Latest Post

Eksistensi Madrasah

Written By Moh Wahyudi on Minggu, 18 September 2011 | 23.19

        Pendidikan agama merupakan pendidikan yang fundamental bagi setiap manusia sesuai dengan fitrah insani yang wajib ditumbuh kembangkan dalam rangka kelestarian iman dan taqwa, pendidikan agama juga sebagai kebutuhan mutlak bagi setiap warga negara dan bangsa Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam dan falsafah pancasila, sehubungan dengan hal itu pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Batu segera memproses dengan mengadakan musyawarah pengurus NU dan tokoh – tokohnya untuk membahas tentang perlunya didirikan sebuah sekolah yang bernuansa Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Hasil dari musyawarah tersebut dapat melahirkan keputusan yang antara lain; maka pada tahun 1956 didirikan sekolah Pendidikan Agama Islam pertama nahdlatul ‘Ulama ( PGAP NU ).

Setelah PGAP NU berdiri pada tanggal 17 Agustus 1956 dengan perjalanan yang sangat lamban dari tahun ke tahun yang memakan waktu selama hampir 20 tahun, kondisi yang demikian itu membawa keprihatinan bagi segenap lapisan masyarakat dan yang sangat prihatin lagi adalah para pengelola sekolah. Keprihatinan tersebut meliputi berbagai macam aspek pendukung pendidikan diantaranya; sarana prasarana, ketenagaan, dan kesiswaan. Mengatasi keprihatinan dan memacu perkembangan PGA agar lebih maju, maka segenap dewan guru dan karyawan serta pengurus sekolah berusaha mengadakan reuni antara lain : alumni, dewan guru, karyawan dan sisiwa yang diadakan pada tahun 1976. hasil yang dicapai dalam reuni tersebut antara lain kesepakatan para alumni untuk mendukung perkembangan sekolah. Dengan kesepakatan tersebut sedikit membawa angina segar bagi segenap pengurus madrasah. Selanjutnya pada tahun 1973 berubah nama manjadi Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Hasyim Asy’ ari (MTsAI Hasyim Asy’ari) dengan menggunakan kurikulum MTsAIN tahun 1973 berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 31 tahun 1972 tentang perubahan nama, struktur dan kurikulum Sekolah Dinas dan Madrasah Negeri

Dalam perjalanan 4 tahun status “ diakui “ madrasah ini berusaha mengikuti akreditasi untuk meningkatkan status. Pada tahun 1996 mengikuti akreditasi kenaikan tingkat ” disamakan “, kesempatan ini tidak disia – siakan oleh segenap warga Madrasah Tsanawiyah, baik pengelola maupun penyelenggara semua berusaha untuk mensukseskan. Pada akhirnya Status disamakan “ dapat diperoleh oleh madrasah ini. Hal ini sesuai dengan pedoman akreditasi Bab V, pasal 7 ayat (1) bahwa madrasah swasta adalah berstatus terdaftar, diakui dan disamakan. Dengan status “ disamakan” ini  maka Madrasah Tsanawiyah Asy’ari memperoleh “ civil effect ”, yaitu berhak menjadi Madrasah Pembina dan sebagai madrasah Penyelenggara EBTANAS / Sub Rayon. Kewenangan tersebut berlaku sejak menerima sertifikat disamakan pada tahun 1997 s.d 2002, pada tahun 2002 s/d 2007 status Disamakan dapat dipertahankan hingga pada Tahun 2008 melaksanakan Akreditasi oleh BAS Kota Batu dengan hasil Terakreditasi “ A “. 

---------------------------------------------------------------
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri Muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah). Islam pun baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh. Namun, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kondisi ini oleh beberapa ahli dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan agama Islam di Indonesia. Termasuk di antaranya adalah madrasah.
Ironisnya, sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi madrasah selalu berada dalam posisi marginal. Meskipun saat ini pemerintah mulai memperhatikan eksistensi madrasah melalui UU No. 20 Tahun 2003, namun “penganaktirian” terhadap madrasah tetap saja terjadi. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya aliran dana pemerintah ke madrasah. Juga masih minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dan masa depan guru. 
Meskipun demikian, stakeholders madrasah tidak pernah putus asa. Hal ini dapat terlihat dari eksistensi madrasah yang sejak dulu sampai sekarang masih tetap menunjukkan reliabilitasnya. Madrasah senantiasa terus dibangun dan dikembangkan untuk mencapai martabatnya yang senantiasa berkembang, karena eksistensi madrasah dalam menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. Sudah bukan saatnya lagi madrasah terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam pengembangan peradaban manusianya.
Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Eksistensi Madrasah di Era Global

Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar kata tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.[1]
Menurut sejarahnya, madrasah sebagai lembaga pendidikan tidaklah berasal dari ruang hampa, tetapi kemunculannya merupakan “sambungan” dari sejarah-sejarah awal munculnya Islam yang benih-benihnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yakni dengan adanya kuttab, , halaqah, suffah atau al zilla. Namun demikian, istilah madrasah muncul pertama kali ketika Nidhamul Mulk dari Bani Saljuk mendirikan Madrasah Nidhamiyah pada tahun 1064 M. Dengan munculnya madrasah nidzamiyah tersebut kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain.[2]  
Namun demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa madrasah nidzamiyyah ini hanyalah kemunculan istilah madrasah dalam sejarah pendidikan Islam lebih menunjukkan pengakuan secara resmi (legalitas) dari pemerintahan Islam sebagai penguasa. Pengakuan tersebut disertai dengan mendirikan madrasah  sebagai lembaga pendidikan resmi (state institutions).
Jika ditelusuri sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan islam, nama madrasah itu sendiri munculnya agak belakangan. Ada beberapa tempat yang diduga lebih dulu digunakan masyarakat Islam di Nusantara, diantaranya masjid yang berfungsi ganda sebagai tempat ibadah, dan aktivitas sosial keagamaan lain, termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan.[3]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda bila dibandingkan dengan  pesantren. Ia lahir pada abad ke-20 dengan munculnya Madrasah Manba’ul ‘Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan sekolah Adabiyyah yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. madrasah ini berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karel Steenbrink, meliputi tiga hal, yaitu:
a.       Usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan pesantren,
b.      Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan
c.       Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dengan sistem pendidikan Barat.[4]
Meskipun usaha pembaharuan sudah diupayakan, namun permasalahan di dalam tubuh madrasah bukannya semakin ringan dan sedikit. Hal ini bisa dilihat pada model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara yang memunculkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Dualisme ini telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikotomi keilmuan ini justeru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.[5]
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana dan prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan madrasah sebagai “sapi perah”, madrasah memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya, yaitu menjadi salah satu tumpukan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi.
Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai dimana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audiovisual, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama ini melekat pada pesantren sedikit demi sedikit juga semakin terkikis.[6]
Satu lagi yang menarik dari madrasah adalah pengembangan madrasah tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga dengan peningkatan kualitas yang cukup signifikan. Manajemen profesional telah menjadi andalan. Pembagian kewenangan antara spritualis (kyai) dan manajer administratif mendukung terciptanya suasana kerja yang harmonis. Keberadaan madrasah di pusat-pusat kota juga banyak yang tampil dengan inovasi baru. Hal ini bukan saja telah membuat masyarakat tidak alergi lagi dengan menyebut nama madrasah, tetapi juga dapat diartikan sebagai naiknya prestise madrasah.[7]





[1] Nurul Huda, “Madrasah; Sebuah Perjalanan untuk Eksis” dalam Ismail SM, et.al. (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 211
[2] Ibid., hlm. 212
[3] Ibid., hlm. 213
[4] Raharjo “Madrasah Sebagai The Centre of Excellence” dalam Ibid., hlm. 226
[5] Ibid., hlm. 128
[6] Ibid., hlm. 130
[7] Ibid., hlm. 132

KH Bisry syamsuri

Written By Moh Wahyudi on Sabtu, 17 September 2011 | 23.07



Faqih yang Tegas nan Santun



Pembicarakan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.


Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH. Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya. Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.


Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH. Cholil, Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.


Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.


Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.


Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”


Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”


Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri. Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.


Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya memerah karena bertahan pada pendirian masing-masing.
Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk berbunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.


(Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri)


Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.


Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut dimanfaatkan sekaligus untuk mengunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersarung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mempersilakan tamu dari Jakarta itu memasuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.


Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.


Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah menggariskan untuk memegang teguh amanat itu, mereka pun keluar sidang.


Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.


Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.


Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.


Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.


Pecinta Ilmu Sejati


Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.
Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH. Kholil di Bangkalan dan KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.


Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH. Hasyim As’ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).


Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri kemudian mendirikan Ponpes Mambaul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.


Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH. Mas Mansyur, KH. Dahlan Kebondalem dan KH. Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.


Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.


Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuronya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau bertepatan dengan bulan Rajab di Denanyar.


Mundur dari Jabatan Rais Am


Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menyepakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.


Meski dikenal tegas dalam mempertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.


Ketika itu sedang terjadi pemilihan Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.


Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedia menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.”


Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980.

Hadrotus Syeh Hasyim Asy'ary

A. Pendahuluan
       K.H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]
B. Biografi
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5]
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6]
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.
K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]
C. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]
Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.
Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]
Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11]
Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12]
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14]
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]
Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.
Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.
kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.
Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.
Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.
Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,
ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.
Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.
Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16]
D. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial
Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17]
Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18]
KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19]
Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20]
E. Karya K. H. Hasyim Asy’ari
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]
Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]
F. Analisis
Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.
G. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).
Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

[1]. A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319
[2]. Ibid, h. 319
[3]. httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm
[4]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[5]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
[6]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320
[7]. Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139
[8]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320
[9]. httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html
[10]. Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309
[11]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[12]. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218
[13]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[14]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[15]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
[16]. httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm
[17]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320
[18]. Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309
[19]. Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm
[20]. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102
[21]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
[22]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321

Syaikhona Kholil Bangkalan

   ( PENCARI ILMU SEJATI )
“Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya, kecuali bila kamu memberikan dirimu kepadanya secara utuh”. rupanya prinsip ini sangat kental mendarah daging pada sosok kita, sang penuntut ilmu yang juga pengikut tarekat al-Qadariah wa al-Naqshibandiah, Syeikh Khalil Bangkalan.
Nama Syeikh Khalil sudah tak asing lagi bagi masyarakat madura khusunya dan penduduk Jawa pada umumnya. Dialah seorang pendiri NU dan ulama terkemuka yang dikenal memiliki waskita serta karomah bahkan cukup masyhur untuk disebut sebagai wali Allah.
Belum jelas kapan tahun kelahiran beliau, hanya saja ada suatu riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1252 H bertepatan pada tahun 1835 M. Putra dari kyai Abdul Lathif dan adik laki-laki dari Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah. Dilihat dari nasab, dari garis laki-laki beliau adalah keturunan Sunan Kudus dan dari garis perempuan beliau adalah keturunan sunan Gunung Jati. Dari kedua sunan tersebut, nasab beliau bersambung ke Rasulullah SAW.
Desa Martajazah, tempat pembaringan terakhir sang tokoh spiritual ini, merupakan salah satu central tujuan para pelancong yang hendak mengunjungi Madura. Konon, rupanya nama beliau cukup harum melanglang buana ke hampir seluruh pelosok negeri Indonesia. Sehingga, setiap orang yang berziarah ke makam beliau, tak segan-segan mereka untuk berdiam lama disana, memperbanyak baca al-Qur’an dan berdoa kepada Allah di atas makam beliau.
Semenjak kecil, Syeikh Khalil sudah memiliki tanda-tanda kewalian dan karomah, seakan Allah telah menganugerahkan ilmu tersendiri dalam hatinya. Meski demikian, namun semangat mencari ilmu dan seorang guru panutan tetap tertancap dalam tekad yang membara. Pengembaraan ilmu yang di seberanginya sudah melintasi banyak pesantren. Terhitung ada tiga pesantren yang telah beliau arungi di pulau Jawa, pesantren Bunga, Gresik dengan diasuh oleh Kyai Sholeh, lalu beliau pindah ke pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan di bawah asuhan Kyai Asyik. Tak lama kemudian beliau pindah lagi ke pesantren Kebon Candi, Pasuruan, dengan pengasuh Kyai Arif sambil lalu menimba ilmu pada Kyai Nur Hasan Sidogiri.
Beliau tergolong santri yang berprinsip sangat patuh pada guru dan tunduk pada ilmu. Demi mencari ilmu pada sang guru, apapun beliau lakukan. Meski harus dengan cara hidup yang memprihatinkan. Sehingga, bisa dibilang beliau tak hanya berstatus sebagai santri namun juga budak sang guru. Beliau abdikan seluruh dirinya untuk sang guru, bahkan melakukan segala pekerjaan rumah gurupun juga dikerjakannya. Dari mulai membersihkan rumah, mencuci pakaian guru, menanam di kebun dan sebagainya. Sehingga sang gurupun tak segan-segan menyuruh Syeikh Khalil dengan pekerjaan apapun yang dirasa sulit.
Seperti suatu ketika, di kala musim paceklik panjang menghampiri daerah Bangil, masyarakat sekitar sudah mulai terlunta-lunta oleh kekeringan yang kian memuncak itu. Ketika itu beliau masih nyantri di Cangaan, Bangil. Maka suatu hari, sang guru seperti sudah tau kelebihan Khalil kecil, maka beliau menyuruh Khalil untuk menggali sumur. Khalil kecil pun segera melakukan perintah gurunya. Baru mencapai kedalaman satu meter pun, tiba-tiba air sudah menyembur dengan derasnya. Bagai titisan air zam-zam yang mengalir, air itu tak habis-habisnya mengalir, hingga sampai sekarangpun, tempat air penggalian Khalil inipun masyarakat Bangil menyebutnya sebagai sumur Syeikh Khalil.
Setelah cukup dewasa, keinginannya untuk menimba ilmu di Makkah al-Mukarramah sudah tak terbendung lagi. Dengan bekal tekad dan semangat menggali ilmu serta uang saku yang tak seberapa, akhirnya beliau pun sampai ke tanah Suci.
Di tanah suci Makkah, Syeikh Khalil segera mencari guru tempat beliau menambatkan ilmunya. Di antara guru beliau adalah syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyah al-Rahbini. Di sini jualah beliau mulai menguasai ilmu Fikih dan Nahwu berikut Tarekat. Jiwa Kemandirian yang telah dimilikinya semenjak kecil tetap dipertahankan. Yang kemudian, berkat kecerdasan akal dan spiritualnya, beliau menulis kitab, Alfiah karangan Imam Ibn Malik. Salah satu kitab Nahwu yang banyak dimbil rujukan oleh para pembelajar ilmu sastra arab hingga zaman kontemporer sekarang ini. Selain itu, dengan keahlian beliau dalam bidang kaligrafi, beliau kembangkan bakatnya yang darinya mendapatkan penghasilan. Namun, setiap penghasilan berapapun yang beliau dapatkan, tak lantas diambilnya sendiri. Tapi semuanya beliau haturkan pada gurunya. Sedangkan beliau sendiri memilih untuk hidup dalam kezuhudan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, sampai pakaiannya pun beliau jadikan sebagai kertas tempat beliau mencatat semua ilmu yang didapat. Setelah dipahami dan dihafal, kemudian pakaian tersebut beliau cuci dan dipakainya kembali. Seperti itu terus menerus yang beliau lakukan hingga kembali ke tanah kelahiran beliau, Bangkalan Madura.
Sesampainya di tanah kelahiran, meski dianggap sudah kenyang oleh ilmu, tapi ilmu laksana makanan pokok setiap harinya dan beliau tetap mencari ilmu meski harus berguru pada santrinya sendiri. Seperti mendalami ilmu Fikh kepada Kyai Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.
Demikian sekelumit gambaran masa hidup Syaikhona Kholil, tokoh spiritual yang kaya ilmu. Sekarang Syeikh Khalil sudah tiada, kini tinggal kita sebagai generasi penerus menanggung beban guna melanjutkan langkah mulianya.

Pon.Pes Tambakberas Djombang

Written By Moh Wahyudi on Rabu, 14 September 2011 | 21.28



    Sebagai salah satu dari empat pondok pesantren besar di empat penjuru kota Jombang, Pondok Pesantren (Ponpes) Bahrul ?Ulum (secara harfiah artinya Lautan Ilmu) lebih dikenal dengan nama ponpes Tambakberas. Letaknya cukup strategis yakni di belahan utara kota Jombang, masuk dalam wilayah administratif Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang Kota. Sebagai pintu masuk Jombang dari arah utara (Ploso, Babat, Lamongan, Bojonegoro, Gresik dan Tuban), ponpes Tambakberas berlokasi di tepi jalan raya Jombang ? Tuban
Sejarah
    Lokasi awal yang menjadi cikal bakal Ponpes Tambakberas disebut Pondok Selawe (selawe artinya duapuluh lima). Kebetulan awalnya ponpes ini memang hanya menerima santri sejumlah 25 orang dan didirikan pada tahun 1825 seusai Perang Diponegoro. Pendiri ponpes adalah KH Abdus Salam yang juga dikenal dengan nama Mbah Shoichah (artinya bentakan yang membuat orang gentar). Ada pula yang menyebut ponpes Tiga, karena jumlah kamar yang ada hanya 3 buah. Disamping mendakwahkan syariat Islam, Mbah Shoichah juga mengajarkan pengobatan dan kanuragan (ilmu bela diri) pada santri-santrinya. Mbah Shoichah mengasuh ponpes Selawe dalam kurun waktu tahun 1825 ? 1860.Lokasi ponpes Selawe saat ini menjadi makam keluarga bani Chasbullah. Diantaranya makam KH Abdul Wahab Chasbullah, pendiri dan penggerak Nahdhatul Ulama (NU). Salah satu pendiri NU ini dikenal pula dengan sebutan Mbah Wahab yang merupakan generasi ke-4 dari pendiri ponpes Tambakberas. Di kompleks makam ini terdapat pula makam KH Abdul Wahib Wahab (dari generasi ke-5) mantan Menteri Agama Republik Indonesia.Sepeninggal beliau, ponpes diasuh oleh KH Ustman (Mbah Ustman) yang merupakan menantu pertama Mbah Syaichah. Oleh KH Ustman lokasi ponpes dipndah sekitar 100 meter ke arah selatan dari ponpes Selawe, tepatnya di dusun Gedang desa Tambakrejo. Karena itu ponpes ini juga disebut ponpes Gedang. Mbah Ustman dikenal sebagai kiai tasawuf dan menjadi salah satu mursid Thoriqoh Naqsabandiyah pada zamannya. Ponpes Gedang diasuh oleh Mbah Ustman dalam kurun tahun 1860 ? 1910. Menantu pertama Mbah Ustman adalah KH Hasyim Asy?ari, yang juga dikenal sebagai salah satu pendiri NU. Selanjutnya, KH Hasyim Asy?ari mengajak santri-santri thoriqoh membuka ponpes baru di desa Keras kecamatan Diwek. Lokasi ini berjarak sekitar 18 km arah keselatan dari Tambakberas. Ponpes inilah yang menjadi awal berdirinya ponpes Tebuireng yang legendaris itu.Kalau Mbah Ustman dikenal mengembangkan ilmu tasawuf, maka adik ipar beliau yaitu KH Said mengajarkan ilmu syariat. KH Said mengajar di ponpes yang ada di dusun Tambakberas desa Tambakrejo. Lokasi cukup dekat dengan ponpes Gedang, kira-kira hanya berjarak 100 meter. Setelah Mbah Ustman wafat, sebagian santri yang tidak ikut membantu KH Hasyim Asy?ari, akhirnya dipindah ke ponpes Tmbakberas asuhan KH Said ini. Sepeninggal KH Said, ponpes diasuh oleh putra beliau yaitu KH Chasbullah. Dari KH Chasbullah inilah ponpes terus dikembangkan oleh putra putrinya. Yaitu KH Abdul Wahab, KH Abdul Hamid, Nyai Fatimah dan KH Abdurrohim. Pada tahun 1967, KH Abdul Wahab Chasbullah memberi nama ponpes Bahrul Ulum. Namun orang juga tetap mengenal ponpes ini sebagai ponpes Tambakberas seperti dua ponpes besar lainnya. yaitu ponpes Denanyar (Mambaul Maarif) dan ponpes Rejoso (Darul Ulum). Berbeda dengan ponpes Tebuireng yang memang hanya disebut dengan satu nama saja, yaitu ponpes Tebuireng.

Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU) didirikan sekitar pada tahun 1825 di dusun Gedang kelurahan Tambakberas. Oleh  KH. Abdus Salam, Bersama pengikutnya ia kemudian membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah langgar (mushalla) dan tempat pondokan sementara, buat 25 orang pengikutnya. KH. Abdus Salam adalah seorang keturunan raja Brawijaya dari Majapahit sebagaimana silsilah berikut ini Abdussalam putra Abdul Jabbar putra Ahmad putra Pangeran Sumbu putra Pangeran Benowo putra jaka Tingkir (maskarebet) putra Lembu peteng Aqilah Brawijaya.
Nama KH. Abdus Salam kemudian lebih dikenal dengan nama Shoichah atau Kyai Shoichah kemudian beliau memperistri seorang putri dari kota Demak yaitu Muslimah. Dari pernikahanya beliau dikaruniai beberapa putra dan putri yaitu diantaranya yaitu Laiyyinah, Fatimah, Abu bakar, Murfu?ah, Jama?ah, Mustaharoh, Aly ma?un, Fatawi dan Abu Sakur. KH. Abdus Salam mempunyai beberapa santri. Dari santri-santri tersebut ada dua santri yang dijodohkan dengan putrinya yaitu Laiyyinah di jodohka dengan Ustman. Dari hasil pernikahanya beliau dikaruniai seorang putri bernama Winih (nama asalinya Halimah) dan Halimah dijodohkan dengan seorang santri yaitu As?ary dari Demak cikal bakal pendiri Pondok Pesantren Tebuireng. Sedangkan Fathimah dijodohka dengan Sa?id dari pernikahannya beliau di karuniai seorang putra yaitu Kasminah Chasbullah sebelum haji bernama Kasbi, Syafi?i sebelum haji bernama Kasdu, dan Asim sebelum haji bernama Kasmo.Setelah itu pondok nyelawe diteruskan oleh Kyai. Ustman. Dan Kyai. Sa?id mengembangkan sayap pendidikan pondok pesantren dengan mendirikan pondok pesantren disebelah barat dusun Gedang seelah mendapat izin dari ayah maratuanya, yang kini menjadi Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
Setelah Kyai Ustman dan Kyai Sa?id, yang meneruskan kepemimpinan pondok pesantren adalah Chasbulloh putra Kyai Sa?id sedangkan Pondok Kyai Ustman dikarenakan beliau tidak mempunya putra sebagai penerus. Oleh sebab itu seluruh santri diboyong ke pondok barat dibawah asuhan Kyai. Chabulloh. Dalam mengembangkan Pondok Pesantren Kyai. Chabulloh ditemani seorang istri yang begitu sangat setia yaitu Nyai Latifah (asalnya A?isah) yang berasal dari desa Tawangsaari Sepanjang Sidoarjo. Pernikahan antara Kyai. Chabulloh dan Nyai Latifah dikaruniai putra-putri antara lain:
1.         Kyai Abdul Wahab yang berputra K.Wahib, Khodijah, K. Najib Adib, Jammiyyah, mu?tamaroh, Muniroh, Mahfudloh, Hisbiyah, Munjidah, Hasib dan Rokib.
2.         Kyai Abdul Hamid yang berputra K. Abdullah, K. Moh. Sholeh, K. Abdul malik, K. M. Yahya dan Hamidah.
3.         Nyai Khodijah, (nyai Bisry) berputra Achmad, Sholikhah, Musyarofah, Abdul Aziz, M. Shokhib.
4.         Kyai Abdurrahim berputra K. Ach. Al Fatich, Bariroh, K. Ach. Nasrullah, K. Amanullah, K. Khusnullah.
5.         Nyai Fatimah berputra Abdul Fattah, Mufattimah, Abdul Majid
6.         Sholihah tidak berputra
7.         Zuhriyah tidak berputra
8.         Aminaturrokhiyah tidak berputra
Tahun 1920 adalah dimana kyai Chasbulloh dipanggil ke hadapan sang kholiq (wafat) kemudian pimpinan pondok pesantren diteruskan oleh putra-putranya yaitu Kyai Abdul Wahab, Kyai Abdul Hamid, dan Kyai Abdurrohim.
Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam mengasuh pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah. Ia memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian pendiri N.U ini pulang ke rahmatullah pada tanggal 29 Desember 1971. Mulai tahun 1987 kepemimpinan pondok pesantren dipegang secara kolektif oleh Dewan Pengasuh yang diketuai oleh KH. M. Sholeh Abdul Hamid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang diketuai oleh KH. Ahmad Fatih Abd. Rohim.Para kiai yang mengasuh PP Bahrul Ulum itu diantaranya, KH. M. Sholeh Abdul Hamid, KH. Amanullah, KH. Hasib Abd. Wahab, Dibawah kepemimpinan KH. M. Sholeh, PPBU mengalami perkembangan sangat pesat hingga muncul berbagai macam ribat atau komplek diataranya yaitu Induk Al-Muhajirin I, II, III dan IV, Al-Muhajin putri I, II, III dan IV, As-Sa?idiyah putra I, II dan III, As-Sa?idiyah putri, Al-Muhibbin, Ar-Roudloh, Al-Ghozali putra dan putri, Al-Hikmah, Al-wahabiyah I dan II, Al-Fathimiyah, Al-Lathifiyah I, II dan III, An-Najiyah putra dan putrid, Assalma, Al Fattah, Al Asyari,Komplek Chasbullah, Al Maliki, Al Hamidiyah.
Setelah wafatnya  KH. M. Sholeh Abdul Hamid pada tahun 2006 majlis pengasuh diteruskan oleh KH. Amanullah Abdurrahim yang wafat pada tahun 2007 hinga pada saat ini yaitu tahun 2010 majelis pengasuh PPBU adalah KH. Hasib Abd. Wahab
     Banyak cerita yang mengisahkan kenapa KH. Abdus Salam seorang keturunan ningrat, bisa sampai ke desa kecil yang kala itu masih berupa hutan belantara penuh dengan binatang buas dan dikenal sebagai daerah angker.
KH. Abdus Salam meninggalkan kampung halamannya menuju Tambakberas untuk bersembunyi menghindari kejaran tentara Belanda. Bersama pengikutnya ia kemudian membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah langgar (mushalla) dan tempat pondokan sementara buat 25 orang pengikutnya. Karena itu, pondok pesantren itu juga dikenal pondok selawe (dua puluh lima).Perkembangan pondok pesantren ini mulai menonjol saat kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, cicit KH. Abdus Salam. Setelah kembali dari belajar di Mekkah, ia segera melakukan revitalisasi piondok pesantren. Ia yang pertama kali mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Mubdil Fan. Ia juga membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar dan mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon yang kemudian dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Deklarasi itu ia lakukan bersama dengan KH. Hasyim Asy?ari dan ulama lainnya pada tahun 1926.Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam mengasuh pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah. Ia memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian pendiri NU ini pulang ke rahmatullah pada tanggal 29 Desember 1971.Mulai tahun 1987 kepemimpinan pondok pesantren dipegang secara kolektif oleh Dewan Pengasuh yang diketuai oleh KH. M. Sholeh Abdul Hamid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang diketuai oleh KH. Ahmad Fatih Abd. Rohim. Para kiai yang mengasuh PP Bahrul Ulum itu diantaranya, KH. M. sholeh Abdul Hamid, KH. Amanullah, KH. Hasib Abd. Wahab,Dibawah kepemimpinan KH. M. Sholeh, PPBU mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin membludaknya santri yang belajar di pondok pesantren yang telah banyak menghasilkan ulama dan politisi.KH. Abdurrahman Wahid mantan presiden ke 4 RI juga alumni pesantren yang sering kedatangan tamu dari pemerintah pusat ini. Santri yang belajar di PPBU tidak hanya datang dari daerah Jombang saja tapi juga dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan juga dari Brunei Darussalam dan Malaysia.Seiring dengan perkembangan pesantren yang semakin pesat, pengelolaan pesantren dilakukan secara profesional. Kegiatan pesantren sehari-hari tidak langsung ditangani oelh pengasuh. Tetapi diserahkan kepada pengurus Bahrul Ulum yang terdiri dari para Gus dan Ning (putra kiai), ustadz, ustadzah dan santri senior. Untuk operasionalnya dibentuk bidang-bidang dengan distribusi tugas secara teratur.Selain itu, santri juga bisa mengikuti berbagai organisasi penunjuang dalam lingkungan pesantren seperti, Jam?iyyah Qurro? wa; Huffadh (JQH), Forum Kajian Islam (FKI), Corp Dakwah Santri Bahrul Ulum (CDS BU), Koppontren Bahrul Ulum, OSIS ada disetiap sekolah dan madrasah., Keluarga Pelajar Madrasah Bahrul Ulum, Organisasi Daerah (ORDA) organisasi ini merupakan wadah santri menurut asal daerah santri, Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (SM STT).Kegiatan belajar santri PPBU dalam kesehariannya sangat variatif dan diklasifikasikan menurut jenjang pendidikannya masing-masing. Namun secara umum pengajian kitab salaf (literatur klasik) sangat menonjol. Disamping itu, santri juga diwajibkan mengikuti Madrasah Al-qur?an dan Madrasah Diniyah. Prgram takrorud durus (jam wajib belajar) waktunya ditetapkan oleh pengurus harian Bahrul Ulum.PPBU juga menyelenggarakan kegiatan sosial seperti, sunatan massal, bakti sosial, penyuluhan masyarakat, pengiriman dai ke daerah-daerah tertinggal, panti anak yatim dan lain sebagainya.Sebagai kaderisasi pesantren, agar kelangsungan pendidikan agama tetap berjalan dan tidak mengalami kemunduiran apalagi sampai pesantren mengalami bubar, para pengasuh mengirimkan putra-putri belajar ke pesantren lain juga menimba ilmu di perguruan tinggi, seperti putra KH. M. Sholeh ada yang dikirim belajar ke pesantren Lirboyo Kediri.Penyelenggaraan PendidikanPondok Pesantren Bahrul Ulum secara umum menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal. Untuk pendidikan formal mengacu pada kuriklum DEPAG dan DIKNAS. Adapun yang mengikuti kurikulum DEPAG, meliputi MI (Madrasah Ibtidaiyah) Bahrul Ulum, MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) Bahrul Ulum, MTs (Madrasah Tsanawiyah) Bahrul Ulum, MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Bahrul Ulum dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Bahrul Ulum. Sedangkan pendidikan fromal yang mengikuti kurikulum DIKNAS meliputi, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bahrul Ulum, Sekolah Menengah Umum (SMU) Bahrul Ulum dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tehnik Bahrul Ulum.Walaupun kegiatan pendidikan formal sangat padat, namun pengajian dan pendidikan kitab salaf tetap sangat dipentingkan. Dan sistem tradisional seperti sorogan, bandongan , wkton, takhassus, takror, tahfidh dan tadarrus tetap dipertahankan. Adapun jenjang pendidikan salaf meliputi TK, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Ibtidaiyah Program Khusus, Madrasah Diniyah, Madrasah Al-Qur?an, Madrasah Mu?allimin / Mu?allimat Atas dan Madrasah I?dadiyah Lil Jami?ah.
      Selain itu PPBU dalam ikut mengembangkan minat dan bakat para santri juga memberikan kegiatan ekstra kurikuler, seperti majalah pesantren Menara, Marching Band, komputer, menjahit, elektronika, seni hadrah, seni qasidah, tata busana, tata boga, bela diri, pramuka, palang merah remaja (PMR), unit kesehatan sekolah (UKS) dan karya ilmiyah remaja. Disamping itu, pesantren juga menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan ekstra keagamaan seperti pelatihan jurnalistik, bahasa asing, penelitian, kepemimpinan, kepustakaan, keorganisasian, advokasi masyarakat, kewirausahaan, manasik haji, seni baca Al-Qur?an , khutbah, pidato, bahtsul masail, diba?iyyah dan lain sebagainya.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger