Latest Post

Sunah-sunah wudlu.

Written By Moh Wahyudi on Minggu, 26 Mei 2013 | 22.33

1. Membaca Basmalah
Membaca basmalah sebelum wudlu sangat dianjurkan oleh Syari'at. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah r.a;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ " لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَلاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تعَاَلَى عَلَيْهِ " (رواه أبو داود صحيح)
Dari Abi Hurairah r.a Rasulullah bersabda: "Tidak sah shalat yang dilakukan tanpa wudlu dan tidak sempurna wudlu tanpa didahului menyebut nama Allah (basmalah)". (HR. Abu Dawud)
Lafadz basmalah yang paling singkat adalah bismillah, namun jika ingin lebih sempurna sebagaimana biasanya dengan menambah lafadl ar-Rahman dan ar-Rahim menjadi bismillahirrahmanirrahim.

2. Membasuh Dua Telapak Tangan
Sebelum melakukan wudlu disunahkan terlebih dahulu membasuh telapak tangan. Ketentuan hukum sunah tersebut apa bila air yang dipakai wudlu kurang dua kullah dan meragukan kesucian tangannya. Kesunahan membasuh tangan tersebut lebih dianjurkan lagi ketika bangun tidur. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ " إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمَسْ يَدَهُ فِي اْلإِناَءِ حَتى يَغْسِلُهَا ثَلاَثاً فَإِنهُ لاَ يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ (رواه الشيخان)
Diceritakan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda: "Saat salah satu dari kamu semua bangun tidur, maka jangan memasukkan tangannya ke dalam bak air sehingga terlebih dahulu membasuhnya tiga kali. Sebab dia tidak tau saat tidur tanganya merayap kemana-mana". (HR. Bukhori Muslim)
kesunahan membasuh tangan ketika diragukan tangannya suci atau najis. Namun jika diyakini dan ditemukan kotoran najis menempel pada telapak tangan dan kondisi air sangat sedikit (kurang dua kullah), maka membasuh tangan sebelum memasukkan ke dalam bak air yang kurang dua kullah hukumnya menjadi wajib.

3. Berkumur dan Meresap Air ke Hidung
Menurut Imam Syafi'i berkumur dan meresap air ke hidung hukumnya sunah. Meski ada ulama lain yang mengatakan wajib seperti Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Berkumur dan meresap air ke hidung memang selalu dilakukan Rasulullah sebelum wudlu. Cara melakukannya bisa satu kali dengan bersama-sama yaitu mengambil air untuk berkumur sekaligus diresap ke hidung. Namun apa bila itu kesulitan, bisa bergantian satu-persatu. Cara ke dua yang banyak dipilih oleh para ulama.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

سُئِلَ اِبْنُ أَبِي مَلِيْكَةَ عَنِ الْوُضُوْءِ فَقَالَ رَأَْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفاَنَ سُئِلَ عَنِ الْوُضُوْءِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتَي بِمَيْضَأَةً فَأَصْغَاهَا عَلىَ يَدَهُ الْيُمْنَى ثُمَ أَدْخَلَهَا فِي الْمَاِء فَتَمَضْمَضَ ثَلاَثاً وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثاً. (رواه ابو داود)
Ibnu Abi Malikah ditanya tentang wudlu, dia berkata: "Saya pernah melihat Utsman saat ditanya tentang wudlu beliau meminta air kemudian menyiram tanganya. Setelah itu tangan dimasukkan ke dalam air dan mengambilnya untuk kemudian berkumur tiga kali dan meresap air ke hidung tiga kali". (HR. Abu Dawud).Untuk yang sedang berpuasa harap berhati2 dalam melakukan hal ini,jngn sampe malah membatalkan puasa.

4. Mengusap Seluruh Kepala
Seperti yang tertuang di depan tentang mengusap sebagian anggota kepala adalah fardlu (wajib). Namun jika lebih ingin menyempurnakan ibadah wudlu, maka dianjurkan mengusap seluruh bagian kepala. Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah SAW:
أَن رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وَسَلمَ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدمِ رَأْسِهِ ثُمَ ذَهَبَ بِهِمَا اِلَى قَفَاهُ ثُمَ رَدهُمَا حَتىَ رَجَعَ اِلَى الْمَكَانِ الذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَ غَسَلَ رِجْلَيْهِ. (رواه الترمذى)
"Sesungguhnya Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Dimulai dari bagian kepala depan terus ke belakang kepala sampai tengkuk dan kemudian dikembalikan ke bagian bagian depan kepala dimana Rasulullah memulainya. Kemudian beliau teruskan mengusap kedua kakinya". (HR.At-Tirmidzi)

5. Mengusap Kedua Telinga
Menurut Imam Syafi'i mengusap telinga hukumnya sunah. Meski ada sebagian ulama yang berpendapat wajib. Kebiasaan Rasulullah SAW sendiri dalam setiap wudlunya selalu mengusap telinga. Hukum sunah yang dicetuskan Imam Syafi'i berpegang pada Al-Qur'an yang mana dalam ayat wudlu Allah hanya mejelaskan 4 (empat) anggota wudlu yaitu wajah, tangan, kepala, dan kaki. Sedangkan kebiasaan Rasulullah yang selalu mengusap telinga saat wudlu diarahkan pada hukum sunah. Sebab meskipun sunah, Rasulullah SAW tetap tidak pernah meninggalkannya. Hal ini menunjukkan hal-hal yang selalu dilakukan Rasulullah belum tentu mengarah pada hukum wajib.
Kesunahan mengusap telinga sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

عَنْ عَبْدِ الله بْنِ زَيْد قَالَ: رَأَيْتُ النَبِى صلى الله عليه وسَلمَ يَتَوَضأُ يَأْخُذُ ِلأُذُنَيْهِ مَاءً خِلاَفَ الْمَاءِ الذِى أَخَذَهُ لِرَأْسِهِ وَيَمْسَحُ صَمَاخَيْهِ أَيْضاً بِمَاءٍ جَدِيْدٍ ثَلاَثاً. (رواه البيهقى والحاكم)
Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: "Saya melihat Nabi Muhammad SAW sedang wudlu. Beliau mengambil air untuk mengusap kedua telinganya dengan air yang bukan air untuk mengusap kepala. Dan belaiu mengusap kedua daun telinga juga dengan air yang baru tiga kali. (HR. Al-Baihaqi dan Hakim)

6. Men-Takhlil Rambut Jenggot Yang Lebat
Yang dimaksud takhlil adalah memasukkan jari-jari tangan yang dibasahi air ke sela-sela rambut jenggot yang tebal. Hal ini berdasrakan Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَنَسَ رَضِىَ الله عَنْهُ أَنه ُصَلىَ الله عليه وَسَلمَ كاَنَ اِذَا تَوَضأَ اَخَذَ كَفاً مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حِنْكِهِ فَخَلَلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا اَمَرَنِى رَبِى. (رواه أبو داود)
Diceritakan dari Anas r.a; Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat wudlu beliau mengambil satu cakup air dan memasukkannya (membawanya) di bawah cetak terus beliau men-tahlil rambut jenggotnya yang lebat. Kemudian beliau berkata (setelah wudlu): "Demikian itu (cara-cara wudlu) Tuhanku Allah perintah kepadaku". (HR. Abu Dawud)

Hal ini beda dengan rambut jenggot yang tidak lebat, maka men-takhlil hukumnya bukan sunah tetapi wajib. Sebab rambut jenggot yang tidak lebat tidak ada alasan sulit meratakan air sampai ke dalam kulitnya. Beda dengan rambut jenggot yang tebal, dikarenakan sulit memasukkan air sampai ke dalam kulit maka men-takhlil hukumnya hanya sunah karena ada darurat.
7. Men-Takhlil Jari-jari Tangan dan Kaki
Yang dimaksud takhlil jari-jari tangan adalah menyapu rancang, yaitu memasukkan jari-jari tangan kanan ke sela-sela jari tangan kiri dan sebaliknya lalu digosok-gosokkan. Sedangkan takhlil jari-jari kaki prakteknya dengan memasukkan jari-jari tangan yang ke sela-sela jari kaki. Takhlil yang dimaksud di atas dilakukan besertaan saat membasuh tangan dan kaki. Dalil takhlil adalah sebagai berikut:
عن ابن عباس رضى الله عنه قال: أَنه ُصلى الله عليه وسلم قاَلَ: اِذَا تَوَضأْتَ فَخَلِلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ. (رواه الترمذى)
Diceritakan dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata; "Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Saat kamu wudlu, maka takhlil-lah jari-jari tangan dan kakimu". (HR. At-Tirmidzi)

8. Mendahulukan Organ Yang Kanan
Organ-organ yang dimaksud adalah anggauta wudlu yang mempunyai dua organ seperti tangan dan kaki. Saat melakukan wudlu disunahkan membasuh yang kanan terlebih dahulu kemudian baru yang kiri. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh A'isyah r.a:

A'isyah r.a berkata: Rasulullah SAW sangat mencintai mendahulukan anggota kanan (dalam melakukan setiap sesuatu). (HR. Bukhari Muslim)

Satu hadits lagi yang diambil dari Abi Hurairah r.a:
)
Dari Abi Hurairah r.a,; "Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Pada saat kalian wudlu maka mulailah dari anggauta/organ yang kanan". (HR. Abu Dawud)

9. Membasuh/Mengusap Tiga Kali
Membasuh tiga kali untuk organ wudlu yang harus dibasuh atau mengusap untuk organ yang harus di usap merupakan hal yang sangat maklum bagi orang muslim bahwa hal tersebut disunahkan. Hadits yang menerangkanpun banyak sekali sebagaimana hadits yang telah banyak disinggung di atas. Jika ada hadits yang menerangkan Rasulullah dalam membasuh dan mengusap anggota wudlu satu atau dua kali , hal tersebut hanya sebagai pijakan hukum bahwa satu atau dua kali basuhan sudah cukup, meskipun belum mengarah pada sunah.
Namun di kalangan kita ada sebagian yang kurang mengerti tentang praktek tatslits tersebut. Terutama saat membasuh tangan dan kaki. Cara membasuh tiga kali (tatslits)yang benar adalah; membasuh tangan kanan tiga kali baru setelah selesai pindah ke tangan yang kiri tiga kali. Begitu pula praktek saat membasuh tiga kali pada kaki.
Kebiasaan membasuh tiga kali dengan cara kanan kiri-kanan kiri adalah praktek yang kurang benar. Seperti pertama-tama membasuh tangan kanan satu kali kemudian tangan kiri satu kali terus tangan kanan lagi satu kali diteruskan tangan kiri satu kali dan seterusnya sampai tiga kali. Praktek tersebut belum bisa dikatakan sempurna. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan r.a:
... ثُمَ غَسَلَ يَدُهُ اْليُمْنىَ إِلَى الْمَرَفِقِ ثَلاَثَ مَرَاتٍ ثُمَ غَسَلَ يَدَهُ اْليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنىَ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَاتٍ ثُمَ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. (رواه مسلم)
"…Kemudian Rasulullah SAW membasuh tangan kanan tiga kali diteruskan tangan kiri juga tiga kali. Diteruskan mengusap kepala dan selanjutnya membasuh kaki kanan beserta mata kakinya (polok) tiga kali dan kaki kiri juga membasuh mata kakinya tiga kali". (HR. Muslim)

10. Muwallah/Bersambung
Yang dimaksud muwallah atau bersambung adalah meneruskan basuhan dari anggota wudlu satu ke anggota wudlu yang lain dengan tanpa ada waktu pemisah yang lama. Waktu lama tersebut disetandarkan pada sisa air yang menempel pada anggota wudlu belum sampai mengering. Jika sampai mongering baru melanjutkan basuhan anggota wudlu yang berikutnya, maka kesunahan muwallah (nuli-nuli) tidak diperolah meskipun wudlunya tetap sah.
Muwalallah bagi da`imul Hadast seperti orang yang Istkhadoh/selalu kencing HUKUMNYA WAJIB.

11.Do`a-doa ketika membasuh anggota tubuh
Doa ketika membasuh wajah:

اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِي يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ

Ya Alloh Putihkanlah (berikan sinar) wajah ku disaat kau putihkan wajah dan kau jadikan hitam sebagian wajah2 yg lain (kelak di hr qiyamat )

doa ktk membasuh tangan kanan.

اللَّهُمَّ أَعْطِنِي كِتَابِي بِيَمِينِي وَحَاسَبَنِي حِسَابًا يَسِيرًا

Ya Alloh berikanlah buku catatan amalku (kelak) dan aku terima dengn tangn kanan serta berikanlah Hisab yang ringan..

cttn:orang yg beruntung kelak ketika diberikan catatan amalnya dia akan menerima dngn tangan kanan.

doa ktk membasuh tangn kiri:

اللَّهُمَّ لَا تُعْطِنِي كِتَابِي بِشِمَالِي وَلَا مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

Ya Alloh jangn kau berikan catatan amalku dan aku terima dengn tangn kiri dari balik punggungku.

Doa ketika mengusap kepala:

اللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِي وَبَشَرِي عَلَى النَّارِ .

Doa ktk membasuh kedua kaki.

اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِي عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ فِيهِ الْأَقْدَامُ .

doa setelah wudlu;

أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ

وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ

Perihal Tentang Wudlu

Dasar Wajib Wudlu
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ . / المائدة 6

"Jika kalian hendak melakukan shalat maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu hingga siku, dan usaplah sebagian kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki". (QS. Al-Ma'idah:6)

Rasulullah SAW juga bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتىَ يَتَوَضأَ . رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِمٌ
"Allah tidak menerima shalatnya salah satu dari kamu yang berhadats sehingga dia wudlu". (HR. Bukhori Muslim)

Wudlu termasuk ibadah yang besar sekali pahala dan keistimewaanya. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَ أُمَتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًا مُحَجَلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَطِيْلَ غُرَتَهُ فَلْيَفْعَلْ. رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِمٌ

"Sesungguhnya umatku nanti akan dipanggil pada hari kiyamat dengan wajah dan tangan bersinar terang sebab wudlu. Barang siapa mampu melakukan wudlu dengan sempurna, maka lakukanlah". (HR. Bukhari Muslim)

قَالَ رَسُوْلَ اللهُ صَلىَ الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ ( أَنَ الْعَبْدَ إِذَا تَوَضأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ خَرَتْ خَطَايَاهُ مِنْ يَدَيْهِ. فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَتْ خَطَايَاهُ مِنْ وَجْهِهِ . فَإِذَا غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ خَرَتْ خَطَايَاهُ مِنْ ذِرَاعَيْهِ وَرَأْسِهِ . فَإِذَا غَسَلَ رِجُلَيْهِ خَرَت خَطَايَاهُ مِنْ رِجُلَيْهِ . (رَوَاهُ اِبْنَ مَاجَهْ) ( خَرَتْ ) أَيْ سَقَطَتْ وَذَهَبَتْ.
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya ketika orang melakukan wudlu kemudian membasuh kedua tangannya, maka rontoklah dosa-dosa tangan. Saat membasuh wajah, maka rontoklah dosa-dosa wajah. Saat membasuh lengan dan mengusap kepala, maka rontoklah dosa-dosa lengan dan kepala. Saat membasuh kedua kaki, maka rontoklah dosa-dosa kaki". (HR. Ibnu Majah)

Fardlu Wudlu'
Hal-hal yang harus dilakukan dalam wudlu ada 6 (enam):


1. Niat Wudlu
Artinya; bermaksud di dalam hati ingin melakukan wudlu. Niat harus disertakan dengan awal perbuatan wudlu yaitu bersamaan dengan membasuh wajah. Niat harus di dalam hati sebab merupakan maksud melakukan sesuatu (krentek). Rasulullah bersabda:

إِنَمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِيَاتِ... رواه الشيخان
"Sesungguhnya sahnya amal perbuatan tergantung niatnya". (HR. Bukhari Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut, para Imam Mujtahid merumuskan bahwa setiap amal perbuatan harus disertai dengan niat. Kecuali Imam Abu Hanifah yang hanya menghususkan ibadah-ibadah pokok. Namun pada prinsipnya beliau juga sependapat bahwa niat sangat penting dilakukan pada setiap amal perbuatan.
Niat tidak cukup (belum sah) jika hanya diucapkan lisan. Pembacaan niat oleh lisan seperti yang biasa dilakukan masyarakat umum hanya sekedar anjuran memberi pertolongan agar mudah menghadirkan lafadl niat wudlu di dalam hati.
Mengucapkan niat sebelum melakukan ibadah hukumnya mustahab (disenangi syari'at/disunahkan). Meskipun pengucapan niat tidak pernah dilakukan Rasulullah, namun bukan termasuk larangan syari'at. Bahkan justru hal tersebut dianjurkan untuk memberi pertolongan memasukkan niat di dalam hati saat akan melakukan ibadah. Adapun lafadz-lafadz niat ada bermacam-macam sbb:

نَوَيْتُ الْوَضَوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلأَصْغَرِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
"Saya niat wudlu untuk menghilangkan hadats kecil fardlu karena Allah Ta'ala"

نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ ِلإِسْتِبَاحَةِ الصَلاَةِ فَرْضاً للهِ تَعَالَى
"Saya niat wudlu agar diperbolehkan melakukan shalat fardlu karena Allah Ta'ala "

نَوَيْتُ اْلوُضُوْءَ فَرْضاً للهِ تَعَالَى
"Saya niat wudlu fardlu karena Allah Ta'ala"

Bahkan jika saat wudlu hanya niat نويت الوضوء (saya niat wudlu) saja bisa dianggap sah. Bagi orang awam kiranya memakai lafadz yang singkat agar lebih mudah menghadirkan niat di dalam hati.

2. Membasuh Wajah
Kewajiban membasuh wajah sebagaiman dalil Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah:6. Mengenai batas wajah baik al-Qur'an maupun Hadits tidak ada kejelasan secara devinitif. Sesuai ilmu ushul fiqih devinisi wajah dikembalikan pada lughot atau bahasa yaitu;
- Vertikal; Mulai tumbuhnya rambut kepala sampai pertemuan tulang rahang (janggut).
- Horisontal; Anggota diantar dua daun telinga.
Bagian yang berada diantara keduanya (vertical dan horizontal) wajib dibasuh saat membasuh wajah. Dus wajib pula membasuh bagian secukupnya yang ada di luar batas wajah.
Yang perlu diperhatikan adalah "membasuh" bukan "mengusap". Perbedaan membasuh dengan mengusap sangat jelas. Jika membasuh harus ada air yang mengaliri semua bagian yang dibasuh meski hanya sedikit. Namun jika mengusap tidak disyaratkan harus ada air yang menetes atau mengalir. Jadi belum sah apa bila hanya membasahi telapak tangan kemudian diusap-usapkan wajah tanpa ada air yang mengalir.

3. Membasuh Dua Lengan
Di dalam Al-Qur'an diterangkan bahwa wajibnya membasuh lengan harus mengikutkan siku. Sebab lafadz ( الى ) banyak ahli tafsir memberi makna "serta". Penafsiran makna tersebut berdasarkan hadits Rasulullah yang mana beliau setiap wudlu selalu membasuh lengan berikut sikunya.

4. Mengusap Sebagian Kepala
Yang dimaksud kepala di sini adalah selain bagian wajah dan bukan bagian leher/tengkuk. Jika kita lihat kebiasaan orang mengusap ubun-ubun, itu sudah mencukupi. Sebab ubun-ubun sudah termasuk kepala. Namun sebenarnya mengusap kepala tidak harus di ubun-ubun. Dalam mengusap kepala tidak harus sampai ke kulit kepala. Jika hanya membasahi rambut, itu sudah dianggap cukup asalkan rambut tersebut masih berada pada batas kepala.

5. Membasuh Dua Kaki
Dalam membasuh kaki harus mengikut sertakan mata kaki (tungkak). Sebab dalam Al-Qur'an diffirmankan ( الى المرفقين ) – "serta dua mata kaki". Di dalam Haditspun Rasulullah SAW memperingatkan agar membasuh mata kaki.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ: وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النارِ, أَسْبِغُوْا اْلوُضُوْءَ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda: "Celakalah orang yang meninggalkan membasuh mata kaki. Maka sempurnakanlah wudlu kalian". (HR. Muslim)

6. Tertib
Rukun tertib sebenarnya hanya menggaris bawahi cara melakukan wudlu. Yaitu harus dimulai dari membasuh wajah yang disertai dengan niat, diteruskan membasuh tangan, diteruskan mengusap kepala, dan yang terakhir membasuh kaki. Urutan tersebut harus dijaga tidak boleh mendahulukan satu yang akhir dan sebaliknya tidak boleh mengakhirkan satu yang dahulu.

"Sesungguhnya Utsman bin Affan memberi contoh tentang wudlunya Rasulullah SAW. Terlebih dahulu beliau membasuh kedua telapak tangan tiga kali, kemudian berkumur dan meresap air ke hidung. Kemudian beliau mulai membasuh wajah tiga kali, diteruskan membasuh tangan kanan tiga kali dan tangan kiri juga tiga kali. Diteruskan mengusap kepala dan lalu membasuh kaki kanan beserta mata kakinya (polok) dan kaki kiri juga membasuh mata kakinya. Kemudian beliau berkata: "Saya melihat Rasulullah SAW melakukan wudlu seperti wudluku ini". Kemudain Rasulullah berkata: "Barang siapa wudlu sesuai dengan wudluku ini, kemudian shalat sunah dua rekaat yang tidak hadats di dalamnya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang lalu". (HR. Muslim)

Dari hadits di atas jelas bahwa Rasulullah SAW dalam melakukan wudlu selalu tertib sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur'an. Sehingga para Ulama memutuskan wajib hukumnya melakukan wudlu dengan cara tertib seperti urutan di atas berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits tersebut. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW juga perintah bahwa kita disuruh memulai sesuatu sesuai degan urutan yang diperintahkan Allah SWT.

Peringatan:
Sesuatu yang menempel pada kulit anggota wudlu (wajah, lengan, dan kaki) seyogyanya dihilangkan terlebih dahulu. Apa lagi bila sesuatu tersebut dapat menghalangi air untuk sampai ke kulit seperti cat minyak, lilin, dll, harus dihilangkan. Sebab hal tersebut dapat menyebabkan tidak sahnya basuhan dan akhirnya berkonsekuensi pada tidak sahnya wudlu. Yang perlu diperhatikan juga adalah kotoran di bawah kuku, jika sampai menghalangi air ke kulit, maka itu sangat berbahaya (tidak sah).

Nasehat Ibrahim bin Adham

Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.

Ia berkata, "Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!"
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?"
"Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rezeki Allah," ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"
"Benar," jawab Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?"
"Baiklah," jawab Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?"
"Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?" tanya Ibrahim.
"Kau benar Aba Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat ketiga?" tanya Jahdar dengan penasaran.
"Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak berkutik dan membenarkannya.
"Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu aku lakukan."
"Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah."

Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu'.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.

Selanjutnya, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku."
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak, sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?"
Ibrahim bin Adham menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, "Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya."

Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.

Hal-Hal Yang Membatalkan Wudlu

yang membatalkan wudlu ada 4 (empat).

1. Keluarnya Sesuatu dari Qubul dan Dubur
Hal ini tidak memandang sesuatu tersebut berupa kotoran yang najis atau hanya mutanajis seperti batu. Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 6;

أَوْ جَاءَ اَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَممُ صَعِيْدًا طَيِباً.. (المائدة:6)
Artinya: "Atau salah satu dari kamu semua datang dari kamar kecil (hadats) atau menyentuh perempuan kemudian tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci". (QS: Al-Maidah:6)

Dari ayat di atas Allah perintah kepada orang yang beru saja bebuang (berak maupun kencing) dan orang yang menyentuh perempuan agar bersuci. Hal tersebut menujukan bahwa bebuang dapat menyebabkan hadats kecil. Hal ini diperkuat dan diperluas pengertiannya oleh Hadits yang diambil dari Ali bin Abi Thalib r.a:

عَنْ عَلِى بْنِ اَبِى طَالِب رَضِىَ الله عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مُذَاءً فَأَمَرْتُ اْلمِقْدَادَ لِيَسْأَلَ النَبِى صلى الله عليه وسلم, فَسَأَلَهُ فَقَالَ: فِيْهِ الْوُضُوْءُ!. متفق عليه
Artinya: Diceritakan dari Ali bin Abi Thalib r.a beliau berkata: Aku adalah lelaki yang sering mengeluarkan madzi, lalu aku menyuruh sahabat Miqdad agar bertanya kepada Nabi Muhammada SAW, dan Nabi berkata: " Di dalam mmadzi ada kewajiban wudlu". (HR. Bukhari Muslim)

Hadits di atas mempertegas kewajiban wudlu bagi setiap orang yang mengeluarkan madzi . Itu berarti keluarnya madzi dapat membatalkan wudlu. Selain itu juga memperluas pengertian bahwa hal-hal yang membatalkan wudlu bukan hanya kencing dan berak, akan tetapi setiap sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur termasuk kentut. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لاَ يَنْصَرِفُ حَتىَ يَسْمَعُ صَوْتاً أًوْ يَجِدُ رِيْحاً.رواه البجارى
Artinya: "Orang tidak boleh pergi (membatalkan shalatnya) sampai dia mendengar atau mencium bau kentut". (HR. Bukhari)

Sedangkan untuk permasalahan sperma secara khusus mendapat sorotan dikalangan ulama. Menurut Imam Ar-Ramli dan An-Nawawi keluar sperma tidak membatalkan wudlu jika keluarnya dalam keadaan sadar dan tidak disertai berhubungan atau bersentuhan dengan lain jenis. Hal ini berpegangan pada undang-undang usul fiqh;

مَا اَوْجَبَ أَعْظَمَ اْلأَمْرَيْنِ بِخُصُوْصِهِ فَلاَ يُجِبُ اَدْوَنُهُمَا بِعُمُوْمِهِ
Sesuatu yang dengan kehususanya menyebabkan hokum yang lebih besar, maka dengan keumumanya tidak menyebabkan hokum yang lebih kecil.
Hal ini beda dengan pendapat Imam al-Juwaini dan Al-Ghozali yang tetap berpegang pada ijtihad Imam Syafi'i yang memutlakan setiap yang keluar dari qubul dan dubur tetap membatalkan wudlu termasuk sperma.

2. Hilang Kesadaran
Yang dimaksud hilang kesadaran di sini disebabkan oleh tidur, mabuk, gila, atau epilepsi. Sebenarnya dasar pengambilan hukum ini berangkat dari satu hadits yang menerangkan tentang hilangnya kesadaran sebab tidur. Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم " وِكَاءُ اْلسَهِ الْعَيْنَانِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَأ.ْ رواه ابو داود
Rasulullah SAW bersabda: "Talinya pantat adalah kedua mata, barang siapa tidur, maka berwudlulah". (HR. Abu Dawud)

Hadist di atas menerangkan tentang orang yang tidur membatalkan wudlu. Sebab orang yang tidur kesadaranya akan hilang yang menyebabkan saraf-saraf mengendur. Termasuk saraf pantat juga akan mengendur sehingga tidak bisa menahan akan keluarnya angin/kentut. Dari alasan tersebut para ulama meng-analog-kan (hukum qiyas) terhadap kasus selain tidur dengan menyamakan mabuk, gila, atau epilepsi dipandang dari sisi (ilat) sama-sama hilang kesadarannya.
Namun untuk masalah orang tidur terjadi pengecualian kasus, yaitu tidur dengan cara duduk. Khusus tidur dengan cara duduk para Ulama memberi hukum tidak membatalkan wudlu. Dengan analisa meskipun kesadarannya hilang dan saraf-saraf pantat melemas/mengendur, tapi jika tidurnya dengan posisi duduk maka pantat akan merapatkan dubur sehingga bisa menahan kemungkinan angin/kentut yang akan keluar. Hal ini diperkuat oleh Hadits yang diceritakan oleh Anas r.a:

كاَنَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْتَظِرُوْنَ العِشَاءَ اْلآخِرَةِ حَتىَ تَخْفَقَ رُؤُسُهُمْ ثُمَ يُصَلوْنَ وَلاَ يَتَوَضئُوْنَ. رواه ابو داود.

Artinya: "Para sahabat Rasulullah SAW (tertidur) saat sedang menanti shalat isya' sampai kepala mereka menunduk, kemudian mereka (langsung) shalat tanpa wudlu". (HR. Abu Dawud)

Oleh para ulama tidurnya para sahabat Rasulullah yang diceritakan dalam hadits di atas diarahkan pada tidur dengan posisi duduk. Sebab saat itu para sahabat sedang menunggu shalat yang sangat tidak mungkin apa bila mereka tidur dengan cara merebahkan tubuh. Selain itu dalam hadits ada kata "sampai kepala mereka merunduk", hal tersebut sangat menguatkan bahwa posisi tidurnya dengan cara duduk. Kesimpulannya, berdasarkan hadits di atas para ulama sepakat bahwa tidur dengan posisi duduk tidak membatalkan wudlu, baik secara analisa maupuan karena murni pengecualian hadist semata.

3. Menyentuh Farji
Yang dimaksud menyentuh di sini adalah dengan telapak tangan bukan dengan selainya. Sedangkan yang dimaksud dengan farji adalah alat kelamin dan lubang anus baik milik sendiri maupun orang lain. Hal ini berdasarkan hadits yang diceritakan dari Basirah binti Shafwan;
عَنْ بَسِرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ أَنهاَ سَمِعَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلَ " مَنْ مَسَ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضأْ. رواه ابو داود والترمذى
Artinya: Dari Basirah binti Shafwan, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW berkata: "Barang siapa menyentuh dzakarnya, maka berwudlulah!". (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Dan diperkuat serta diperluas oleh hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban:
أَفْضَى أَحَدُكُمْ اِلَى فَرْجِهِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا سَتْرٌ وَلاَ حِجَابٌ فَلْيَتَوَضأ.ْ رواه ابن حبان
Artinya: "Bila salah satu dari kamu menggerakkan tangannya (menyentuh) farji, dan diantara keduanya (tangan dan farji) tidak ada penghalang, maka berwudlulah!". (HR. Ibnu Hibban)

4. Bersentuhan Kulit dengan Lain Jenis
Yang dimaksud adalah bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang keduanya tidak ada hubungan muhrim. Hal ini berdasarkan firman Allah:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِسَاءَ... النساء:43
Artinya: "Atau kalian menyentuh perempuan". (QS.An-Nisa':43)
Secara tekstual jelas bahwa bersentuhan kulit dengan lain jenis dapat membatalkan wudlu. Namun hal ini tidak menafikan hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah mencium A'isyah r.a lalu mengerjakan shalat tanpa wudlu terlebih dahulu.
Ilat atau alasan menyentuh atau bersentuhan kulit dengan lain jenis dapat membatalkan wudlu, karena dimungkinkan dari persentuhan tersebut dapat menimbulkan birahi atau syahwat (madzinnah al-syahwat). Sehingga akronimnya mengatakan; hukum bersentuhan kulit dengan lain jenis yang secara umum tidak dimungkinkan terjadi birahi, tidak membatalkan wudlu. Dan memang begitulah menurut hukum yang lebih jelas (al-adhar). Hal ini dibuktikan dengan adanya pengecualian jika diantara mereka ada jalinan muhrim atau masih dalam usia anak-anak, maka wudlu tidak batal. Sebab secara umum (akal sehat) muhrim atau anak kecil tidak berpotensi menimbulkan birahi/syahwat.
Dari uraian di atas dapat kita temukan titik asumsi hadits kenapa Rasulullah SAW setelah mencium istrinya tidak batal wudlunya? Hal tersebut ada dua jawaban; Pertama, secara khusus Rasulullah SAW saat mencium A'isyah r.a tidak berdasarkan nafsu birahi akan tetapi berdasarkan kasih sayang. Dan itu sangat mungkin terjadi dengan kepribadian dan kesucian hati beliau sebagai Nabi dan Rasul yang nota bene dijaga dari hal-hal yang buruk. Hal ini sama dengan orang mencium atau menyentuh adiknya, anak sendiri, atau anak orang lain yang masih kecil. Meskipun berlaianan jenis akan tetapi secara umum itu dilakukan bukan atas dasar nafsu birahi. Kedua; Semua ulama sepakat bahwa dalam permasalahan tertentu Rasulullah SAW mempunyai sifat hususiyyah (husus) yang tidak bisa disamakan dengan umatnya, seperti istri sembilan. Begitu juga dalam hal menyentuh perempuan, Rasulullah SAW mempunyai sifat khusus tidak membatalkan wudlu dengan alasan di atas.

Mengenal Kembali USHUL WAL FURU'

Banyak diantara saudara Muslim kita yang mudah sekali mencap saudaranya sebagai Kafir, Munafik, Ahlul Bid’ah, dsb dengan alasan dalil, bukan alasan zhahir yang telah disepakati para Ulama’ dengan syarat – syarat tertentu dan pertimbangan yang matang. Mereka hanya menelan mentah – mentah apa – apa yang guru mereka sampaikan tanpa melalui khazanah yang luas dan mendalam. Dalam memahami dalil juga diperlukan ilmunya. Adapun masalah itu, sudah terangkum dalam pengertian di bawah ini.

A. MAKNA USHUL DAN FURU’

Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : USHULUDDIN dan FURU’UDDIN.

Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan.

Sedang Furu’uddin biasa disingkat FURU’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun TIDAK PRINSIP dan TIDAK MENDASAR, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furu’, karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni :ADA DALIL YANG BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA SYAR’I.

Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati.

B. MENENTUKAN USHUL DAN FURU’
Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURU’ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD (Sanad Penyampaian) dan DILALAH (Fokus Penafsiran).

WURUD terbagi dua, yaitu :
1. Qoth’i : yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR.
2. Zhonni : yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR.

Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga MUSTAHIL mereka berdusta.

DILALAH juga terbagi dua, yaitu :
1. Qoth’i : yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN.
2. Zhonni : yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN.

Karenanya, Al-Qur’an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth’i, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran.

Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qoth’i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman.

Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu’, maka ketentuannya adalah :

1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth’i, maka ia pasti masalah USHUL.
2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.
3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qoth’i tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.
4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth’i, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURU’.

Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan. Betul begitu ?!

C. CONTOH USHUL DAN FURU’

1. Dalam Aqidah :
Kebenaran peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.
Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH.

Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU AQIDAH.

2. Dalam Syariat :
Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.

Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT.

3. Dalam Akhlaq :
Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.

Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ.

Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjama’ah atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU’ AKHLAQ.

Mengerti kan, jadi dalam memahami suatu masalah, tidak usah ribut – ribut seperti anak kecil. Cukuplah dengan ilmu yang memadai, jiwa yang tegas dan hati yang bersih. Insya Allah, suatu permasalahan di kalangan kaum Muslimin bisa teratasi. Allah al musta’an…

Wiridan Setelah Shalat

Diriwayatkan dari Sahabat Tsauban, ia berkata; bila usai mengerjakan shalat, Rasulullah SAW. membaca istigfar 3 kali
أسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ
lalu membaca:
اللّهُمَّ أنْتَ السَلام وَمِنْكَ السَّلام تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلالِ وَالإكْرَامِ
(HR Muslim)
Hadits lain yang diriwayatkan Abu Hurairah RA :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَْهُ قَالَ، قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ يَا رَسُوْلَ الله ذَهَبَ اَصْحَابُ الدُثُوْرِ بِالاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَلَهُمْ اَمْوَالٌ يَتَصَدَّقُوْنَ بِهَا وَلَيْسَ لَنَا مَالٌ نَتَصَدَّقُوْنَ بِهِ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا ذَرٍّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ تُدْرِكُ بِهِنَّ مَنْ سَبَقَكَ وَلاَ يَلْحَقُكَ مَنْ خَلْفَكَ إِلاَّ مَنْ أَخَذَ بِمِثْلِ عَمَلِكَ قَاَل بَلَى يَا رَسُوْلَ الله قَالَ تُكَبِّرُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاثاً وَثَلاثِيْنَ وَتَحْمَدُهُ ثَلاثاً وَثَلاثِيْنَ وَتُسَبِّحُهُ ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ وَتَخْتِمُهَا بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوْبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ( رواه ابو داود)
Artinya : “Dari Abu Hurairah RA, bahwa Abu Dzar RA bertanya kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah orang-orang kaya mempunyai banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami mendirikan shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka, namun kami tidak memiliki harta yang dapat kami sedekahkan”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang bisa menyamakan derajatmu dengan orang-orang yang mendahuluimu, dan orang-orang yang datang sesudahmu tidak akan dapat menyamaimu kecuali kalau mereka juga membaca kalimat itu. Abu Dzar menjawab “Iya wahai Rasulullah.” Maka kemudian Rasulullah bersabda, “Hendaknya kamu membaca takbir 33 kali, tahmid 33 kali, tasbih 33 kali setiap setelah shalat, kemudian diakhiri dengan bacaan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (la ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir) maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun seperti buih dilautan.”
Hendaknya, memang, wiridan tidak dibaca terlalu keras jika masih ada yang mengerjakan shalat atau tidur agar tidak mengganggu. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaan di pesantren santri yang terlambat melalukan shalat (makmum masbuq) tidak terlalu banyak, dan tetap mengucapkan wirid dengan suara keras akan sangat bermanfaat buat santri yang lainnya, Para ulama membolehkan imam membaca wirid atau doanya dengan suara keras bila imam bermaksud mengajarkannya kepada para santri atau makmum. (Lihat Mughnil Muhtaj I, hal 182).
Dikisahkan, Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 65).
Berdzikir (wiridan) dengan suara keras (jahr), setelah shalat maktubah atau shalat sunah, menurut kesepakatan (ijma’) para Ulama’ hukumnya sunah, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Saw, sebagaimana yang di terangkan dalam hadits-haditsnya :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ اَعْلَمُ اِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ اِذَا سَمِعْتُهُ. رواه البخارى ومسلم
Artinya : “ Dari Ibnu Abbas r.a, ia menceritakan : bahwa sesungguhnya mengeraskan suara dengan dzikir ketika orang-orang selesai shalat fardlu itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Ibnu Abbas menjelaskan lagi; aku dapat mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat, demikian itu kebetulan aku mendengarnya”. HR. Imam Bukhari.
اَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ اَخْبَرَهُ اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ لِلذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَتَ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ اَعْلَمُ اِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ وَاَسْمَعُهُ . رواه ابوداود.
Artinya : “Sesungguhnya Ibnu Abbas menceritakan, bahwa mengeraskan suara untuk dzikir ketika orang-orang selesai shalat fardlu itu adalah sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Kata Ibnu Abbas : aku ketahui yang demikian itu ketika mereka selesai shalat dan aku juga mendengarnya “. HR. Imam Abu Dawud.
BACAAN DZIKIR YANG DIBACA RASULULLAH SAW.
Dzikir atau wirid yang di contohkan oleh Rasulullah SAW banyak sekali, namun di sini akan kami nukilkan beberapa hadits dzikir Rasulullah SAW yang sudah biasa diamalkan oleh kaum muslimin / nahdliyyin, diantaranya :
عَنْ اَبِى عَمْروٍ بْنِ مُرَّةَ قَالَ : سَمِعْتُ بِلاَلَ بْنِ يَسَارٍ بْنِ زَيْدٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَمِعْتُ اَبِى يُحَدَّثَنِيْهِ عَنْ جَدِّى اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِى لاَإِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ، غُفِرَ لَهُ وَاِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ. رواه ابوداود.
Artinya : “ Dari Abu Amrin bin Murrah ia berkata : aku mendengar Bilal bin Yasar bin Zaid anak angkat Nabi Saw, ia berkata ; aku mendengar ayahku menceritakannya dari kakekku bahwasannya ia mendengar Rasulullah Saw, bersabda :”Barangsiapa mengucapkan:
َ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِى لاَإِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ (aku memohon ampunan Allah, yang tiada Tuhan kecuali Dia, Yang Maha hidup Yang berdiri sendiri dan aku taubat kepada-Nya ), maka diampunilah dosanya sekalipun (dosa) lari dari musuh”. HR. Imam Abu Dawud
عَنْ ثَوْبَانَ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يَقُوْلُ “اَللهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ”. رواه ابن ماجه.
Artinya : “Dari Tsauban berkata ; bahwa Rasulullah SAW, apabila selesai dari shalatnya membaca Istighfar tiga kali kemudian mengucapkan : اَللهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ. HR. Imam Ibnu Majah.
عَنِ الْمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. رواه مسلم
Artinya : “Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa Rasulullah Saw, apabila selesai dari shalatnya dan salam mengucapkan : “لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (Tiada Tuhan melainkan Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagiNya puji-pujian dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu )”. HR. Imam Muslim.
عَنْ عَلِىٍّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ قَرَأَ أَيَةَ الْكُرْسِيِّ فِى دُبُرِ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ فِى ذِمَّةِ اللهِ اِلَى الصَّلاَةِ اْلأُخْرَى . رواه الطبرانى باءسناد حسن.
Artinya : “Dari ‘Ali r.a, sesungguhnya Nabi Saw, bersabda : Barangsiapa membaca ayat Kursiy setelah selesai shalat fardlu (maka) dia dalam penjagaan Allah sampai pada shalat yang lain”. HR. Imam Thabrani, dengan sanad yang bagus.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ٌقَالَ : مَنْ سَبَّحَ اللهَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ تِلْكَ تِسْعٌ وَتِسْعُوْنَ ثُمَّ قَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ غُقِرَتْ لَهُ خَطَايَاهُ وَاِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ. رواه احمد والبخارى ومسلم وابو داود.
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa membaca tasbih (سبحان الله) setiap selesai shalat 33 kali dan bertahmid (الحمد لله) 33 kali dan bertakbir (الله اكبر) 33 kali, maka yang demikian itu berjumlah 99 kali, kemudian mengucapkan (لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ), sebagai sempurnanya 100 kali, maka diampunilah kesalahannya (dosanya) sebanding buih lautan”. HR. Imam Ahmad, Imam Bukhariy, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud.
KESIMPULAN :
Hukum wiridan setelah shalat fardlu adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan diatas.

Peringatan Haul

Kata Haul berasal dari bahasa arab yg artinya “setahun”. Biasanya kata haul ini berkaitan erat dg masalah zakat mal. Tapi pembahasan disini adalah peringatan genapnya satu tahun dari wafatnya almarhum/almarhumah (terutama tokoh agama Islam) seperti Syekh Abdul Qodir al-Jaelani.

Masalah haul ini, akan terasa lebih bernuansa agamis dan terasa dahsyat ketika yg meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama’ besar atau pendiri sebuah pesantren.

Selama ini kita sering dengar, bahkan menyaksikan atau bahkan mengikuti acara haul yg diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, misal di Banten, Serang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Jogja, Solo, Surabaya dan Malang. Adapun rangkaian acaranya bervariatif, ada pengajian, tahlil akbar, istighosah akbar, atau manaqiban.
Yang hadir dlm acara haul sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya ketokohan orang yg di haul-I, kalau yg di haul-I ketokohannya dikenal secara Nasional maka yg hadir hingga mencapai ribuan bahkan puluhan ribu orang yg mayoritas adalah orang NU, bahkan sekarang udah merambah ke tingkat kelompok keluarga (jam’iyatul usyroh).

HUKUM HAUL DAN LANDASAN AMALIAHNYA

Secara khusus haul hukumnya mubah, dan tidak ada larangan sebagaimana yg terungkap dlm hadits Nabi saw yg diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dari al-Waqidi, beliau berkata sebagai berikut:
“ Al-Baihaqi dari al-Waqidi mengenai kematian, bahwa Nabi saw senantiasa berziarah ke makam para syuhada’ di bukit Uhud setiap tahun dan sesampainya di sana beliau mengucapkan salam dg mengeraskan suaranya “Salaamun ‘alaikum bimaa shobartum fani’maa uqbaddaar” yg artinya:”Keselamatan ttp padamu berkat kesabaranmu, maka betapa baiknya tempat kesudahanmu itu”. Abu Bakar juga berbuat seperti itu setiap tahun, kemudian Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit uhud dan berdo’a. Sa’ad bin Abi Waqosh juga mengucapkan salam kpd para syuhada’ tsb kemudian ia menghadap kpd para sahabatnya, “Mengapa kamu tdk mengucapkan salam kpd orang2 yg akan menjawab salammu.”
(Nahju al-Balaghoh hal.394)
Dengan dasar dalil diatas maka melaksanakan haul itu mubah, bahkan mustahab (dianjurkan). Inti kegiatan dg yg dilakukan Nabi saw adalah sama yaitu mendo’akan yg dihaul-i hanya teknisnya saja sekarang yg berbeda. Adapun saya bilang mustahab karena hal2 sbb:

1. Baca’an tahlil,tahmid,tasbih dan ayat2 al-Qur’an (tahlil akbar) yg pahalanya dihadiahkan kpd yg di haul-I dan ahli kubur. Hal ini dianjurkan (mustahab). Berdasarkan Hadits riwayat Baihaqy dan Thobary,yaitu:
Dari sahabat Ibnu umar,beliau mengatakan: saya mendengar Rosulullah saw. Bersabda jika seorang diantara kalian meninggal maka jangan kalian tahan,cepat2lah kalian bawa ke kubur dan bacakan di arah kepalanya al-Fatihah,menurut kalimat al-Baihaqy awal surat al-Baqoroh dan lurus di kakinya akhir surat al-Baqoroh.
(kitab al-Ruh fi al-Kalam….Ibnu Qoyyim al-Jauzi, hal.33)
2. Istighosah akbar ini merupakan majlis dzikir yg diridloi Allah SWT
3. Bersodaqoh, ini hukumnya sunnah
4. Sebagai tempat silaturrohim antar sesama muslim,ini hukumnya sunnah.
5. Menuturkan riwayat hidup yg baik2 (manaqib) sehingga bisa meneladani kebaikan2 yg pernah dilakukan oleh almarhum (yg dihaul-i)
6. Mau’idloh hasanah,hal ini sangat dianjurkan karena ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar.

Jadi haul merupakan bid’ah hasanah yg didalamnya ada kegiatan2 yg sesuai syari’at Islam. Dengan haul kita melaksanakan dzikir pd Allah, juga bisa dijadikan media dakwah yg efektif.

Kesaksian (Pendapat) Ulama Besar Tentang Tashawwuf

Imam Abu Hanifah (81-150 H./700-767 M)

Imam Abu Hanifah berkata, "Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja'far as-Shadiq dan mendapatkan ilmu spiritual (tasawuf) yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar". Ad-Durr al-Mukhtar, juz 1. hal. 43 bahwa Ibn 'Abideen said, "Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabandi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma'ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta'i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifah, yang mendukung jalan Sufi." Imam Abu Hanifah berkata lagi sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu'man, "Jika tidak karena dua tahun, Nu'man (saya) telah celaka." Itulah dua tahun bersama Ja'far as-Shadiq

Imam Malik (94-179 H./716-795 M)

Imam Malik berfatwa: "man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik (rusak), dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fikh dia meraih kebenaran)." (dalam buku 'Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, juz. 2, hal. 195

Imam Syafi'i (150-205 H./767-820 M)

Imam Shafi'i berkata: "Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
1. mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut
3. mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf [Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, karya Imam 'Ajluni, juz.1, hal. 341.]

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 M)

Imam Ahmad berfatwa: "Ya walladee 'alayka bi-jallassati ha'ula'i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu 'alayna bikathuratil 'ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa 'uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi," –Tanwir al-Qulub, hal. 405, Shaikh Amin al-Kurdi). Imam Ahmad berkata tentang Sufi:"Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka" ( Ghiza al-Albab, juz. 1, hal. 120)

Imam al-Muhasibi (243 H./857 M)

Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, "Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat" . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasawwuf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya hal. 27-32

Imam al-Qushayri (465 H./1072 M)

Imam al-Qushayri tentang Tasawwuf: "Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya ."[ar-Risalat al-Qushayriyyah, hal. 2]

Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 M)

Imam Ghazali, hujjatul-Islam, tentang tasawwuf: "Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, hal. 131].

Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 M)

Dalam suratnya al-Maqasid: "Ciri jalan sufi ada 5:
1. menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri
2. mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
3. menghindari ketergantungan kepada orang lain
4. bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
5. selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, hal. 20]

Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 M)

Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: "Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku" ." [Ictiqadat Furaq al-Musliman, hal. 72, 73]

Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 M)

Ibn Khaldun: "Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi'een, and Tabi' at-Tabi'een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia" [Muqaddimat ibn Khaldan, hal. 328]

Tajuddin as-Subki

Mu'eed an-Na'eem, hal. 190, dalam menanggapi tasawuf: "Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah". Dia berkata: "Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.

Jalaluddin as-Suyuti

Dalam Ta'yad al-haqiqat al-'Aliyya, hal. 57: "tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid'ah (yg dlolalah)"

Ibn Taymiyyah (661-728 H./1263-1328 M)
Majmu' Fatawa Ibn Taymiyyah, Dar ar-Rahmat, Cairo, juz, 11, hal. 497, Kitab Tasawwuf: "Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadirat Allah dan ketaatan kepada Nabi."

Juga dalam hal 499: "Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka' bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita. Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Ma'ruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, shaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa'i, and Shaikh Bayazid al-Bistami. Ibn Taymiyyah mengutip Bayazid al-Bistami pada hal. 510, juz 10: "...Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:" Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?". Dan Allah menjawab:
"Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku".

Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, " Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya". Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhud (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami ( Mursyid Tariqah Naqshbandi). Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara menaati Allah dan Rasul saw.

Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah Tasawwuf


"Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)"

Dia melanjutkan mengenai Sufi,"mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal)."

Imam Ibn Qayyim al-Jauzi(d. 751 H./1350 M)

Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, "Kita menyasikan kebesaran orang-orang tasawwuf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh by Sufyan ath-Tsauri (161 H./777 M. Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata: "Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (115 H./733 M) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya') dalam diri (Manazil as-Sa'ireen). Lanjut Ibn Qayyim:"Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh"

Ibn 'Abidin

Ulama besar, Ibn 'Abidin dalam Rasa'il Ibn Abidin (hal. 172-173) menyatakan: " Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka". [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, hal. 24].

Shaikh Rasyid Ridha

Dia berkata,"tasawwuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi" [Majallat al-Manar, 1st year, hal. 726].

Maulana Abul Hasan 'Ali an-Nadwi

Maulana Abul Hasan 'Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , hal. 140-146, "Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma'siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah"

"Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasawuf" "Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuhan mereka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam"

Abul 'Ala Mawdudi

Dalam Mabadi' al-Islam (hal. 17), "Tasawwuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul". "Tasawwuf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya."

Ringkasnya, tasawwuf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.

AL-Hafidz Imam Ibnu Rajab Membenarkan Adanya Bid'ah Hasanah

 
من أحدث في أمرنا ماليس منه فهو رد الحديث رواه شيخان
” barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yg bukan dari kami maka dia tertolak “( H.R. Bukhari & muslim )
“berkata al-hafidz ibnu rajab ” rahimahullah :hadist di atas dalam manthuqnya menunjukan bahwa : setiap perbuatan yg tdk masuk dalam urusan syari’at maka tertolak, akan tetapi dalam mafhum nya menunjukan bhwa : setiap perbuatan yg masih dalam urusan syari’at maka ia di terima dalam artian tdk tertolak “
“ وقال الإمام العلامة عبد الله الغماري : إن هذا الحديث مخصص لحديث ( كل بدعة ضلالة) إذ لوكانت البدعة ضلالة بدون استثناء لقال الحديث : : من أحدث في أمرنا هذا شيئا فهو رد . لكن لما قال ( من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد ) أفاد المحدث نوعان :
“berkata imam al-allamah abdullah al-ghamari “hadist di atas ( man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun ) adalah sebgai hadist mukhassis (memperkhusus ) daripada sebuah hadist ” kullu bid’atin dholalah “sebab jikalau semua perbuatan bid’ah di anggap sesat, tanpa terkecuali, maka tentu kalimat hadist di atas berbunyi ( man ahdatsa fi amrina hadza sya’ian fahuwa roddun : tidak ada kalimat ” ma laisa minhu “nya ) akan tetapi ketika hadist di atas berbunyi : man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun ) maka hadist tersebut memberikan dua pengertian :
1. ماليس من الدين : بأن كان مخالفا لقواعده ودلائله .فهو مردود :وهو البدعة الضلال.
Perbuatan baru yg bukan dari agama , yaitu perbuatan-perbuatan baru yang menyalahi kaidah-kaidah agama dan dalil-dalilnya : ini adalah tertolak dan bid’ah semacam inilah yg sesat ,
2. وماهو من الدين: بأن شهد له أصل أو أيده دليل :فهو صحيح مقبول . وهو البدعة الحسنة.
Perbuatan-perbuatan yg dari agama, yaitu perbuatan baru yg mempunyai standard ukuran hukum asal, atau di dukung oleh dalil-dalil yg menguatkan, perbuatan bid’ah semcam ini di terima dan tidak tertolak, inilah yg di sebut ” bid’ah hasanah “
, ويؤيد حديث جرير عند مسلم ( من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ ،
hal tersebut di dukung oleh hadist jarir menurut imam muslim :
“ barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg baik maka ia mendapat pahala serta mendapat pahala orang-orang yg mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “
ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئ
” barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg buruk, maka ia akan mendapat dosa serta mendapat dosa dari orang-orang yg melakukan setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun ” (H.R.muslim)
وكذا حديث ابن مسعود عند مسلم من دل على خير فله أجر فاعله
“begitupun juga hadist ibnu mas’ud menjelaskan “ barang siapa yg memberikan petunjuk terhadap kebaikan maka ia mendapat pahala sebagaimana pahala orang-orang yg mengerjakanya “( H.R. Muslim )
وحديث أبي هريرة عند مسلم : من دعى إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لاينقص من أجورهم شيئ، ومن دعى إلى ضلالة كان عليه من الأثم مثل إثم من تبعه لا ينقص من إثمهم شيئ
” serta hadist abi hurairah “ barang siapa yg mengajak kepada petunjuk maka ia mendapat pahala sebgaimana pahala orang yg mengikuti petunjuk tsbt , tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “dan barang siapa yg mengajak kesesatan, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa-dosa orang yg mengikuti kesesatan tersebut, tanpa mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun ” ( H.R. Muslim )
Inilah faham ahlussunnah wal jama'ah yg mengikuti pendapat ulama'2 yg diakui keilmuannya dan karya2nya telah menjadi rujukan dunia Islam sampai sekarang, yg menolak bid'ah hasanah sama juga menolak pendapat al-hafidz Ibnu Rojab, yg menyesatkan bid'ah hasanah sama juga menyesatkan Ulama' yg sholeh al-Hafidz Ibnu Rojab.

Dialog Imam Abu Hanifah Dengan Atheis Tentang Ketuhanan

Imam Abu Hanifah pernah bercerita : Ada seorang ilmuwan besar, Atheis dari kalangan bangsa Romawi, dan ia orang kafir. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh karena itu sang atheis segan bila bertemu dengannya.

Pada suatu hari, saat manusia berkumpul di masjid, orang kafir itu tiba-tiba naik mimbar dan ingin mengadakan tukar fikiran dengan siapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. Dan di antara shaf-shaf masjid bangkitlah seorang laki-laki muda, dialah Abu Hanifah dan ketika beliau sudah berada di dekat mimbar, orang kafir itu berkata: "Saya ingin bertukar fikiran dengan anda". Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap merendahkan diri kerana usia mudanya. Namun dia pun angkat bicara: "Katakan pendapat tuan!".

Ilmuwan kafir itu heran akan keberanian Abu Hanifah, lalu terjadilah dialog antara ilmuwan Atheis dengan Imam Abu Hanifah, yuk temen2 group Islam dengan sunnah dan bid'ah hasanah, kita simak baik2 dialog ini,

Atheis : Pada tahun berapakah Tuhanmu dilahirkan?
Abu Hanifah : Allah berfirman: "Dia (Allah) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan"

Atheis : Masuk akalkah bila dikatakan bahwa Allah ada pertama yang tiada apa-apa sebelum-Nya?, Pada tahun berapa Dia ada?
Abu Hanifah : Dia berada sebelum adanya sesuatu.

Atheis : Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dari kenyataan yg ada!
Abu Hanifah : Tahukah tuan tentang perhitungan?
Atheis : Ya.
Abu Hanifah : Angka berapa sebelum angka satu?
Atheis : Tidak ada angka (nol).
Abu Hanifah : Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum Allah Yang Maha satu yang hakiki tidak ada yang mendahuluiNya?

Atheis : Dimanakah Rabbmu berada sekarang?, sesuatu yang ada pasti ada tempatnya.
Abu Hanifah : Tahukah tuan bagaimana air susu?, apakah di dalam air susu itu ada vitamin?
Atheis : Ya, sudah tentu.
Abu Hanifah : Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bagian mana tempatnya vitamin itu sekarang?
Atheis : Tak ada tempat yang khusus. Vitamin itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu diseluruh bagian.
Abu Hanifah : Kalau vitamin yang makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak tuan meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Allah Ta'ala?, Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan!

Atheis : Tunjukkan kepada kami zat Rabbmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Abu Hanifah : Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal?
Atheis : Ya, pernah.
Abu Hanifah : Semula ia berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang menimbulkan perubahan itu?
Atheis : Kerana rohnya telah meninggalkan tubuhnya.
Abu Hanifah : Apakah waktu keluarnya roh itu tuan masih ada disana?
Atheis : Ya, masih ada.
Abu Hanifah : Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seprti gas?
Atheis : Entahlah, kami tidak tahu.
Abu Hanifah : Kalau tuan tidak bisa mengetahui bagaimana zat maupun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana tuan bisa memaksaku untuk mengutarakan zat Allah Ta'ala?!!

Atheis : Ke arah manakah Allah sekarang menghadapkan wajahnya? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah?
Abu Hanifah : Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap?
Atheis : Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru.
Abu Hanifah : Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta'ala Pencipta langit dan bumi, sebab Dia nur cahaya langit dan bumi.

Atheis : Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?
Abu Hanifah : Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya.
Atheis : Bagaimana kita bisa makan dan minum di syurga tanpa buang air kecil dan besar?
Abu Hanifah : Tuan sudah mempraktekkanya ketika tuan ada di perut ibu tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia.

Atheis : Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan?
Abu Hanifah : Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan (disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak berkurang.

"Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?" tanya Atheis. "Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan", pinta Abu Hanifah. Ilmuwan kafir itu turun dari mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas. "Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa pekerjaan Allah sekarang?". Ilmuwan kafir mengangguk. "Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan. Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang kafir yang tidak ada hak seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Allah setiap waktu". Para hadirin puas dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Hanifah dan begitu pula dengan orang kafir itu

Semoga Allah menjaga kita juga keluarga kita dari pengaruh aqidah sesat mujassimah yg menyebabkan kita syirik, yaitu dengan berkeyakinan Allah di dalam sesuatu atau di atas sesuatu. Aamiin Allaahumma Aamiin

Allah adl Zat Yg Maha Segala-galanya, Dia tidak terbatas dan terikat oleh ruang dan waktu, karena ruang dan waktu adl ciptaan Allah SWT

langit, juga 'Arsy adl makhluk Allah yg bagi Allah keduanya kecil dan tentu kedua makhluk ini terbatas, sedang Allah Maha Tidak Terbatas, tidak mungkin sesuatu yg terbatas ini menjadi "tempat Allah" bahkan kita semua juga punya keyakinan di zaman azali tidak ada langit dan tdk ada 'Arsy begitu juga saat kiamat kubro langit hancur begitu juga dg 'Arsy semua musnah, yg ada hanyalah Allah, Allah Yang Maha Abadi dan Allah Yang Maha Kaya, tidak butuh apa2 dari makhluk-Nya

inilah aqidah ulama' salaf Imam Abu Hanifah yg mana beliau berfatwa "Allah tdk bertempat dan tidak ditempatkan" krn memang Allahlah Dzat yg menciptakan tempat dan menempatkan makhluk-Nya di tempat manapun yg Ia kehendaki, intinya jangan memberi sifat Allah dg sifat makhluk yaitu seperti berkeyakinan "bertempat di atas sesuatu"

Kisah Insafnya Ulama Wahabi

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin –ulama Wahhabi kontemporer yang sangat populer-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi , yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa'di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa'di, termasuk ulama Wahhabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid 'Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin 'Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid al-Haram bersama halqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan thawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka'bah mengalirkan airnya dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka'bah itu, "Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik."
Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halqah al-Imam al-Sayyid 'Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan prihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu. Ternyata Sayyid 'Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka'bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu, "Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid 'Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini."
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi baduwi itu pun segera mendatangi halqah Syaikh Ibnu Sa'di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid 'Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa'di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halqah Sayyid 'Alwi dan duduk di sebelahnya. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tatakrama layaknya seorang ulama, Syaikh Ibnu Sa'di bertanya kepada Sayyid 'Alwi: "Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka'bah itu ada berkahnya?"
Sayyid 'Alwi menjawab: "Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah."
Syaikh Ibnu Sa'di berkata: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Sayyid 'Alwi menjawab: "Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
"Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah." (QS. 50:9).
Allah SWT juga berfirman mengenai Ka'bah:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا
"Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah)." (QS. 3:96).
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka'bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini."
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di merasa heran dan kagum kepada Sayyid 'Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa'di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid 'Alwi: "Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini." Kemudian Syaikh Ibnu Sa'di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid 'Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halqah tersebut. Namun Sayyid 'Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa'di: "Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa'di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka'bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain." Akhirnya mendengar saran Sayyidn 'Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di segera bangkit menuju saluran air di Ka'bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa'di ini, para polisi baduwi itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam 'Alwi bin 'Abbas al-Maliki al-Hasani. Amin.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger