Istana. Mereka yang percaya segera yakin Istana ini ada hantunya, terutama sebuah kamar di ujung ruang utama. Ruang itu dibuka setahun sekali sebagai tempat penyimpanan bendera pusaka.

Hal itu dibenarkan Munib Huda Muhammad, ajudan Gus Dur yang paling setia. Dia mengatakan, orang-orang di Istana Merdeka benar-benar yakin ada hantu menghuni Istana itu. Bahkan dia memercayainya. "Kalau saya sendiri memang merasakan banyak hantu di situ. Wong sudah berpuluh-puluh tahun tidak digunakan. Serem memang," ujarnya kepada merdeka.com, Kamis (12/12).
Topik pilihan: PKB | Humor Gus Dur

Karena takut hantu, kata dia, tidak ada yang berani membersihkan tempat yang akan didiami Gus Dur. Dia mencontohkan, untuk membersihkan lantai empat dan lima di Wisma Negara saja tidak ada yang berani, takut dengan hantu yang menunggu di sana. "Ga ada yang berani, ikan Arwana sampai mati di aquarium ga diberi makan karena takut."

Begitu Gus Dur datang, mendadak semua orang menjadi berani. Para penjaga istana juga menjadi tidak takut dengan hantu-hantu di Istana. Pertanyaannya, cara apa yang dipakai Gus Dur sehingga keangkeran Istana menjadi hilang? Apakah memakai cara mistis, dukun, atau ritual-ritual?

Menurut Munib, bukan cara-cara mistis seperti itu dipakai Gus Dur untuk mengusir keangkeran Istana. Meski dia yakin Gus Dur sebenarnya merasakan soal hantu-hantu itu, yang kemudian berkembang cerita bermacam-macam di kalangan masyarakat. Namun terlepas dari semua itu, dia melanjutkan Gus Dur punya cara logis untuk mengusir keangkeran Istana.

"Begitu Gus Dur datang, Istana dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat. Istana ini kan punya negara, jadi masyarakat berhak memiliki. Jadi orang-orang dibolehkan ke sana, sehingga Istana menjadi ramai."

Terbukti, hanya di era Gus Dur Istana Merdeka ramai dan tidak angker lagi. Semua orang bisa masuk ke sana bertemu dengan Gus Dur, mulai dari pejabat, politisi, masyarakat umum, hingga kiai.
egera setelah dilantik menjadi Presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur segera menggagas strategi pemerintahannya. Dia misalnya, akan pulang ke Ciganjur sebulan sekali untuk melakukan salat Jumat di masjid setempat, dan kemungkinan bertanya jawab dengan rakyat.

Untuk urusan pribadi, Gus Dur akan menerima tamu di rumah Ciganjur, sementara urusan negara di Istana Merdeka. Seperti ditulis Greg Barton dalam buku Biografi Abdurrahman Wahid, Gus Dur sekeluarga juga berniat tinggal di Istana Merdeka, yang dulunya kediaman gubernur jenderal Belanda.

Soekarno menggunakan Istana Merdeka sebagai tempat kediaman resmi, sementara Soeharto hanya datang setahun sekali dan tidak pernah tidur di sana. Kata Barton, Soeharto biasanya menghabiskan setengah dari malam 17 Agustus di sana. Penguasa Orde Baru itu jelas tidak betah dan takut karena hantu-hantunya. Artinya, Istana Merdeka sudah lama tidak digunakan.

Ada cerita unik, ketika Gus Dur sekeluarga pindah ke Istana, mereka dihentikan di pintu masuk dan diberitahu bahwa mereka harus bernegosiasi dengan roh halus penjaga Istana. Mereka yang percaya segera yakin Istana ini ada hantunya, terutama sebuah kamar di ujung ruang utama. Ruang itu dibuka setahun sekali sebagai tempat penyimpanan bendera pusaka.

Hal itu dibenarkan Munib Huda Muhammad, ajudan Gus Dur yang paling setia. Dia mengatakan, orang-orang di Istana Merdeka benar-benar yakin ada hantu menghuni Istana itu. Bahkan dia memercayainya. "Kalau saya sendiri memang merasakan banyak hantu di situ. Wong sudah berpuluh-puluh tahun tidak digunakan. Serem memang," ujarnya kepada merdeka.com, Kamis (12/12).
Topik pilihan: PKB | Humor Gus Dur

Karena takut hantu, kata dia, tidak ada yang berani membersihkan tempat yang akan didiami Gus Dur. Dia mencontohkan, untuk membersihkan lantai empat dan lima di Wisma Negara saja tidak ada yang berani, takut dengan hantu yang menunggu di sana. "Ga ada yang berani, ikan Arwana sampai mati di aquarium ga diberi makan karena takut."

Begitu Gus Dur datang, mendadak semua orang menjadi berani. Para penjaga istana juga menjadi tidak takut dengan hantu-hantu di Istana. Pertanyaannya, cara apa yang dipakai Gus Dur sehingga keangkeran Istana menjadi hilang? Apakah memakai cara mistis, dukun, atau ritual-ritual?

Menurut Munib, bukan cara-cara mistis seperti itu dipakai Gus Dur untuk mengusir keangkeran Istana. Meski dia yakin Gus Dur sebenarnya merasakan soal hantu-hantu itu, yang kemudian berkembang cerita bermacam-macam di kalangan masyarakat. Namun terlepas dari semua itu, dia melanjutkan Gus Dur punya cara logis untuk mengusir keangkeran Istana.

"Begitu Gus Dur datang, Istana dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat. Istana ini kan punya negara, jadi masyarakat berhak memiliki. Jadi orang-orang dibolehkan ke sana, sehingga Istana menjadi ramai."

Terbukti, hanya di era Gus Dur Istana Merdeka ramai dan tidak angker lagi. Semua orang bisa masuk ke sana bertemu dengan Gus Dur, mulai dari pejabat, politisi, masyarakat umum, hingga kiai.
Segera setelah dilantik menjadi Presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur segera menggagas strategi pemerintahannya. Dia misalnya, akan pulang ke Ciganjur sebulan sekali untuk melakukan salat Jumat di masjid setempat, dan kemungkinan bertanya jawab dengan rakyat.

Untuk urusan pribadi, Gus Dur akan menerima tamu di rumah Ciganjur, sementara urusan negara di Istana Merdeka. Seperti ditulis Greg Barton dalam buku Biografi Abdurrahman Wahid, Gus Dur sekeluarga juga berniat tinggal di Istana Merdeka, yang dulunya kediaman gubernur jenderal Belanda.

Soekarno menggunakan Istana Merdeka sebagai tempat kediaman resmi, sementara Soeharto hanya datang setahun sekali dan tidak pernah tidur di sana. Kata Barton, Soeharto biasanya menghabiskan setengah dari malam 17 Agustus di sana. Penguasa Orde Baru itu jelas tidak betah dan takut karena hantu-hantunya. Artinya, Istana Merdeka sudah lama tidak digunakan.

Ada cerita unik, ketika Gus Dur sekeluarga pindah ke Istana, mereka dihentikan di pintu masuk dan diberitahu bahwa mereka harus bernegosiasi dengan roh halus penjaga Istana. Mereka yang percaya segera yakin Istana ini ada hantunya, terutama sebuah kamar di ujung ruang utama. Ruang itu dibuka setahun sekali sebagai tempat penyimpanan bendera pusaka.

Hal itu dibenarkan Munib Huda Muhammad, ajudan Gus Dur yang paling setia. Dia mengatakan, orang-orang di Istana Merdeka benar-benar yakin ada hantu menghuni Istana itu. Bahkan dia memercayainya. "Kalau saya sendiri memang merasakan banyak hantu di situ. Wong sudah berpuluh-puluh tahun tidak digunakan. Serem memang," ujarnya kepada merdeka.com, Kamis (12/12).
Topik pilihan: PKB | Humor Gus Dur

Karena takut hantu, kata dia, tidak ada yang berani membersihkan tempat yang akan didiami Gus Dur. Dia mencontohkan, untuk membersihkan lantai empat dan lima di Wisma Negara saja tidak ada yang berani, takut dengan hantu yang menunggu di sana. "Ga ada yang berani, ikan Arwana sampai mati di aquarium ga diberi makan karena takut."

Begitu Gus Dur datang, mendadak semua orang menjadi berani. Para penjaga istana juga menjadi tidak takut dengan hantu-hantu di Istana. Pertanyaannya, cara apa yang dipakai Gus Dur sehingga keangkeran Istana menjadi hilang? Apakah memakai cara mistis, dukun, atau ritual-ritual?

Menurut Munib, bukan cara-cara mistis seperti itu dipakai Gus Dur untuk mengusir keangkeran Istana. Meski dia yakin Gus Dur sebenarnya merasakan soal hantu-hantu itu, yang kemudian berkembang cerita bermacam-macam di kalangan masyarakat. Namun terlepas dari semua itu, dia melanjutkan Gus Dur punya cara logis untuk mengusir keangkeran Istana.

"Begitu Gus Dur datang, Istana dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat. Istana ini kan punya negara, jadi masyarakat berhak memiliki. Jadi orang-orang dibolehkan ke sana, sehingga Istana menjadi ramai."

Terbukti, hanya di era Gus Dur Istana Merdeka ramai dan tidak angker lagi. Semua orang bisa masuk ke sana bertemu dengan Gus Dur, mulai dari pejabat, politisi, masyarakat umum, hingga kiai.

Ini asal-usul ungkapan Gus Dur, "Gitu aja kok repot?"


Ungkapan "gitu aja kok repot" memang lekat dengan sosok mantan Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ungkapan itu kerap mengalir spontan dan lancar dari Gus Dut, terutama setiap kali berhadapan dengan masalah. Istilah kian popular ketika cucu pendiri NU Hasyim Asyari itu menjabat presiden, dan kerap mengulang-ulang ungkapan secara spontan di depan wartawan.

Media tentu akan memilih kutipan yang memenuhi kriteria layak berita. Sesuatu yang biasa-biasa saja tak akan dimuat di ruang edit. "Gitu aja kok repot" adalah favorit media ketika mengutip almarhum Gus Dur pada saat menjadi presiden selama 21 hari pada 1999 hingga 2001.

Meskipun banyak kalimat lain yang lebih bernas. Pilihan istilah itu memenuhi unsur "kontroversial" dalam kriteria layak berita. Buktinya, ungkapan tersebut awet sampai kini, dan seperti sudah melekat pada sosok Gus Dur. Semua orang pasti tahu siapa pemilik ungkapan tersebut.

Menurut Bambang Susanto, orang kepercayaan Gus Dur menjelang akhir-akhir sebelum wafat, pernah suatu ketika Gus Dur wawancarai reporter salah satu televisi swasta nasional. Dalam sebuah sesi tanya jawab, Gus Dur diminta mengulang ungkapan 'gitu aja kok repot', tapi ditolak.

"Saya tidak tahu mulai kapan ungkapan muncul, kalau tidak salah kan media yang pertama kali menulis. Tapi biasanya ungkapan itu keluar spontan, Gus Dur tidak mau mengulang. Biasanya ada yang menyeting, tapi beliau tidak mau," ujar Bambang yang kini menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum PKB itu.

Lalu sebenarnya sejak kapan Gus Dur menggunakan istilah itu? Sampai kini memang tidak ada catatan resmi dan pasti. Sebagai sebuah ungkapan, dulu mungkin istilah itu dianggap biasa.
Topik pilihan: PKB | Humor Gus Dur

Seperti dikata salah satu Ajudan Gus Dur, Munib Huda Muhammad. Munib nyantri di Ciganjur sejak awal 1998. Sebagai santri, dia terus mendampingi Gus Dur hingga meninggal pada akhir 2010. Dia pula yang menjadi orang kepercayaan Gus Dur saat menjabat sebagai presiden selama 21 bulan.

Menurut Munib, ungkapan "gitu aja kok repot" sebenarnya sudah sering dilontarkan Gus Dur jauh sebelum menjabat presiden. Sepengetahuannya, Gus Dur kerap memakai istilah itu dalam pidato-pidatonya, ketika bertemu seseorang, atau dalam forum-forum diskusi.

"Sejak awal 1998 sudah ada (ungkapan itu). Dalam pidato-pidato sering, pas ketemu orang juga. Terus kan berkembang, dan ramai ketika dikutip media massa yang perhatian pada istilah itu. Tidak disetting, itu keluar spontan dari beliau," ujarnya.

Lalu apa arti ungkapan "gitu aja kok repot"? Munib menjelaskan, ungkapan itu merupakan bentuk kepasrahan tingkat tinggi kepada Allah SWT. "Artinya, emang semua ini yang ngatur kita apa? yang ngatur kan Alloh. Jadi ini ungkapan tasawuf yang diyakini betul, makanya enak betul Gus Dur hidupnya, melihat semuanya serba ringan."

Sementara itu, putri Gus Dur, Zanuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, menyebut ungkapan itu berasal dari ilmu fikih, yakni dari kosakata arab "Yasir Wa La Tuasir" yang artinya permudah dan jangan dipersulit.

Oleh karena itu, sambung Yenny, ayahnya tidak pernah mempersulit segala urusan. Semua orang yang mengalami kesulitan dan datang ke Gus Dur akan selalu dibantu. Gus Dur tidak pernah memandang latar belakang, suku, ras, agama, dan golongan.

Sang Guru Pesantren dari Situbondo

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 03 Desember 2013 | 15.06

Judul         : Keteladanan KHR. Ahmad Fawaid As’ad
Penulis      : KH. Muhyiddin Abdusshomad
Editor        : Suparman
Penerbit    : Khalista, Surabaya
Cetakan    : I, April 2012
Tebal         : xi+ 46 hlm.
Peresensi : Ach. Tirmidzi Munahwan*

Akan datang kehancuran yang melanda bumi ini, yaitu ketika Allah mencabut ilmunya dari muka bumi ini. Allah mencabut ilmu bukan menghilangkan pengetatahuan, bukan pula melenyapkan ilmu pengetahuan. Tapi, dengan cara mengambil (meninggalnya) orang-orang yang berilmu. Maka, bumi ini tidak akan dipimpin oleh orang-orang yang berilmu dan dikuasai oleh orang-orang bodoh.

Ulama ialah orang yang menguasai ilmu agama. Orang yang menyerukan kepada umatnya untuk berbuat amar makruf nahi mungkar. Jika bumi ini telah kehilangan ulama, maka segera keburukan akan merajalela dan hanya tinggal menunggu waktu untuk sebuah kehancuran.

Di awal tahun 2012 di pulau Jawa telah kehilangan empat ulama yaitu KH Munif Djazuli wafat (Ploso), KH Imam Yahya Mahrus (Lirboyo, KH. Abdullah Faqih (Langitan) dan KHR. Ahmad Fawaid As’ad salah satu putra dari Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Almagfurlah KHR. As’ad Syamsul Arifin dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus Situbondo. Innalillahi wainna ilahi raji’un (seungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali). Semoga Allah mengampuni, mengasihi, melindungi, dan memaafkan beliau. Dan semoga Allah memberi kita kekuatan untuk meneladani, melanjutkan apa yang selama ini diperjuangkan oleh kedua ulama besar tersebut.

KHR. Fawaid As’ad adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo generasi ketiga. Sebagai penerus beliau telah mampu membuktikan bahwa beliau tidak hanya mampu melanjutkan, tetapi juga bisa mampu mengembangkan serta melakukan inovasi dengan terobosan baru sehingga pesantren Salafiyah Syafi’iyah bisa berkembang pesat dengan memadukan pesantren salaf dan modern. Pesantren ini didirikan pada tahun 1914 oleh KH. Syamsul Arifin (kakek Kiai Fawaid). Dan saat ini santrinya diperkirakan 13.000 santri dari berbagai daerah bahkan diantaranya bersal dari Malaysia dan Brunei Darussalam.

Kepergian KHR. Ahmad Fawaid As’ad pada hari Jumat 9 Maret 2012, jam 12.15 di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya telah mengisahkan duka yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga dilingkungan pesantren tetapi juga masyarakat luar yang menghormati  dan mencintai sepenuh hati. KHR. Ahmad Fawaid A’ad sebagai seorang pengasuh pondok pesantren yang besar di daerah ujung timur pulau jawa, mempunyai banyak aktivitas padat yaitu salalu meluangkan waktunya melakukan rapat langsung dengan para pengurus pondok, sehingga menimalisir jarak sosial antara kiai dan santrinya.

Kiai Fawaid juga berupaya meningkatkan taraf hidup penduduk dilingkungan pesantren dengan melibatkan mereka untuk memenuhi kebutuhan para santri. Sehingga penduduk merasakan dampak positif tidak hanya segi spiritual tapi juga taraf hidup mereka yang lebih baik. Kepedulian sosial beliau terhadap masyarakat luar biasa dan tak diragukan lagi, bahkan beberapa hari sebelum meninggal beliau masih sempat memberikan santunan kepada 500 anak yatim dan fakir mikin masing-masing berjumlah Rp. 500.0000 (hal.13).

Tentu menyadari sebagai ulama, Kiai Fawaid hidupnya didunia tidak akan lama lagi, meski tidak tahu pasti kapan ia akan dipanggil oleh Allah. Namun, beliau telah mempersiapkan penerusnya sebagai pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah, yaitu menunjuk Gus Ahmad Azaim Ibrahimi putra pasangan KH. Dhafir Munawar dan Nyai Hj. Zainiyah As’ad. Sehingga kepergiannya yang secara tiba-tiba kembali ke Rahmatullah, tidak menjadikan pesantren kalang kabut, tapi tetap tegak berdiri meski telah kehilangan pengasuhnya. Kiai Fawaid telah mempersipakan sistem dan pengelolaan yang matang untuk masa depan pesantren.

Buku ini menyajikan tentang beberapa prilaku KHR. Ahmad Fawaid As’ad yang patut diteladani oleh para generasi muda, santri, khususnya para pengasuh pesantren. Istiqamah membaca al-Qur’an, shalat berjama’ah setiap hari dalam kondisi apapun adalah amaliah yang tidak pernah ditinggalkannya. Bahkan dalam melakukan perjalanan, Kiai Fawaid selalu membaca al-Qur’an. Jadi tidak heran jika dalam satu minggu Kiai Fawaid selalu menghatamkan al-Qur’an minimal satu kali.

Walaupun buku ini amat sangat tipis dan sederhana, namun bisa sebagai pegangan untuk mengetahui sifat-sifat yang patut diteladani, dan bisa dijadikan refrensi bagi orang yang tertarik menulis biografi Kiai Fawaid secara umum. Buku kecil ini, ditulis oleh Kiai Muhyiddin Abdusshomad yang produktif menulis, juga dilengkapi dali-dalil penyelengaraan tahlil sekaligus teks tahlilnya yang biasa dibaca di pondok pesantren Salafiyah Syaf’iyah. Agar pengamal tahlil tidak ada keraguan dalam melaksanakan tradisi agung warisan ulama salaf ini. Wallahu a’lam


*Peresensi Adalah, Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi

Tiga Kiai Penggagas Dzikrul Ghofilin

Judul: Dzikir Agung Para Wali Allah
Penyunting: Muhammad Nurul Ibad
Editor: Abdillah Halim
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, 2012
Tebal: vi+ 233 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan*
Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun 1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Tiga kiai tersebut sudah dikenal oleh banyak kalangan khususnya dikalangan warga NU. Kiai Hamid Pasuruan dikenal sebagai kiai yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Selain dikenal mempunyai kemampuan spritualitas yang tinggi, Mbah Hamid juga dikenal oleh masyarakat sebagai seorang waliyullah, kekasih Allah yang sampai saat ini pesareannya setiap hari dipenuhi oleh para peziarah.

Kiai Hamim Jazuli atau yang panggilan akrabnya (Gus Miek), adalah sosok kiai yang nyentrik dan kontroversial. Namun meskipun dikenal sebagai sosok kiai yang nyeleneh, nyentrik, dan kontroversial ia mendapat pengakuan dari beberapa kiai khos seperti, Kiai Abdul Madjid, Kiai Mubasyir Mundzir, Kiai Abdullah Umar Kediri, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamid Kajoran. Gus Miek mempunyai keistimewaan yang tinggi, dan kemampuan supranatural. Kemampuan supranatural Gus Miek itu dalam istilah orang pesantren disebut “khariqul adat”, kejadian-kejadian aneh yang sulit dijangkau oleh akal manusia.

Kiai Achmad Shiddiq adalah kiai yang dikenal sebagai perumus Pancasila, dan peletak dasar khittah NU 1926 yang diputuskan di Situbondo. Gagasan dan ide-ide segarnya tentang pembaharuan NU banyak bermunculan darinya, juga kekonsistenannya mengabdi pada NU dan bangsa Indonesia tidak pernah diragukan. Di tahun 1972 Kiai Achmad Shiddiq menjadi pengikut pemula Gus Miek, dan berdakwah bersamanya melalui Dzikrul Ghofilin. Jadi munculnya berdirinya Dzikrul Ghofilin itu tidak terlepas dari tiga kiai, yakni Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika muncul istilah “tritunggal”, sebuah istilah yang masyhur dikalangan pengikut Gus Miek.

Adapun penggagas utamanya sekaligus penulis teks Dzikrul Ghofilin adalah Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek). Beliau banyak mencurahkan perhatian dan tenaga sepenuhnya demi memperjuangkan Dizikrul Ghofilin. Di Surabaya, Gus Miek memulai kegiatan Dzikrul Ghofilin yang hanya diikuti oleh beberapa orang hingga menjadi belasan orang jama’ah. Tempat kegiatannnya berpindah-pindah dari jama’ah yang satu ke jamaa’ah yang lainnya. Sebelum acara Dzikrul Ghofilin dimulai, Gus Miek mengajak jama’ahnya terlebih dahulu berkumpul di makam Sunan Ampel, dengan membaca al-Fatihah 500 kali, baru kemudian berangkat ke rumah yang menerima giliran acara Dzikrul Ghofilin.

Buku “Dzikir Agung Para Wali Allah” yang ditulis oleh Muhammad Nurul Ibad ini, di dalamnya menguraikan sejarah Dzikrul Ghofilin dan pengikut ajaran Gus Miek. Adapun yang menjelaskan sejarah Dzikrul Ghofilin yakni Kiai Ahmad Shiddiq dan Kiai Maftuh Basthul Birri, pengikut dan hafizh al-Qur’an yang aktif mengikuti kegiatan Jantiko Mantab sejak periode pertama. Kiai Maftuh Basthul Birri menilai bahwa amalan dalam Dzikrul Ghofilin seperti al-Fatihah, shalawat, tahlil, dan lain sebagainya adalah amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam sejak dulu. Dan amalan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran akidah ahlussunnah waljama’ah yang dalil dan rujukannya sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits.

Inti ajaran Dzikrul Ghofilin adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berdzikir. Menurut Gus Miek, fadhilah utama Dzikrul Ghofilin adalah murni tujuan akhirat, murni kebahagiaan di akhirat, dan biasanya orang yang benar-benar menata akhiratnya urusan duniawinya juga akan ikut tertata. Dengan demikian, cara termudah menurut Gus Miek adalah dengan mencintai para kekasih Allah dan orang-orang yang shaleh. Jika kita mencintai auliya’ kekasih Allah, dan sholihin orang-orang shaleh, maka besok kita akan dikumpulkan bersama mereka (hal.65).

Dengan membaca buku ini pembaca akan diajak mengetahui lebih jauh apa itu Dzikrul Ghofilin, siapa penggas utamanya, dan apa isi ajaran didalamnya? Penulis buku ini memberikan penjelasan ringkas, dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan mudah dimengerti. Di dalam buku ini juga dilengkapi beberapa teks bacaan yang dipakai pada acara Dzikrul Ghofilin.

Meneladani dan mengikuti jejak spiritual Gus Miek sangatlah penting, lebih-lebih menghidupkan kegiatan Dzikrul Ghofilin yang akhir-akhir ini mulai jarang masyarakat melakukannya. Saat ini umat Islam lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya duniawi saja, tidak memprioritaskan untuk kepentingan akhirat. Padahal tujuan awal didirikannya Dzikrul Ghofilin yang digagas oleh Gus Miek bukanlah untuk kepentingan dunia, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun meskipun sampai saat ini yang melakukan dan melaksanakan Dzikrul Ghofilin mulai jarang, setiap malam Ahad kliwon di pesantren Luhur Al-Husna Surabaya asuhan Prof Dr KH Ali Maschan Moesa masih istiqamah melaksanakan, dan melanjutkan jejak spritual Gus Miek (Dzikrul Ghofilin), yang diikuti oleh masyarakat dan para santri. Wallahu a’lam


* Peresensi Adalah, Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi

Meneladani Jejak Kiai Abdul Mujib

Judul: Biografi Kiai Abdul Mujib Abbas
Penulis : Moh. Syuaib Nur Aly, Wasid, Ahmad Dkk
Pengantar: KH Maimoen Zubaer
Penerbit: Pustaka Edia, Surabaya
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: xx + 135 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan*

Kiai adalah sosok atau figur yang selalu mendapat keistimewaan, kepercayaan, dan penghormatan dari masyarakat khususnya dari kalangan para santri. Dari kealiman dan ilmu yang dimiliki oleh para kiai, bisa mampu mempengarui masyarakat dan para santri-santrinya untuk mengikuti apa yang diperintahkan oleh kiai. Seorang kiai tentunya tidak hanya bisa berfatwa dengan lisan saja untuk mempengarui banyak orang, namun ia memberikan contoh terlebih dahulu dengan amal perbuatannya. Inilah menunjukkan bahwa, betapa hormat dan istimewanya seorang kiai yang selalu dihormati, disegani oleh banyak kalangan.

Peran dan perjuangan kiai sangatlah besar, khususnya pada bangsa Indonesia. Kiai juga ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Republik Indonesia, dengan semangat pengorbanan dan keikhlasan para kiai demi bumi pertiwi ini, akhirnya negara kita ini merdeka dan bebas dari jajahan Belanda. Selain berjuang untuk negara, kiai juga mepunyai tugas yang tidak kalah pentingnya, yakni sebagai pengasuh Pondok Pesantren, yang tugasnya mendidik para santri-santrinya. Tugas paling berat bagi seorang kiai adalah, bagaimana mendidik para santri-santrinya untuk menjadi orang yang baik,  taat beribadah, berprilaku adil, dan jujur. Hal semacam inilah yang diberikan dan ditanamkan oleh Kiai Abdul Mujib Abbas pada santri-santrinya semasa hidupnya.

Kiai Abdul Mujib lahir di Buduran Sidoarjo, beliau adalah putra Kiai Abbas dan ibu Nyai Khodijah. Kalau dirunut dari silsilahnya, beliau masih mempunyai hubungan darah dengan Kiai Wahab Hasbullah (salah satu pendiri NU), dari jalur ibunya. Mulai sejak umur 17 tahun, Kiai Abdul Mujib selalu mendapat bimbingan langsung oleh sang ayah (Kiai Abbas), dan mendapat pengawasan pula oleh ibunya Nyai Khodijah. Dengan gemblengan langsung dari sang ayah, Kiai Abdul Mujib adalah sosok yang cukup cerdas dan serius dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketekunan dan ketelatenan Kiai Abbas dalam mendidik sang buah hati, turut memberikan pengaruh yang besar terhadap putra-putrinya, dengan harapan kelak menjadi pemimpin dan pengayom umat dimasa-masa yang akan datang.

Dengan semangat dan diiringi dengan penuh kesabaran dalam mencari ilmu, Kiai Abdul Mujib termasuk sosok yang ulet dan haus ilmu. Beliau memulai belajar ilmu kebeberapa pesantren. Pada tahun 1950, pada waktu itu Kiai Abdul Mujib genap usia 18 tahun, oleh sang ayah dititipkan ke Peasantren Darul Ulum Rejoso Jombang asuhan Kiai Romli Tanim seorang kiai yang dikenal sebagai salah satu mursyid tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah, dan sebagai seorang kiai penghafal al-Qur’an (hafidh al-Qur’an). Di Pesantren Darul Ulum inilah, awal mulanya Kiai Abdul Mujib menimba berbagai macam ilmu agama.

Setelah menempuh ilmu selama satu tahun di Pesantren Darul Ulum Jombang, Kiai Abdul Mujib melanjutkan pengembaraannya lagi ke Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Madura, yang diasuh oleh Kiai Abdul Majid. Meskipun jarak lebih jauh dari pondok sebelumnya, dan berbeda kultur tidaklah membuat  Kiai Abdul Mujib patah semangat dalam mencari ilmu. Prinsip Kiai Abdul Mujib dalam berproses mencari ilmu tidak mengenal jauh dekat tempat pondok yang beliau tempuh, apalagi hingga perbedaan kultur. Menurut Kiai Abdul Mujib, belajar ilmu tidak dibatasi dengan faktor jauh dekatnya pondok yang beliau tempuh dan perbedaan kultur, melainkan sejauh mana ia belajar dengan istiqamah, dengan harapan apa yang dicita-catakan bisa tercapai, dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat barakah .

Buku biografi lengkap Kiai Abdul Mujib Abbas ini, di dalamnya mengulas tuntas sejarah perjalanan hingga perjuangannya sebagai pengasuh Pesantren al-Khoziny Buduran Sidoarjo. Menurut pengakuan para santri-santrinya yang diantaranya, KH Abdullah Syamsul Arifin yang pangilan akrabnya Gus Aab sekaligus yang memberikan epilog dalam buku ini, Kiai Abdul Mujib adalah sosok kiai yang benar-benar ulama. Karena dua prasyarat esensial yang harus dimiliki oleh seseorang disebut ulama, yaitu kesalehan yang total dan ketakwaan yang tinggi serta menjadi pewaris para Nabi, telah dimiliki oleh sosok Kiai Abdul Mujib (hal.123).

Meskipun disebut sebagai ulama besar, Kiai Abdul Mujib tetap tidak menampakan sebagai kiai besar. Ia tetap berpenampilan sederhana, bergaul dengan siapapun saja termasuk dengan santri-santrinya. Dan yang patut kita teladani dari Kiai Abdul Mujib adalah, istiqamahnya melakukan shalat berjama’ah bersama santri-santrinya, walaupun dalam kondisi apapun beliau tetap tidak pernah meninggalkan sholat berjama’ah.

Kehadiran buku biografi Kiai Abdul Mujib ini, sangatlah penting untuk dibaca khususnya oleh para santri maupun alumni Pesantren al-Khoziny. Dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan dilengkapi dengan data-data yang akurat buku ini enak dibaca. Akhirnya dengan membaca buku ini, pembaca bisa mampu meneladani prilaku yang selama ini dilakukan oleh para kiai-kiai, seperti prilaku yang di lakukan oleh Kiai Abdul Mujib Abbas. Wallhu a’lam


* Peresensi adalah Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi

Syaikhona Kholil Penentu Berdirinya NU

 

Judul: Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama
Penulis: RKH Fuad Amin Imron
Pengantar: Dr KH Said Aqil Siradj, MA
Editor: Nico Ainul Yakin
Penerbit: Kahlista, Surabaya
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: 228 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan

Madura yang mayoritas penduduknya banyak orang mengatakan kehidupannya berada di bawah kemiskinan, berwatak keras, mata pencahariannya setiap hari sebagai petani, pedagang, dan mengadu nasib ke berbagai manca negara. Meskipun banyak orang yang cenderung mengartikan orang Madura dikenal mempunyai kepribadian kurang baik, identik dengan kekerasan, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Orang Madura juga mayoritas penduduknya adalah orang yang taat beragama, ramah, halus santun, seperti orang Madura yang ada di Kabupaten Sumenep. Semangat dan etos kerja yang pantang menyerah dan istiqamahnya dalam meraih cita-cita, adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh Madura.

Pulau yang terdiri dari empat kabupaten, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep ini dikenal dengan tempat kediaman para raja dan kiai. Seperti Raja Sultan Abdurrahman (Asta Tinggi Sumenep), Raja Batu Ampar Pamekasan, dan salah satu kiai yang cukup fenomenal, yakni Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil ini, adalah keturunan dari para wali songo yakni, Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri (Muhammad Ainul Yaqin), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), dan bersambung hingga Rasulullah SAW. Maka tidak berlebihan jika banyak orang beranggapan bahwa, Syaikhona Kholil dikatakan seorang ulama dan gurunya para kiai se-Jawa dan Madura.

Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan (hal.17-177).

Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU). Dalam proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ke tangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona Kholil Bangkalan. Munculnya isyarah sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam buku biografi lengkap Syaikhona Kholil Bangkalan ini, juga menceritakan beberapa kisah karomah Syaikhona yang terkadang sulit dijangkau oleh akal manusia. Seperti dalam kesaksian Kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu santri yang sekaligus menjadi khodim (pelayan) Syaikhona Kholil. Suatu ketika Kiai As’ad dipanggil oleh Syaikhona Kholil, diperintah untuk memberikan seutas tasbih dan bacaan asmaul husna “Ya Jabbar Ya Qohhar”, kepada Kiai Hasyim As’ari dan sekaligus memberikan uang 1 ringgit untuk bekal dalam perjalanan. Setelah memberikan uang sebagai bekal dalam perjalanan, tasbih pemberian Syaikhona Kholil akhirnya dikalungkannya kepada leher Kiai As’ad, lalu berangkatlah beliau ke Jombang. Dengan kekuasaan Allah, dalam perjalanan dari Bangkalan hingga sampai di Jombang uang pemberian Syaikhona Kholil tetap utuh. Kejadian ini menurut Kiai As’ad adalah bagian karamah yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.

Jika kita dicermati dengan seksama ternyata pendirian jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), melalui proses waktu yang panjang. Dan proses berdirinya NU ini, menurut penulis tidak lepas dari perjuangan dan peran “Tokoh Empat Serangkai” yakni Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Namun menurut penulis, penyebutan empat ulama tersebut bukan berarti menafikan peran penting ulama lainnya seperti, Kiai Nawawie Sidogiri Pasuruan, Kiai Ridwan Surabaya, dan Kiai Bisri Sansuri Jombang.

Penulis dan editor kurang selektif dan teliti dalam mengoreksi buku ini, banyak kepenulisan yang salah ketik yang tentunya akan mengganggu kepada pembaca. Namun buku ini tetap menarik untuk kita baca dan kita miliki. Dengan membaca buku Syaikhona Kholil Bangkalan ini, pembaca akan di ajak untuk meneladani perjuangan Syaikhona Kholil dan para ulama lainnya ketika melakukan proses berdirinya NU. Mengingat besar perjuangan para tokoh NU, dengan harapan warga NU khususnya para elit-elit NU mampu mengembalikan NU kepada jati dirinya, yaitu sebagai pengayom umat, penjaga pesantren, dan pengawal tradisi. NU bukanlah kendaraan berpolitik praktis yang tujuannya hanya untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Wallahu a’lam


* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi</div>

Di Bawah Komando Rais Aam

Judul : Biografi 7 Rais Am PBNU
Penulis : M. Solahudin
Penerbit : Nous Pustaka Utama Kediri, 2012
Ukuran : 13 x 19 cm
Halaman : 210 hlm
Harga : Rp. 23.000
Pemesanan : (0354) 7630064, 081804055614
Peresensi : A. Khoirul Anam*


Masyarakat umum di Indonesia saat ini barangkali lebih memperhatikan siapa yang menjadi Ketua Umum NU, bukan Rais ‘Am atau pemimpin utamanya. Ini bermula ketika NU bermetamorfosa menjadi partai politik yang secara formal dipimpin oleh ‘Ketua Umum’, sementara Rais ‘Am (lebih sering di tulis Rais Aam) difungsikan sebagai dewan pembina.

Perhatian pada sosok ketua umum memuncak pada saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kharisma Gus Dur yang luar biasa membuat banyak orang lupa bahwa komando utama NU berada di Rais ‘Am atau syuriyah lainnya yang beranggotakan para kiai, bukan ketua umum atau tanfidziyah. Sejak dilahirkan pada 1926 NU memang telah meneguhkan diri sebagai organisasi yang dipimpin para kiai. Nama ‘nahdlatul ulama’ itu sendiri berarti ‘kebangkitan para ulama’ atau para kiai.

‘Rais ‘am’ adalah istilah bahasa Arab yang sebenarnya juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘ketua umum’. Namun dalam tradisi NU, sebutan untuk ketua syuriyah atau pengurus syuriyah yang lain menggunakan istilah bahasa Arab.

Pada saat NU dideklarasikan di Surabaya 1926 para kiai meminta dengan hormat kepada KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Am, dan sebagai rais Am pertama beliau digelari “Rais Akbar NU”. Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbulllah dan para kiai lainnya menunjuk H Hassan Gipo sebagai ketua tanfidiyah (ketua umum). Hassan Gipo berasal dari kalangan profesional yang bertugas melaksanakan program-program NU yang telah digariskan oleh para kiai di syuriyah.

Demikianlah. Buku ‘Biografi 7 Rais Am PBNU’ yang ditulis oleh M. Solahudin mengingatkan kembali kepada kita bahwa NU dipimpin oleh para kiai yang berada di jajaran syuriyah, dan pemimpin utamanya adalah Rais ‘Am.

“Jika ada yang mengatakan bahwa NU adalah pesantren besar atau pesantren adalah NU kecil, maka Rais Am PBNU identik dengan kiai (pimpinan tertinggi di pesantren) dan Ketua Umum PBNU sejajar dengan ketua pondok yang dulu dikenal dengan lurah pondok,” demikian penggambaran dalam buku itu.

Dalam perjalanan sejarahnya NU telah memiliki tujuh Rais 'Am. Beliau-beliau adalah Hadrastusy Syekh KH M. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang (dikenal sebagai Rais Akbar), KH. A. Wahab Hasbullah Tambakberas Jombang, KH. M. Bisri Syansuri Denanyar Jombang, KH. Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta, KH. Ahmad Shiddiq Jember, KH. Moh. Ilyas Ruhiat Cipasung Tasikmalaya, dan yang saat ini masih sedang menjalankan amanah adalah KH M.A. Sahal Mahfudh Kajen Pati.

Buku ‘Biografi 7 Rais Am PBNU’ ini bukan sekedar kumpulan riwayat hidup, namun kisah-kisah keteladanan dari para kiai kita. Semoga buku ini bisa menjadi i’tibar untuk menempa diri. Bagi para kader NU, biografi para Rais ‘Am sangat penting untuk menumbuhkan optimisme dan memberikan orientasi dalam berkhidmah membangun Indonesia melalui jalur NU.



*Peresensi adalah alumni Pesantren Lirboyo, redaktur pelaksana NU Online
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger