Latest Post

Kiai Abdul Halim Leuwimunding dan Kesederhanaannya

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 27 Januari 2015 | 02.52



Seorang alim dari Jawa Barat yang menjadi salah satu pendiri NU awal. Namanya terabadikan dalam dokumen kepengurusan NU. Setelah jam'iyyah ini didirikan pada 26 Januari 1926, menjabat sebagai Katib Tsani (Katib Awwal dijabat KHWahab Hasbullah). Selain dirinya, semua pengurus NU awal itu adalah tokoh-tokoh Jawa Tengah dan Jawa Timur (termasuk Madura).
Ia juga dipandang sebagai satu-satunya pendiri NU yang saat itu belum memiliki pesantren. Nama Abdul Halim selalu dikaitkan dengan Leuwimunding, untuk membedakan nama Abdul Halim lain yang juga berasal dari daerah yang sama. Abdul Halim yang lain ini adalah pendiri Persyarikatan Ulama yang berpusat di Majalengka.
Abdul Halim Leuwimunding sering dikelirukan dengan Abdul Halim yang menjadi pendiri Persyarikatan Ulama itu. Padahal, keduanya berbeda, meskipun sama-sama pernah ke Makkah dan bahkan hingga saat ini dimajalengka Nama Abdul Halim yang jadi nama jalan dikota hanya tokoh PUI saja.
Leuwimunding adalah nama sebuah desa yang di masa lalu merupakan kawedanan yang membawahi dukuh-dukuh Leuwimunding. Lebak (Leuwikujang), Cirabat (Mirat), dan Cibatur/Nyebrak (Ciparay). Sekarang,Leuwimunding nama kecamatan dengan 14 desa, dan diantaranya Desa Leuwimunding sendiri, yang semuanya berbahasa Sunda kecuali satu desa yang menggunakan Bahasa Jawa, yaitu Desa Patuanan. Secara harfiah, nama Leuwimunding berarti "danau tempat minumnya kerbau", karena di masa lalu,tempat ini adalah hutan yang terdapat danau yang dijadikan tempat minum satwa liar, termasuk kerbau.
Dari Makkah ke Tebuireng
Abdul Halim Leuwimunding dilahirkan pada Juni 1898 dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Santamah. Para buyutnya adalah tokoh-tokoh setempat, yaitu Buyut Kreteg, Buyut Liuh, dan Buyut Kedung Kertagam. Setelah itu, Abdul Halim belajar mengaji di Pesantren Trajaya Majalengka, kemudian meneruskan ke Pesantren Kedungwuni, Majalengka, dan dilanjutkan di Pesantren Kempek, Cirebon.
Sebagaimana tokoh-tokoh di masanya yang berkelana sampai Makkah untuk menuntut ilmu, Abdul Halim juga menempuh hal yang sama. Ini dilakukan ketika ia baru berusia 16 tahun, yaitu pada sekitar tahun 1914.
Sebelumnya dua pamannya telah berada di sana, yaitu H. Ali dan H. Jen. Di Makkah Abdul Halim bertemu dan berkawan baik dengan K.H.Abdul Wahab Hasbullah. Ia kemudian pulang ke tanah asalnya pada 1917, dan satu tahun kemudian ia mencari ilmu di pesantren yang ada di Jawa Timur.
Abdul Halim memutuskan berangkat ke Tebuireng, Jombang, yang saat itu diasuh oleh kiai yang sangat dihormati di seluruh Jawa dan Madura yaitu K.H. Hasyim Asy'ari. Dengan demikian, sejak awal Abdul Halim sudah memiliki jaringan dengan pendiri NU, baik dengan K.H. Abdul Wahab maupun K.H. Hasyim Asy'ari. Abdul Halim kemudian menjadi salah satu peserta diskusi-diskusi dalam perbincangan pendirian NU, dan salah seorang yang hadir dalam pendirian NU pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H di Kertopaten, Surabaya. Ia sendiri kemudian mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai Katib Tsani dalam kepengurusan NU awal itu.
Selama berguru kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan merupakan tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan menularkan kemampuan ilmiahnya.
Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dengan interaksi sosial keagamaan dalam Nahdlatul Wathan merupakan salah satu sumbangsih KH Abdul halim. Bagi KH Abdul halim pendekatan sosial kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah keilmuan syariat bagi kehidupan masyarakat menumpakan sebuah terobosan yang sangat urgen dalam menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.
Abdul Halim juga memerintah dan mengembangkan NU di Jawa Barat, khususnya sekitar Majalengka, bersama kiai-kiai yang merintis NU di Jawa Barat, seperti K.H. Abbas dan keluarga Pesantren Buntet, K.H. Mas Abdurrahman dan masih banyak lagi yang lain.
Sebagai pendiri NU, Abdul Halim tidak memiliki pesantren, tetapi atas saran K.H. Wahab Hasbullah yang bertemu di Bandung pada 1954, kemudian Abdul Halim mendirikan pusat pendidikan. Baru pada tahu 1963 ia mendirikan dan mengembangkan Madrasah Ibtidaiyyah Nahdlatul Ulama (MI-NU) yang menjadi Madrsah Dinyah pertama di Majalengka. Pada perkembangan selanjutnya, pendidikan ini bertambah dengan Madrasah Tsanawiyah Leuwimunding di bawah payung Yayasan Sabilul Halim.
Sosok yang Sederhana
Selama perjalanannya dalam mengembangkan NU di Jawa barat, ia hanya berbekal dua sarung dan makanan seadanya. Lalu, pada saat menjadi anggota DPR GR tak pernah sedikit pun memakai uang atau fasilitas negara. Bahkan mushola dan mesjid menjadi tempat istirahat di kala perjalanan menuju ibu kota Jakarta.
Tidak hanya berkiprah di dunia pendidikan. Pada tahun 1955 KH Abdul Halim menjadi anggota DPR dari partai NU dari perwakilan Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul halim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.
Sang alim ini meninggal dunia pada 11 April 1972 dengan meninggalkan kenangan kesederhanaan hidup dan kesahajaan disemayamkan di sekitar area Gedung MTs Sabilul Chalim Leuwimunding. (Aris Prayuda/Anam)

*Dikutip dari buku "KH Abdul Chalim Kenapa Harus Dilupakan?" karya J. Fikri Mubarok), dan wawancara dengan Drs Arifin Muslim (Wakil Ketua PCNU Majalengka, 13 Januari 2015)

Sekilas Riwayat Kiai Umar Al-Muayyad Solo


Wasiate Kyai Umar maring kita
Mumpung sela ana dunya dha mempengo
Mempeng ngaji ilmu nafi’ sangu mati
Aja isin aja rikuh kudu ngaji

Syair yang diambil dari Sholawat Wasiat tersebut, akan menyambut para peziarah saat masuk ke makam KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta. Kiai Umar yang lahir pada 5 Agustus 1916 merupakan seorang tokoh ulama kharismatik dari Solo.

Menurut pengasuh Pesantren Al-Inshof Mojosongo, KH Abdullah Sa’ad, Kiai Umar termasuk sebagai salah satu ‘cagak bumi’ pada zamannya (di era 1980-an,-red). “Kiai Maksum Lasem suatu ketika pernah menyebut, ada beberapa ulama yang menjadi ‘cagak bumi’, mereka yakni KH Arwani Amin Kudus, KH Abdul Hamid Pasuruan, Habib Anis Al-Habsyi Solo dan KH Umar Abdul Mannan Solo,” ungkapnya pada sebuah kesempatan.

Tidak hanya itu, KH Mubasyir Mundzir Bandar Kidul Kediri, juga pernah menyatakan bahwa Kiai Umar yang seumur hidupnya selalu menjaga wudhu dan shalat berjamaah itu adalah salah seorang anggota wali autad, yakni tingkatan yang setiap masa anggotanya hanya empat orang.

Berawal dari Sebuah Langgar

Dari beberapa kesempatan kami berziarah ke sana, makam Kiai Umar setiap hari hampir tak pernah sepi dari peziarah. Apalagi ruang kecil di sebelah barat masjid pondok itu, sering digunakan untuk tempat mengaji para santri. Para santri meneruskan apa yang telah dirintis oleh Kiai Umar, sejak puluhan tahun yang lalu. Seperti halnya para santri, sejatinya Kiai Umar pun meneruskan apa yang telah dibangun oleh para pendiri.

Dahulu, sebelum berdiri pondok dan masjid, kegiatan pengajian yang dipimpin KH Abdul Mannan masih dipusatkan di sebuah langgar panggung di kampung Mangkuyudan. Pada tahun 1937, Kiai Abdul Mannan memanggil Umar muda yang tengah nyantri, untuk pulang kampung, menggantikan mengelola langgar.

Pada perkembangannya, setelah dipegang Kiai Umar langgar panggung tersebut semakin ramai dengan para santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan, bagian bawah langgar pun tak cukup untuk menampung tempat tinggal para santri.

Kiai Umar kemudian memohon kepada sang ayah untuk membeli sebagian tanah milik KH Ahmad Shofawi. Pada awalnya KH Ahmad Shofawi keberatan menjual tanah karena beliau sendiri tidak berkeberatan tanahnya digunakan untuk pondok pesantren. Namun akhirnya KH Ahmad Shofawi bisa memahami alasan rencana pembelian tanah oleh keluarga KH Abdul Mannan.

Lalu dibelilah sebidang tanah untuk pondok tak jauh dari  Langgar Panggung. Untuk membeli tanah ini, KH Abdul Mannan menjual sebidang tanah milik beliau yang terletak di sebelah selatan Stasiun Purwosari dekat Kantor Pajak sekarang. Pondok itu kemudian dibangun pada tahun 1947 dan diberi nama Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan yang di sebelah baratnya telah berdiri Masjid Al-Muayyad seluas 183 meter persegi yang merupakan wakaf dari KH Ahmad Shofawi. Masjid ini dibangun pada tahun 1942 dan status wakafnya tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Laweyan Surakarta.

Sebuah sumber, sebagaimana ditulis Muhammad Ishom dalam Majalah Serambi Al-Muayyad Edisi ke-6 (2014), menyebutkan tanah yang dibeli KH Abdul Mannan dari KH Ahmad Shofawi adalah seluas 400 meter  persegi.  Sumber lain menyebutkan sebuah dokumen berupa Surat Hak Tanah Persil No. 423 menyatakan tanah di Mangkuyudan, tepatnya di Kampung Todipan Kalurahan Purwosari, seluas 2.550 meter persegi dimiliki secara berdua antara KH Ahmad Shofawi dan KH Umar.

Pada tahun 1983 dokumen tersebut telah dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik No. 797 atas nama 12 orang yang mencakup ahli waris KH Ahmad Shofawi dan KH Ahmad Umar. Ahli waris KH Ahmad Umar telah sepakat mewakafkan tanah yang dibeli KH Abdul Mannan untuk Pondok Pesantren Al-Muayyad seberapapun luasnya meskipun hingga kini proses sertifikasi tanah wakaf belum selesai dan akan terus diupayakan.

Pendidik Handal

Sebelum pulang kampung, Kiai Umar sempat nyantri di beberapa pesantren diantaranya Termas Pacitan, Mojosari Nganjuk, Popongan Klaten dan Krapyak Yogya. Di pesantren yang terakhir disebut inilah, Kiai Umar mendapatkan silsilah keilmuannya di bidang Al-Qur’an, yang bersambung mulai dari pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta KHR Moehammad Moenawwir hingga Nabi Muhammad saw.

Oleh sebab itulah, sebutan Pesantren Al-Qur'an juga melekat kuat pada Pesantren Mangkuyudan, sebutan lain Al-Muayyad, hingga sekarang. Pada zaman itu, Kiai Umar menjadi rujukan utama bagi santri-santri yang ingin mengaji Al-Qur'an, baik bin nazdor ataupun bil ghoib. Kepada Kiai Umar, santri-santri di berbagai penjuru untuk menyambungkan sanad dan ngalap berkah Kiai Moenawwir Krapyak.

Meski demikian, tidak semua santri mendapatkan ijazah atau sanad langsung dari Kiai Umar. Sebab, Kiai Umar terbilang sangat berhati-hati. Meski murid tahfizhul Qur'an-nya ribuan, namun tidak banyak santri diketahui telah mendapatkan ijazah sanad Al-Qur’an. Hal ini disebabkan persyaratan ketat yang ditetapkan sang kiai yang meliputi akhlak, ketekunan dalam beribadah serta kesungguhan dalam mengaji.

Dalam mengajar Al-Qur’an, selain telaten dalam mendidik Kiai Umar juga memiliki cara tersendiri. Hal ini diungkapkan salah satu keponakannya, KH M. Dian Nafi’. Menurut Kiai Dian yang kini mengasuh Pesantren Al-Muayyad cabang Windan Sukoharjo, ia begitu kagum dengan cara menanamkan hafalan Al-Qur’an Kiai Umar kepada para saudaranya yang masih kecil.

“Cara mendidik Mbah Umar kepada adik-adiknya seperti sedang ‘bermain’. Sehingga, adik-adik beliau sudah dapat hafal Al-Qur’an dalam waktu usia yang relatif masih kecil. Saya menyebut metode tersebut dengan istilah bahasa abjektif. Yakni, bahasa tanpa gramatika, seperti bahasa bayi, tak terstruktur tapi dapat dipahami orang di sekitarnya. Bahkan, memiliki muatan pesan yang universal,” terang Wakil Rais Syuriyah PWNU Jateng itu.

Dari metode tersebut ikut memberi andil, sehingga adik-adiknya di kemudian hari juga menjadi para ahli Al-Qur’an. Mereka antara lain KH M Nidhom (Pendiri Pesantren di Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Solo) dan KH Ahmad Jisam (Pendiri Pesantren Gondang Sragen).

Pada kurun waktu hingga awal 70-an, lahir pula generasi santri yang kelak menjadi ulama besar di zamannya, diantaranya KH Salman Dahlawi (Pesantren Al-Manshur Popongan/Mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah), KH Baidlowi Syamsuri (Pengasuh Pesantren Sirojut Tholibin Brabu), KH Nuril Huda, KH Ma’mun Muro’i dan lain sebagainya.

Ikut Membesarkan NU

Di tengah kesibukannya dalam mengajar, Mbah Umar ikut memperhatikan keberlangsungan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, khususnya di wilayah Soloraya. Di masa kepemimpinannya, Al-Muayyad bergabung menjadi anggota Rabithah al Ma’ahid al Islamiyyah Nahdlatul Ulama dengan Nomor Anggota: 343/B Tanggal: 21 Dzul Qa’dah 1398 H/23 Oktober 1978 M di bawah pimpinan KH Achmad Syaikhu.

Wakil Ketua PCNU Surakarta H Hari Mas’udi menuturkan meskipun Mbah Umar tidak pernah mengemban amanah di kepengurusan NU secara struktural, namun dukungannya kepada NU begitu luar biasa.

“Salah satu kisah, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi, setelah istikharah Mbah Umar langsung mengganti plang Masyumi yang tadinya dipasang di sekitar kompleks pondok dengan plang NU,” ujarnya.

Pun ketika terjadi kemelut pada NU, yang berujung pada terbelahnya NU menjadi “dua kubu”, yakni “kubu Situbondo” dan “kubu Cipete”, sebelum akhirnya diputuskan untuk kembali ke khittah 1926 pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Kiai Dian Nafi’ yang kala itu masih muda, bertanya kepada Kiai Umar perihal kejadian ini. Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh Kiai Umar sebagaimana dikisahkan oleh KH Yahya Cholil Staquf.

“Orang itu pangkatnya lain-lain. Ada yang pangkatnya memikirkan NU, ada yang pangkatnya mengurusi NU. Lha kita ini baru sampai pangkat mengamalkan NU. Ya sudah, bagian kita ini saja kita laksanakan. Mengajar santri, ngopeni orang kampung. Jangan sampai terlalu banyak orang memikirkan dan ngurusi NU tapi langka yang mengamalkannya,” jawab Kiai Umar.

KH Ahmad Umar wafat pada tanggal 11 Ramadhan 1400 H/24 Juli 1980 M, meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyyah Umar. Atas permintaan dua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi, jenazah sang allamah dimakamkan di belakang masjid Al Muayyad, di tengah kompleks pesantren yang didirikannya.

Salah seorang santri bercerita, dua bulan sebelumnya, kedua orang yang dekat dengan Kiai Umar itu sempat berbincang bahwa biasanya pesantren akan pudar sinarnya bila kiainya wafat tanpa meninggalkan anak. Untuk “mengatasi” hal itu berdasarkan petunjuk para kiai sepuh, hendaknya jasad Kiai Umar dimakamkan di kompleks pesantren. Diibaratkan, liang lahat sang kiai akan menjadi “bintang” yang tetap memancarkan cahayanya hingga tidak memudarkan pesantren yang ditinggalkannya. (Ajie Najmuddin/Anam)

Ketika Manusia Berharap



Di dalam kitab Tanbihul Ghafilin karya Imam Abi Laits as-Samarqandi, dikisahkan pada Hari Kiamat nanti, sekelompok manusia ada yang merasa sangat kesusahan dengan keadaan yang dialaminya.

Mereka kemudian mendatangi Nabi Adam a.s. berharap sang “Abal Basyar” dapat memberikan pertolongan. “Isyfa’ lana (syafa’atilah kami)!” teriak mereka.

Namun, sayangnya jawaban yang keluar tidak sesuai harapan mereka, “Aku tidak berani menempati maqam memberikan syafa’at kepada kalian! Aku pernah dikeluarkan dari Surga, sebab kesalahanku,” ungkap Nabi Adam a.s.

“Pada hari ini, tidak ada hal yang lebih menyusahkan dibanding diriku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi Ibrahim!”

Kemudian mereka beralih, menuju kepada Nabi Ibrahim a.s, sang Khalilullah (kekasih Allah). Jawaban serupa didapatkan mereka setelah menemui Nabi Ibrahim a.s.

“Aku tidak berani. Aku pernah berbohong tiga kali!*

“Pergilah engkau kepada Nabi Musa!”

Kepada Nabi Musa, mereka kembali menitipkan harapan. “Mintakan kami syafa’at dari Allah, agar Allah segera memberikan keputusan kepada kami,” pinta mereka.

Namun, kembali kekecewaan yang mereka dapatkan. “Sewaktu di dunia, aku pernah membunuh seseorang. Maka, pada hari ini, tidak ada hal yang paling kupikirkan dibanding diriku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi Isa!”

Untuk ke sekian kali, mereka belum jua mendapat jawaban. Tibalah kepada Nabi Isa a.s.

“Wahai, Isa! Sudikah anda memintakan syafa’at untuk kami?”

“Aku dan ibuku dijadikan sesembahan, dianggap sebagai Tuhan selain Allah. Maka, pada hari ini, tidak ada hal yang paling kupikirkan, dibanding diriku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi Muhammad, sang penutup para nabi!”

Kemudian mereka mendatangi Nabi Muhammad saw. untuk meminta syafa’at.

Na’am, ana laha! Akulah yang memiliki hak untuk memberikan syafa’at, sehingga Allah memberikan izin dan ridha kepada orang yang kuberikan syafa’at,” jawab Rasulullah saw.

Maka, kepada siapa lagi kita menggantungkan harapan untuk mendapat syafa’at di Hari Akhir nanti? Sudah semestinya pula, kita berharap untuk mendapatkan syafa’at dari al-musthofa, sembari mendendangkan syair pujian untuk beliau: Isyfa’ lana/ Ya habibana/ Laka syafa’at/ wa hadza mathlabi/ Ya Nabi//. (Ajie Najmuddin)


*Nabi Ibrahim pernah ‘berbohong’ tiga kali : 1. Ketika diajak untuk pergi ke kuil, kemudian ia berbohong bisa sakit kalau berangkat ke kuil. 2. Usai menghancurkan berhala, kemudian ditanya raja Namrud, siapa yang menghacurkan berhala, dijawab : yang menjawab berhala adalah berhala yang laing besar. 3. Ketika ditanya raja Namrud, perihal istrinya, dijawab : ini saudara perempuan saya.

Orang Marah Yang Dicintai Allah


Suatu hari seorang kaya raya memanggil budaknya. Ia membutuhkan sesuatu. Perutnya berbunyi. Alarm di mana tubuh si orang kaya ini membutuhkan pasokan logistik. Mulutnya bau. Ia lapar. Karna lapar juga menyerang orang kaya. Kekayaannya terikat (muqayyad). Tiada kekayaan absolut (mutlaq). Artinya, orang kaya maupun orang miskin, pejabat maupun jelata, sama-sama faqir.

Memahami perintah sang tuan, si budak membawakan makanan dalam sebuah nampan lebar. Tanpa pikir panjang, ia jalani kewajiban sebagaimana biasanya. Tetapi hari itu yang tanpa mendung apalagi hujan, mengubah nasibnya.

Di tengah membawa nampan lebar itu, kakinya menabrak bibir permadani tebal. Ia tersandung. Ia jatuh bersama nampan di tangannya. Sajian berupa aneka makanan lezat di atas nampan, berhamburan. Dentuman nampan logam mulia, berdebam datar di atas permadani mewah dan tebal.

Sementara wajah sang tuan merah. Geram. Ia jengkel bukan kepalang. Mengetahui tuannya mendongkol, sang pelayan berdiri tegap setelah membenahi hamburan isi nampan. Lalu terjadilah dialog sebagai berikut.

“Tuanku paduka yang mulia, dengan segenap hormat hamba harap paduka berpegang pada firman Allah SWT,” kata sang budak sedikit gugup memulai permohonan maaf.

Tuannya berkata dengan suara tinggi, “Apa yang pernah Allah firmankan?”

“Dia pernah berfirman...” lalu ia membaca pecahan ayat 134 Surat Ali Imron yang menerangkan sifat orang yang bertakwa. “والكاظمين الغيظ ” artinya (orang bertakwa ialah ... dan mereka yang menahan amarah).

“Baik, aku tahan marahku,” jawab sang tuan dengan warna wajah kembali normal. Suara masih tinggi.

“Tuanku, Allah juga berfirman, (dan mereka yang memaafkan kesalahan orang lain) والعافين عن الناس”.

“Oke, kumaafkan kesalahanmu,” tanggap sang tuan dengan suara dingin.

“Terima kasih paduka, (Allah mencinta mereka yang berbuat baik) والله يحب المحسنين”, tutup sang budak masih gugup.

Semua firman yang dibacanya merupakan kepingan-kepingan ayat 134 pada surat Ali Imron. Setelah itu, dengan wajah semringah sang tuan memerdekakan budaknya. Ia pun membekali budaknya dengan uang sebanyak 1000 dinar.

Dengan menahan marah dan memaafkan kesalahan budaknya dalam bekerja, sang majikan berhak meraih hangatnya cinta dari Allah SWT. Demikian uraian Syekh Ahmad bin Syekh Hijazi dalam Al-Majalisus Saniyah perihal wasiat Rasulullah SAW berkali-kali kepada seorang sahabat, “La taghdhob!” (jangan marah). Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Orang Fasiq Jadi Imam


Seringkali para ustadz dan guru mengibaratkan Imam sebagai supir. Karena posisinya yang berada di depan dan memimpin perjalanan ibadah shalat. Dalam keadaan longgar imam biasa dipilih dan ditentukan dengan berbagai kriteria. Dipiliha diantara mereka yang paling banyak memiliki kelebihan. Baik kelebihan umur (paling tua), kelebihan ilmu (paling alim), paling zuhud dan seterusnya. Oleh karena itulah takmir masjid biasa menentukan Imam dengan musyawarah dan penilaian yang ketat.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu dimana tidak ada pilihan, maka syarat lelaki menjadi satu-satunya syarat utama yang tidak tergugurkan. Malasahnya kemudian bagaimanakah jika lelaki itu seorang fasiq? Yang masih suka minum barang haram, suka berdusta atau bahkan melanggar norma sosial? Apakah bisa di terima? Bisa tetapi hukumnya Makruh demikian keterangan dalam Fathul Mu’in pada Hamisy I’anatut Thalibin:
وكره اقتداء بفاسق و مبتدع
Dan dihukumi makruh mengikuti (berimam kepada) orang fasik dan ahli bid’ah
Demikian karena filosofinya bahwa imam adalah ketua rombongan yang menghantarkan jama’ah menuju Allah swt. meskipun terkadang imam itu benar-benar hanya berlaku sopir yang cuma mengerti tehnik operasional kendaraan. Sedangkan pemandu adalah mereka yang berpengalaman dan mengerti jalur atau mereka yang telah mengantongi alamat yang benar, merekalah penunjuk jalan sebenarnya. Penunjuk jalan ini tidak harus imam, bisa siapa saja yang kebetulan ada dalam rombongan jama’ah. Inilah kelebihan shalat berjama’ah.
Shalat sendiri bagaikan perjalanan seorang diri. Perjalanan ini bisa sampai pada tujuannya jika mengerti alamat dan konsentrasi tidak mudah tergoda dengan berbagai macam pikiran. Kita bisa mengukur diri sendiri berapa persenkah konsntrasi kita pada satu kali shalat? Sedangkan berjama’ah seperti halnya berjalan bersama rombongan. Meskipun sopir hanya mengandalkan tehnik mengperasikan kendaaran tetapi sebagian penumpang ada yang tahu persis kemana arah dan alamt tujuan. Sehingga penumpang lain yang tidak bisa menyupir dan tidak berpengalaman sampai juga pada alamat tujuan.
Akan tetapi jauh lebih baik jika seorang imam selain memiliki ketrampilan praktis juga mempunyai pengalaman dalam memimpin perjalanan ini. Demikian keterangan sebuah hadits yang berbunyi:
إِنْ سَرَّكُمْ أَنْ تُقْبَلَ صَلاتُكُمْ ، فَلْيَؤُمَّكُمْ خِيَارُكُمْ  فانهم وفدكم فيما بينكم وبين ربكم  
Jika kamu ingin shalatmu diterima hendaklah yang mengimami itu adalah orang-orang baik, karena dia itu adalah delegaasi antara kamu dan tuhan kamu
Maka sebaiknya dalam keadaan yang memungkinkan pilihlah imam sesuai anjuran Rasululah saw. (ulil)

Lupa Belum Shalat, Apa yang Harus Segera Dilakukan?



Shalat adalah perkara wajib. Shalat tidak boleh ditinggalkan hanya karena satu alasan tertentu. Akan tetapi bukanlah manusia jika selalu benar. Dinamakan manusia karena terkadang dia salah dan lupa. Maka, bagaimanakah jika seorang muslim lupa dan melewatkan kewajiban shalatnya?.
Melewatkan shalat karena kesibukan tidaklah dibenarkan. Karena kewajiban tidak lantas bisa gugur karena kesibukan bahkan juga keteledoran. Sebagaimana hutang yang harus dibayar. Oleh karena itu siapapun yang meninggalkan shalat baik dengan sengaja ataupun tidak, sebaiknya segera melaksanakannya ketika ingat dan memungkinkan. Walaupun ia telah berada di luar waktu shalat yang ditetapkan. Itulah yang disebut dengn qadha’.
Sebuah hadits riwayat Anas bin Malik menjelaskan:
اذا رقد احدكم عن الصلاة اوغفل عنها فليصلها اذا ذكرها فان الله يقول أقم الصلاة لذكرى
Apabila engkau tidur hingga meninggalkan shalat atau lupa mengerjakannya. Hendaklah segera mendirikan shalat ketika telah teringat. Sesungguhnya Allah berfirman “Dirikanlah Shalat untuk mengingatku.
Hadits di atas menunjukkan bahwa mengqadha shalat (membayar hutang shalat pada waktu yang telah dilewatkan) hukumnya adalah wajib. Sedangkan menyegerakan dalam melaksanakannya hukumknya sunnah. Oleh karena itu jam berapapun kita terbangun di pagi hari, hendaklah segera mengambil air wudhu untuk shalat Subuh walaupun jelas telah lewat waktunya (misalnya dan delapan). Karena mengqadha shalat subuh adalah wajib, dan menyegerakannya adalah sunnah. Sebuah hadits menerangkan:
ذكروا للنبي صلى الله عليه وسلم نومهم عن الصلاة فقال انه ليس فى النوم تفريط انما التفريط فى اليقظة فاذا نسي احدكم صلاة او نام عنها فليصلها اذا ذكرها (رواه النسائى والترمذى)
Para sahabat bercerita kepada Rasulullah saw tentang ketiduran mereka hingga lewat waktu shalatnya. Maka sabdanya “tidaklah karena tidur dianggap teledor, karena teledor itu diwaktu jaga. Maka jika salah seorang kamu lupa shalat atau ketiduran hingga meninggalkan shalat, maka hendaklah segera shalat ketika ingat.  
Kedua hadits di atas menegaskan bahwa hukum men-qadha (melakukan shalat di luar waktu yang ditetapkan) shalat adalah wajib. Dan bersegera melaksanakannya adalah sunnah. (ulil)
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger