Latest Post

Dahlan Iskan: Jadi Santri Tak Perlu Minder, Saya Juga Santri

Written By Moh Wahyudi on Jumat, 25 Juli 2014 | 22.29

Dahlan Iskan: Jadi Santri Tak Perlu Minder, Saya Juga SantriJember, NU Online
Santri tidak perlu berkecil hati dalam menghadapi persiangan di luar. Sebab, santri mempunyai potensi untuk maju asal ada kemauan. Demikian dikemukakan Dahlan Iskan dalam acara silaturrahmi dengan para santri dan kiai di pondok pesantren Nuris, Antirogo, Jember, Jawa Timur.

Menurutnya, predikat santri justru harus dijadikan pendorong untuk menuai sukses dalam setiap usahanya. “Saya dulu juga santri. Pendidikan saya juga ditempuh di lembaga (pendidikan) agama,” ujarnya pada acara yang berlangsung Ahad (20/7) itu.

Dahlan memberikan testimoni bahwa santri juga bisa berbuat banyak. Ia mencontohkan dirinya yang merintis usaha di bidang media mulai dari nol. Ketika dirinya diminta mengelola sebuah koran lokal (cikal bakal Jawa Pos), banyak yang mencibir dan meremehkan kemampuannya.

“Banyak yang bilang, bisa apa orang seperti saya, yang hanya lulusan pendidikan agama,   bisa apa. Tapi dari cibiran itu, justru saya kian bersemangat. Ruh jihad saya muncul untuk membuktikan bahwa saya juga bisa,” cerita alumni sebuah pesantren di Magetan tersebut.

Akhirnya, seperti diketahui, Dahlan berhasil memimpin Jawa Pos, dan tahun-tahun berikutnya terus berkembang menjadi bisnis media cetak dan elektronik yang menjanjikan.

Dalam kesempatan itu, Meneg BUMN tersebut juga menyinggung soal Pilpres. Menurutnya, yang terbaik bagi bangsa Indonesia pasca Pilpres ini adalah melakukan rekonsiliasi. “Jadi rekonsiliasi adalah syarat mutlak untuk membangun bangsa kedepan yang lebih baik lagi,” harapnya.

Kehadiran Dahlan di pondok pesantren asuhan KH Muhyiddin Abdusshomad itu, disambut antusias oleh segenap santri, para kiai dan para pengurus NU. (Aryudi Arazaq/Mahbib)

Pesantren Tebuireng Bagikan 700 Paket Santunan ke Dhuafa

Jombang, NU Online
Masjid Ulul Albab Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, menjadi saksi kegembiraan para fakir miskin dan dhuafa saat menerima sejumlah bingkisan hari raya dari Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng atau LSPT, Senin (21/7).  Lembaga yang berada di bawah naungan Pesantren Tebuireng ini menyelenggarakan acara buka bersama sekaligus memberikan sejumlah bingkisan kepada para kaum papa.

Kegiatan yang dikemas dalam Tebar Hikmah Ramadhan ini diawali pemberian mauidhah hasanah yang disampaikan KH Fahmi Amrullah. Dalam keterangannya, Gus Fahmi mengingatkan sejumlah kalangan khususnya mereka yang diberikan kelebihan harta untuk selalu berderma. Bahkan mereka yang tidak mempunyai kecukupan harta sekalipun, disarankan untuk tetap bersedekah.

“Dalam keadaan apapun juga, hendaknya tetap tidak meninggalkan sedekah,” tandas Pengasuh Pondok Pesantren Putri Tebuireng ini di hadapan para donatur LSPT yang berkesempatan hadir.

Gus Fahmi melanjutkan bahwa sedekah tidak harus berbentuk harta. “Tenaga, fikiran, saran dan pendapat, juga bisa menjadi sedekah bagi mereka yang tidak mempunyai ketercukupan harta,” tandasnya.

Setidaknya ada 700 paket santunan yang diberikan pada kegiatan menjelang berbuka ini. “Semua sebagai upaya memberikan rasa bahagia bagi kalangan yang kurang beruntung saat akan menyambut hari raya,” kata Pimpinan Umum LSPT, Mohammad As’ad.

Alumnus Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya ini sangat terbantu dengan antusias para donatur dan panitia dalam mensukseskan sejumlah kegiatan. “Kebersamaan itulah yang menjadi nilai lebih dari keberhasilan berbagai kegiatan yang telah dirancang panitia,” ungkap ayah dua anak ini.

Usai menerima paket hari raya, para dhuafa dan fakir miskin diberikan menu berbuka puasa. Masing-masing mendapatkan ta’jil, makan dan minum serta snack atau makanan ringan. Kegiatan ditutup dengan shalat magrib berjamaan di masjid setempat.

Tebar Hikmah Ramadhan ini merupakai rangkaian kegiatan yang dirancang LSPT selama bulan Ramadhan. Sejumlah acara jelang dan saat Ramadhan diselenggarakan baik di sekitar pesantren hingga pemberian ta’jil di jalan protokol.

Puncak kegiatan Ramadhan akan diisi dengan pembagian zakat fitrah, baik yang diantarkan kepada sejumlah lembaga maupun para fakir miskin yang dihadirkan. “Ada 3,5 ton beras yang kami siapkan untuk kegiatan tersebut,” kata As’ad. Rincinya, ada 1,5 ton beras yang disampaikan kepada beberapa lembaga baik mushalla dan masjid. “Sedangkan 2 ton lagi akan diberikan kepada para dhuafa’ serta fakir miskin di halaman Pesantren Tebuireng,” pungkas As’ad. (Syaifullah/Mahbib)

Puasa Lahir Batin

Written By Moh Wahyudi on Kamis, 17 Juli 2014 | 07.23

Puasa Lahir BatinDalam 12 bulan umat Islam diwajibkan melakukan ritual mengekang (shaum/puasa) selama satu bulan suntuk. Pelaksanaannya pada bulan Ramadan. Puasa yang diperintahkan --minimal--  berupa mencegah makan, minum, berhubungan intim dengan pasangan, dan aktivitas lain yang dapat membatalkan puasa terhitung sejak terbit fajar hingga beduk tanda magrib ditabuh.

Terminologi puasa tersebut telah menjadi kesepakatan para ulama. Ketentuan tersebut merupakan aturan lahiriah yang berlaku dalam ibadah puasa. Jika ada salah satunya yang dilanggar, secara otomatis ritual puasanya tidak sah dan harus diganti di kemudian hari.

Syarat sah puasa tak ubahnya seleksi administrasi dalam melamar sebuah pekerjaan. Belum tentu semua pelamar yang lolos administrasi kemudian diterima kerja. Demikian juga dengan ritual puasa, sekalipun secara lahiriah sah belum tentu diterima di sisi Allah. Untuk diterima puasa harus memperhatikan aturan batiniah.

Hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits nabi yang sangat terkenal: "Ada orang yang berpuasa dan tidak mendapatkan apa-apa dari puasa mereka kecuali rasa lapar dan ada orang yang mendirikan shalat di ujung malam dan tidak mendapatkan apa-apa dari shalat mereka kecuali malam tanpa tidur." (hlm. 285)

Secara eksplisit, kanjeng Nabi Muhammad ingin mengatakan bahwa bentuk lahiriah ibadah tidak memberi jaminan bahwa pelakunya akan mendapatkan buah atau dampak batiniah. Namun demikian, aspek lahiriah tetap menjadi aspek yang sangat penting dan satu-satunya pintu masuk untuk meraih efek batiniah (hlm. 286).

Dengan demikian, umat Islam seharusnya tahu filosofi dari ibadah puasa, sehingga bisa menjalankan ibadah puasa lahir batin. Terlalu murah harga ritual puasa kalau hanya menjadi tradisi tahunan umat Islam tanpa makna.

Latihan

Umat Islam diperintah menjalankan puasa untuk melatih kesabaran: Pertama, sabar melakoni atau menetapi, seperti istikamah menjalankan laku spritual untuk membangun dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik. Melakukan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk memang membutuhkan kesabaran.

Kedua, sabar menghindari atau menjauhi. Sabar yang kedua berarti menolak dominasi ego atau nafsu yang terpusat pada diri sendiri (hlm. 271). Jenis kesabaran yang terakhir yang lebih sulit dan membutuhkan latihan spritual. Penempuh jalan Tuhan (darwis) biasanya latihan dibawah bimbingan seorang guru (mursyid).

Para salik di jalan tasawuf banyak latihan melemahkan nafsu yang membangga-banggakan diri atau narsistik dengan cara berpuasa. Dalam kondisi letih dan lapar, marah dan naik darah biasanya meledak-ledak dan merintih. Dalam kondisi lapar, para salik lebih sadar akan suara ego dan segala argumennya yang cerdik (hlm. 282).

Puasa Ramadhan mestinya menjadi latihan umat Islam untuk menaklukkan ego. Ketika ego narsistik bisa ditaklukkan, seseorang semakin berkembang di jalan ruhani, semakin intim dengan Allah, dan semakin besar kecenderungan untuk berbuat baik dan melayani orang lain, bukan ingin dilayani orang lain. Selanjutnya, kasih sayang menjadi penting untuk selalu ditebarkan. Pada hari puncaknya nanti lahitan spiritual diperingati dengan hari kemenangan.

Puasa tingkatan orang khusus ini menjadi salah satu praktik tasawuf yang dikupas dalam buku Obrolan Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh. Buku terbitan Zaman tersebut menjelaskan seluk-beluk cara mengatasi rintangan di jalan ruhani dan pencarian Tuhan dalam jiwa, hati, dan lingkungan sekitar.

Isi buku setebal 395 itu sangat baik ditelaah dan dipraktikkan untuk menyirami kegersangan jiwa. Namun, dalam penulisannya ditemukan banyak salah ketik, sehingga sedikit mengganggu pembaca dalam memahami laku tasawuf yang agak rumit.


DATA BUKU:
Judul: Obrolan Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh
Penulis: Robert Fragen, Ph.D
Penerbit: Zaman
Tebal: 395 halaman
Terbitan: Pertama, 2013
ISBN: 978-602-1791-97-4
Peresensi: M Kamil Akhyari, Sarjana Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep Madura

Rakyat Kecil, Islam, dan Politik di Indonesia

Rakyat Kecil, Islam, dan Politik di IndonesiaSejak awal sekitar pada tahun 1950-1960-an antara politik dan Islam di Indonesia tidak bisa menyatu. Hal ini karena sering didengungkannya sebuah fatwa oleh para kiai dan ulama yang anti politik. Mereka memandang bahwa politik itu najis dan tidak boleh berdekatan dengan agama yang menurut pandangan mereka Islam itu suci. Sehingga tidak mengherankan jika politik diharamkan oleh para ulama bagi umat Islam pada saat itu.

Selain itu pula, salah satu pengharaman dan penajisan politik tak lain karena dalam pandangan umum bahwa politik itu sama saja dengan melakukan tumbal bagi kebohongan untuk mendapat legitimasi dan pengaruh publik dengan cara-cara yang curang dan licik. Bahkan politik itu diibaratkan dengan membelah bambu, satu diinjak dan satunya diangkat. Sungguh tragis!

Melihat perjalanan antara Islam dan politik yang seakan berbenturan itu, Martin Van Bruinessen mencoba untuk mengkaji dan menelusuri seluk-beluknya melalui buku ini. Dia menyebutkan bahwa hubungan antara ulama dan umara (pemimpin) selalu bersifat ambivalen. Pada satu sisi, ulama paling tidak dalam tradisi Sunni senantiasa memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekuasaan de facto (alias waliul amri bisy syaukah, menurut istilah ulama Indonesia tahun 1950-an). Di sisi lain, juga ada pandangan umum bahwa kekuasaan itu selalu korup dan berdekatan dengan mereka yang sedang berkuasa akan merusak harkat moral ulama dan integritas ajarannya.

Ada sebuah hadis populer yang menganjurkan sikap menghindar dari penguasa, yang sering dikutip dalam berbagai khotbah: “Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang pergi menemui umara, sedangkan sebaik-baik umara adalah mereka yang pergi menemui ulama”. Berdasarkan penelitian hadis ini sebenarnya “lemah” (dha’if), tidak benar-benar meyakinkan keasliannya. Namun, kenyataan bahwa hadis ini seringkali dikutip oleh para ulama dan da’i populer di Indonesia menunjukkan bahwa kutipan di atas mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara mendalam (Hal. 133).

Meskipun demikian – ulama mengharamkan politik – pada kenyataannya, seiring perjalanan roda zaman banyak para ulama dan kiai yang bergelut dengan dunia perpolitikan dan mendatangi para penguasa atas undangannya. Secara analitik, Martin mencoba untuk menyatakan dalam buku ini bahwa para ulama atau kiai lambat laun turun dan ikut berbaur dalam dunia politik meski pun sebelumnya para ulama atau kiai sempat melarangnya. Hal ini tidak dapat dimungkiri lagi, di berbagai parlemen dan birokrasi kenegaraan sudah banyak mandat yang dipegang oleh para kiai yang memiliki legitimasi di mata masyarakat.

Adanya analisis tentang aliran-aliran dan sempalan berbagai organisasi di dunia dan Indonesia khususnya, mencerminkan sebuah ketimpangan dan ketidakadilan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Seperti halnya Kartosoewirjo yang kecewa dengan keputusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 dengan penghapusan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” oleh Soekarno tanpa sepengetahuan dirinya.

Sehingga terjadilah pemberontakan oleh Kartosoewirjo dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Kemudian NII dianggap sebagai pembangkang bagi negara Indonesia. Namun, seandainya NII benar-benar terbentuk, lalu negara demokrasi mencoba untuk mengubah bentuk NII, maka pendirian negara demokrasi juga akan dicap sebagai pemberontak terhadap NII.

Kelemahan dalam analisis buku perjalanan rakyat kecil, Islam dan politik oleh Martin tampak pada bagian awal bab buku ini yang hanya menceritakan masyarakat Sukapakir. Padahal kajian masyarakat Sukapakir tidak banyak dibutuhkan dalam analisis Islam dan perpolitikan untuk bagian-bagian berikutnya. Selain itu, ketidakmampuan dan ketidakpekaan Martin dalam menganalisis terhadap suatu hadis (2013:164) yang berbunyi:

“Barang siapa menyaksikan kemungkaran, hendaklah ia mengoreksinya dengan tindakan; jika tidak dapat berbuat demikian, hendaklah dia melakukannya dengan kata-kata (yakni memberi peringatan atau menyampaikan protes); dan jika hal ini pun tidak dapat dilakukan, hendaknya ia melakukannya dengan hatinya (yakni, penolakan dengan diam atau, menurut sebagian, dengan berdoa kepada Allah)”. Hadis ini sering menjadi pegangan Islam radikal, FPI, Front Pembela Islam di Indonesia.

Satu di antara yang menjadi senjata aliran Islam radikal yang mengklaim dirinya paling kuat dengan melakukan pengrusakan ketika melihat kemungkaran. Padahal hadis tersebut dalam teks aslinya, yang termasuk kategori paling lemahnya iman yaitu jika mengubah kemungkaran dengan tindakan. Ingat saja kisah nabi Muhammad Saw. yang ditawari oleh malaikat Jibril untuk memusnahkan kaumnya yang jahat dan sering melakukan maksiat dengan menimpakan gunung Uhud pada mereka. Namun beliau menolak atas tawaran Jibril. Inilah paling kuatnya iman yang dicontohkan oleh beliau.

Meskipun ada sejumlah kekuarangan dan kelemahan dalam buku ini, utamanya dalam kajian teori, namun dengan cara yang menarik dan universal Martin berhasil mengkombinasikan antara politik Indonesia dan politik yang berkembang di luar negeri. Sehingga pandangan yang luas terkait perkembangan politik dan Islam serta penyebab kemunculan aliran sempalan bisa dilihat secara menyeluruh dalam kajian politik dan keislaman di Indonesia. Maka dari itu, kita akan menemukan wajah baru tentang aliran Islam, pemimpin, dan arus perjalanan politik di Indonesia.

Judul : Rakyat Kecil, Islam dan Politik
Penulis : Martin Van Bruinessen
Penerbit : Gading Publishing
Terbitan : I, Agustus 2013
Tebal : xx + 482 hlm.; 14,5 x 21 cm
ISBN : 978-979-16776-2-2
Peresensi : Junaidi Khab, Pecinta Baca Buku dan Tercatat Sebagai Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.

Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan

Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan 
‘Tembok Berlin’ yang selama ini memisahkan Muhammadiyah dan NU membuat jarak yang cukup lebar. Tembok ini sejatinya bukanlah masalah yang besar, hanya saja tembok yang dimaksud adalah khilafiyyah pada masalah  furu’ yang sering menjadi kambing hitam persoalan dalam masyarakat muslim Indonesia. Sehingga pada kondisi-kondisi tentu kedua ormas tersebut nampak sulit untuk mencapai kata bersatu.

Ratusan juta orang yang bernaung dalam ormas Muhammadiyah dan NU barangkali bakal berubah dan tergugah seiring diterbitkannya buku “Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqih yang Terlupakan”. Buku yang ditulis oleh Mochammad Ali Shodiqin ini benar-benar suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, bukan intervensi atau kepentingan dari pihak-pihak tertentu.

Bahwa pada dasarnya, dulu Muhammadiyah itu sama persis dengan NU, demikian pula sebaliknya. Namun berita besar ini menyimpan dilema, sebab jika disampaikan akan menurunkan hujah fitnah yang dapat menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Kalau tidak disampaikan, seolah menggelapkan kebenaran yang sepatutnya didakwahkan kepada yang berhak. Jadi dilema ini bagaikan makan buah simalakama (hlm. 2).

Bermula ketika penulis mendapatkan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dari tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta. kemudian ia merasa terpanggil untuk menyampaikan sejarah tersebut, lalu  berinisiatif untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku.

Kitab Muhammadiyah 1924, yang aslinya ditulis dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Bahasa Jawa memang tak bisa dihindari kalau membahas periode awal Muhammadiyah di pusat kebudayaan Jawa, yaitu Kesultanan Yogyakarta (hlm. vii).

Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924 sesungguhnya bukan hanya warisan berharga kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga kitabnya NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU (hlm. 12). Masalahya hanyalah satu hal, bahwa di tahun 1924 itu, NU belum lahir, karena NU lahir tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i. Jadi walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih, sebagaimana yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 (hlm. 13).

Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan mengarang ajarannya sendiri dari mulai nol. Pertanyaan mengapa bisa demikian? Dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah meninggalnya Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammmadiyah pada tahun 1912, generasi Muhammadiyah pada beberapa masa selanjutnya tercampur dengan paham Wahabi imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Ibnu Saud di negeri Arab pada saat itu. Untuk itu, pada tahun 1926 NU lahir untuk merespon pemerintahan yang membawa paham Wahabi tersebut.

Metamorfosis Muhammadiyah setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i tahun 1912-1925; masa pembauran Syafi’i-Wahabi tahun 1925-1967; masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tahun 1967-1995; dan masa pembauran HPT-Globalisasi tahun 1995 hingga kini (hlm. 16).

Penerbitan HPT cetakan ke-1 dilakukan oleh Kiai Badawi tahun 1967. Penerbitan HPT ini sekaligus memulai babak baru sejarah (tarikh tasyri’) fiqih Muhammadiyah yaitu pada masa Himpunan Putusan Tarjih. Hingga cetakan ke-4, yakni pada tahun 1974 di dalamnya memuat 9 buah putusan Muktamar Tarjih 1972 di Pekalongan yang memuat salah satunya adalah penghapusan qunut (hlm. 82). Tidak dimuatnya qunut ini dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan, sekaligus untuk perbaikan menurut putusan Muktamar Tarjih tahun 1972. Dengan demikian, seiring hilangnya keraguan dan adanya keyakinan umat serta kebiasaan shalat subuh tanpa qunut maka terhapus pula sejarah bahwa di masa lalu Muhammadiyah pernah melaksanakan qunut sebagaimana qunut-nya umat Islam lain (hlm. 119).

Masih banyak lagi hasil Himpunan Putusan Tarjih, di antaranya masalah menyentuh lawan jenis, niat membaca “ushalli”, shalawat tanpa Sayyidina, mengacungkan jari saat duduk tahiyat, zikir setelah salam, azan Jum’at satu kali, shalat ‘Id di lapangan, dan lain-lain.

Sementara itu, isi kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 memuat bab-bab ubudiyah, misalnya Bab Bersuci yang rinciannya meliputi persoalan air, najis, dan tata cara penyuciannya. Bab shalat yan cakupannya meliputi waktu shalat, rukun, sunnah, pembatalan. Bab Jama’ah yang membahas makruhnya jamaah, dan bab-babnya lainnya.

Guna menghadirkan cita rasa sejarah asli masa kiai Dahlan itu, bagi pembaca luar Jawa dan juga generasi Jawa masa kini yang sudah tidak nyambung dengan Jawanya. Maka buku ini disuguhkan dengan tidak  menghilangkan bahasa Jawa, melatinkan teks Arabnya, kemudian mengindonesiakannya. Jadi komposisi bahasa Jawa sekitar 20 persen, dan bukti keaslian ajaran Kiai Dahlan yang bertutur bahasa Jawa dalam kesehariannya.

Yang jelas, buku ini tujuannya bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Namun untuk memadamkan api yang selama ini membakar jarak antara Muhammadiyah dan NU. Harapannya masing-masing dapat memahami perbedaan untuk melahirkan persatuan yang lebih erat bagi Indonesia.Judul : Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan

Penulis : Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit : Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan : I, Februari 2014
Tebal : xxii + 310 halaman
ISBN : 978-602-1306-01-1
Peresensi : Muhammad Zidni Nafi’, alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, Ketua CSS MORA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) UIN SGD Bandung 2013-2014.

Kiai Syarif tentang Menuntut Ilmu dan Tirakat

Written By Moh Wahyudi on Rabu, 16 Juli 2014 | 07.30

Kiai Syarif tentang Menuntut Ilmu dan TirakatKiai Syarifuddin dikenal sebagai nama Pondok Pesantren di Desa Wonorejo, Kabupaten Lumajang. Tapi banyak yang tidak tahu cerita di balik sosok tersebut hingga diadopsi sebagai nama pesantren.
Kiai Syarifuddin lahir di Desa Lawean, Kabupaten Probolinggo tahun 1890. Orang tuanya biasa dipanggil Kiai Sekarsari dan Nyai Sekarsari. Tidak ada yang tahu persis nama asli pasangan yang telah melahirkan ulama yang menjadi cikal bakal paku Lumajang itu.
Sejak masih muda, Kiai Syarifuddin memang akrab dengan dunia pesantren. Bahkan waktunya banyak dihabiskan di pesantren, di antanya di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo.
Setelah dewasa, Kiai Syarif –sapaan akrabnya--  diambil menantu oleh Kiai Somber di Dusun Selok Besuki, Desa Wonorejo, Lumajang untuk dinikahkan dengan putrinya, Khosyi’ah.  Di situlah Kiai Syarif bersama mertuanya merintis berdirinya Pesantren “Tahsinul Mubtadi’in” dengan santri awal hanya 3 orang.
Sekuat tenaga Kiai Syarif berjuang meretas kemungkaran yang saat itu masih merajalea di mana-mana. Selain ngopeni santri, Kiai Syarif juga mengobarkan semangat patriotisme melawan penjajah. Untuk menghadapi kemungkaran dan penjajah itu, Kiai Syarif  membekali para pejuang dan santrinya dengan “ilmu kekebalan”.
Sebenarnya Kiai Syarif tidak suka masyarakat terjebak dengan ilmu kekebalan, tirakat atau hal-hal lain sejenisnya. Tapi karena sudah terpaksa,  maka itupun dilakukan. Kepada anak-anaknya sendiri ia malah menganjurkan untuk tidak menggunakan kekebalan. “Kalau kamu cukup baca shalawat saja, akhlaqnya yang baik, insyaallah selamat,” ujar Kiai Syarif seperti ditirukan cucunya, KH. Adnan Syarif.
 Kiai Syarif sangat mencintai ilmu sehingga nyaris semua waktunya tersita untuk mengajar. Baginya, mengajar sangat penting untuk memapah langkah masyarakat agar tidak keliru arah. “Selama saya masih punya akal, saya akan teus mengajar,” tekadnya.
Pernah suatu ketika, Kiai Syarif menegur santrinya yang kedapatan berpuasa tirakat. Bukan benci kepada tirakat, tapi ia ingin menunjukkan bahwa yang lebih penting dari tirakat adalah belajar, apalagi masih muda. “Jangan puasa macam-macam, kecuali yang fardlu. Yang penting ngajinya dulu,” ucapnya.
Di luar itu, Kiai Syarif juga pecinta seni islami. Ini dibuktikan dengan didirikannya kelompok Burdah di pesantren yang dikelolanya. Burdah adalah membaca puji-pujian dan pengagungan asma Allah yang diiringi dengan musik bedug. Ia juga pengagum berat Umi Kulsum, sang legenda gambus asal Mesir.  Saking begitu sukanya kepada Umi Kulsum, sampai-sampai ia mengimpikan keturunannya bisa belajar di Mesir. Dan ternyata kelak, impian itu jadi kenyataan. KH. Adnan Syairf, cucunya belajar di sana selama beberapa tahun.
Di usianya yang senja, ia masih terus mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajar dan  mengajar
Akhirnya Allah memanggil Kiai Syarif  untuk kembali kepada Sang Pencipta. Sore itu (1972), ia masih mengajar kitab Fathul Qorib. Kamis malam ketika mau shalat tahajjud, Kiai Syarif terpeleset di kamar mandi, lalu tak sadarkan diri sampai akhirnya Ahad dini hari, ajang menjemputnya.
Untuk mengenang jasanya, para ahli waris Kiai Syarif mengubah nama Pesantren “Tashilul Mubtadi’in”  menjadi Pesantren “Kiai Syarifuddin”.
Kiai Syarif meninggalkan 4 orang putera. Mereka telah dikarunianya 14 anak. Dua diantaranya adalah KH Syuhada Syarif, pernah menjadi Ketua PCNU Kencong (almarhum). Dan KH. Adenan Syarif, pengasuh Pesantren Syarifuddin yang sampai saat ini berkembang cukup  pesat.
Ya, Kiai Syarif tidak hanya patut dikenang di papan nama, tapi juga layak diteladani segala sepak terjangnya dalam kehidupan nyata. (Aryudi A. Razaq)

Kiai Romly Tamim, Penyusun Doa Istighotsah

Kiai Romly Tamim, Penyusun Doa IstighotsahKata "Istighotsah" (إستغاثة) adalah bentuk masdar dari Fi'il Madli Istaghotsa (إستغاث) yang berarti mohon pertolongan. Secara terminologis, istigotsah berarti beberapa bacaan wirid (awrad) tertentu yang dilakukan untuk mohon pertolongan kepada Allah SWT atas beberapa masalah hidup yang dihadapi.
Istighotsah ini mulai banyak dikenal oleh masyarakat khususnya kaum Nahdliyyin baru pada tahun 1990 an. Di Jawa Timur, ulama yang ikut mempopulerkan istighotsah adalah Almarhum KH Imron Hamzah (Rais Syuriyah PWNU Jatim waktu itu). Namun di kalangan murid Thariqah, khususnya Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Isighotsah ini sudah lama dikenal dan diamalkan.
Bacaan istighotsah yang banyak diamalkan oleh warga Nahdliyyin ini, bahkan sekarang meluas ke seluruh penjuru negeri sebenarnya disusun oleh KH Muhammad Romly Tamim, seorang Mursyid Thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, dari Pondok Pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang. Hal ini dibuktikan dengan kitab karangan beliau yang bernama Al-Istighatsah bi Hadrati Rabb al-Bariyyah" (tahun 1951) kemudian pada tahun 1961 diterjemah ke dalam bahasa Jawa oleh putranya KH Musta'in Romli.
KH Muhammad Romly Tamim adalah salah satu putra dari empat putra Kiai Tamim Irsyad (seorang Kiai asal Bangkalan Madura). Keempat putra Kiai Tamim itu ialah Muhammad Fadlil, Siti Fatimah, Muhammad Romly Tamim, dan Umar Tamim.
KH Muhammad Romly Tamim lahir pada tahun 1888 H. di Bangkalan Madura. Sejak masih kecil, beliau diboyong oleh orang tuanya KH. Tamim Irsyad ke Jombang. Di masa kecilnya, selain belajar ilmu dasar-dasar agama dan Al-Qur'an kepada ayahnya sendiri juga belajar kepada kakak iparnya yaitu KH Kholil (pembawa Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Rejoso).
Setelah masuk usia dewasa, beliau dikirim orang tuanya belajar ke KH. Kholil di Bangkalan, sebagaimana orang tuanya dahulu dan juga kakak iparnya belajar ke beliau. Kemudian setelah dirasa cukup belajar ke Kiai Kholil Bangkalan, beliau mendapat tugas untuk membantu KH Hasyim Asy'ari mengajarkan ilmu agama di Pesantren Tebuireng, sehingga akhirnya beliau diambil sebagai menantu oleh Kiai Hasyim yaitu dinikahkan dengan putrinya yang bernama Izzah binti Hasyim pada tahun 1923 M. Namun pernikahan ini tidak berlangsung lama karena terjadi perceraian.
Setelah perceraian tersebut, Mbah Yai Romly, begitu biasa dipanggil, pulang ke rumah orang tuanya, Kiai Tamim di Rejoso Peterongan. Tak lama kemudian beliau menikahi seorang gadis dari desa Besuk, kecamatan Mojosongo. Gadis yang dinikahi tersebut bernama Maisaroh. Dari pernikahannya dengan Nyai Maisaroh ini, lahir dua orang putra yaitu Ishomuddin Romly (wafat tertembak oleh tentara Belanda, saat masih muda), dan Musta'in Romly.
Putra kedua Kiai Romly yang tersebut  terakhir ini kemudian menjadi seorang Kiai besar yang berwawasan luas. Hal ini terbukti saat beliau menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Darul'Ulum Rejoso, beliau mendirikan sekolah-sekolah umum di dalam pesantren disamping madrasah-madrasah diniyah yang sudah ada. Sekolah-sekolah umum itu di antaranya SMP, SMA, PGA, SPG, SMEA, bahkan juga memasukkan sekolah negeri di dalam pesantren yaitu MTs Negeri dan MA Negeri. Sekolah-sekolah tersebut masih berjalan hingga sekarang.
Di samping menjadi Ketua Umum Jam'iyyah Ahli Thariqoh Mu'tabaroh dan Mursyid Thariqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah pada saat itu, Dr. KH. Musta'in Romly yang kemudian menjadi menantu KH. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas ini juga merupakan satu-satunya Kiai pertama di Indonesia yang mendirikan sebuah Universitas Islam yang cukup ternama pada saat itu (tahun 1965), yaitu Universitas Darul'Ulum Jombang.
Kemudian setelah Nyai Maisaroh wafat, Mbah Yai Romly menikah lagi dengan seorang gadis putri KH. Luqman dari Swaru Mojowarno. Gadis itu bernama Khodijah. Dari pernikahannya dengan istri ketiga ini lahir putra-putra beliau yaitu: KH Ahmad Rifa'iy Romli (wafat tahun 1994), beliau adalah menantu Kiai Mahrus Ali Lirboyo, KH A. Shonhaji Romli (wafat tahun 1992), beliau adalah menantu Kiai Ahmad Zaini Sampang, KH. Muhammad Damanhuri Romly (wafat tahun 2001), beliau adalah menantu Kiai Zainul Hasan Genggong, KH. Ahmad Dimyati Romly (menantu Kiai Marzuki Langitan), dan KH. A. Tamim Romly, M.Si. (menantu Kiai Shohib Bisri Denanyar).
KH. Muhammad Romly Tamim, adalah seorang Kiai yang sangat alim, sabar, sakhiy, wara', faqih, seorang sufi murni, seorang Mursyid Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dan pengasuh Pondok Pesantren Darul'Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang.
Di antara murid-murid beliau yang terkenal dan menjadi Kiai besar ialah KH. Muhammad Abbas (Buntet Cirebon), KH. Muhammad Utsman Ishaq (Sawahpuluh Surabaya), KH. Shonhaji (Kebumen), KH. Imron Hamzah (Sidoarjo).
KH. Muhammad Romly Tamim, disamping seorang mursyid, beliau juga kreatif dalam menulis kitab. Di antara kitab-kitab karangannya ialah: al-Istighotsah bi Hadrati Rabbil-Bariyyah, Tsamratul Fikriyah, Risalatul Waqi'ah, Risalatush Shalawat an-Nariyah. Beliau wafat di Rejoso Peterongan Jombang pada tanggal 16 Ramadlan 1377 H atau tanggal 6 April 1958 M.
Tata Cara Istighotsah
Melaksanakan istighotsah, boleh dilakukan secara bersama-sama (jamaah) dan boleh juga dilakukan secara sendiri-sendiri. Demikian juga waktunya, bebas dilakukan, boleh siang,  malam, pagi, atau sore. Seseorang yang akan melaksanakan  istighotsah, sayogianya ia sudah dalam keadaan suci, baik badannya, pakaian dan tempatnya,  dan suci dari hadats kecil dan besar.
Juga tidak kalah pentingnya, seseorang yang mengamalkan istighotsah menyesuaikan dengan bacaan dan urutan sebagaimana yang telah ditentukan oleh pemiliknya (Kiai Romly). Hal ini penting disampaikan, sebab tidak sedikit orang yang merubah bacaan dan urutan istighotsah  bahkan menambah bacaan sehingga tidak sama dengan aslinya. Padahal urutan bacaan istighotsah ini, menurut riwayat santri-santri senior Kiai Romli adalah atas petunjuk dari guru-guru beliau, baik secara langsung maupun lewat mimpi.
Diceritakan, sebelum membuat wirid istighotsah ini, beliau Kiai Romli melaksanakan riyaddloh dengan puasa selama 3 tahun. Dalam masa-masa riyadlohnya itulah beliau memperoleh ijazah wirid-wirid istighotsah dari para waliyulloh. Wirid pertama yang beliau terima adalah wirid berupa istighfar, dan karena itulah istighfar beliau letakkan di urutan pertama dalam istighosah. Demikian juga urutan berikutnya adalah sesuai dengan urutan beliau menerima ijazah dari para waliyyulloh lainnya. Oleh karena itu   sebaiknya dalam mengamalkan istighotsah seseorang menyesuaikan urutan wirid-wirid istighotsah sesuai dengan aslinya.
Setelah siap semuanya, barulah seseorang menghadap qiblat untuk memulai istighotsah dengan terlebih dahulu menghaturan hadiah pahala membaca surat al-Fatihah untuk Nabi, keluarga dan shahabatnya, tabi'in, para wali dan ulama khususnya Shahibul Istighatsah Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Romly Tamim. (Ishomuddin Ma’shum, dosen Universitas Darul Ulum Jombang)

Sya'ban Jalan Menuju Puncak

Sya'ban Jalan Menuju PuncakIitulah mengapa bulan ini dikatakan ‘sya’aban’, karena sya’ban yang berasal dari kata syi’ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah swt kepada hambanya untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak ‘bulan Ramadhan’.
اَلْحَمْدُ لله على نعمه فى شهر شعبان, الذى جعلنا من المسلمين الكاملين, وأمرنا باتباع سبيل المؤمنين, وأشْهَدُ أَنْ لَا إله إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الحق المبين وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصادق الوعد الأمين, اللهم صَلَّى عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى أله وَصَحْبِهِ أجمعين, وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أما بعد-
أوصيكم ونفسى بتقوى الله, وكونوا من المؤمنين الصادقين, واعلموا رحمكم الله إن للإيمان أيات وشعبن, فدونكم منها مانطق به القرأن, ومابينه رسول الله صلى الله عليه وسلم "المؤمن حقا إذا ذكرالله وجلت قلبه وخشعت نفسه, وفاضت عينه, من إذا سمع القرأن ثلج صدره وزاد إيمانه, وعلا يقينه, من يعتمد على ربه في نوال غايته, بعد أن بذل جهده فى سبيل حاجته, المؤمن حقا من أمن بكل ماجاء به القرأن, إيمانا لايزلزله شك وارتياب, وجاهد بنفسه وماله فى نصرة الدين وإقامة الحق المبين, المؤمن حقا لاسلطان للشيطان على نفسه, وأنه إيمان المرء يزيد بالطاعات وينقص بالمعصية.
Faya Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Marilah kita bersama-sama menjaga kwalitas taqwa kita kepada Allah swt. dengan menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya dengan penuh kesadaran dan keinsyafan.
Karena hanya dengan taqwalah jalan kita mendekati Allah swt. mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun diakhirat, seperti yang difirmankan Allah dalam yunus 63-64
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa * Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.
Hadirin Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, karena hari ini kita semua masih menikmati indahnya bulan sya’ban. Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah. Secara bahasa kata “Sya’ban” mempunyai arti “berkelompok”. Nama ini disesuaikan dengan tradisi bangsa Arab yang berkelompok mencari nafkah pada bulan itu). Sya’ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah Saw. selain bulan yang empat, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Salah satu pemuliaan Rasulullah Saw. terhadap bulan Syaban ini adalah beliau banyak berpuasa pada bulan ini.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i dan Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah menyatakan, Usamah berkata pada Rasululllah Saw., 'Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunat) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban.' Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.’”
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذاك شهر يغفل الناس عنه يعنى رجب رمضان وهو شهرترفع الأعمال فيه إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملى وأنا صائم
“Bulan itu (Sya‘ban) berada di antara Rajab dan Ramadhan adalah bulan yang dilupakan manusia dan ia adalah bulan yang diangkat padanya amal ibadah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, maka aku suka supaya amal ibadah ku di angkat ketika aku berpuasa”. ( HR. an-Nasa’i)
Hadirin Kaum Muslimin yang Budiman
Oleh karena itu, marilah di awal bulan Sya'ban ini kita perkokoh keimanan dan ketaqwaan kita. Mumpung masih ada waktu, mumpung ada bulan Sya’ban yang penuh dengan keutamaan dan keistimewaan. Mungkin itulah mengapa bulan ini dikatakan ‘sya’aban’, karena sya’ban yang berasal dari kata syi’ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah swt kepada hambanya untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak ‘bulan Ramadhan’.
Meniti perjalanan menuju puncak bukanlah hal yang mudah. Minimal memerlukan persiapan-persiapan yang terkadang sangat melelahkan dan menguras energy. Ingatlah pekerjaan mendaki gunung yang mengharuskan berbagai macam pelatihan. Begitu pula meniti puncak di bulan Sya’ban tentunya pendakian itu mengharuskan kesungguhan hati dan niat yang suci karena mendaki adalah usaha menuju yang lebih tinggi yang harus dilalui dengan sedikit susah dan payah. Kepayahan itu akan terasa ketika kita memilih berpuasa di bulan Sya’ban sebagai bentuk pendakian menuju puncak.
Rasulullah saw bersabda bahwa bulan ini dinamakan Sya’ban karena berhamburan kebajikan di dalamnya. Barang siapa berpuasa tiga hari di awal bulan Sya’ban, tiga hari di pertengahannya dan tiga hari di akhirnya. Maka niscaya Allah tulis untuk orang itu pahala tujuh puluh orang nabi, dan seperti ibadah tujuh puluh tahun, dan jiakalau orang itu meninggal pada tahun ini akan diberikan preikat mati syahid.
 Ma’asyiral Mu’minin Rahimakumullah
Pendakian menuju puncak di bulan Sya’ban ini juga dapat dilakukan dengan cara banyak beristigfar dan meminta ampun atas segala dosa yang  telah kita lakukan di bulan-bulan sebelumnya. Baik dosa yang kita lakukan dalam bentuk tindakan dan kelakukan yang kasat mata maupun dosa yang adanya di dalam hati dan tidak kasat mata, dan justru dosa terakhir inilah yang terkadang lebih menumpuk di bandingkan dosa kelakukan. Ujub, sum’ah, takabbur dan lain sebagainya;
Coba kita dalami an-Nahl ayat 78:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur
Bukankah ayat tersebut seolah mewajibkan manusia agar selalu insyaf dan sadar bahwasannya berbagai kedudukan kita di dunia ini, jabatan, kekuatan, kekayaan, kegagahan, kepandaian dan semuanya adalah pemberian Allah swt, dan manusia pada awalnya tidak mengerti sesuatu apa.
karenanya, jika terbersit dalam hati kita sebagai manusia akan kepamilikan dan ke-Aku-an sadarlah bahwa itu adalah sebuah kesalahan dan dosa. Apalagi jikalau perasaan itu disertai dengan kesengajaan menafikan Allah swt. maka segralah bertaubat. Allah sendiri mengancam orang-orang seperti ini dalam surat Thaha ayat 124:
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Dengan  demikian, Ma’asyiral Muslimin
Wajiblah setiap manusia itu selalu bersujud dan berbakti kepada Allah swt. setiap saat, setiap waktu, semakin berpangkat, semakin pandai, semakin kaya, semakin berada, maka sujudnya harus semakin dalam dan penuh makna.
Sebagai penghujung khutbah ini, marilah di waktu yang istimewa ini di bulan Sy’aban yang penuh fadhilah ini, kita mendaki bersama dengan menjalankan berbagai amal shaleh dan meminta pengampunan dan magfirah-Nya, sehingga kita akan sampai dipuncak nanti sebagi insan yang siap menjalankan keinsaniyahannya di depan Sang Khaliq
اللهم ربنا اصرف عنا عذاب جهنم إن عذابها كان غراما, إنها سائت مستقرومقاما, ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما, بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
Red. Uli H

Hakikat Ibadah Puasa

Hakikat Ibadah PuasaPuji syukur kehadirat Allah SWT karena kita masih diberi kesempatan untuk menjalankan ibadah yang sangat mulia, yakni puasa di bulan suci Ramadhan. Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama memanfaatkan bulan Ramadahan 1435 H ini dengan melatih diri serta berpacu memperbanyak amal ibadah agar kita senantiasa mendapatkan barokah dan ampunan.

اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَذِى جَعَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْخَيْرَاتِ وَالْبَرَكََةِ شَهْرَ الطَّاعَاتِ وَالْمَبَرَّاتِ شَهْرَ الصّيَامِ وَالْقِيَامِ وَأشْهَدُ أنْ لا اِلهَ اِلااللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنْفَرِدُ بِالْوَحْدَانِيّةِ وَالْقُدْرَةِ الّذِى فَضَّلَ بَعْضَ الشُّهُوْرِ وَالاَيَّامِ عَلَى بَعْضٍ وَجَعَلَ شَهْرَ رَمَضَانَ مِنَ الشُّهُوْرِالْعِظَامِ وَأيَّامَهُ مِنَ الايَّامِ الْكِرَامِ وَأشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِى أرْسَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ اللّهُمَّ صَلي وِسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ لِقَاءِ رَبِّهِمْ. فَيَا عِبَادَاللهِ اتَّقُوْاللهَ وَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَاِنَّ مَصِيْرَهَا اِلَى الزَّوَالِ
Sidang Jum'at yang dimuliakan Allah

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena kita masih diberi kesempatan untuk menjalankan ibadah yang sangat mulia, yakni puasa di bulan suci Ramadhan. Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama memuliakan bulan Ramadahan 1435 H ini dengan melatih diri serta berpacu memperbanyak amal ibadah agar kita senantiasa mendapatkan barokah dan ampunan.
Rasulullah SAW bersabda:

قَدْ آتََاكُمْ رَمَضَانُ سَيِّدُ الشُّهُوْرِ فَمَرْحَبًا بِهِ وَاَهْلاً جَاءَ شَهْرُ الصِّيَامِ بِبَرَكَاتٍ فَأكْرِمْ بِهِ

Artinya: "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, penghulu segala bulan. Maka hendaklah engkau mengucapkan selamat datang kepadanya. Telah datang bulan puasa dengan segenap berkah di dalamnya maka hendaklah engkau memuliakannya."

Bulan ini adalah bulan yang diberkati, bulan ini adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an, bulan ini adalah bulan terjadinya peristiwa Lailatul Qadar, sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan dan di bulan juga merupakan bulan dimana pintu maghfirah (ampunan) dibuka selebar-lebarnya serta segenap amal kebajikan dilipatgandakan pahalanya. Mengingat betapa mulianya bulan ini, maka alangkah bahagianya jika pada momentum Ramadhan ini kita dapat bersama-sama meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita serta mengisinya dengan segala kebajikan.

Sidang Jum'at yang dimuliakan Allah

Dari seluruh keistimewaan Ramadhan, yang paling penting bagi kehidupan umat manusia terletak pada kewajiban untuk melaksanan puasa sebagaimana firman Allah SWT:

يا ايُّهَا الّذِيْنَ امَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Albaqarah 2: 183)

Dalam ayat ini, tersirat makna bahwa sebenarnya puasa bukanlah ibadah yang baru dilaksanakan ketika kedatangan Islam akan tetapi sudah dilaksanakan jauh sebelumnya. Para pakar perbandingan agama mendapatkan data bahwa sebelum mengenal agama Samawi, orang-orang Mesir kuno, orang-orang Yunani dan Romawi telah mengenal  puasa. Demikian juga dengan orang-orang Majusi, Budha, Yahudi dan Kristen. Dalam karyanya "al-Fahrasat" Ibnu Nadim menyebutkan bahwa orang-orang Majusi berpuasa tiga puluh hari dalam setahun. Mereka juga melakukan puasa-puasa sunnah yang ditujukan sebagai penghormatan kepada bulan, Mars dan Matahari. Sementara At-Thabari dalam tafsirnya, Jami` al-Bayan, menyebutkan bahwa  seluruh pemeluk agama samawi (ahl kitab) diwajibkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa.

Barangkali terdapat perbedaan mengenai tata cara berpuasa antara satu agama dengan agama lainnya. Namun yang penting untuk kita camkan, dipraktekkannya model ibadah dengan cara menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu oleh agama-agama dan umat manusia dari rentang masa yang satu ke rentang masa berikutnya menegaskan bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang bersifat universal. Ia dipandang sebagai jalan yang sangat efektif dalam dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.

Sedangkan dalam Islam, puasa memiliki keistimewaan yang  berbeda dengan ibadah-ibadah lain. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfiman:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ اِلا الصَّوْم فَاِنَّهُ لِي وَاَنَا أجْزِي بِهِ

"Semua amal anak Adam (manusia) untuk dirinya sendiri kecuali puasa, sebab  puasa  itu  adalah untuk-Ku,  dan  Aku sendiri yang akan membalasnya."

Ketika melaksanakan puasa, sebenarnya tidak ada yang dapat mengetahui apakah seseorang sedang berpuasa atau tidak. Tidak menutup kemungkinan adanya orang yang terlihat berpuasa namun sebenarnya ia tidak melaksanakan ibadah puasa. Ketika sepi dari orang lain bisa saja ia makan, minum atau mengumbar hawa nafsu  tanpa sepengetahuan orang lain. Pendek kata, hanya si pelakulah yang mengetahuinya apakah ia sedang berpuasa atau tidak. Lalu apakah yang membuat seseorang tetap menjaga puasanya? Satu-satunya jawaban adalah keimanan yang terpatri dalam jiwanya.

Dalam konteks ini, puasa sebenarnya adalah latihan dan uji kesadaran akan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, Dzat yang mengetahui dan mengawasi segenap tingkah laku manusia, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Jika seseorang yang berpuasa betul-betul berdasarkan motivasi keimanan nan dapat menjaga tindak tanduknya selama berpuasa maka ia akan mendapatkan pencerahan ruhani dan dikembalikan kepada fitrahnya sebagai manusia, makhluk yang mulai tanpa bercak noda dan dosa sebagaimana sabda Rasulullah:

شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وسَنَّنَ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ

Artinya: "Bulan ramadhan, bulan dimana Allah telah mewajibkan kamu sekalian berpuasa dan aku sunnahkan kamu untuk melaksanakan sholat malam. Barangsiapa puasa Ramadhan dan sholat malam dengan dasar iman dan ihtisab, dia telah keluar dari dosa-dosanya sebagaimana hari dia dilahirkan oleh ibunya."

Sidang Jum'at yang berbahagia

Memang benar bahwa melaksanakan ibadah puasa bukanlah sesuatu yang mudah karena membutuhkan latihan fisik dan psikologis. Namun perlu juga disadari bahwa tidak ada sebuah keuntungan besar yang didapatkan dengan upaya yang ala kadarnya. Sebaliknya setiap keuntungan besar hampir dapat dipastikan merupakan buah dari kerja keras dengan dukungan dengan  modal yang besar pula.

Demikian juga dengan puasa Ramadhan. Di bulan ini, fisik kita dilatih menahan lapar dan haus agar kita juga peka terhadap penderitaan orang-orang miskin. Kita juga ditekankan untuk mengeluarkan infak dan sedekah dari kelebihan harta yang kita miliki. Kesemuanya itu pada dasarnya adalah sebuah pendidikan keimanan agar kita dapat merenung eksistensi diri kita sebagai manusia dan hamba Allah. Lebih jauh lagi agar kita memahami tugas kita sebagai umat Islam yang tidak hanya bertanggungjawab kepada diri kita sendiri akan tetapi juga memiliki tanggung jawab atas umat Islam yang lainnya.

Ibadah seperti memberi infak dan shodaqah kepada orang-orang yang miskin dan membutuhkan merupakan ibadah yang sangat penting, bukan saja di bulan Ramadhan namun seharusnya juga selalu dilakukan di luar bulan Ramadhan. Karena memperhatikan dan memabantu orang lain yang membutuhkan pertolongan dapat mengasah kepekaan kita serta mempererat tali silaturrahmi dan solidaritas sesama umat Islam. Dalam beberapa kesempatan kesempatan Rasulullah SAW bersabda: "Muslim satu dengan yang lainnya seperti sebuah bangunan yang saling mengokohkan satu dengan yang lainnya; Tidak sempurna iman salah satu dari kalian hingga ia mampu mencinta saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri; Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya."

Di samping itu, puasa juga merupakan benteng yang menggiring manusia untuk berfikir sehat dan menekan hawa nafsunya. Rasulullah sendiri mengibaratkan puasa sebagai "junnah" atau perisai. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَاِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفَثُ وَلا يَصْخَبُ فَاِنْ سَابَّهُ أحَدٌ أوْ قَاتَلَهُ فَالْيَقُلْ اِنِّى صَائِمٌ
Artinya: "Puasa adalah perisai. Jika salah satu dari kalian sedang berpuasa maka janganlah ia berkata kotor dan mengeraskan perkataan. Jika seseorang mencacinya atau menantangnya maka hendaklah ia berkata: 'sesungguhnya aku sedang berpuasa."

Berfikir sehat, pengendalian emosi serta menahan amarah dan hawa nafsu ini merupakan hal yang sangat penting dalam puasa. Karena sebagai seorang yang sedang berpuasa maka ia harus dapat memlihara seluruh panca inderanya untuk tidak melakukan larangan Allah, terutama tidak melakukan hal-hal yang dapat menyakiti atau merugikan orang lain, apalagi merampas harta orang lain.

Sahabat Jabir bin Abdullah pernah berkata:
اِذَا صُمْتَ فَالْيَصُمْ سَمْعَكَ وَ بَصَرَكَ وَلِسَانَكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَأْثَمِ وَدَعْ اَذَى الْخَادِمُ وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌوَسَكِيْنَةُ يَوْمَ صِيَامِكَ وَلا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَصِيَامِكَ سَوَاءً
Artinya: "Apabila engkau sedang berpuasa, hendaklah puasa juga pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa. Jauhkanlah menyakiti pembantu. Hendaklah engkau berlaku terhormat dan tenang di hari ketika engkau berpuasa. Janganlah engkau samakan hari ketika engkau tidak puasa dengan hari ketika engkau berpuasa."

Dengan demikian, dengan datangnya bulan Ramadhan ini, sudah sepatutnya bagi kita semua untuk lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas iman dan ketakwaan kita serta mengisi bulan Ramadhan dengan segenap hal yang berguna, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Dan semoga kita semua diberikan kekuatan lahir dan batin untuk bisa melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya.


رَبّنَا تَقَبَّلْ مَنَّا اِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ أنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ وَالْحَمْدُلِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ


 هدانا الله واياكم أجمعين, أقول قول هذا وأستغفر الله العظيم لى ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم 

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًااَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.
رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Kita dan Perdamaian

Kita dan PerdamaianOleh KH Abdurrahman Wahid
Penulis diundang oleh UNESCO ke Paris, pada Mei 2003, untuk menyampaikan pidato pembukaan (keynote address) dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan yang baik (good governance) dan etika dunia (global ethics), yang diadakan antara kaum Budhis dan Muslimin. Konferensi itu dimaksudkan untuk mencari jembatan antara agama Islam, yang mewakili agama-agama Ibrahim dan Budhisme yang mewakili agama-agama di luar tradisi Ibrahim.

Dalam kesempatan itu juga, penulis diminta berbicara mengenai asal-usul (origins) terorisme bersenjata yang sedang melanda dunia saat ini. Diharapkan pidato pembukaan itu akan mewarnai dialog tersebut, yang juga dihadiri oleh delegasi dari Persekutuan Gereja-Gereja Eropa, wakil dari pimpinan agama Yahudi, Gereja Kristen Orthodox Syria, wakil agama Hindu dan sebagainya. Dari kalangan agama Budha sendiri, hadir Dharma Master Hsin-Tao dari Taiwan dan Sulak Sivaraksa dari Thailand, di samping David Chappel dari University of California di Los Angeles.

Pertemuan tersebut adalah yang ketiga kalinya, antara sebagian kaum Budhis dan kaum Muslimin (termasuk dari Tunisia, Maroko, Saudi Arabia, Sudan, Tanzania dan sejumlah pemuka kaum Muslimin lainnya). Pertemuan pertama terjadi tahun lalu di sebuah Hotel di Jakarta, disusul pertemuan di New York dan disudahi dengan pertemuan di Kuala Lumpur (dengan Dr. Chandra Muzaffar sebagai tuan rumah). Dari pertemuan-pertemuan tersebut, diharapkan kelanjutan hubungan antara kaum Muslimin dan Budhis, disamping juga akan dilaksanakannya sebuah konferensi besar antar kepala negara-negara berkembang (developing countries) di Bandung, untuk merayakan 50 tahun konferensi Asia-Afrika pertama —Bandung I— pada tahun 2005 kelak. Agenda-agenda Konferensi Bandung II harus ditetapkan tahun ini, untuk mempersiapkan peringatan itu sendiri di Jawa Barat pada waktunya nanti. Hal ini diperlukan, guna mencari alternatif bagi dominasi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dalam dunia internasional (seperti terbukti dari serangan-serangan atas Afghanistan dan Irak), tanpa harus berkonfrontasi dengan negara adi kuasa tersebut.

Timbulnya sikap menolak dengan cara konfrontatif itu, karena tidak dipikirkan dengan mendalam dan jika hanya dilakukan oleh sebuah negara saja. Terbukti dengan adanya rencana “politik luar negeri” Indonesia yang konyol –seperti keputusan untuk (pada akhir tahun 2003 ini) keluar dari keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds). Pada saat menjadi Presiden, penulis bertanya pada seorang ekonom raksasa dari MIT (Massachusset Institute of Technology), Paul Krugman. Ia menjawab, sebaiknya Indonesia jangan keluar dari keanggotaan badan internasional tersebut. Paul Krugman yang juga pengkritik terbesar lembaga itu menyatakan pada penulis, hanya negara dengan birokrasi kecil dan bersih yang dapat keluar dari IMF secara baik, sedangkan birokrasi Indonesia sangatlah besar dan kotor.

***

Dalam pidato pembukaan itu, penulis menyatakan bahwa etika global dan pemerintahan yang baik (good governance) hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional. Ini berarti, negara adi-kuasa manapun harus memperhatikan kedua prinsip ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus mendapat perhatian utama. Pidato pembukaan itu, mendapatkan jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, termasuk Dharma Master Hsin-Tao (Taiwan) yang mewakili para pengikut agama Budha. Tanggapan yang sama positifnya juga disampaikan oleh Wolfgang Smiths dari Persekutuan Gereja-Gereja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem.

Penulis menyatakan pentingnya arti kedaulatan hukum, karena di Indonesia dan umumnya negara-negara berkembang, hal ini masih sangat langka. Justru pada umumnya pemerintahan mereka bersifat korup, mudah sekali melakukan pelanggaran hukum dan di sini konstitusi hampir-hampir diabaikan. Perintah kitab suci al-Qur’ân: “Wahai kaum Muslimin, tegakkanlah keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yâ ayyuhal-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bil-qisthi syuhadâ’a liLlâhi walau ‘alâ anfusikum) (QS al-Nisa [4]:135), ternyata tidak dipatuhi oleh umat Islam sendiri. Yang lebih senang dengan capaian duniawi yang penuh ketidakadilan, dengan meninggalkan ketentuan-ketentuan yang dirumuskan oleh kitab suci agama mereka sendiri.

Dalam pidato pembukaan tersebut penulis menyatakan, agar keadilan menjadi sifat dari etika global dan pemerintahan yang baik (good governance). Itu didasarkan pada pengamatan bahwa sebuah negara adi-kuasa, seperti Amerika Serikat dapat saja melaksanakan dominasi yang hanya menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan kepentingan negara-negara lain. Ini terbukti dari serangannya atas Irak, yang terjadi dengan mengabaikan sikap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Penulis berpendapat jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein tidak dapat ditangkap, maka tentu rakyat AS akan ribut minta tentara mereka ditarik dari Irak. Dan perdamaian di negeri Abu Nawas itu harus ditegakkan melalui perundingan damai. Dengan kata lain, perubahan berbagai sistem (termasuk sistem politik dan pemerintahan) di Irak harus dilakukan tanpa melalui paksaan. Kalau tidak, pemerintah apapun yang akan menggantikan Saddam Hussein akan dianggap sebagai pemerintahan boneka oleh rakyat Irak sendiri. Kenyataan inilah yang harus dipahami oleh semua pihak, termasuk AS. Dengan demikian, apa yang sejak berbulan-bulan ini diusulkan penulis, yaitu perdamaian di Irak harus dikaitkan langsung dengan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel, semakin menjadi relevan.

***

Sebagai bagian dari pembentukan etika global dan pemerintahan baik (good governance) itu, tentu diperlukan adanya kampanye besar-besaran untuk membentuk pengertian yang mendalam atas kedua hal tersebut. Di sinilah terletak peranan para agamawan dan moralis dunia, dengan didukung oleh lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO. Karena itu tindakan sendiri-sendiri dalam pembentukan pendapat dunia, mengenai etika global dan pemerintahan baik itu, tidak dapat dibenarkan karena diragukan keberhasilannya. Harus ada dialog terus-menerus antara berbagai kalangan bangsa, terutama antara para teoritisi dan para penerap nilai-nilai di lapangan. Di sinilah terasa betapa pentingnya arti dialog seperti yang telah diselenggarakan oleh UNESCO di Paris itu. Minimal, bagi berbagai pihak di luar lingkup negara, dapat melakukan pembicaraan mengenai nilai-nilai global yang ingin kita tegakkan dalam pergaulan internasional. Dengan pertemuan antar berbagai agama tadi, masingmasing pihak akan saling belajar dan menimba sumber-sumber spiritual, dalam membentuk pandangan hidup di masa depan.

Kesadaran seperti ini, mulai muncul akibat merajalelanya sinisme yang dibawa oleh “pertimbangan-pertimbangan politik global” (global political considerations) dan akhirnya menjadi satu- satunya alat pertimbangan. Pertimbangan itu —dalam kerangka kajian strategis disebut sebagai “geopolitical considerations”—, hanya melahirkan kepentingan antara negara-negara adi-kuasa (super-powers) saja, akibatnya tentu akan melumpuhkan negara-negara yang bukan adi-kuasa. Apalagi setelah Uni- Soviet berantakan, maka hanya tinggal sebuah negara adi-kuasa yang memaksakan kehendak dan menginjak-injak hukum internasional untuk kepentingannya sendiri. Contohnya adalah penyerbuan AS atas Irak, dengan mengesampingkan peranan PBB melalui Dewan Keamanan.

Di masa depan, tentu saja hal ini akan membawakan reaksi berupa sederet tuntutan dari negara-negara berkembang akan sebuah tatanan yang lebih berimbang secara internasional, antara negara industri maju (developed countries) dengan negara berkembang (developing countries). Dalam penyusunan tatanan baru seperti itu, tentu saja etika global dan pemerintahan yang baik harus memperoleh perhatian khusus, baik untuk acuan kerangka baru yang hendak didirikan maupun untuk mengendalikan perubahan perubahan yang bakal terjadi.

Karena itu dialog terus-menerus akan kedua hal itu harus dilakukan, termasuk pertukaran pikiran mengenai peranan spiritualitas manusia. Dialog antara para pemeluk berbagai agama, seperti yang diselenggarakan di Paris tersebut, tentulah sangat menarik bagi kita. Pemaparan pengalaman pribadi dan pikiran dari para pemimpin agama, seperti Dharma Master Hsin Tao dari Taiwan, tentu saja harus menjadi bagian integral dari dialog semacam itu.


*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, 23 Mei 2003.

PERGUNU Segarkan Peran Kebudayaan Pesantren

PERGUNU Segarkan Peran Kebudayaan PesantrenMojokerto, NU Online
Sebanyak 120 pengurus madrasah dan pesantren menghadiri seminar bertajuk “Pembangunan Masyarakat Madani Berbasis Pesantren” di pesantren Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto, Senin (14/7). Dalam diskusi yang diselenggarakan PP PERGUNU, mereka mencoba menggali kembali peran kebudayaan pesantren dan alumninya pesantren di tengah masyarakat.

Dalam sambutan, Ketua Umum Pergunu KH Dr Asep Saefudin Chalim mengatakan, ciri masyarakat madani ialah peningkatan ketaqwaan terhadap ajaran Islam dan implementasinya dalam kehidupan keseharian.

“pesantren harus menjadi pelopor dalam mencetak kader kader pemimpin masyarakat dan menjadikan para santri sebagai agen perubahan akhlaq bangsa menuju lebih mulia,” tegas Asep.

Sementara Kasubdit Agama dan Kepercayaan Kesbangpol Kemendagri M Saudi menyatakan terima kasihnya kepada pengasuh pesantren dan pengelola madrasah. Karena, pesantren hingga kini masih menjadi menjadi ujung tombak dalam mempertahankan kearifan lokal, nilai perdamaian, dan pelopor gerakan perubahan menuju bangsa yang berakhlaq.

Pesantren, kata Ketua Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Dr Husein, masih dipercaya sebagai pusat pertahanan kearifan lokal di tengah deras arus budaya global. Kehadiran pesantren sebagai eksplorasi dari ajaran Walisongo di Nusantara menjadi semakin relevan. (Akhsan Ustadhi/Alhafiz K)

Aksi Solidaritas NU untuk Palestina Datang dari Berbagai Daerah

Aksi Solidaritas NU untuk Palestina Datang dari Berbagai DaerahJakarta, NU Online
Aksi solidaritas untuk rakyat Palestina yang kini mengalami penderitaan akibat kekejaman militer Israel mengalir dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka mengutuk serangan Israel yang membabi buta sehingga menghilangkan nyawa ratusan rakyat sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

Seperti yang dilakukan Pimpinan Komisariat Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) Universitas Hasyim Asy’Ari (Unhasy) Jombang, Jawa Timur, Selasa (15/7). Mereka menggelar doa bersama dengan memanfaatkan momen buka puasa. Acara juga dirangkai dengan khotmil qur’an dan pembacaan puisi untuk Palestina.

Di waktu yang bersamaan, kumandang doa juga datang dari Makassar, Sulawesi Selatan, tepatnya di Gedung Ma'arif Centre. Sementara di belahan Pulau Madura, shalat ghaib dan aksi bakar bendera Israel mewarnai protes para kader PC IPNU Sumenep. Para pelajar NU ini mengungkapkan rasa prihatin yang mendalam dan berharap Palestina segera mendapat kedamaian.
Novi Muklisoh, Ketua IPPNU Unhasy mengatakan, apa yang terjadi terhadap masyarakat di Gaza, Palestina sudah tak bisa ditoleransi. "Bayangkan, anak kecil yang berumur 5 tahun pun mereka (militer Israel) sayat-sayat dagingnya, mereka potong tangannya, dan itu mereka melakukannya dalam keadaan sadar. Kemudian anak kecil yang berumur 3 tahun, dengan beramai-ramai mereka berondong dengan senjata," ungkap santriwati Pesantren Darul Falah 5 ini.

Di Sukoharjo, Jawa Tengah, Pimpinan Anak Cabang Pencak Silat NU Pagar Nusa Kartasura bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas Islam se-solo Raya menjalankan aksi dengan berjalan jauh (long march), Ahad (14/7). Aksi yang dimulai pukul 09.00 wib ini berjalan melalui Jl. Slamet Riyadi dengan tertib.

Gema Takbir dan Sholawat yang dikumandangkan peserta aksi membuat aksi solidaritas ini tetap damai dan simpatik. Masing-masing perwakilan secara bergantian melakukan orasi terkait tindakan biadab tentara Israel terhadap rakyat Palestina.

Koordinator Aksi dari Pagar Nusa Kartasura, Ulil Albab menuturkan bahwa kepedulian terhadap Palestina bukan sekedar bentuk rasa kasihan. Tapi wujud nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. "Setiap warga negara Indonesia tentunya mengetahui bahwa pembukaan UUD '45 kita menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, dan itu adalah jiwa kita sebagai bangsa Indonesia," lanjutnya.

Di beberapa tempat dan kesempatan yang berbeda, keprihatinan terhadap krisis yang terjadi di Palestina juga diungkapkan sejumlah pesantren, badan otonom dan berbagai komunitas NU, seperti PMII, GP Ansor, Jaringan Gusdurian, dan lainnya. (Idris/Kamil/Rosyidi/Anwar/Mahbib)

Foto: Shalat ghaib pelajar NU Sumenep untuk para korban kekejaman Israel

Batalnya Puasa

Written By Moh Wahyudi on Kamis, 10 Juli 2014 | 20.13

Batalnya PuasaPuasa dapat dibilang sebagai ibadah tahunan seperti halnya haji. Setiap satu tahun sekali seorang muslim diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh, yaitu di bulan Ramadhan. Oleh karena itu segala hal yang berhubungan dengan puasa Ramdhan serasa sudah menjadi hal yang lazim begitu saja. Bahkan sebagian orang mengganggap puasa sebagai ibadah musiman belaka, hanya sebatas rutinitas semata. Sebagaimana kolak, ngabuburit dan juga baju barunya.
Padahal tidak demikian seharusnya. Karena puasa selalu mengandung makna baru. Karena konteks puasa tahun ini dan tahun yang lalu pastilah berbeda bagi setiap orang. Misalnya puasa kali ini berbarengan dengan masa kampenye, kebetulan si A tahun ini menjabat sebagai ketua RW, kebetulah tahun ini lagi banyak proyek pekerjaan dan seterusnya. Jika demikian, maka tidak ada puasa yang sama persis dilakukan seseorang di seiap tahunnya.
Akan tetapi meskipun konteks puasa sangat dinamis, namun ada beberapa hal yang tetap dan ajeg yang tidak boleh dilupakan seperti hal-hal yang membatalkan puasa, diantaranya:
Pertama, makan, minum dan segala sesuatu yang masuk melalu lubang pada anggota tubuh yang berkesinambungan (mutasil) sampai lambung, dan memasukannya dengan unsur sengaja, artinya apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa kesengajaan atau lupa, maka tidak membatalkan puasa.
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ......
...makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam... (QS. al-Baqarah, 2: 187)
Sedangkan bagi mereka yang lalai melakukannya maka hal itu tidak dianggal membatalkan puasa sebagaimana diterangkan dalam hadits:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَاَكَلَ وَاشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Siapa yang lupa keadaannya sedang berpuasa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberikan makanan dan minuman itu”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1797 dan Muslim: 1952)

Kedua, dengan sengaja melakukan hubungan seksual dengan suami atau isteri. Suatu perbuatan dapat dikatakan hubungan seksual dengan batas minimal masuknya khasafah ke dalam farji (vagina), dan apabila kurang dari itu maka tidak dikatagorikan hubungan seksual dan tidak membatalkan puasa.
Barang siapa melakukan hubunngan seksual dengan sengaja pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, sedangkan malam harinya ia berniat menjalankan puasa, maka orang tersebut berdosa dengan alasan telah merusak ibadah puasa, oleh karena itu ia diwajibkan untuk mengqadla dan membayar kifarat (memerdekakan budak perempuan mu’min) sebagai hukumnya.
Jika tidak menemukan seorang budak untuk dimerdekakan atau tidak mampu untuk memerdekakannya dari segi pembiayaan, maka menggantinya dengan berpuasa dua bulan secara berurut-urut di bulan selain bulan Ramadhan, dan apabila ia tidak mampu juga maka diwajibkan membayar fidyah untuk 60 orang fakir atau miskin. Dan bagi tiap-tiap orang miskin mendapatkan satu mud dari makanan yang mencukupi untuk zakat fitrah.
Apabila ia tidak mampu semuanya, maka kafarat tersebut tidak gugur dan tetap menjadi tanggungannya. Dan pada saat ia ada kemampuan untuk membayar dengan cara mencicil, maka lakukan saja dengan segera.
جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَاَتِى فِى رَمَضَانَ قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ:لَا،قَالَ: هَلْ تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لَا،قَالَ:هَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا قَالَ:لَا،ثُمَّ جَلَسَ فَاُءتِيَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ قَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَاقَالَ: فَهَلْ اَعْلَى اَفْقَرَ مِنَّا؟ فَوَاللهِ مَا بَيْنَ لَا بَتَيْهَا اَهْلُ بَيْتٍ اَحْوَجُ اِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ اَنْيَابُهُ وَقَالَ:اذْهَبْ فَاطْعِمْهُ اَهْلَكَ
Dari Abu Hurairah r.a, menceritakan, seorang pria dating kepada Rasulullah s.a.w, ia berkata: “celaka aku wahai Rasulullah”, Nabi s.a.w, bertanya: “apa yang mencelakakanmu?”, pria itu menjawab: “aku telah bercampur dengan isteriku pada bulan Ramadhan”, Nabi s.a.w, menjawab: “mampukah kamu memerdekakan seorang budak?”, ia menjawab: “tidak”. Nabi s.a.w, betanya padanya: “mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?”, pria itu menjawab: “tidak mampu”. Rasulullah s.a.w, bertanya lagi: apakah kamu memiliki makanan untuk member makan enam puluh orang miskin?”, ia menjawab; “tidak”, kemudian pria itu duduk. Lalu Nabi diberi satu keranjang besar berisi kurma, dan Rasulullah s.a.w, berkata kepadanya : “bersedekahlah dengan kurma ini”. Pria itu bertanya: “Apakah ada orang yang lebih membutuhkan dari kami?, tidak ada keluarga yang lebih membutuhkan kurma ini selain dari keluarga kami”. Nabi s.a.w. tertawa, sehingga terliuat gigi taringnya, dan Beliau bersabda: “kembalilah ke rumahmu dan berikan kurma itu pada keluargamu”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1800 dan Muslim: 1870).

Ketiga, pengobatan yang dilakukan pada salah satu dari dua jalan (kemaluan dan dhubur) atau kedua-duanya, bagi orang yang sakit, maka pengobatan yang seperti itu dapat membatalkan puasa
Keempat, muntah-muntah dengan disengaja, dan apabila tanpa disengaja atau karena sakit, maka tidak membatalkan puasa seperti keterangan di atas.
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
Dari Abu Hurairah r.a, menuturkan, sesungguhnya Nabi s.a.w, bersabda: “siapa yang tidak sengaja muntah, maka ia tidak diwajibkan untuk mengganti puasanya, dan siapa yang sengaja muntah maka ia wajib mengganti puasanya”. (Hadits Hasan Gfarib, riwayat al-Tirmidzi: 653 dan Ibn Majah: 1666)

Kelima, keluarnya air mani disebabkan bersentuhan (tanpa hubungan seksual) maka menyebabkan batalnya puasa, baik keluar dengan usaha tangan sendiri (mastur basi) atau menggunakan tangan seorang isteri yang halal. Dengan kata lain, apabila keluar air mani tanpa bersentuhan semisal bermimpi basah maka puasanya tidak batal.
Keenam, haid, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang sudah menginjak usia batas minimal 9 tahun. Dengan waktu haid paling cepat selam 24 jam, ghalibnya (keumuman) keluar darah selama satu minggu,paling lama selama 15 hari, dan jarak antara kedua masa haid batas minimal 15 hari.
Darah yang keluar dari kemaluan perempuan dengan cirri-ciri seperti di atas, apabila keluar di saat seorang perempuan sedang menjalankan ibadah puasa maka puasanya batal.
 فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
 “kami (kaum perempuan) diperintahkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi tidak diperintahkan untuk mengganti shalat yang ditinggalkan”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 508)
Ketujuh, nifas, yaitu darah yang keluar dari kemaluannya perempuan setelah proses melahirkan dengan rentang waktu sampai dua bulan (ukuran maksimal) juga dapat menyebabkan batalnya puasa, apabila keluar di saat sedang berpuasa.
Kedelapan, gila yang terjadi ketika seseorang sedang mengerjakan ibadah puasa, maka puasanya batal.
Kesembilan, murtad, sesuatu hal yang menyebabkan seseorang keluar dari islam dengan (semisal) melakukan pengingkaran akan keberadaan Allah SWT sebagai dzat tunggal, disaat ia sedang melaksanakan ibadah puasa, maka puasanya batal. (Sumber: Risalah Puasa/ Red. Ulil H)

Dua Rukun Puasa

Pada hakikatnya puasa dapat dikategorikan sebagau ibadah yang sederhana. Dikatakan demikian kaena rukun yang harus dipenuhi dalam ibadah ini hanya dua hal; pertama niat dan kedua menghindar dari hal-hal yang membatalkan puasa.Banyak orang beranggapan bahwa niat hanyalah formalitas yang menentukan sah tidaknya sebuah ibadah. Memang anggapan itu ada benarnya, karena memang sah tidaknya sebuah amal tergantung niat. Akan tetapi niat itu tidak sekedar formalitas, karena niatlah yang menentukan arah ibadah kita. Bukankah kalimat lillahi ta’ala, merupakan kode kepasrahan seorang hamba kepada-Nya?
Dalam konteks puasa Ramadhan, niat merupakan ibadah yang diucapkan dalam hati dengan persyaratan dilakukan pada malam hari dan wajib menjelaskan kefarduannya didalam niat tersebut, contoh; saya berniat untuk melakukan puasa fardlu bulan Ramadhan, atau lengkapnya dalam bahsa Arab, sebagai berikut:
نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانِ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ
Saya niat mengerjakan ibadah puasa untuk menunaikan keajiban bulan Ramadhan pada tahun ini, karena Allah s.w.t, semata.
Sedangkan dalil yang menjelaskan niat puasa Ramadhan dilakukan pada malam hari adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w, sebagai berikut:
 مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Siapa yang tidak membulatkan niat mengerjakan puasa sebelum waktu fajar, maka ia tidak berpuasa. (Hadits Shahih riwayat Abu Daud: 2098, al-Tirmidz: 662, dan al-Nasa’i:2293).
Pada hakikatnya niat harus berbarengan dengan pekerjaan pertama dalam sebuah ibadah. Sebagaimana niat wudhu yang harus dibarengkan dengan membasuh muka, niat shalat dibarengakan dengan takbiratul iharam, maka begitu pula puasa seharusnya dibarengkan dengan waktu terbitnya fajar. Namun karena membarengkan niat puasa dengan awal fajar sangatlah susah, maka niat puasa boleh dimulai semenjak malam harinya. Karena jika sampai niat itu baru dinyatakan setelah terbitnya fajar, maka puasa dianggap tidak sah. Kecuali puasa sunnah, maka niat setelah fajar, bahkan di pagi haripun boleh.
Adapun dalil yang menjelaskan waktu mengucapkan niat untuk puasa sunnah, bisa dilakukan setelah terbit fajar, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَلَّيَّ رَسُولُ اللهِ صَلِّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقُلْنَا لَا فَقَالَ: فَاِنِّي اِذًنْ صَائِمٌ. ثُمَّ اَتَانَا يَوْمًا اَخَرَ، فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ اُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: اَرِيْنِيْهِ فَلَقَدْ اَصْبَحْتُ صَائِمًا فَاَكَلَ
Dari Aisyah r.a, ia menuturkan, suatu hari Nabi s.a.w, dating kepadaku dan bertanya, “apakah kamu punya sesuatu untuk dimakan?”. Aku menjawab, “Tidak”. Maka Belaiu bersabda, “hari ini aku puasa”. Kemudian pada hari yang lain Beliau dating lagi kepadaku, lalu aku katakana kepadanya, “wahai Rasulullah, kami diberi hadiah makanan (haisun)”. Maka dijawab Rasulullah, “tunjukkan makanan itu padaku, sesungguhnya sejak pagi aku sudah berpuasa” lalu Beliau memekannya. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Daud: 2099, al-Tirmidzi; 666, al-Nasa’i:2283, dan Ahmad:24549).
Adapun rukun yang kedua adalah adalah menahan diri dari segala perbuatan yang dapat membatalkan puasa, dan untuk detailnya apa-apa yang membatalkan puasa akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya tentang sesuatu yang membatalkan puasa.
...فَاْلئَنَ باَشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ ثُمَّ اَتِّمُوْا الصِّيَامَ اِلَى اللَّيْلِ...
“…maka sekarang campurilah, dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, serta makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai waktu malam tiba...(QS. al-Baqarah, 2: 187) (red. Ulil H)

Sunnah Puasa

Sunnah PuasaYang dimaksud dengan sunnah puasa adalah segala perbuatan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad s.a.w (disunnahkan) ketika sedang melakukan ibadah puasa, diantaranya Pertama, Menyegerakan Berbuka Puasa Ketika waktu magrib telah tiba atau waktu diperbolehkannya untuk berbuka puasa bagi semua muslim yang menjalankannya, maka dianjurkan untuk segera berbuka puasa dari pada menjalankan ibadah-ibadah yang lainnya, termasuk diantaranya menjalankan ibadah sholat maghrib.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوااْلفِطْرَ.
Diceritakan dari Sahal Ibn Sa’ad, Rasulullah s.a.w, bersabda:”manusia selamanya dalam kebaikan, selama ia menyegerakan berbuka puasa” (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, Membaca Do’a Berbuka Puasa. Membaca do’a berbuka puasa sebelum membatalkan puasa itu perbuatan yang dianjurkan oleh nabi Muhammad s.a.w, sebagai mana sabdanya:
عَنِ ابْنِ عَمْرٍ كَانَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا اَفْطَرَ قَالَ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمْاءُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْاَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ
Diceritakan dari Ibnu Umar; Rasulullah s.a.w, apabila berbuka buasa, ia berdo’a: “wahai Tuhanku, karena Engkau aku berpuasa, dan atas rizkimu aku berbuka, maka sirnahlah rasa dahaga dan urat-uratku sekarang jadi basah, dan semoga pahala puasanya tetap kalau Engakau menghendaki. (Hadits Shahihm riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Ketiga, Berbuka dengan Makan Buah Kurma atau Minum Air Putih. Berbuka puasa diawali dengan memakan buah kurma, dan apabila tidak menemukan buah kurma atau tidak memilikinya, maka dianjurkan untuk meminum air putih terlebih dahulu sebelum memakan dan minum yang lainnya.
عَنْ اَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ اَنْ يُصَلِّيَ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمْرَاتٍ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Dari Anas r.a; “Nabi s.a.w, apbila ia berbuka puasa denga kurma gemading, sebelum Beliau shalat, apabila tidak ditemukannya, ia berbuka dengan kurma biasa, kalau tidak ditemukannya, Beliau berbuka dengan beberapa teguk dari air putih”. ( Hadits Shahih, riwayat Abu Daud dan al-Tirmidzi)

Keempat, Makan Sahur Sesudah Tengah Malam. Makan sahur sesudah tengah malam, dengan maksud supaya menambah kekuatan ketika puasa.
عَنْ اَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَسَحَّرُوا فَاِنَّ فِى السُّحُوْرِ بَرَكَةٌ
Dari Anas r.a; Rasulullah s.a.w, bersabda: “makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terkandung berkah”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Kelima Mengakhirkan SahurSahur atau memakan sesuatu di malam hari dengan tujuan memperkuat diri untuk dapat menjalankan ibadah puasa keesokan harinya, maka dianjurkan mengakhirkannya sebelum waktu shubuh tiba.
عَنْ اَبِي ذَرٍّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَزَالُ اُمَّتِي بِخَيْرٍ مَااَخَّرُوا السَّحُوْرَ وَعَجَّلُوْا اَلْفِطْرَ
Dari Abu Dzar r.a: Rasulullah s.a.w, bersabda: tidak akan hilang sifat kebaikan pada diri manusia, selama ia mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka puasa”. (Hadits Shahih, riwayat Ahmad)
Keenam, Meninggalkan Perkataan Jelek dan Jorok. Di saat menjalankan ibadah puasa, seorang muslim dianjurkan untuk tidak berkata-kata yang tidak bermanfaat, apalagi perkataan jelek dan jorok. Semisal berbohong, menghina orang lain, menggunjing kejelekan orang lain, memfitnah orang lain dsb.
Dan apabila ia dicaci maki oleh orang lain, maka ia dianjurkan untuk mengatakan “saya sedang berpuasa” sampai dua, tiga kali ucapan, menurut Imam Nawawi dalam kitab adzkarnya. Sedangkan menurut Imam Rafi’i, ia dianjurkan untuk mangatakannya dalam hati saja sebagai pengingat agar tidak terpancing emosi. (Sumber: Risalah Puasa/Red.Ulil H)

Niat Puasa Sekaligus Sebulan di Awal Ramadhan

Niat Puasa Sekaligus Sebulan di Awal RamadhanPuasa Ramadhan berbeda dengan ibadah lain. Hal ini bisa dilihat dari ganjaran dan pernak-pernik lainnya. Kue tradisional yang tidak hadir di bulan biasa, bisa mendadak banjir begitu saja di bulan puasa. Demikian halnya dengan hasrat berbuat baik di hati banyak orang. Begitulah kalau ditinjau dari berkahnya. Demikian juga dengan niat puasa.

Kalau niat ibadah lain ditanamkan persis berbareng dengan awal rukun ibadah bersangkutan, lain halnya dengan niat puasa Ramadhan. Niat puasa Ramadhan terbilang istimewa. Niat puasa harus dipancangkan sebelum beduk subuh yang menjadi awal ibadah puasa. Kalau niat puasa dikerjakan bersamaan dengan azan subuh, terang puasanya di hari itu tidak sah.

Bagaimana kalau seseorang memasang niat puasa untuk sebulan penuh di awal Ramadhan? Dengan niat sebulan penuh itu, ia mungkin berharap tidak perlu berniat setiap malam sebelum puasa di keesokan siangnya. Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushni dalam Kifayatul Akhyar menerangkan sebagai berikut.

ولا يصح الصوم إلا بالنية للخبر. ومحلها القلب, ولايشترط النطق بها بلا خلاف, وتجب النية لكل ليلة لان كل يوم عبادة مستقلة , ألا ترى أنه لا يفسد بقية الأيام بفساد يوم منه. فلو نوى الشهر كله, صح له اليوم الأول على المذهب.

Artinya, “Puasa tidak sah tanpa niat. Keharusan niat didasarkan pada hadits. Tempat niat itu di hati. Karenanya, niat tidak disyaratkan secara lisan. Ketentuan ini disepakati bulat ulama tanpa perbedaan pendapat. Niat puasa wajib dipasang setiap malam. Karena, puasa dari hari ke hari sepanjang Ramadhan merupakan ibadah terpisah. Coba perhatikan, bukankan puasa Ramadhan sebulan tidak menjadi rusak hanya karena batal sehari? Kalau ada seseorang memasang niat puasa sebulan penuh di awal Ramadhan, maka puasanya hanya sah di hari pertama. Demikian pendapat ini madzhab.”

Karenanya, melihat keistimewaan puasa Ramadhan itu, seseorang wajib memasang niat setiap malam. Untuk menghindari lupa niat, ada baiknya ia mengikuti Tarawih berjamaah. Di samping mendapat pahala sembahyang Tarawih dan silaturahmi yang berlipat ganda itu, ia tidak akan luput dari niat puasa yang lazim dipimpin imam sebelum Tarawih bubar. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Mencicipi Masakan Saat Berpuasa

Mencicipi Masakan Saat BerpuasaMencicipi masakan untuk disuguhkan saat berbuka puasa nanti, bisa dikatakan setengah wajib. Setengah wajib di sini tidak perlu dipersoalkan serius. Yang penting, sebelum masakan meluncur ke atas meja makan, rasa masakan itu harus dipastikan sip benar di dapur. Sebab masakan yang begitu banyak garam atau terlalu adem, dapat mengganggu selera makan.

Bagaimana kalau orang yang mencicipi masakan dalam keadaan berpuasa? Jawabannya harus terang. Pasalnya keterangan ini dibutuhkan agar orang tidak perlu canggung mencicipi masakannya demi menyuguhkan masakan dengan rasa yang pas sesuai selera.

Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitabnya, Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab menyebutkan demikian.

وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي

“Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankannya lantaran begitu dominannya syahwat. Posisi makruhnya itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Berbeda lagi bunyi hukum untuk tukang masak baik pria maupun wanita, dan orang tua yang berkepentingan mengobati buah hatinya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian Az-Zayadi menerangkan.”

Singkat cerita, mencicipi masakan bagi mereka yang puasa sejauh ia berkepentingan yang dibenarkan syar’i tidak masalah,makruh pun tidak. Asal saja, usai dicicipi segera dikeluarkan kembali. Jangan ditahan lama-lama, apalagi ditelan. Kalau ditelan bukan hanya haram, tetapi juga membatalkan puasa. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Batalnya Pahala Puasa

Pada dasarnya hakikat puasa adalah al-imsak yaitu menahan. Menahan diri dari berbagai hal-hal yang membatalkan puasa dan yang membatalkan pahala puasa. Banyak orang berhasil melakukan puasa dengan menahan ini dari berbagai hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi mereka tidak berhasil mendapatkan pahala.
Inilah yang dimaksud dengan hadits Rasulullah
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلاَّ الْجُوْعُ وَ الْعَطَشُ...
“Betapa banyak orang-orang yang berpuasa tidak mendapatkan balasan kecuali lapar dan haus”.
Oleh karena itu perlu kiranya diterangkan berbagai hal yang memabatalkan pahala puasa, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Bafadhal pada Hamisyi Al-Hawasyil Al-Madaniyyah:
ويسن له ترك الشهوات المباحة التى لاتبطل الصوم من التلذذ بمسموع ومبصر وملموس ومشموم كشم ريحان ولمسه والنظر اليه لما فى ذلك من الترفه الذى لا ينسب حكمة الصوم ويكره له ذلك كله كدخول الحمام
Disunatkan bagi orang yang berpuasa meninggalkan syahwat yang (meskipun) diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa seperti terlalu asyik mendengar, melihat, menyentuh, seperti mencium bunga, menyentuh dan memandanginya. Sesungguhnya keasyikan yang demikian ini tidak sesuai dengan hikmah puasa. Oleh karena itulah hukumnya menjadi makruh. Begitu pula hal serupa yang lain seperti masuk ke pemandian.
Pembahasan di atas dalam kaca mata fiqih hanya menerangkan tentang hal-hal yang dianggap makruh jika dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa, dan tidak sampai membatalkan puasa. Akan tetapi jika dilihat secara komprehensif, sesungguhnya di dalam kemakruhan itulah terletak dorongan syahwat yang dapat membatalkan pahala puasa, karena dianggap berlawanan dengan hikmah puasa itu sendiri.
Dalam konteks kekinian berbagai hal yang mengasyikkan itu adalah berbagai macam kegiatan yang dapat melalaikan kita dari mengingat (hal-hal yang diwajibkan) Allah, seperti menyibukkan diri bermain game (Game Online, Play Stastion, catur dll) terus-terusan mengisi puasa dengan nonton film, acara televisi, ataupun berkumpul dan berbincang dengan teman. Semua ini memang bukan membatalkan puasa tetapi dapat membatalkan pahala puasa. (red.Ulil H)
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger