Pendidikan agama merupakan pendidikan yang fundamental bagi setiap manusia sesuai dengan fitrah insani yang wajib ditumbuh kembangkan dalam rangka kelestarian iman dan taqwa, pendidikan agama juga sebagai kebutuhan mutlak bagi setiap warga negara dan bangsa Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam dan falsafah pancasila, sehubungan dengan hal itu pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Batu segera memproses dengan mengadakan musyawarah pengurus NU dan tokoh – tokohnya untuk membahas tentang perlunya didirikan sebuah sekolah yang bernuansa Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Hasil dari musyawarah tersebut dapat melahirkan keputusan yang antara lain; maka pada tahun 1956 didirikan sekolah Pendidikan Agama Islam pertama nahdlatul ‘Ulama ( PGAP NU ).
Setelah PGAP NU berdiri pada tanggal 17 Agustus 1956 dengan perjalanan yang sangat lamban dari tahun ke tahun yang memakan waktu selama hampir 20 tahun, kondisi yang demikian itu membawa keprihatinan bagi segenap lapisan masyarakat dan yang sangat prihatin lagi adalah para pengelola sekolah. Keprihatinan tersebut meliputi berbagai macam aspek pendukung pendidikan diantaranya; sarana prasarana, ketenagaan, dan kesiswaan. Mengatasi keprihatinan dan memacu perkembangan PGA agar lebih maju, maka segenap dewan guru dan karyawan serta pengurus sekolah berusaha mengadakan reuni antara lain : alumni, dewan guru, karyawan dan sisiwa yang diadakan pada tahun 1976. hasil yang dicapai dalam reuni tersebut antara lain kesepakatan para alumni untuk mendukung perkembangan sekolah. Dengan kesepakatan tersebut sedikit membawa angina segar bagi segenap pengurus madrasah. Selanjutnya pada tahun 1973 berubah nama manjadi Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Hasyim Asy’ ari (MTsAI Hasyim Asy’ari) dengan menggunakan kurikulum MTsAIN tahun 1973 berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 31 tahun 1972 tentang perubahan nama, struktur dan kurikulum Sekolah Dinas dan Madrasah Negeri
Dalam perjalanan 4 tahun status “ diakui “ madrasah ini berusaha mengikuti akreditasi untuk meningkatkan status. Pada tahun 1996 mengikuti akreditasi kenaikan tingkat ” disamakan “, kesempatan ini tidak disia – siakan oleh segenap warga Madrasah Tsanawiyah, baik pengelola maupun penyelenggara semua berusaha untuk mensukseskan. Pada akhirnya Status disamakan “ dapat diperoleh oleh madrasah ini. Hal ini sesuai dengan pedoman akreditasi Bab V, pasal 7 ayat (1) bahwa madrasah swasta adalah berstatus terdaftar, diakui dan disamakan. Dengan status “ disamakan” ini maka Madrasah Tsanawiyah Asy’ari memperoleh “ civil effect ”, yaitu berhak menjadi Madrasah Pembina dan sebagai madrasah Penyelenggara EBTANAS / Sub Rayon. Kewenangan tersebut berlaku sejak menerima sertifikat disamakan pada tahun 1997 s.d 2002, pada tahun 2002 s/d 2007 status Disamakan dapat dipertahankan hingga pada Tahun 2008 melaksanakan Akreditasi oleh BAS Kota Batu dengan hasil Terakreditasi “ A “.
---------------------------------------------------------------
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri Muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah). Islam pun baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh. Namun, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kondisi ini oleh beberapa ahli dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan agama Islam di Indonesia. Termasuk di antaranya adalah madrasah.
Ironisnya, sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi madrasah selalu berada dalam posisi marginal. Meskipun saat ini pemerintah mulai memperhatikan eksistensi madrasah melalui UU No. 20 Tahun 2003, namun “penganaktirian” terhadap madrasah tetap saja terjadi. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya aliran dana pemerintah ke madrasah. Juga masih minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dan masa depan guru.
Ironisnya, sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi madrasah selalu berada dalam posisi marginal. Meskipun saat ini pemerintah mulai memperhatikan eksistensi madrasah melalui UU No. 20 Tahun 2003, namun “penganaktirian” terhadap madrasah tetap saja terjadi. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya aliran dana pemerintah ke madrasah. Juga masih minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dan masa depan guru.
Meskipun demikian, stakeholders madrasah tidak pernah putus asa. Hal ini dapat terlihat dari eksistensi madrasah yang sejak dulu sampai sekarang masih tetap menunjukkan reliabilitasnya. Madrasah senantiasa terus dibangun dan dikembangkan untuk mencapai martabatnya yang senantiasa berkembang, karena eksistensi madrasah dalam menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. Sudah bukan saatnya lagi madrasah terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam pengembangan peradaban manusianya.
Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Eksistensi Madrasah di Era Global
Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar kata tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.[1]
Menurut sejarahnya, madrasah sebagai lembaga pendidikan tidaklah berasal dari ruang hampa, tetapi kemunculannya merupakan “sambungan” dari sejarah-sejarah awal munculnya Islam yang benih-benihnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yakni dengan adanya kuttab, , halaqah, suffah atau al zilla. Namun demikian, istilah madrasah muncul pertama kali ketika Nidhamul Mulk dari Bani Saljuk mendirikan Madrasah Nidhamiyah pada tahun 1064 M. Dengan munculnya madrasah nidzamiyah tersebut kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain.[2]
Namun demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa madrasah nidzamiyyah ini hanyalah kemunculan istilah madrasah dalam sejarah pendidikan Islam lebih menunjukkan pengakuan secara resmi (legalitas) dari pemerintahan Islam sebagai penguasa. Pengakuan tersebut disertai dengan mendirikan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi (state institutions).
Jika ditelusuri sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan islam, nama madrasah itu sendiri munculnya agak belakangan. Ada beberapa tempat yang diduga lebih dulu digunakan masyarakat Islam di Nusantara, diantaranya masjid yang berfungsi ganda sebagai tempat ibadah, dan aktivitas sosial keagamaan lain, termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan.[3]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda bila dibandingkan dengan pesantren. Ia lahir pada abad ke-20 dengan munculnya Madrasah Manba’ul ‘Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan sekolah Adabiyyah yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. madrasah ini berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karel Steenbrink, meliputi tiga hal, yaitu:
a. Usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan pesantren,
b. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan
c. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dengan sistem pendidikan Barat.[4]
Meskipun usaha pembaharuan sudah diupayakan, namun permasalahan di dalam tubuh madrasah bukannya semakin ringan dan sedikit. Hal ini bisa dilihat pada model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara yang memunculkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Dualisme ini telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikotomi keilmuan ini justeru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.[5]
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana dan prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan madrasah sebagai “sapi perah”, madrasah memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya, yaitu menjadi salah satu tumpukan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi.
Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai dimana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audiovisual, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama ini melekat pada pesantren sedikit demi sedikit juga semakin terkikis.[6]
Satu lagi yang menarik dari madrasah adalah pengembangan madrasah tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga dengan peningkatan kualitas yang cukup signifikan. Manajemen profesional telah menjadi andalan. Pembagian kewenangan antara spritualis (kyai) dan manajer administratif mendukung terciptanya suasana kerja yang harmonis. Keberadaan madrasah di pusat-pusat kota juga banyak yang tampil dengan inovasi baru. Hal ini bukan saja telah membuat masyarakat tidak alergi lagi dengan menyebut nama madrasah, tetapi juga dapat diartikan sebagai naiknya prestise madrasah.[7]
[1] Nurul Huda, “Madrasah; Sebuah Perjalanan untuk Eksis” dalam Ismail SM, et.al. (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 211
[4] Raharjo “Madrasah Sebagai The Centre of Excellence” dalam Ibid., hlm. 226
Tidak ada komentar:
Posting Komentar