Latest Post

Santri _Makna dan definisi

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 27 Desember 2011 | 00.39



        Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti [n] (1) orang yg mendalami agama Islam; (2) orang yg beribadat dng sungguh-sungguh; orang yg saleh. Akan tetapi saya punya definisi berbeda arti dari santri tersebut menurut saya, Makna Santri adalah bahasa serapan dari bahasa inggris yang berasal dari dua suku kata yaitu SUN dan THREE yang artinya tiga  matahari.
matahari adalah titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yg mendatangkan terang dan panas pd bumi pd siang hari. seperti kita ketahui matahari adalah sumber energi tanpa batas, matahari pula sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan secara ikhlas oleh matahari. namun maksud tiga matahari dalam kata SUNTHREE adalah tiga keharusan yang dipunyai oleh seorang santri yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Semua ilmu tentang Iman, Islam dan Ihsan dipelajari dipesantren menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan islam. serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.

Namun para ilmuan tidak sependapat dan saling berbeda tentang pengetian santri. Ada yang menyebut, santri diambil dari bahasa ‘tamil’ yang berarti ‘guru mengaji’, ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india ‘shastri’ yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci’.

Selain itu, pendapat lainya meyakini bahwa kata santri berasal dari kata
‘Cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedang versi yang lainya menganggap kata ‘santri’ sebagai gabungan antara kata ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong). Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Dalam praktik bahasa sehari-hari, istilah ‘santri’ pun memiliki
devariasi yang banyak. Artinya, pengertian atau penyebutan kata santri masih suka-suka alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh. Santri apa, yang mana dan bagaimana?

Ada santri profesi, ada santri kultur. ‘
Santri Profesi’ adalah mereka yang menempuh pendidikan atau setidaknya memiliki hubungan darah dengan pesantren. Sedangkan ‘Santri Kultur’ adalah gelar santri yang disandangkan berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Dengan kata lain, bisa saja orang yang sudah mondok di pesantren tidak disebut santri, karena prilakunya buruk. Dan sebaliknya, orang yang tidak pernah mondok di pesantren bisa disebut santri karena prilakunya yang baik.


Dari segi metode dan materi pendidikan, kata ‘santri’ pun dapat dibagi menjadi dua. Ada ‘
Santri Modern’ dan ada ’Santri Tradisional’ – Seperti juga ada pondok modern dan ada juga pondok tradisional. Sedang dari segi tempat belajarnya, ada istilah ‘santri kalong’ dan ‘santri tetap’. Santri kalong adalah orang yang berada di sekitar pesantren yang ingin menumpang belajar di pondok pada waktu-waktu tertentu.

Walapun ketika kembali kemasyarakat santri tidak semuanya berprofesi jadi kyai maupun ustadz, ada yang berprofesi sebagai karyawan, pengusaha, pedagang dan banyak lainya, namun diharapkan santri tetap menjadi santri walaupun hanya berprofesi sebagai pedagang, jadilah pedagang yang benar ala santri.

Saya punya satu lagi definisi kata santri yaitu serapan dari bahasa jawa / melayu yang bersal dari kata ngantri, memang tak dapat dipungkiri bahwa dikehidupan sehari-harinya seorang santri tidak luput dari ngantri entah itu mandi, makan, BAB, nyuci dan lain sebagainya

Islam dan ilmu pengetahuan



        Kita pasti sudah mendengar istilah algoritma. Tapi tahukah siapa penemunya? Kebanyakan orang jika diberi sebuah pertanyaan: Siapa penemu teori: “kuadrat sisi terpanjang dari sebuah segitiga akan sama dengan jumlah kuadrat dari sisi-sisi pendeknya”? Dengan penuh keyakinan mereka akan menjawab:Itu adalah Teori Phytagoras dengan penemunya Phytagoras. Tapi tahukah anda? Sebenarnya teori tersebut bukanlah murni ditemukan oleh phytagoras, sebenarnya teori tersebut sudah ditemukan jauh sebelum phytagoras lahir. Sangat ironis jika kita dengan mudah mengingat Enstein dengan teori relativitasnya, Hubble dengan teori big bangnya, Newton dengan hukum gaya-gaya dalam fisikanya. Tapi tahukah anda siapa penemu angka nol, penemu trigonometri, Istilah Farmasi, dan pencipta Globe? Sungguh mereka adalah saudara kita, mereka adalah umat muslim. Dan masih banyak lagi penemuan-penemuan yang berpengaruh di dunia yang ditemukan oleh ilmuwan muslim, tetapi kebanyakan orang Islam terutama orang awam tidak mengetahui bahwa Ilmuwan-Ilmuwan muslim banyak berjasa dalam Ilmu pengetahuan. Mereka seolah-olah tertutup oleh “kebesaran” ilmuwan barat yang jika di teliti dan dikaji lebih dalam, kebanyakan dari mereka mengambil ide-ide serta gagasan dari Ilmuwan muslim. Bahkan sebagian Ilmuwan barat sudah mengakui hal itu. Berikut adalah kisah singkat beberapa ilmuwan muslim yang terkenal:
1.
Al Khawarizmi (780-848 M) Bapak Al jabar, penemu angka nol
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Musa Al Khawarizmi.
Kepandaian dan kecerdasanya mengantarkanya masuk ke lingkungan Dar-al Hakam (Rumah Kebijaksanaan) yang didirikan oleh Harun Ar Rasyid dinasti Abbasiyah. Karya-karya Khawarizmi di bidang matematika memang banyak mengacu pada buku aljabar karangan Diophantus (250 SM) dari Yunani. Namun dalam meneliti buku-buku aljabar tersebut Khawarizmi menemukan beberapa kesalahan dan permasalahan yang masih kabur. Oleh sebab itu menurut Gandz, matematikawan barat dalam bukunya “The Source of Al-Khwarizm’s Algebra” Khawarizmi lah yang lebih berhak mendapat julukan Bapak Aljabar dibanding Diophantus, karena dialah orang pertama yang mengajarkan aljabar dalam bentuk elementer serta menerapkanya dalam hal-hal yang berkaitan denganya. Dalam bukunya beliau juga memperkenalkan kepada dunia Ilmu Pengetahuan angka 0 (nol) dalam bahasa arab disebut juga Sifr. Sebelum Khawarizmi menemukan angka 0 para Ilmuwan mempergunakan abacus, semacam daftar yang menunjukan satuan, puluhan, dst. Tetapi hitungan seperti ini tidak mendapat respon yang baik dari para ilmuwan barat dan mereka lebih tertarik menggunakan ragam al binji (daftar angka arab termasuk nol). Dengan demikian angka nol baru dikenal dan digunakan bangsa barat sekitar 250 tahun sesudah ditemukan Khawarizmi. Di dunia barat, Ilmu Matematika lebih banyak dipengaruhi oleh karya Khawarizmi daripada karya para penulis dari abad pertengahan. Masyarakat modern saat ini berhutang budi kepada Al-Khawarizmi. Notasi penempatan bilangan basis 10, penggunaan bilangan irasional dan diperkenalkanya konsep aljabar modern, membuatnya layak menjadi figur penting dalam bidang matematika dan revolusi perhitungan di abad pertengahan di daratan Eropa. Dengan penyatuan matematika Yunani, Hindia dan mungkin babilonia teks aljabar merupakan salah satu karya Islam di dunia Internasional.
2.
Al-Battani (858-929) Ahli Astronomi dan Bapak trigonometri
Al-Battani adalah ilmuwan dari Irak. Dialah ahli astronomi terbesar di kalangan orang Arab. Le Lande Ahli Astronomi besar dari perancis mengatakan bahwa Al-Battani termasuk salah seorang dari 20 astronomi dalam sejarah manusia. Prof. Dr. George Sarton dalam bukunya sejarah Alam Semesta bahwa Al-Battani merupakan ahli astronomi paling besar, paling bagus sedangkan di zamanya belum ada alat-alat Astronomi canggih seperti sekarang. Dalam bidang Ilmu pasti al-Battani adalah orang yang pertama kali memasukan sinus dan cosinus dalam ilmu pasti. Dia menggunakan sinus dan cosinus sebagai ganti hypotenause yang banyak digunakan oleh ilmuwan Yunani. Sehingga sebagian Ilmuwan barat menyebutnya sebagai bapak trigonometri.Selain itu dia juga menemukan hukum segitiga samasisi, memecahkan berbagai persoalan hitungan ala Yunani dengan cara menggunakan ilmu ukur untuk mengetahui detil ukuranya. Belau juga ahli dalam bidang Ilmu falak yang brilian. Al-Battani sudah menggunakan metode dan alat teropong yang jauh lebih maju daripada yang dimiliki Yunani. Hitungan yang dipergunakan juga jauh lebih maju daripada yang dipergunakan orang Yunani termasuk hitunganya dalam berbagai segitiga yang juga belum dikenal oleh mereka.
3.
Abbas bin Farnas (wafat 887M)
Abbas bin Farnas dijuluki “orang bijak Andalusia”. Hal itu mungkin Disebabkan oleh kesibukanya di bidang kimia. Selain itu ia juga seorang ilumuwan yang sangat antusias melakukan penelitian ilmiah bahkan ia merupakan orang yang pertama kali berusaha untuk bisa terbang di udara. Beliau adalah orang yang pertama kali membuat kaca dari batu dan orang yang pertama kali pula membuat kristal. Hal yang paling terkenal ialah usahanya untuk terbang. Dia melekatkan bulu elang di tubuhnya kemudian membentuk dua buah sayap . Dia melompat dari tebing yang tinggi terbang beberapa detik kemudian jatuh ke tanah. Sangat menakjubkan dia selamat!
4.
al-Idrisi (1100-1166 M)
al-Idrisi adalah orang yang berusaha menggabungkan antara ilmu bumi dan ilmu falak. Dalam bukunya Nuz-hah al-Mustaq al-Idrisi mengulas bumi secara singkat. Al-Iddrisi adalah geographer yang meyakini bahwa bumi berbentuk bulat, al-Idrisi secara gemilang membuat globe dari perak. Dalam globe itu al-Idrisi menggambarkan 6 benua, dilengkapi jalur perdagangan, danau, sungai kota-kota utama, daratan, dan gunung-gunung. Tak hanya itu, globe yang dibuatnya juga memuat informasi jarak, panjang, dan tinggi secara tepat. Ini adalah ensiklopedia geografi yang berisi peta dan informasi mengenai Negara di eropa, Afrika, dan Asia yang pertama kali diterbitkan secara rinci.
Kemudian, Ilmuwan Islam Selain mereka berempat adalah Ibnu Khaldun yang mendahului filsafat sejarah Hegel dan kritik sejarah karl marx, Ibnu Battuta yang lebih luas penjelajahanya daripada Columbus. Laksamana Cengho, Umar Khayam, Ibnu Sina, al-Biruni, al-Farabidan serta dizaman sekarang ada Dr. Abdussalam peraih nobel di bidang fisika dan masih banyak lagi.
Jadi jangan berlebihan mengagung-agungkan Ilmuwan barat yang kebanyakan mereka hanya menguasai beberapa bidang. Ilmuwan-ilmuwan Islam juga patut dan seharusnya lebih dibanggakan daripada ilmuwan barat. Dan hal ini hendaknya mulai disosialisasikan di sekolah-sekolah. Jadi jangan sampai anak dan cucu kita besok tidak tahu siapa Ibnu Khaldun, Khawarizmi yang mereka bisa menguasai Ilmu-ilmu umum sekaligus Ilmu akherat tidak ketinggalan,tetapi anak cucu kita hafal sejarah biografi Enstein, Newton, Karl marx yang mereka hanya fokus dalam ilmu-ilmu dunia bahkan sebagian dari mereka adalah atheis.
Dengan kita seolah-olah tidak acuh dan tidak tertarik mencari tahu profil Ilmuwan-Ilmuwan Islam yang sebenarnya memberikan sumbangsih besar terhadap peradaban dunia tetapi malah membesar-besarkan Ilmuwan-Ilmuwan barat. Ini semakin nyata bahwa kaum muslim saat ini sedang terjajah mental oleh orang-orang Barat. Dan itu mengakibatkan umat Islam tidak bangga dengan keislamanya sendiri, bangsa Islam merasa selalu kalah dengan bangsa-bangsa barat, Umat Islam semakin minder dengan orang-orang kafir sehingga umat Islam tidak bisa meneruskan estafet dari Dinasti Abbasiyah dari segi Ilmu Pengetahuan berabad-abad lalu.

Margaluyu 151 YOGYAKARTA

 
MAKNA MARGALUYU 151
MARGA, artinya Jalan Lurus
LUYU, artinya Luhur atau Suci
1, maknanya Dasar tujuan yang kuat untuk membangun
5, maknanya PANCASILA
1, maknanya Membela/kemenangan/kejayaan
Jadi arti MARGALUYU 151 adalah "Jalan menuju kehidupan yang berbudi suci dan luhur", Oleh karenanya, setiap warga MARGALUYU 151 harus mempunyai dasar tujuan, tekad yang bulat untuk membela,mempertahankan,dan memenangkan PANCASILA untuk selanjutnya dihayati dan diamalkan.

MAKNA BENDERA
Warna bendera MARGALUYU 151 adalah Merah, Kuning, Hitam.
Merah, maknanya Berani
Kuning, maknanya Keluhuran/Kemuliaan
Hitam, maknanya Langgeng/Abadi

MAKNA LAMBANG
Lambang MARGALUYU 151 adalah Tangan Menangkap Petir yang bermakna bahwa setiap warga MARGALUYU 151 harus berani menghadapi serangan bahaya betapapun tingginya dengan tekad pantang mundur.

Dalam tata beladiri Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 bersumber pada kekuatan pernapasan yang dikendalikan oleh RASA, CIPTA dan KARSA/KARYA yang selalu dalam perlindungan Ridho Tuhan Yang Maha Esa.

Banyaknya jurus dalam Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 adalah:
  1. Jurus Dasar terdiri dari 10 Jurus.
  2. Jurus Kombinasi ada 10 Jurus tambahan.
  3. Jurus Pamungkas atau "Jurus R" yang terdiri dari 22 tumpuan.
Semua fungsi dan kegunaan setiap Jurus dijelaskan dan diperagakan pada setiap pelatihan. 

SALINAN ANGGARAN DASAR GERAK BADAN PENCAK MAGRALUYU 151 YOGYAKARTA

ANGGARAN DASAR
GERAK BADAN PENCAK MARGALUYU 151

BAB I
NAMA, WAKTU, DAN TEMPAT KEDUDUKAN

Pasal 1
Gerak Badan Pencak bernama “MARGALUYU 151”
Pasal 2
  1. Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 dibentuk sejak tanggal 6 Juni 1959 untuk waktu yang tidak ditentukan
  2. Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 berkedudukan di Yogyakarta

BAB II
A Z A S

Pasal 3
  1. Azas Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 adalah PANCASILA sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
  2. Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 hanya mengakui Azas Tunggal ialah Azas Tunggal PANCASILA
BAB III
TUJUAN

Pasal 4
Tujuan Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 adalah :
  1. Membela, mengamankan, menghayati, dan mengamalkan Pancasila
  2. Membela,mempertahankan Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen
  3. Menggembleng Badaniyah dan Rokhaniyah setiap putera puteri Indonesia, menuju kesempurnaan kesehatan
  4. Memayu Rahayuning Jagad yang sejahtera lahir bathin
  5. Mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa tanpa membedakan Agama, Golongan, dan Suku.

BAB IV
USAHA

Pasal 5
Pokok-pokok usaha Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 ialah :
  1. Mendidik dan melatih Keterampilan dalam olahraga, pada beladiri untukmempertahankan diri dari segala bentuk serangan.
  2. Turut serta menjaga keamanan, ketentraman masyarakat.
  3. Menyiapkan diri untuk ikut membela keamanan Negara bersama ABRI dalam bidang keamanan.
  4. Dengan ikhlas mengadakan Bhakti Sosial.
  5. Ikut serta membina kaum remaja agar menjadi remaja yang baik.

BAB V
KEANGGOTAAN

Pasal 6
Yang diterima menjadi anggota Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 ialah setiappetera puteri Indonesia yang baik budi kelakuannya dan sudah berumur paling sedikit 15 tahun
BAB VI
WILAYAH/DAERAH

Pasal 7
1. Meliputi seluruh wilayah Negara Indonesia
2. Wilayah tersebut terbagi atas :
a. Tingkat Nasional adalah Pusat
b. Tingkat I adalah Daerah Propinsi
c. Tingkat II adalah Daerah Kabupaten
d. Tingkat III adalah Daerah Kecamatan
e. Tingkat IV adalah Daerah Kelurahan/Desa
BAB VII
SUSUNAN ORGANISASI

Pasal 9
1. Kepengurusan PUSAT;
Ketua Umum
Ketua I
Ketua II
Ketua III
Ketua IV
Sekretaris Jenderal
Sekretaris I
Sekretaris II
Sekretaris III
Sekretaris IV
Departemen Pembina
Departemen Teknik/Latihan

2. Kepengurusan KOMDA;
Ketua I
Ketua II
Ketua III
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
Seksi Pembinaan
Seksi Teknik/Latihan

3. Kepengurusan CABANG;
Sama dengan KOMDA

4. Kepengurusan RANTING;
Ketua I
Ketua II
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara
Seksi Pembinaan
Seksi Teknik/Latihan
BAB IX
PEDOMAN SUCI

Pasal 10
Bismillahirrokhmanirrokhim
Demi Allah, saya sebagai warga Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 bersumpah dan berjanji akan selalu mentaati Pedoman Suci Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 disepanjang zaman
  1. Membela dan melaksanakan Keadilan serta Kebenaran yang sesuai dengan norma-norma pergaulan.
  2. Melaksanakan sekaligus patuh pada perintah Kepala Negara.
  3. Selalu taat dan patuh serta menjalankan pekerjaan wajib.
  4. Memaafkan kesalahan orang lain.
  5. Tak akan berceritera kepada orang lain sebelum dirinya mengerti dan merasakan sendiri.
  6. Tak akan menghina dan merendahkan orang lain.
  7. Tak akan sombong, iri hati serta khilaf diri.
  8. Selalu bersujud dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ibu-Bapak, Kepala Negara, Guru serta orang yang lebih tua.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memayungi dan menganugerahi RakhmatNYA serta sekaligus memberikan Hukuman yang setimpal kepada warga MARGALUYU 151 yang melanggar dan menodai Pedoman Suci Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 yang luhur dan Agung ini. Amin, Amin, Amin.
BAB X
HARTA KEKAYAAN

Pasal 11
Harta kekayaan diperoleh dari:
1. Uang pangkal dan iuran anggota.
2. Sumbangan-sumbangan yang tidak mengikat.
3. Pendapatan yang sah dan halal.
BAB XI
LAMBANG/SIMBOL DAN BENDERA

Pasal 12
Lambang Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 ialah:
  1. Tangan menangkap Petir yang dilandasi dengan simbol 151.
  2. Warna Bendera ialah Merah,Kuning,Hitam dimana lambing yang dimaksud ayat 1 berada di dalamnya.

BAB XII
PERUBAHAN-PERUBAHAN/KETENTUAN-KETENTUAN

Pasal 13
  1. Azas Gerak Badan Pencak MARGALUYU 151 seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar tidak dapat diubah.
  2. Hal-hal yang belum tercantum dalam Anggaran Dasar dapat diterangkan dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB XIII
KETENTUAN UMUM

Pasal 14
Bila timbul penafsiran lain atau berbeda mengenai suatu ketentuan dalam Anggaran Dasar ini, maka tafsiran ditentukan Pimpinan Pusat.

PIMPINAN PUSAT
GERAK BADAN PENCAK MARGALUYU 151
INDONESIA DIYOGYAKARTA
KETUA UMUM SEKRETARIS JENDERAL




H. HS. EFFENDI. PS Ir. TAHLAN HATTA

Keutamaan Sholawat

    

      Definisi dan Keutamaan Membaca Shalawat Kita senantiasa memanjatkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Rasulullah:

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad Rasulullah

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيما

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya. (QS Al-Ahzab 33: 56)

Shalawat dari Allah berarti rahmat. Bila shalawat itu dari Malaikat atau manusia maka yang dimaksud adalah doa.

Sementara salam adalah keselamatan dari marabahaya dan kekurangan.

Tidak ada keraguan bahwa membaca shalawat dan salam adalah bagian dari pernghormatan (tahiyyah), maka ketika kita diperintah oleh Allah untuk membaca shalawat -yang artinya mendoakan Nabi Muhammad- maka wajib atas Nabi Muhammad melakukan hal yang sama yaitu mendoakan kepada orang yang membaca shalawat kepadanya. Karena hal ini merupakan ketetapan dari ayat:

فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Maka lakukanlah penghormatan dengan penghormatan yang lebih baik atau kembalikanlah penghormatan itu. (QS. An Nisa’: 86)

Doa dari Nabi inilah yang dinamakan dengan syafaat. Semua ulama telah sepakat bahwa doa nabi itu tidak akan ditolak oleh Allah. Maka tentunya Allah akan menerima Syafaat beliau kepada setiap orang yang membaca shalawat kepadanya.

Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan membaca shalawat kepada Nabi. Diantaranya:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ

Barangsiapa berdoa (menulis) shalawat kepadaku dalam sebuah buku maka para malaikat selalu memohonkan ampun kepada Allah pada orang itu selama namaku masih tertulis dalam buku itu.

مَنْ سَرَّهُ أنْ يُلْقِى اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ رَاضٍ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ

Barangsiapa yang ingin merasa bahagia ketika berjumpa dengan Allah dan Allah ridlo kepadanya, maka hendaknya ia banyak membaca shalawat kepadaku (Nabi).

مَا أكْثَرَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فِيْ حَيَاتِهِ أَمَرَ اللهُ جَمِيْعَ مَخْلُوْقَاتِهِ أنْ يَسْتَغْقِرُوا لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

Barangsipa membaca shalawat kepadaku di waktu hidupnya maka Allah memerintahkan semua makhluk-Nya memohonkan maaf kepadanya setelah wafatnya.

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ ثُمَّ تَقًرَّقُوْا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ وَصَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ إلَّا قَامُوْا عَنْ أنْتَنَ مِنْ حِيْفَةٍ

Mereka yang berkumpul (di suatu majlis) lalu berpisah dengan tanpa dzikir kepada Allah dan membaca shalawat kepada nabi, maka mereka seperti membawa sesuatu yang lebih buruk dari bangkai.

Para ulama sepakat (ittifaq) diperbolehkannya menambahkan lafadz 'sayyidina' yang artinya tuan kita, sebelum lafadz Muhammad. Namun mengenai yang lebih afdhol antara menambahkan lafadz sayyidina dan tidak menambahkannya para ulama berbeda pendapat.

Syeikh Ibrahim Al-Bajuri dan Syeik Ibnu Abdis Salam lebih memilih bahwa menambahkan lafadz sayyidina itu hukumnya lebih utama, dan beliau menyebutkan bagian ini melakukan adab atau etika kepada Nabi. Beliau berpijak bahwa melakukan adab itu hukumnya lebih utama dari pada melakukan perintah (muruatul adab afdholu minal imtitsal) dan ada dua hadits yang menguatkan ini.

Yaitu hadits yang menceritakan sahabat Abu Bakar ketika diperintah oleh Rasulullah mengganti tempatnya menjadi imam shalat subuh, dan ia tidak mematuhinya. Abu bakar berkata:

مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ قُحَافَةَ أَنْ يَتَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ

Tidak sepantasnya bagi Abu Quhafah (nama lain dari Abu Bakar) untuk maju di depan Rasulullah.

Yang kedua, yaitu hadits yang menceritakan bahwa sahabat Ali tidak mau menghapus nama Rasulullah dari lembara Perjanjian Hudaibiyah. Setelah hal itu diperintahkan Nabi, Ali berkata

لَا أمْحُو إسْمَكَ أَبَدُا

Saya tidak akan menghapus namamu selamanya.

Kedua hadits ini disebutkan dalam kitab Shahih Bukhori dan Muslim.Taqrir (penetapan) yang dilakukan oleh Nabi pada ketidakpatuhan sahabat Abu Bakar dan ali yang dilakukan karena melakukan adab dan tatakrama ini menunjukkan atas keunggulan hal itu.


KH Abd. Nashir Fattah
Rais Syuriah PCNU Jombang
Dihimpun oleh Sholehuddin SH dari pengajian Kitab Qurratul Ain Bimuhimmatid Din di masjid baiturrahman Jlopo Tebel Bareng yang diikuti oleh Pengurus MWCNU dan Ansor Kecamatan Bareng

Islam Fundamentalis



    Belakangan ini kita mengenal istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis". Istilah ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala nasional maupun internasional. Istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis" ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang 'dituduhkan' oleh media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan memberikan gambaran yang 'negatif' terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan untuk menjatuhkan 'kredibilitas' mereka di mata dunia.
Apa sesungguhnya makna istilah fundamentalisme? Bagaimana asal-usul istilah tersebut, dan siapakah sebenarnya kaum "fundamentalisme" itu? Insya Allah, artikel ini akan membahasnya secara mendalam.
Istilah 'ushuliyah' (fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut, adalah berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Sementara, istilah 'ushuliyah' dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang.
Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan pengaruhnya.
Istilah yasar (kiri) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara, dalam pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada orang-orang kaya raya, orang-orang yang berkecukupan, dan orang-orang yang menikmati kehidupan enak.
Istilah yamin (kanan) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang kuno, terbelakang dan kaku. Sementara, dalam wacana pemikiran Arab dan Islam, dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, sehingga mereka datang kepada Tuhan mereka pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatan-perbuatan mereka yang baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan ketenangan.
Oleh karena itu, Imam Abdul Hamid bin Badis (1307-1359 H) berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan do'anya, "Ya Allah jadikanlah aku di dunia termasuk kelompok orang-orang yasar (kiri) dan jadikanlah aku di akhirat termasuk kelompok orang-orang yamin (kanan)". Tentunya sesuai dengan pemahaman pemikiran Islam, bukan pemahaman pemikiran Barat.

Asal Usul Fundamentalisme di dunia Barat

Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu "Gerakan Millenium". Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.
Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan "mimpi Yohana" (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.
Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela "hak-hak" orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah "fundamentalisme" dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.

Makna Istilah Ushuliyah dalam Wacana Pemikiran Islam

Dalam visi Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah "fundamentalisme". Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu yaitu al-ashlu dengan makna 'dasar sesuatu' dan 'kehormatan'. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr : 5) (Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna 'akar' (QS Ibrahim : 24).
Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu' (parsial-parsial) dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, "Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci." Dan, "ushul" adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima.
Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, 'dalil'. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, 'kaidah umum'. Dan ketiga, 'yang rajih' atau 'yang paling kuat' dan 'yang paling utama'. (Lihat kitab Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma'arif)
Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih akbar. Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara' praktekal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul hadits atau mushthalah hadits.
Demikianlah warisan keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas istilah ini.
Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam kajian-kajian ilmu fikih, kita dapati ia bermakna, "Kaidah-kaidah pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah (legislasi) umum, serta pokok-pokok tasyri'iyah general seperti : (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta (5) ta'arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum)." Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.
Terlepas dari pemahaman itu, apakah dalam aliran-aliran pemikiran Islam dan mazhab-mazhabnya --baik yang lama maupun yang baru-- terdapat aliran pemikiran atau mazhab yang menyikapi teks-teks suci seperti sikap orang-orang fundamentalis Barat, yakni menggunakan penafsiran literal atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolak segala metafor dan takwil atas sesuatu nash (teks), meskipun zahir teks itu jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil akal? Hingga dapat dikatakan bahwa sikap aliran atau mazhab ini terdapat nash-nash Islami yang suci adalah sama persis dengan aliran fundamentalis Kristen terhadap Injil dan "kitab suci" mereka? Sehingga, kemudian dapat membenarkan kebenaran "fundamentalisme Islam" dengan pengertian Barat yang negatif terhadap istilah "fundamentalisme" ini?
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sama sekali tidak ada. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul-hadits, kaum zhahiriyah, maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majas (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir tercapai ijma bahwa nash-nash yang tidak dapat ditakwilkan, yang dalam istilah ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan, perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm 210-232, Kuwait, 1972)
Berikut ini beberapa definisi tentang "penakwilan" yang dikemukakan oleh para pemikir Islam :

1. Ibnu Rusyd (1126-1198 M)

Dalam kitab Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal mendefinisikan "penakwilan" sebagai : "Mengeluarkan arti (dilalah) dari dilalah hakiki ke dilalah majasi, tanpa melanggar kaidah bahasa Arab dalam proses itu. Seperti menanamkan sesuatu dengan : yang mirip dengannya, sebabnya, yang setelahnya, yang mengiringinya, dan hal-hal lain yang dimasukkan dalam pendefinisian macam-macam kalam majasi."

2. Imam Al-Ghazali (1058-1111M)

Beliau telah meluaskan skup takwil yang dapat diterima itu menjadi lima tingkat terhadap keberadaan sesuatu yang dibicarakan oleh nasih itu. Kelima tingkatan itu adalah : wujud zati (hakiki), wujud hissi (indrawi), wujud khayali (imajinatif), wujud aqli (akal), dan wujud syibhi (keserupaan). Dengan tingkatan-tingkatan penakwilan yang lima ini, orang yang melakukan penakwilan itu adalah masuk dalam lingkup tashdiq (pembenaran terhadap agama) dan keimanan, dan darinya tertolak tuduhan mendustakan agama atau kezindikan. Imam Al-Ghazali mengatakan : "Setiap orang yang meletakkan suatu redaksional hadits dan suatu nash dari Al-Qur'an, pada salah satu tingkat takwil ini maka ia termasuk orang yang membenarkan agama. Karena, pendustaan adalah mengingkari seluruh makna-makna dalam semua tingkatan ini, dan mengklaim bahwa semua yang diberitakan oleh nash-nash adalah dusta semata. Dan, itu adalah kekafiran dan kezindikan. Sementara orang-orang yang melakukan penakwilan tidak menjadi kafir selama ia menetapi kaidah-kaidah penakwilan.
Kemudian beliau menegaskan, bahwa seluruh mazhab Islam telah menggunakan takwil. Katanya, "Seluruh kelompok Umat Islam pada akhirnya terpaksa menggunakan takwil. Dan kelompok yang amat membatasi diri dari menggunakan takwil adalah Ahmad bin Hambal (780-885 M). Sementara, kalangan Asy'ariyah dan Muktazilah, karena keduanya lebih mendalam dalam kajian rasio, maka mereka banyak melakukan penakwilan terhadap makna-makna zahir teks dalam masalah-masalah akhirat, kecuali sedikit. Dan, Muktazilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan penakwilan.

3. Imam Muhammad Abduh (1849-1905M)

Beliau menjadikan "pendahuluan atas akal atas zhahir syara' ketika terjadi benturan antara keduanya" sebagai pokok dari pokok-pokok Islam. Ia berkata, "Pemeluk Islam telah sepakat kecuali seditkit orang yang tidak memikirkannya bahwa jika ada pertentangan antara akal dan naql maka diambil pemahaman yang ditunjukkan oleh akal. Kemudian, bagian naql itu dilakukan dua jalan pendekatan : pertama, jalan penerimaan atas keabsahan naql itu, sambil mengakui ketidakmampuan diri untuk memahaminya, serta menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah SWT. Dan, jalan yang kedua adalah menakwilkannya, sambil memperhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab dakan menakwilkannya, sehingga maknanya sesuai dengan apa yang dipahami oleh akal.

4. Imam Hasan Al-Banna (1908-1949 M)

Beliau menafikan kemungkinan perbedaan, "Dalil-dalil berdasarkan nazhar syar'i (kacamata syar'i) dengan nazhar aqli (kacamata akal) dalam hal-hal yang qath'i. Oleh karena itu, hakikat ilmiah tidak akan berbenturan dengan kaidah syari'at yang tetap. Sementara, yang zhanni (samar-samar) darinya ditakwilkan sesuai dengan yang qath'i (pasti). Sedangkan, jika keduanya zhanni maka nazhar syar'i lebih utama untuk diikuti, hingga nazhar alki membuktikan kekuatannya atau ia lenyap. Islam yang hanif (lurus) dapat menjelaskan masalah ini dengan tuntas, ia menyatukan antara keimanan yang ghaib dan menggunaan akal. Dan kepada model pemikiran yang menyatukan antara dua kal ini: yang ghaib dan yang ilmiah, kami mengajak manusia. (Hasan Al-Banna, Risalah Ta'lim hlm 271)
Demikianlah sikap para pemikir Islam terhadap majas (metafor) takwil, dan penafsiran literal terhadap nash-nash, yang sama sekali tidak mengandung pengeritan "fundamentalisme", seperti yang dikenal oleh Kristen Barat.
Oleh karena itu, tidak ada satu pun mazhab-mazhab Islam yang hanya membatasi diri pada makna literal nash-nash dan menolak seluruh bentuk takwil, sehingga dapat dinamakan sebagai kelompok "fundamentalisme" dengan pengertian Barat atas istilah itu. Dan karena kondisi "kontemporer Islam" tidak berbeda dengan "generasi awal Islam" maka aliran-aliran pemikiran Islam baik modern maupun kontemporer, tidak pernah melahirkan aliran yang sama dengan "fundamentalisme" Kristen Barat.
Dengan demikian, kita menemukan perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pemahaman dan pengertian istilah "fundamentalisme" seperti dikenal oleh Kristen Barat, dengan pemahaman istilah ini dalam warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kontemporer. Kaum 'fundamentalis' di Barat adalah orang-orang yang kaku, dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan.
Fakta ini menjadikan kasus istilah ushuliyah (fundamentalisme) sebagai satu contoh dari sekian contoh kerancuan pemikiran yang timbul dari sikap yang tidak membedakan antara pemahaman-pemahaman yang berbeda -- dan kadang-kadang bertentangan -- yang diciptakan oleh peradaban-peradaban yang berbeda atas suatu istilah yang sama, yaitu dipergunakan oleh anggota-anggota peradaban yang berbeda itu.
Sedangkan, istilah "fundamentalisme" dengan pengertian Barat adalah sesuatu yang asing dari realitas Islam, yang dijejalkan oleh kekuatan "agresi media massa". Karena, fundamentalisme di Barat bermakna 'orang-orang kaku', sementara dalam warisan intelektual Islam menunjukkan kaum yang ahli tajdid (pembaruan), ijtihad, dan penyimpulan hukum.
***
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh
Agung Primamorista
primamoristaagung@tpj.co.id

Referensi :

  • Seize The Moment, Dr. Richard Nixon
  • Fundamentalisme-Fundamentalisme Kontemporer, Dr. Roger Garaudy
  • Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal, Ibnu Rusyd
  • Lisanul Arab, Ibnu Manzhur
  • Karl Marx, Evolution of His Thought, Dr. Roger Garaudy
  • Faishal Tafriqah Bainal Islam waz-Zandaqah, Imam Al-Ghazali
  • Ilmu Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf
  • Perang Terminologi Islam Versus Barat, Dr. Muhammad Imarah
  • Fundamentalisme dalam Persfektif Barat dan Islam, Dr. Muhammad Imarah
  • Masa Depan Fundamentalisme Islam, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
  • Karakteristik Metode Islami, Dr. Muhammad Imarah

Tradisi Islam Jawa

Written By Moh Wahyudi on Senin, 26 Desember 2011 | 23.59


    Membincang konsep Islam vis a vis tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity).
Melakukan pembacaan terhadap Islam di Indonesia dengan menggunakan kerangka pemahaman seperti di atas, tidak saja akan menemukan keterkaitan historis dengan realitas kesejarahan Islam, tetapi juga akan menemukan satu sisi penting dari awal proses transformasi intelektual Islam yang bertolak dari nilai-nilai universalisme Islam yang dikategorikan sebagai tradisi besar dengan tata nilai dalam setting kultural dan struktural tertentu yang sudah terpola sebelumnya.
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan, di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.
Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian.  Islam:Lokal dan Universal
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik” yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Menurut Akbar S Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim, dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai meneliti originalitas konsep-konsep al-Qur’an.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental) dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernafaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
IV. Pelembagaan Mistik Islam dalam Budaya Jawa
Ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif.
Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘ponakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyrakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa.
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib di pandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk berbakti kepada dewa saja ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
Sejak awal budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa menjadi salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:
Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.”
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi raja kepada rakyatnya melalui media hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan sebagai tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang juga disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja mempunyai kepentingan-kepentingan mencipatakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptkan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.9
V. Walisongo dan Pembentukan Misitisisme Islam Jawa
Diskursus sejarah masuknya Islam di Jawa dan cara penyebarannya menurut pendapat yang paling dominan mengatakan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan seperti diungkapkan oleh sejarawan asal Belanda Wertheim dan Pijnapel. Namun demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Islam tersebar di Jawa dilakukan oleh para dai sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Faktor keberhasilan dai sufi dalam berdakwah adalah kemampuan dai sufi untuk mengakomodasi ‘keyakinan lokal’ yang kemudian mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam. Untuk menguji teori ini, Jhon melakukan studi literature lokal yang memiliki keterkaitan dengan para pengembara sufi yang diyakini oleh penduduk lokal Nusantara pada zaman pra-Islam.
Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘zaman kewalen” (zaman wali).
Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain, kecuali budaya Hindu-Budha. Di Jawa Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas.
Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengaharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa ‘sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam.
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dengan dua pendekatan yang nonkompromis dan kompromis. Pendekatan nonkompromis adalah dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam. Pendekatan kompromis (akomodatif) adalah pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural approach). Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latarbelakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi/budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang semakin lama semakin surut dan akhirnya runtuh.
Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah geneologis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar geneologis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad.
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (sejarah tanah jawa) sebagai berikut.
Inilah sejarah kerajaan tanah jawa, mulai dengan nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru di sebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu).
Dari kutipan naskah babad tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masayarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.
Pementasan wayang sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai takdir.
Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua, yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatanya pada ajaran-ajaran agama. Sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di jawa Tengah bagian selatan, misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh kelompok abangan.      Secara budaya, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan, priyayi, dan santri. Klasifikasi masyarakat Jawa ini merupakan hasil penelitian dia di daerah Mojokuto Jawa Timur. Dalam hal ini dia berkata:
Kaum abangan adalah kelompok yang menitikbertkan segi-segi sinkritisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi Islam dalam sinkritisme, pada umumnya berhubungan dengan kaum pedagang dan petani. Sedangkan kelompok priyayi adalah sikap yang menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.
Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan kekuasaannya pada seperempat abad kelimabelas, pada zaman ini pula menandai berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang politik, khususnya di kota-kota pantai utara seperti Ampel (Surabaya), Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Cirebon. Mereka adalah pemimpin pertama “religius politik” Jawa Islam. Para tokoh agama/wali dalam proses dakwahnya melalui proses pembauran dengan keluarga istana melalui perkawinan atau keturunan.
Karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkret. Oleh karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas karena pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang bercorak mistik.
Dengan demikian, kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijogo, misalnya, dalam melakukan islamisasi tanah Jawa beliau menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon/materi juga bentuk fisik dari alat-alatnya. Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam Jawa dilakukan oleh Walisongo, yaitu para wali yang berjumlah sembilan orang, yaitu (1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), (2) Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, (3) Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, (4) Sunan Drajat, (5) Sunan Giri atau Raden Paku yang mengarang nyayian Asmarandana, (6) Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq, (7) Sunan Muria atau Raden Prawoto yang menggubah lagu-lagu jawa seperti Sinom atau Kinanthi, (8) Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatulah, dan (9) Sunan Kalijaga atau Raden Syahid. Mulai saat itulah, ada proses transformasi dari zaman Hindu-Budha berpindah menjadi zaman para wali (zaman kewalen).
Nama Walisanga (Walisongo) menurut Prof. Adnan bahwa kata sanga berasal dari perubahan dari kekeliruan dalam melapalkan kata sana yang berasal dari kata tsana yang searti dengan mahmud (terpuji). Dalam sejarahnya, walisongo merupakan tokoh sentral dalam penyebaran Islam di Jawa. Adapun nama-nama Walisongo tersebut adalah (1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), (2) Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, (3) Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, (4). Sunan Drajat, (5). Sunan Giri atau Raden Paku yang mengarang nyayian Asmarandana, (6) Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq, (7) Sunan Muria atau Raden Prawoto yang menggubah lagu-lagu jawa seperti Sinom atau Kinanthi, (8) Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatulah, dan (9) Sunan Kalijaga atau Raden Syahid. Menurutnya yang betul adalah wali sana yang berarti wali-wali yang terpuji. Adapun siasat atau strategi dakwah para wali dalam rangka mengIslamkan orang Jawa adalah dengan mengisi segala cabang/aspek kehidupan dengan muatan-muatan ajaran Islam dengan tanpa ada paksaan.
VI. Karakteristik Islam Kejawen
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme) kebudayaan Jawa dengan agama pendatang; Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Di antara percampuran tersebut yang paling dominan adalah dengan agama Islam. Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sinkretisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam putihan (santri) dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam Kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Dalam diskursus akademik, di kalangan para peneliti istilah Kejawen ada yang menyebut dengan istilah aliran kepercayaan. Pada saat yang lain, Koentjaraningrat menyebut aliran Islam Kejawen dengan istilah Islam Jawi. Istilah agama Jawi sesungguhnya merupakan istilah yang diderivasi dari penggolongan masyarakat Jawa secara sosial agama yang digagas oleh Clifford Geertz dengan tiga varian, yaitu Islam abangan, priyayi, dan santri. Pengembangan konseptual dari gagasan di atas menurut Koentjaraningrat mendefinisikan Islam Jawi atas Islam Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai sama dengan agama Islam. Komunitas Islam Kejawen dan santri terdapat dalam berbagai lapisan masyarakat di Jawa.
Adapun mengenai sitem keyakinan Islam Jawi atau Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, mahluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.26
Mistik merupakan salah satu bentuk dari hasil proses pembentukan kebudayaan religi di Jawa. Ketika Islam kultural dari tradisi besar pesantren bersentuhan dengan kebudayaan religi Jawa, maka terjadilah interaksi tarik ulur antara keduanya. Hasilnya adalah munculnya mistik baru yang belakangan disebut “mistik Islam Kejawen”. Sebagaimana diakui oleh para pengamat budaya Jawa bahwa daya resepsi (penerimaan) masyarakat pengembang budaya Jawa sangat lentur, yaitu budaya yang terbuka untuk menerima budaya luar tanpa kehilangan jati diri kebudayaan Jawa.
Dalam tradisi kepercayaan orang kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan silsilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu.
Dalam sistem keyakinan kejawen klasik, apa yang disebut leluhur itu adalah orang yang memiliki sifat-sifat luhur pada masa hidupnya dan setelah meninggal mereka itu selalu dihubungi oleh orang-orang yang masih hidup dengan upacara adat tertentu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani. Kehidupan orang Jawa bergerak antara kutub-kutub kasar dan kehalusan untuk menciptakan keunggulan moral. Pemakaian bahasa Jawa dan tingkah-laku yang menyertainya jelas sekali mengekspresikan hal itu. Tidak mungkin berbicara dengan bahasa Jawa tanpa memperhatikan posisi orang yang diajak bicara. Pilihan kata mencerminkan keakraban, kedudukan, dan formalitas, usia, jarak sosial, dan peringkat berikut dengan nuansa pengharapan relatif. Kewajiban dan hak. Bahasa dan tindak tanduk digunakan untuk mengekspresikan penghormatan dan penghargaan bagi yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian, penghormatan terhadap hirarki merupakan perilaku moral. Pola komunikasi dalam interaksi sosial dalam komunitas Jawa betul-betul menggambarkan relasi moral dengan menempatkan bahasa komunikasi sesuai dengan martabat dan keluhuran tokoh yang dihormatinya.
Konsep agama Jawa mengenai Tuhan Yang Maha Esa sangat mendalam dan dituangkan dalam istilah sebutan Gusti Allah ingkang Maha Kuwaos. Konsep tentang Tuhan bagi masyarakat kejawen sangat sederhana, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan adalah penyebab dari segala kehidupan, dunia, dan seluruh alam semesta (ngalam donya), dan hanya ada satu Tuhan (ingkang Maha Esa).
Sumber yang paling utama terkait dengan konsep Tuhan pada orang kejawen adalah buku Nawaruci yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Bali-Jawa, dalam bentuk prosa. Dalam buku itu Tuhan dilambangkan sebagai mahluk yang sangat kecil dan ia dapat melihat seluruh alam jagad raya. Menurut konsep agama orang kejawen bahwa Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini yang dilambangkan dengan wujud suatu mahluk dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari, tetapi Tuhan juga sekaligus besar dan luas seperti samudra dan tidak seperti angkasa dan terdiri dari semua warna di dunia.
Di samping percaya akan adanya Tuhan ingkang maha kuwaos, juga memandang Nabi Muhammad sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah. Dalam hampir setiap ritus dan apacara pada waktu selametan. memberi sajian di samping menyebut nama Allah juga menyebut Nabi    Muhammad “kanjeng Nabi ingkang sumare ing siti medinah”. Namun untuk selanjutnya Nabi Muhammad kurang mendapat perhatian dalam sistem kayakinan agama jawi.29
Keyakinan lain yang kemudian berkembang dan diyakini sebagai bagian dari sistem keyakinan terpendam mengenai adanya seorang ratu adil yang akan tiba membawa keadilan dan keteraturan di dunia ini. Konsep ini lahir dari suatu sinkretisme konsep agama Buddha mengenai empat periode perkembangan alam semesta (catur yoga) dengan harapan akan datangnya imam mahdi pada hari kiamat. Ajaran mengenai ratu adil ini biasa dijumpai pada karangan tiga orang tokoh mistik, Kiai Hasan Maulani dari Lengkeng (Cirebon), Mas Malangyuda dari Rajawan Kidul (Banyumas), dan Kiai Nurhakim dari Pasirwetan (Purwokerto) yang telah menyebarkan datangnya ratu adil serta buku-buku primbon yang mereka gunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka di tiga daerah di Jawa Tengah bagian barat itu.
Hal lain yang juga penting dalam keyakinan Islam Jawa adalah adanya kepercayaan terhadap para dewa yang jumlahnya banyak sekali dan biasanya muncul dalam pentas cerita wayang yang berfungsi memberi pesan pendidikan dan moral. Dari sekian dewa, terdapat dua dewa yang memainkan peranan penting dalam kehidupan keagmaan orang Jawa, yaitu Dewi Kesuburan yang mereka sebut dengan Dewi Sri yang penting dalam upacara pertanian. Dewa kedua adalah Dewa Bathara Kala, yaitu dewa waktu, kerusakan, dan kematian yang juga penting dalam acara ruwat untuk menjauhkan diri dari malapetaka dan kesengsaraan hidup.
Berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani Islam kejawen biasanya mendasarkan pada siklus kehidupan. Sejak dari kandungan, ritual selametan sudah dimulai dengan acara yang sering disebut dengan Tingkeban saat kandungan berumur tujuh bulan yang juga terkenal dengan selametan mitoni. Kemudian selametan puput puser, kemudian upacara memberi nama dilanjutkan selametan kekah, kemudian selametan tedhak siten atau upacara menyentuh tanah, kemudian upacara sunatan atau sering disebut upacara ngIslamaken (masuk Islam). Setelah itu, diikuti dengan upacara kematian yang pelaksanaanya pada hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan keseribu hari dari kematianya. Di samping itu, terdapat upacara tahunan seperti muludan, rejeban, nisfu sya’ban, yaitu selamatan barakah sampai larut malam, upacara nyadran, yaitu pada akhir bulan ruwah. Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktik sekarang ini juga tampak ada nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi sekarang di sebut selamatan» sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab yaitu Islam, salam» dan salamah yang berarti memohon keselamatan dan kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan» atau tahlil» yaitu membaca kalimat Thayyibah ”La ilaha illa Allah” secara bersama-sama sebagai cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid.
Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan. Contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjid  masih berbentuk pure atau candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan. Di samping itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan jimat kalimosodo (dua kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan. Istilah jimat merupakan pemikiran pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari budaya keraton.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis yang merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
VII. Kesimpulan
Salah satu ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup.
Karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit. Oleh karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas karena pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang bercorak mistik.
Akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya Jawa tampak terlihat jelas dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masayarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa Islami.
Pementasan wayang sebagai instrumen budaya yang penuh dengan nuansa mistik, sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai takdir.
Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-ajaran agama, sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di Jawa Tengah bagian selatan, misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh kelompok abangan.
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik” yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental) dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernafaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
VII. Endnote
1 Syamsul Arifin dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta : SIPRESS, 1996) hal. 50-51. Dalam konsep lain untuk sekadar membandingkan dengan grand tradition dan little tradition menurut hemat kami mendekati konsep normativitas dan historisitas agama yang digagas oleh Amin Abdullah. Normativitas merupakan dimensi universalisme agama yang sakral dan konstan sementara historisitas adalah dimensi partikularisme yang profan dan dinamis.
2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 160.
3 M. Sirozi, “Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992, hal. 15.
6Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 69.
8Ongkhoham, Rakyat dan Negara (Jakarta: Yayasan Obor, TT), hal. 10.
9 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 230.
14 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, TT), hal. 63-64.
15 Babad tanah Djawi dikenal sebagai kronik sejarah dan sastra Jawa, sebuah karya yang diciptakan pada masa kerajaan Mataram pada awal abad ke-17. Para pujangga keraton Sultan Agung menciptakan Babab tanah Djawi dimaksudkan untuk menggantikan kisah-kisah sejarah Jawa lama.
16 Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan Jawa (Jakarta: INIS, 1997), hal. 20-21      Simuh, Sufisme, hal. 121.
18 Ibid.
19 Kuntowijoyo, Paradigma, hal. 231.
20 W.L Olthoff, Edisi Babad Tanah Djawi, hal. 7.
21 P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal. 285.
22 Clifford Geertz, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS Jakarta, 1988), hal. 2.
24 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Bandung: Mizan, 1992), hal. 550.
25 Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri & Abangan (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hal. 41-43.
26 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, Perpaduanya dengan Islam (Yogyakarta: Adtya Media, 1995), hal. 288-297.
27 M.B. Rohimsyah. AR, Siti Jenar Cikal Bakal Gaham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi Jawa (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), hal. 163.
26 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) hal.113-119.
27 Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002) hal. 57-59.
28 Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, Terj. Noor Cholis (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal. 100-101.
29 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal. 324.
30 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal. 340-367.
Daftar Pustaka
Arifin, Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS.
Damami, Muhammad. 2003. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI.
Geertz, Clifford. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
Koentjarajakti. 1992. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. 1996. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
M. Sirozi. 1992. “Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992.
M.B. Rohimsyah. AR. 2006. Siti Jenar Cikal Bakal Gaham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi Jawa. Surabaya: Pustaka Agung Harapan.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Bandung: Mizan.
Muchtarom, Zaini. 1997. Santri dan Abangan Jawa. Jakarta: INIS.
. 2002. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri & Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah.
Mulder, Niels. 2007. Mistisisme Jawa Idiologi di Indonesia. Terj. Noor Cholis. Yogyakarta: LKiS.
Ongkhoham. TT. Rakyat dan Negara. Jakarta: Yayasan Obor.
P.J. Zoetmulder. 1990. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama       Patokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa, Perpaduanya Dengan Islam. Yogyakarta: Adtya Media.
Simuh. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
Sumber Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 91-109 1 P3M STAIN Purwokerto | Ridwan Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto. Bukunya yang cukup popular adalah: Membongkar Fiqh Negara (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger