Home » » Perang Padri ; Pemimpin Baru Tuanku Mudo Imam Bonjol

Perang Padri ; Pemimpin Baru Tuanku Mudo Imam Bonjol

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 05 Juli 2011 | 07.54


Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.
Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber¬ada di dalam kekuasaan kaum Padri.
Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.
Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.
Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari diangkat seorang ‘Imam dan seorang Kadhi’. Imam bertugas memimpin peribadahan seperti sembah¬yang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari’at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum.
Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin Muning Syah.
Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau agama.
Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang bertindak sebagai Pang¬lima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya.
Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau masih belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjut¬nya diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.
Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, jika kaum Padri berkuasa.
Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang¬kabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat di¬rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.
Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.
Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak men¬jadi perkelahian dan pertumpahan darah.
Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarga¬nya mati terbunuh dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.
Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.
Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.
Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid¬nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo untuk membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani.
Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya ‘Benteng Bonjol’ yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.
Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku Mudo yang bertindak sebagai ‘imam’ dari masyarakat benteng Bonjol, yang sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tuanku Mudo digelari dengan ‘Imam Bonjol’.
Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.
Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian diangkat menjadi pe¬mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.
Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedangkan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di sini bagitu setia untuk menjalankan syari’at Islain secara penuh, sesuai dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger