Fasal Tentang I'tikaf I'tikaf artinya berdiam di dalam masjid dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pada setiap bulan Ramadhan selama 10 hari yang terakhir, selalu melaksanakan i'tikaf. Bahkan secara khusus --pada tahun wafatnya--, beliau beri'tikaf pada bulan Ramadhan itu selama 20 hari, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibu Hurairah.
Pelaksanaan i 'tikaf oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat selama 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan itu erat kaitannya dengan Lailatul Qadar. Dalam artian, Nabi dan para shahabat beri'tikaf atau bertekun ibadah untuk berjaga-jaga ketika turun Lailatul Qadar.
Sedikit pun tidak disangsikan lagi bahwa, tempat pelaksanaan i'tikaf itu adalah masjid. Namun, masalahnya adalah masjid yang mana? Sementara Rasulullah SAW melaksanakan i'tikaf di masjidnya sendiri, yakni masjid Nabawi di Madinah. Oleh sebab itulah, ada banyak pendapat mengenai dimana seharusnya i'tikaf itu dilaksanakan. Lantaran pengertian masjid tempat i 'tikaf yang ditunjukkan Al Qur'an dianggap masih relatif.
Firman Allah SWT:
"Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS Al Baqarah 2: 187)
Pendapat pertama; i'tikaf itu hanya dapat dilaksanakan di 3 masjid. Yakni Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits yang menjelaskan bahwa, dilarang atau tidak akan diberangkatkan kendaraan kecuali menuju 3 masjid tersebut di atas.
Pendapat kedua, menyatakan; i'tikaf itu harus dilaksanakan di Masjid Jami'. Yakni masjid yang biasa digunakan untuk mendirikan shalat 5 waktu berjamaah dan ibadah Jum'at. Pendapat ini mungkin tepat, jika dikaitkan bahwa i'tikaf yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW itu di masjidnya sendiri yang termasuk dalam kategori Masjid Jami'.
Menurut pendapat kami, jika kita perhatikan Al-Baqarah ayat 187 sebagaimana tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengertian masjid yang dinyatakan itu sifatnya umum. Lantaran tidak diikuti dengan satupun nama masjid tertentu. Baik dari ketiga masjid sebagaimana pendapat di atas, maupun selain Masjid Jami'.
Dengan demikian, mengacu pada lahirnya ayat ini, dapat diambil kesimpulan bahwa; i'tikaf dapat dilaksanakan di Masjid Jami' dan lainnya seperti mushalla misalnya; Walaupun memang, i'tikaf Ramadhan itu lebih baik dilaksanakan di Masjid Jami', supaya ketika harus melaksanakan kewajiban ibadah Jum'at misalnya, ia tak perlu lagi keluar dari masjid tempat i'tikafnya menuiu Masiid Jami'.
Apakah yang Dikerjakan Ketika Beri'tikaf?
Sesuai dengan tujuan i'tikaf yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka orang yang sedang i'tikaf hendaknya memperbanyak amal ibadah. Misalnya, dengan cara; shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, istighfar, shalawat Nabi, serta memperbanyak do 'a dan tafakkur. Begitu pula dapat dengan cara melakukan kebajikan lainnya, seperti; mempelajari tafsir, hadits, dan atau ilmu-ilmu agama Islam lainnya. Orang yang sedang beri'tikaf hendaknya menghindari segala hal yang tidak ada manfaatnya, baik dalam perbuatan maupun ucapan.
Sabda Rasulullah SAW bersabda:
"Di antara kebaikan seorang Islam adalah, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmitzi dan Ibnu Majah, dari Abu Bashrah)
Daam konteks i'tikaf, termasuk dalam hal yang tidak bermanfaat adalah, berdiam diri dengan sia-sia. Jadi, bukan berdiam karena tafakkur.
Orang yang sedang i'tikaf, wajib melaksanakan segala sesuatu yang merupakan unsur atau hakikat dari i'tikaf itu sendiri. Lantaran unsur-unsur itulah yang disebut sebagai rukun. Niat misalnya, yang wajib dilaksanakan untuk setiap ibadah, juga wajib dilaksanakan ketika i'tikaf. Karena petunjuk secara umum dalam suatu hadits telah jelas, bahwa setiap ibadah wajib disertai dengan niat.
Selain itu, orang yang sedang beri'tikaf juga wajib tinggal di dalam masjid, lantaran tinggal di dalam masjid merupakan unsur penentu untuk dapat disebut i'tikaf.
Orang-orang yang sedang i'tikaf juga wajib menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya. Seperti, bersetubuh dan keluar dari masjid tanpa alasan yang sah.
Dapatkah I'tikaf Dilaksanakan Setiap Saat?
Sejauh yang kami dapat dari keterangan berbagai hadits, i'tikaf itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW hanya pada bulan Ramadhan. Dan walaupun pernah dilaksanakan pula olehnya pada 10 hari pertama bulan Syawal, hanya sebagai pengganti i'tikaf Rama¬dhan, yang gagallantaran satu dan lain hal.
Maka boleh jadi, dengan hanya mengambil kesimpulan dari berbagai hadits yang mengungkap tentang i'tikaf Ramadhan, muncul suatu pendapat yang menyatakan bahwa, i'tikaf tidak disunnatkan secara mutlak sebagai suatu bentuk ibadah yang dapat dilaksanakan setiap saat. Pendapat ini, memang cukup beralasan.
Namun menurut kami, jika kita berbicara mengenai perintah melaksanakan nadzar i'tikaf, sebagaimana perintah Rasulullah SAW kepada 'Umar bin Khattab untuk memenuhi nadzar i'tikafnya, maka di dalamnya nampak jelas terkandung pengertian bahwa i'tikaf berarti suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Atau dengan kata lain, i'tikaf adalah suatu ibadah yang dapat dilaksanakan setiap waktu, jika memang kita kehendaki. Seandainya i'tikaf tidak termasuk sebagai suatu bentuk ketaatan kepada-Nya, maka tentu saja Umar bin Khattab tidak akan diperintah untuk memenuhi nadzar i'tikafnya.
Sabda Rasulullah SAW:
"Siapapun yang telah bematzar akan berbuat taat kepadaAllah, maka laksanakanlah natzar tersebut." (HR. Bukhari)
Selain itu --sebagai tambahan-- terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan melaksanakan natzar yang tidak membawa nilai kebaikan atau ketaatan kepada Allah SWT sebagai ibadah. Dengan demikian, nampak semakin jelas bahwa i'tikaf merupakan suatu bentuk ibadah yang secara mutlak dapat dilaksanakan setiap saat, dengan mendapat pahala meskipun hanya sesaat.
Pelaksanaan i 'tikaf oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat selama 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan itu erat kaitannya dengan Lailatul Qadar. Dalam artian, Nabi dan para shahabat beri'tikaf atau bertekun ibadah untuk berjaga-jaga ketika turun Lailatul Qadar.
Sedikit pun tidak disangsikan lagi bahwa, tempat pelaksanaan i'tikaf itu adalah masjid. Namun, masalahnya adalah masjid yang mana? Sementara Rasulullah SAW melaksanakan i'tikaf di masjidnya sendiri, yakni masjid Nabawi di Madinah. Oleh sebab itulah, ada banyak pendapat mengenai dimana seharusnya i'tikaf itu dilaksanakan. Lantaran pengertian masjid tempat i 'tikaf yang ditunjukkan Al Qur'an dianggap masih relatif.
Firman Allah SWT:
وَأنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS Al Baqarah 2: 187)
Pendapat pertama; i'tikaf itu hanya dapat dilaksanakan di 3 masjid. Yakni Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits yang menjelaskan bahwa, dilarang atau tidak akan diberangkatkan kendaraan kecuali menuju 3 masjid tersebut di atas.
Pendapat kedua, menyatakan; i'tikaf itu harus dilaksanakan di Masjid Jami'. Yakni masjid yang biasa digunakan untuk mendirikan shalat 5 waktu berjamaah dan ibadah Jum'at. Pendapat ini mungkin tepat, jika dikaitkan bahwa i'tikaf yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW itu di masjidnya sendiri yang termasuk dalam kategori Masjid Jami'.
Menurut pendapat kami, jika kita perhatikan Al-Baqarah ayat 187 sebagaimana tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengertian masjid yang dinyatakan itu sifatnya umum. Lantaran tidak diikuti dengan satupun nama masjid tertentu. Baik dari ketiga masjid sebagaimana pendapat di atas, maupun selain Masjid Jami'.
Dengan demikian, mengacu pada lahirnya ayat ini, dapat diambil kesimpulan bahwa; i'tikaf dapat dilaksanakan di Masjid Jami' dan lainnya seperti mushalla misalnya; Walaupun memang, i'tikaf Ramadhan itu lebih baik dilaksanakan di Masjid Jami', supaya ketika harus melaksanakan kewajiban ibadah Jum'at misalnya, ia tak perlu lagi keluar dari masjid tempat i'tikafnya menuiu Masiid Jami'.
Apakah yang Dikerjakan Ketika Beri'tikaf?
Sesuai dengan tujuan i'tikaf yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka orang yang sedang i'tikaf hendaknya memperbanyak amal ibadah. Misalnya, dengan cara; shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, istighfar, shalawat Nabi, serta memperbanyak do 'a dan tafakkur. Begitu pula dapat dengan cara melakukan kebajikan lainnya, seperti; mempelajari tafsir, hadits, dan atau ilmu-ilmu agama Islam lainnya. Orang yang sedang beri'tikaf hendaknya menghindari segala hal yang tidak ada manfaatnya, baik dalam perbuatan maupun ucapan.
Sabda Rasulullah SAW bersabda:
مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ
"Di antara kebaikan seorang Islam adalah, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmitzi dan Ibnu Majah, dari Abu Bashrah)
Daam konteks i'tikaf, termasuk dalam hal yang tidak bermanfaat adalah, berdiam diri dengan sia-sia. Jadi, bukan berdiam karena tafakkur.
Orang yang sedang i'tikaf, wajib melaksanakan segala sesuatu yang merupakan unsur atau hakikat dari i'tikaf itu sendiri. Lantaran unsur-unsur itulah yang disebut sebagai rukun. Niat misalnya, yang wajib dilaksanakan untuk setiap ibadah, juga wajib dilaksanakan ketika i'tikaf. Karena petunjuk secara umum dalam suatu hadits telah jelas, bahwa setiap ibadah wajib disertai dengan niat.
Selain itu, orang yang sedang beri'tikaf juga wajib tinggal di dalam masjid, lantaran tinggal di dalam masjid merupakan unsur penentu untuk dapat disebut i'tikaf.
Orang-orang yang sedang i'tikaf juga wajib menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya. Seperti, bersetubuh dan keluar dari masjid tanpa alasan yang sah.
Dapatkah I'tikaf Dilaksanakan Setiap Saat?
Sejauh yang kami dapat dari keterangan berbagai hadits, i'tikaf itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW hanya pada bulan Ramadhan. Dan walaupun pernah dilaksanakan pula olehnya pada 10 hari pertama bulan Syawal, hanya sebagai pengganti i'tikaf Rama¬dhan, yang gagallantaran satu dan lain hal.
Maka boleh jadi, dengan hanya mengambil kesimpulan dari berbagai hadits yang mengungkap tentang i'tikaf Ramadhan, muncul suatu pendapat yang menyatakan bahwa, i'tikaf tidak disunnatkan secara mutlak sebagai suatu bentuk ibadah yang dapat dilaksanakan setiap saat. Pendapat ini, memang cukup beralasan.
Namun menurut kami, jika kita berbicara mengenai perintah melaksanakan nadzar i'tikaf, sebagaimana perintah Rasulullah SAW kepada 'Umar bin Khattab untuk memenuhi nadzar i'tikafnya, maka di dalamnya nampak jelas terkandung pengertian bahwa i'tikaf berarti suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Atau dengan kata lain, i'tikaf adalah suatu ibadah yang dapat dilaksanakan setiap waktu, jika memang kita kehendaki. Seandainya i'tikaf tidak termasuk sebagai suatu bentuk ketaatan kepada-Nya, maka tentu saja Umar bin Khattab tidak akan diperintah untuk memenuhi nadzar i'tikafnya.
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ نَذَرَ أنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِيْعُهُ
"Siapapun yang telah bematzar akan berbuat taat kepadaAllah, maka laksanakanlah natzar tersebut." (HR. Bukhari)
Selain itu --sebagai tambahan-- terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan melaksanakan natzar yang tidak membawa nilai kebaikan atau ketaatan kepada Allah SWT sebagai ibadah. Dengan demikian, nampak semakin jelas bahwa i'tikaf merupakan suatu bentuk ibadah yang secara mutlak dapat dilaksanakan setiap saat, dengan mendapat pahala meskipun hanya sesaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar