Home » » BAGIAN KEDUAPULUH EMPAT: PEMBEBASAN MEKAH

BAGIAN KEDUAPULUH EMPAT: PEMBEBASAN MEKAH

Written By Moh Wahyudi on Rabu, 06 Juli 2011 | 05.36

Muhammad Husain Haekal
 
Pengaruh Mu'ta - Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiya
- Khuza'a meminta bantuan Nabi - Utusan Abu Sufyan
kepada Nabi - Sepuluh ribu Muslimin siap ke Mekah -
Harapan Muhammad tanpa pertumpahan darah membebaskan
Mekah - Abbas berangkat menemui Abu Sufyan - Muslimin
datang membebaskan - Muhammad memaafkan musuhnya semua
- Ka'bah dibersihkan dari berhala - Islamnya penduduk
Mekah.
 
DI BAWAH pimpinan Khalid bin'l-Walid pasukan Muslimin kini
kembali pulang setelah terjadi peristiwa Mu'ta itu. Mereka
kembali tidak membawa kemenangan, juga tidak membawa
kekalahan. Mereka kembali pulang dengan senang hati.
 
Penarikan mundur ini setelah - Zaid b. Haritha, Ja'far b. Abi
Talib dan Abdullah b. Rawaha tewas - telah meninggalkan kesan
yang berlain-lainan sekali pada pihak Rumawi, pada pihak
Muslimin yang tinggal di Medinah dan pada pihak Quraisy di
Mekah. Rumawi merasa gembira sekali dengan penarikan mundur
pasukan Muslimin itu. Mereka sudah merasa bersyukur, sebab
pertempuran itu tidak sampai berlangsung lama, meskipun
tentara Rumawi terdiri dari seratus ribu menurut satu sumber,
- atau dua ratus ribu menurut sumber yang lain, - sementara
pasukan Muslimin terdiri dari tiga ribu orang. Kegembiraan
pihak Rumawi itu - baik disebabkan oleh ketangkasan Khalid
bin'l-Walid dalam bertahan mati-matian dengan kekuatannya
dalam mengadakan serangan, sehingga ia menghabiskan sembilan
pedang yang patah di tangannya ketika bertempur setelah
tewasnya tiga sahabatnya itu, atau disebabkan oleh
kecerdikannya dalam mengatur dan membagi-bagi pasukannya pada
hari kedua dan yang telah menimbulkan hiruk-pikuk sehingga
pihak Rumawi mengira bahwa bala bantuan telah didatangkan dari
Medinah - namun kabilah-kabilah Arab yang tinggal di
perbatasan dengan Syam sangat kagum sekali melihat tindakan
Muslimin ketika itu.

Karena peristiwa itu pula salah seorang pemimpin mereka (Farwa
b. 'Amr al-Judhami, seorang komandan pasukan Rumawi) langsung
menyatakan diri masuk Islam. Akan tetapi, atas perintah
Heraklius dia kemudian ditangkap dengan tuduhan berkhianat.
Sungguh pun begitu Heraklius masih bersedia membebaskannya
kembali asal saja ia mau kembali ke dalam pangkuan agama
Nasrani, bahkan ia bersedia mengembalikannya pada jabatan
semula sebagai komandan pasukan. Tetapi Farwa menolak dan
tetap menolak dengan tetap bertahan dalam keislamannya,
sehingga akhirnya ia dibunuh juga. Tetapi karena itu pula
Islam makin luas tersebar di kalangan kabilah-kabilah Najd
yang berbatasan dengan Irak dan Syam. Ketika itu di sana
Rumawi sedang berada dalam puncak kekuasaannya.
 
Dengan bertambah banyaknya orang masuk ke dalam agama baru ini
Kerajaan Bizantium makin goyah kedudukannya, sehingga ada
penguasa Heraklius, yang bertugas membayar gaji militer,
ketika itu berkata lantang kepada orang-orang Arab Syam yang
ikut dalam perang; "Lebih baik kalian menarik diri. Kerajaan
dengan susah payah baru dapat membayar gaji angkatan
perangnya. Untuk makanan anjingnya pun sudah tidak ada."
 
Tidak heran kalau mereka lalu meninggalkan kerajaan dan
meninggalkan angkatan perangnya. Sebaliknya, agama baru ini
makin cemerlang sinarnya memancar dihadapan mereka, yang akan
mengantarkan mereka kepada kebenaran yang lebih tinggi, yang
akan menjadi tujuan umat manusia. Itu pula sebabnya, selama
waktu itu saja ribuan orang telah masuk Islam, yang terdiri
dari kabilah Sulaim dengan pemimpinnya Al-'Abbas ibn Mirdas,
kabilah-kabilah Asyja' dan Ghatafan yang dahulu sudah
bersekutu dengan Yahudi sampai hancurnya Yahudi di Khaibar,
demikian juga kabilah-kabilah 'Abs, Dhubyan dan Fazara.
Peristiwa Mu'ta ini jugalah yang telah imemudahkan persoalan
bagi Muslimin di bagian utara Medinah sampai ke perbatasan
Syam itu, dan ini pula yang telah membuat Islam lebih
terpandang dan lebih kuat.
 
Akan tetapi buat Muslimin yang tinggal di Medinah pengaruhnya
lain lagi. Bilamana mereka melihat Khalid dan pasukannya
kembali dari perbatasan Syam tidak membawa kemenangan atas
pasukan Heraklius, mereka bersorak-sorak mengatakan: "He
orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!" Beberapa
orang anggota pasukan itu merasa demikian malu sampai ada yang
tidak berani keluar rumah, supaya jangan lagi diperolok-olok
oleh anak-anak dan pemuda-pemuda Muslimin dengan tuduhan
melarikan diri itu.
 
Sebaliknya di mata Quraisy, akibat Mu'ta itu dipandang oleh
mereka sebagai suatu kehancuran dan pukulan berat buat
Muslimin, sehingga tak ada lagi orang yang mau menghiraukan
mereka atau menganggap penting segala perjanjian dengan
mereka. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum
'umrat'l-qadza'. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum
Perjanjian Hudaibiya. Biarlah orang-orang Quraisy kembali lagi
menyerang kaum Muslimin dan siapa saja yang masih terikat
perjanjian dengan mereka tanpa harus merasa takut ada tindakan
hukum dari Muhammad.

Perdamaian Hudaibiya antara lain sudah menentukan, bahwa
barangsiapa yang ingin masuk kedalam persekutuan dengan
Muhammad boleh saja, dan barangsiapa ingin masuk kedalam
persekutuan dengan pihak Quraisy juga boleh. Ketika itu
Khuza'a masuk bersekutu dengan Muhammad sedang Banu Bakr
dengan pihak Quraisy. Sebenarnya antara Khuza'a dengan Banu
Bakr ini sudah lama timbul permusuhan yang baru reda setelah
ada perjanjian Hudaibiya, masing-masing kabilah menggabungkan
diri dengan pihak yang mengadakan perdamaian itu.
 
Dengan adanya peristiwa yang telah terjadi di Mu'ta itu,
sekarang terbayang oleh Quraisy bahwa Muslimin pasti mengalami
kehancuran. Sudah terbayang oleh Banu'd-Dil, sebagai bagian
dari Banu Bakr b. 'Abd Manat, bahwa sekarang sudah tiba
waktunya akan membalas dendam lamanya kepada Khuza'a, ditambah
lagi memang ada segolongan orang dari pihak Quraisy yang ikut
mendorong, diantaranya 'Ikrima b. Abi Jahl dan beberapa orang
pemimpin Quraisy lainnya yang sekalian memberikan bantuan
senjata.

Malam itu pihak Khuza'a sedang berada di tempat pangkalan air
milik mereka sendiri yang bernama al-Watir, oleh pihak Banu
Bakr mereka diserang dengan tiba-tiba sekali dan beberapa
orang dari pihak Khuza'a dibunuh. Sekarang Khuza'a lari ke
Mekah, berlindung kepada keluarga Budail b. Warqa, dengan
mengadukan perbuatan Quraisy dan Banu Bakr yang telah
melanggar perjanjian dengan Rasulullah itu. Untuk itu 'Amr b.
Salim dari Khuza'a cepat-eepat pula pergi ke Medinah. Dan bila
ia sudah menghadap Muhammad yang ketika itu sedang dalam
mesjid dengan beberapa orang, diceritakannya apa yang telah
terjadi itu dan ia meminta pertolongannya.
 
"'Amr b. Salim, mesti engkau dibela," kata Rasulullah.
 
Sesudah itu Budail b. Warqa, bersama beberapa orang dari pihak
Khuza'a kemudian berangkat pula ke Medinah. Mereka melaporkan
kepada Nabi mengenai nasib yang mereka alami itu serta adanya
dukungan Quraisy kepada Banu Bakr. Melihat apa yang telah
dilakukan Quraisy dengan merusak perjanjian itu, maka tak ada
jalan lain menurut Nabi, Mekah harus dibebaskan. Untuk itu ia
bermaksud mengutus orang kepada kaum Muslimin di seluruh
jazirah supaya bersiap-siap menantikan panggilan yang belum
mereka ketahui apa tujuannya panggilan demikian itu.

Sebaliknya orang-orang yang dapat berpikir lebih bijaksana di
kalangan Quraisy, mereka sudah dapat menduga bahaya apa yang
akan timbul akibat tindakan 'Ikrima dan kawan-kawannya dari
kalangan pemuda itu. Kini persetujuan Hudaibiya sudah
dilanggar, dan pengaruh Muhammad di seluruh jazirah sekarang
sudah bertambah kuat. Sekiranya apa yang telah terjadi itu
dipikirkan, bahwa pihak Khuza'a akan menuntut balas terhadap
penduduk Mekah, pasti Kota Suci itu akan sangat terancam
bahaya. Jadi apa yang harus mereka lakukan sekarang?
 
Mereka mengutus Abu Sufyan ke Medinah, dengan maksud supaya
persetujuan itu diperkuat kembali dan diperpanjang waktunya.
Barangkali waktu yang sudah itu berlaku untuk dua tahun,
sekarang mereka mau supaya menjadi sepuluh tahun.

Abu Sufyan, sebagai pemimpin mereka dan sebagai orang yang
bijaksana di kalangan mereka kini berangkat menuju Medinah.
Ketika sampai di 'Usfan dalam perjalanannya itu ia bertemu
dengan Budail b. Warqa, dan rombongannya. Ia kuatir Budail
sudah menemui Muhammad dan melaporkan apa yang telah terjadi.
Hal ini akan lebih mempersulit tugasnya. Tetapi Budail
membantah bahwa ia telah menemui Muhammad. Sungguhpun begitu,
dari kotoran binatang tunggangan Budail itu ia mengetahui,
bahwa orang itu memang dari Medinah. Oleh karena itulah, ia
tidak akan langsung menemui Muhammad lebih dulu, melainkan
akan menuju ke rumah puterinya, Umm Habiba, isteri Nabi.
 
Mungkin ia (Umm Habiba) memang sudah mengetahui rasa kasih
sayang Nabi kepada Quraisy meskipun ia belum mengetahui apa
yang sudah menjadi keputusannya mengenai Mekah. Dan mungkin
juga semua Muslimin yang ada di Medinah demikian.
 
Waktu itu Abu Sutyan sudah akan duduk di lapik yang biasa
diduduki Nabi, tapi oleh Umm Habiba lapik itu segera
dilipatnya. Lalu oleh ayahnya ia ditanya, melipat lapik itu
karena ia sayang kepada ayah, ataukah karena sayang kepada
lapik.
 
"Ini lapik Rasulullah s.a.w.," jawabnya. "Ayah orang musyrik
yang kotor. Saya tidak ingin ayah duduk di tempat itu."
 
"Sungguh engkau akan mendapat celaka, anakku," kata Abu
Sufyan. Lalu ia keluar dengan marah.

Sesudah itu ia pergi menemui Muhammad, bicara mengenai
perjanjian serta perpanjangan waktunya. Tetapi Nabi tidak
memberikan jawaban samasekali. Selanjutnya ia pergi menemui
Abu Bakr supaya membicarakan maksudnya itu dengan Nabi. Tetapi
Abu Bakr juga menolak. Sekarang Umar bin'l-Khattab yang
dijumpainya. Tetapi Umar memberikan jawaban yang cukup keras:
"Aku mau menjadi perantara kamu kepada Rasulullah? Sungguh,
kalau yang ada padaku hanya remah, pasti dengan itu pun akan
kulawan engkau." Seterusnya ia menemui Ali b. Abi Talib, dan
Fatimah ada di tempat itu. Dikemukakannya maksud kedatangannya
itu dan dimintanya supaya ia menjadi perantaranya kepada
Rasul. Tetapi Ali mengatakan dengan lemah-lembut bahwa tak ada
orang yang akan dapat menyuruh Muhammad menarik kembali
sesuatu yang sudah menjadi keputusannya. Selanjutnya utusan
Quraisy itu meminta pertolongan Fatimah supaya Hasan - anaknya
- berusaha memintakan perlindungan di kalangan khalayak ramai.
 
"Tak ada orang akan berbuat demikian itu dengan maksud akan
dihadapkan kepada Rasulullah," jawab Fatimah.
 
Sekarang keadaannya jadi makin gawat buat Abu Sufyan. Ia
meminta pendapat Ali.
 
"Sungguh saya tidak tahu, apa yang kiranya akan berguna buat
kau," jawab Ali. "Tetapi engkau pemimpin Banu Kinana. Cobalah
minta perlindungan kepada orang ramai; sesudah itu, pulanglah
ke negerimu. Saya kira ini tidak cukup memuaskan. Tapi hanya
itu yang dapat saya usulkan kepadamu."
 
Abu Sufyan lalu pergi ke mesjid dan di sana ia mengumumkan
bahwa ia sudah meminta perlindungan khalayak ramai. Kemudian
ia menaiki untanya dan berangkat pulang ke Mekah dengan
membawa perasaan kecewa karena rasa hina yang dihadapinya dari
anaknya sendiri dan dari orang-orang - yang sebelum mereka
hijrah - pernah mengharapkan belas-kasihannya.
 
Abu Sufyan kembali ke Mekah. Kepada masyarakatnya ia
melaporkan segala yang dialaminya selama di Medinah serta
perlindungan yang dimintanya dari masyarakat ramai atas saran
Ali, dan bahwa Muhammad belum memberikan persetujuannya.
 
"Sial!" kata mereka. "Orang itu lebih-lebih lagi mempermainkan
kau."
 
Lalu mereka kembali lagi mengadakan perundingan.

Sebaliknya Muhammad, ia berpendapat tidak akan memberikan
kesempatan mereka mengadakan persiapan untuk memeranginya.
Oleh karena ia sudah percaya pada kekuatan sendiri dan pada
pertolongan Tuhan kepadanya, ia berharap akan dapat menyergap
mereka dengan tiba-tiba, sehingga mereka tidak lagi sempat
mengadakan perlawanan dan dengan demikian mereka menyerah
tanpa pertumpahan darah.
 
Oleh karena itu diperintahkannya supaya orang bersiap-siap.
Dan setelah persiapan selesai, diberitahukan kepada mereka,
bahwa kini ia siap berangkat ke Mekah, dan diperintahkan pula
supaya mereka cepat-cepat. Sementara itu ia berdoa kepada
Tuhan mudah-mudahan Quraisy tidak sampai mengetahui berita
perjalanan Muslimin itu.

Ketika tentara Muslimin sudah siap-siap akan berangkat, Hatib
b. Abi Balta'a mengirim sepucuk surat di tangan seorang wanita
dari Mekah, budak salah seorang Banu 'Abd'l-Muttalib bernama
Sarah dengan dlberi upah supaya surat itu disampaikan kepada
pihak Quraisy, yang isinya memberitahukan, bahwa Muhammad
sedang mengadakan persiapan hendak menghadapi mereka.
Sebenarnya Hatib orang besar dalam Islam. Tapi sebagai
manusia, dari segi kejiwaannya ia mempunyai beberapa
kelemahan, yang kadang cukup menekan jiwanya sendiri dan
menghanyutkannya kedalam suatu masalah yang memang tidak
dikehendakinya. Masalah ini oleh Muhammad segera pula
diketahui.
 
Cepat-cepat disuruhnya Ali b. Abi Talib dan Zubair
bin'l-'Awwam mengejar Sarah. Wanita itu disuruh turun, surat
dicarinya di tempat barang tapi tidak juga diketemukan. Wanita
itu diperingatkan, bahwa kalau surat itu tidak dikeluarkan,
merekalah yang akan membongkarnya. Melihat keadaan yang begitu
sungguh-sungguh, wanita itu berkata: Lalulah.
 
Kemudian ia membuka ikatan rambutnya dan surat itu pun
dikeluarkan, yang oleh kedua orang itu lalu dibawa kembali ke
Medinah.
 
Sekarang Hatib dipanggil oleh Muhammad dan ditanya kenapa ia
sampai berbuat demikian.
 
"Rasulullah," kata Hatib. "Demi Allah, saya tetap beriman
kepada Allah dan kepada Rasulullah. Sedikit pun tak ada
perubahan pada diri saya. Akan tetapi saya, yang tidak punya
hubungan keluarga atau kerabat dengan mereka itu, mempunyai
seorang anak dan keluarga di tengah-tengah mereka. Maka itu
sebabnya saya hendak menenggang mereka."
 
"Rasulullah," sela Umar bin'l-Khattab. "Serahkan kepada saya,
akan saya penggal lehernya. Orang ini bermuka dua."
 
"Dari mana engkau mengetahui itu, Umar," kata Rasulullall.
"Kalau-kalau Allah sudah menempatkan dia sebagai orang-orang
Badr ketika terjadi Perang Badr." Lalu katanya: "Berbuatlah
sekehendak kamu. Sudah kumaafkan kamu."
 
Dan Hatib memang orang yang ikut dalam Perang Badr. Ketika
itulah firman Tuhan datang:
 
"Orang-orang yang beriman! Janganlah musuhKu dan musuh kamu
dijadikan sahabat-sahabat kamu, dengan memperlihatkan
kasih-sayang kamu kepada mereka." (Qur'an, 60: 1)

Sekarang pasukan tentara Muslimin sudah mulai bergerak dari
Medinah menuju Mekah, dengan tujuan membebaskan kota itu serta
menguasai Rumah Suci, yang oleh Tuhan telah dijadikan tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.
 
Pasukan ini bergerak dalam suatu jumlah yang belum pernah
dialami oleh kota Medinah. Mereka terdiri dan kabilah-kabilah
Sulaim, Muzaina, Ghatafan dan yang lain, yang telah
menggabungkan diri, baik kepada Muhajirin atau pun kepada
Anshar. Mereka berangkat bersama-sama dengan mengenakan
pakaian besi. Mereka melingkar ke tengah-tengah padang sahara
yang membentang luas itu, sehingga apabila kemah-kemah mereka
sudah dikembangkan, tertutup belaka oleh debu pasir sahara
itu; sehingga karenanya orang takkan dapat melihatnya. Mereka
yang terdiri dari ribuan orang itu telah mengadakan gerak
cepat. Setiap mereka melangkah maju, kabilah-kabilah lain ikut
menggabungkan diri, yang berarti menambah jumlah dan menambah
kekuatan pula. Semua mereka berangkat dengan kalbu yang penuh
iman, bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan mendapat
kemenangan. Perjalanan ini dipimpin oleh Muhammad dengan
pikiran dan perhatian tertuju hanya hendak memasuki Rumah Suci
tanpa akan mengalirkan darah setetes sekalipun.
 
Bila pasukan ini sudah sampai di Marr'z-Zahran1 dan jumlah
anggota pasukan sudah mencapai sepuluh ribu orang, pihak
Quraisy belum juga mendapat berita. Mereka masih dalam
silang-sengketa, bagaimana caranya akan menangkis serangan
dari Muhammad.
 
Oleh Abbas b. 'Abd'l-Muttalib - paman Nabi ditinggalkannya
mereka itu dalam perdebatan dan dia sendin sekeluarga
berangkat menemui Muhammad di Juhfa.2 Boleh jadi sudah ada
orang-orang dari Banu Hasyim yang sudah menerima berita atau
semacam berita tentang kebenaran Nabi. Lalu mereka bermaksud
menggabungkan diri tanpa akan mendapat sesuatu gangguan.
 
Disamping Abbas, yang juga berangkat menyongsong ialah Abu
Sufyan bin'l-Harith b. 'Abd'l-Muttalib, sepupu Nabi, Abdullah
b. Abi Umayya bin'l-Mughira, anak bibinya. Mereka
menggabungkan diri dengan pasukan Muslimin di Niq'l-'Uqab.
Mereka berdua minta ijin akan menemui Nabi, tapi Nabi menolak.
 
"Tidak perlu aku kepada mereka," katanya kepada Umm Salama,
isterinya, ketika ia mencoba membicarakan masalah dua orang
itu. "Aku sudah banyak menderita karena anak pamanku itu.
Sedang anak bibiku, dan iparku pula, ia sudah mengatakan yang
bukan-bukan ketika ia di Mekah."
 
Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan, dan dia berkata:
 
"Demi Allah, bagiku hanyalah aku ingin diijinkan bertemu,
atau, dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana saja,
sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
 
Nabi merasa kasihan kepada mereka. Kemudian mereka pun
diijinkan masuk menemuinya, dan mereka menyatakan masuk Islam.

Menyaksikan pasukan Muslimin serta kekuatannya yang demikian
rupa, Abbas b. 'Abd'l-Muttalib sekarang merasa cemas dan
terkejut sekali. Sekalipun ia sudah masuk Islam, namun hatinya
selalu kuatir akan bencana yang akan menimpa Mekah jika
kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di seluruh
jazirah Arab itu kelak menyerbu ke dalam kota. Bukankah baru
saja ia meninggalkan Mekah, meninggalkan keluarga dan
handai-tolan, yang belum lagi terputus pertalian mereka karena
Islam yang baru dianutnya itu? Boleh jadi ia menyatakan rasa
kekuatirannya itu kepada Rasul, dan ia bertanya apa yang akan
diperbuatnya kalau pihak Quraisy minta damai. Atau boleh jadi
juga sepupunya ini yang dengan senang hati membuka pembicaraan
dengan Abbas dalam hal ini, dan diharapkannya ia menjadi
seorang utusan yang akan memberi kesan yang menakutkan kepada
sekelompok orang di kalangan Quraisy itu, sehingga kelak dapat
memasuki Mekah tanpa sesuatu pertumpahan darah dan Mekah akan
tetap dalam kesuciannya seperti dulu dan seperti yang
seharusnya akan demikian.
 
Dengan duduk di atas seekor bagal3 putih kepunyaan Nabi, Abbas
berangkat pergi ke daerah Arak, dengan harapan kalau-kalau ia
akan berjumpa dengan orang mencari kayu, atau tukang susu atau
dengan manusia siapa saja yang sedang pergi ke Mekah. Ia akan
menitipkan pesan kepada penduduk kota itu tentang kekuatan
pasukan Muslimin yang sebenarnya supaya mereka kelak menemui
Rasulullah dan minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota
dengan kekerasan.
 
Sejak pihak Muslimin berlabuh di Marr'z-Zahran, pihak Quraisy
sudah mulai merasakan adanya bahaya yang sedang mendekati
mereka. Maka diutusnya Abu Sufyan b. Harb, Budail b. Warqa'
dan Hakim b. Hizam - masih kerabat Khadijah - mencari-cari
berita serta mengajuk sampai seberapa jauh bahaya yang mungkin
mengancam mereka itu.

Sementara Abbas sedang di atas bagal Nabi yang putih itu,
tiba-tiba ia mendengar ada percakapan antara Abu Sufyan b.
Harb dengan Budail b. Warqa' sebagai berikut:
 
Abu Sufyan: "Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan
tentara seperti yang kita lihat malam ini."
 
Budail: "Tentu itu api unggun Khuza'a yang sudah dirangsang
perang."

Abbas sudah mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu dipanggilnya
dengan nama julukannya:
 
"Abu Hanzala!"
 
"Abu'l-Fadzl!" gilir Abu Sufyan menyahut.
 
"Abu Sufyan, kasihan engkau!" kata Abbas. "Rasulullah berada
di tengah-tengah rombongan itu. Apa jadinya Quraisy kalau
mereka memasuki Mekah dengan kekerasan."
 
"Apa yang harus kita perbuat!" kata Abu Sufyan. "Kupertaruhkan
ibu-bapaku untukmu."4
 
Oleh Abbas ia dinaikkannya di belakang bagal dan diajaknya
berangkat bersama-sama, sedang kedua temannya disuruhnya
kembali ke Mekah. Oleh karena ketika melihat bagal itu mereka
sudah mengenalnya, dibiarkannya ia dengan penumpangnya itu
lalu di hadapan mereka, di tengah-tengah sepuluh ribu orang
yang sedang memasang api unggun, yang sengaja dipasang untuk
menimbulkan kegentaran dalam hati penduduk Mekah.
 
Akan tetapi ketika bagal itu lalu di depan api unggun Umar
bin'l-Khattab, dan Umar melihatnya, sekaligus ia mengenal Abu
Sufyan dan diketahuinya pula bahwa Abbas hendak melindunginya.
Cepat-cepat ia pergi ke kemah Nabi dan dimintanya kepada Nabi
supaya batang leher orang itu dipenggal.
 
"Rasulullah," kata Abbas. "Saya sudah melindunginya."

Menghadapi situasi semacam itu dan waktu sudah malam pula, dan
setelah terjadi perdebatan yang kadang sengit juga antara Umar
dan Abbas, Muhammad berkata:
 
"Bawalah dia dulu ke tempatmu, Abbas. Pagi-pagi besok bawa ke
mari."
 
Keesokan harinya, bilamana Abu Sufyan sudah dibawa lagi
menghadap Nabi dan disaksikan oleh pembesar-pembesar dari
kalangan Muhajirin dan Anshar - terjadi dialog demikian ini:
 
Nabi: "Kasihan kamu Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba waktunya
sekarang engkau harus mengetahui, bahwa tak ada Tuhan selain
Allah!?"
 
Abu Sufyan: "Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana engkau!
Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga!
Aku memang sudah menduga, bahwa tak ada tuhan selain Allah,
itu sudah mencukupi segalanya."
 
Nabi: "Kasihan engkau Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba waktunya
engkau harus mengetahui, bahwa aku Rasulullah!?"
 
Abu Sufyan: "Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana engkau!
Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga!
Tetapi mengenai hal ini, sungguh sampai sekarang masih ada
sesuatu dalam hatiku."
 
Sekarang Abbas campur tangan. Ia bicara dengan ditujukan
kepada Abu Sufyan, supaya ia mau menerima Islam dan bersaksi
bahwa tak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad pesuruhNya
- sebelum batang lehernya dipenggal. Menghadapi hal ini buat
Abu Sufyan tak ada jalan lain ia harus menerima. Sekarang
Abbas menghadapkan pembicaraannya kepada Nabi 'alaihissalam:
 
"Rasulullah," katanya. "Abu Sufyan orang yang gila hormat.
Berikanlah sesuatu kepadanya."
 
"Ya," kata Rasulullah "Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan,
orang itu selamat, barangsiapa menutup pintu rumahnya orang
itu selamat dan barangsiapa masuk ke dalam mesjid orang itu
juga selamat."
 
Ahli-ahli sejarah dan penulis-penulis riwayat hidup Nabi semua
sepakat tentang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Hanya
sebagian mereka masih ada yang bertanya-tanya: Adakah semua
itu terjadi karena kebetulan saja? Kepergian Abbas kepada Nabi
dengan maksud hendak pergi ke Medinah, tiba-tiba bertemu
dengan pasukan tentara Muslimin di Juhfa, begitu juga
kepergian Budail b. Warqa' dan Abu Sufyan b. Harb yang hanya
sekedar mau mengintai, padahal sebelum itu Budail sendiri
sudah ke Medinah dan melaporkan kepada Nabi apa yang telah
terjadi terhadap Khuza'a dan dari Nabi diketahuinya bahwa Nabi
akan membelanya. Adakah dalam kepergiannya ini Abu Sufyan
tidak menyadari bahwa Muhammad juga telah berangkat hendak
menyerbu Mekah? Ataukah karena sesuatunya itu - sedikit banyak
- dengan suatu persepakatan yang sudah diatur lebih dulu, dan
karena persepakatan itu pula, telah mempertemukan Abbas dengan
Abu Sufyan, dan bahwa Abu Sufyan sudah yakin - sejak ia pergi
ke Medinah hendak meminta perpanjangan waktu Perjanjian
Hudaibiya dan kembali dengan tangan kosong - bahwa tak ada
jalan lain buat Quraisy akan dapat menahan Muhammad dan yakin
pula ia bahwa kalau ia membukakan jalan untuk pembebasan itu
ia akan tetap memegang pimpinan dan mempertahankan
kedudukannya yang penting di Mekah, dan bahwa apa yang telah
menjadi persepakatan mereka itu tidak sampai pula kepada
Muhammad dan kepada orang-orang yang berkepentingan dengan
soal itu, dengan kenyataan bahwa Umar sendiri pun telah
bermaksud hendak membunuh Abu Sufyan? Besar sekali risikonya
kita akan menjatuhkan vonis. Tetapi rasanya kita sudah akan
dapat memastikan - untuk memuaskan hati kita - bahwa baik
karena suatu kebetulan saja yang telah menyebabkan semua
peristiwa itu, atau karena memang sudah ada semacam suatu
persepakatan, tapi yang terang kedua kejadian itu menunjukkan,
betapa cermat dan pandainya Muhammad dapat menguasai suatu
peperangan terbesar dalam sejarah Islam tanpa pertempuran dan
tanpa pertumpahan darah.

Islamnya Abu Sufyan itu tidak akan mengurangi kewaspadaan dan
kesiap-siagaan Muhammad dalam menyiapkan diri hendak memasuki
Mekah. Kalau kemenangan yang di tangan Tuhan itu memang
diberikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya, tapi Tuhan
akan memberikan pertolongan hanya kepada orang yang sudah
mengadakan persiapan, dan dalam segala hal dan setiap saat
berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. Oleh karena itu
diperintahkannya supaya Abu Sufyan ditahan dulu di sela wadi,
pada sebuah jalan masuk gunung ke Mekah, sehingga bila nanti
pasukan Muslimin lewat, ia akan melihatnya sendiri, dan dapat
pula dengan jelas ia melaporkan kepada golongannya, supaya
jangan timbul perlawanan yang bagaimanapun bentuknya, apabila
ia dapat cepat-eepat kembali kepada mereka kelak.
 
Bilamana kemudian kabilah-kabilah itu lewat di hadapan Abu
Sufyan, yang sangat mempesonakan hatinya ialah batalion serba
hijau yang mengelilingi Muhammad, yang terdiri dari kaum
Muhajirin dan Anshar, dan yang tampak hanyalah pakaian besi.
Setelah mengetahui keadaan itu Abu Sufyan berkata:
 
"Abbas, kiranya takkan ada orang yang sanggup menghadapi
mereka itu. Abu'l-Fadzl, kerajaan kemenakanmu ini kelak akan
menjadi besar!"
 
Sesudah itu kemudian ia dibebaskan pergi menemui golongannya
dan dengan suara keras ia berteriak kepada mereka:
 
"Saudara-saudara Quraisy! Muhammad sekarang datang dengan
kekuatan yang takkan dapat kamu lawan. Tetapi barangsiapa
datang ke rumah Abu Sufyan orang itu selamat, barangsiapa
menutup pintu rumahnya, orang itu selamat dan barangsiapa
masuk ke dalam mesjid orang itu juga selamat!"
 
Muhammad sudah berangkat bersama pasukannya sampai ke
Dhu-Tuwa. Setelah dilihatnya dari tempat itu tak ada
perlawanan dari pihak Mekah, pasukannya dihentikan. Ia
membungkuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah
membukakan pintu Lembah Wahyu dan tempat Rumah Suci itu
kepadanya dan kepada kaum Muslimin, sehingga mereka dapat
masuk dengan aman, dengan tenteram.
 
Dalam pada itu Abu Quhafa (ayah Abu Bakr) - yang belum lagi
masuk Islam waktu itu - meminta kepada cucunya yang perempuan
supaya ia dibawa mendaki gunung Abu Qubais. Sesampainya di
atas gunung, orang yang sudah buta itu bertanya kepada cucunya
apa yang dilihatnya. Oleh cucunya dijawab bahwa ia melihat
sesuatu serba hitam berkelompok "ltu pasukan berkuda", kata
orang tua itu.
 
"Sekarang yang serba hitam itu sudah terpencar," kata cucunya
lagi.
 
"Kalau begitu pasukan berkuda itu sedang bertolak ke Mekah.
Cepat-cepatlah bawa aku pulang ke rumah."
 
Tetapi sebelum ia sampai ke rumahnya pasukan berkuda itu sudah
lebih dulu sampai.

Muhammad merasa bersyukur kepada Tuhan karena pintu Mekah kini
telah terbuka. Tetapi sungguhpun demikian ia tetap selalu
waspada dan berhati-hati. Diperintahkannya pasukannya supaya
dipecah menjadi empat bagian. Diperintahkan kepada mereka
semua supaya jangan melakukan pertempuran, jangan sampai
meneteskan darah, kecuali jika sangat terpaksa sekali. Zubair
bin'l-'Awwam dalam memimpin pasukan itu ditempatkan pada sayap
kiri dan diperintahkan memasuki Mekah dari sebelah utara.
Khalid bin'l-Walid ditempatkan pada sayap kanan dan
diperintahkan supaya memasuki Mekah dari jurusan bawah. Sa'd
b. 'Ubada yang memimpin orang Medinah supaya memasuki Mekah
dari sebelah barat, sedang Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah oleh
Muhammad ditempatkan ke dalam barisan Muhajirin dan
bersama-sama memasuki Mekah dari bagian atas, di kaki gunung
Hind.
 
Sementara mereka sedang dalam persiapan demikian itu,
tiba-tiba terdengar Said b. 'Ubada berkata:
 
"Hari ini adalah hari perang. Hari dibolehkannya segala yang
terlarang ..."
 
Dalam hal ini ia telah melanggar perintah Nabi, bahwa kaum
Muslimin tidak boleh membunuh penduduk Mekah. Oleh karena itu,
ketika Nabi mengetahui apa yang dikatakan oleh Sa'd itu,
terpikir olehnya akan mengambil bendera yang ada di tangannya
dan menyerahkannya kepada anaknya, Qais. Qais adalah laki-laki
yang bertubuh besar, tapi ia lebih tenang dari ayahnya.
 
Ketika pasukan sudah memasuki kota, dari pihak Mekah tidak ada
perlawanan, kecuali pasukan Khalid bin'l-Walid yang berhadapan
dengan perlawanan dari mereka yang tinggal di daerah bagian
bawah Mekah. Mereka ini terdiri dari orang-orang Quraisy yang
paling keras memusuhi Muhammad dan yang ikut serta dengan Banu
Bakr melanggar Perjanjian Hudaibiya dengan mengadakan serangan
terhadap Khuza'a. Mereka ini tidak mau memenuhi seruan Abu
Sufyan. Bahkan mereka telah menyiapkan diri hendak berperang,
sementara yang lain dari golongan mereka ini juga telah
bersiap-siap pula hendak melarikan diri. Mereka dipimpin oleh
Safwan, Suhail dan 'Ikrima b. Abi Jahl. Bilamana pasukan
Khalid ini datang, mereka menghujaninya dengan serangan panah.
Tetapi secepat itu pula Khalid berhasil meneerai-beraikan
mereka. Sungguhpun begitu dua orang dari anak buahnya tewas,
karena mereka ini ternyata sesat jalan dan terpisah dari induk
pasukannya, sementara pihak Quraisy kehilangan tigabelas
orang, menurut satu sumber, atau duapuluh delapan orang,
menurut sumber yang lain.
 
Melihat malapetaka yang sekarang sedang menimpa mereka ini,
Shafwan, Suhail dan 'Ikrima cepat-cepat angkat kaki melarikan
diri, dengan meninggalkan orang-orang yang tadinya mereka
kerahkan mengadakan perlawanan menghadapi kekuatan dan pukulan
Khalid yang heroik itu. Dalam pada itu Muhammad dengan pasukan
Muhajirin yang kini di atas sebuah dataran tinggi itu, sedang
menyusur turun menuju ke Mekah, dengan keyakinan hati hendak
membebaskannya dalam keadaan aman dan damai. Dilihatnya kota
itu dengan segala isinya, dilihatnya pula kilatan pedang di
bagian bawah kota serta pasukan Khalid yang sedang
mengejar-ngejar mereka yang menyerangnya itu. Disini ia merasa
sedih sekali dan berteriak geram dengan mengingatkan kembali
akan perintahnya untuk tidak mengadakan pertempuran. Setelah
diketahuinya kemudian apa yang telah terjadi, teringat ia
bahwa yang sudah dikehendaki Tuhan itulah yang baik.

Sekarang Muhammad berhenti di hulu kota Mekah, di hadapan
Bukit Hind. Di tempat itu dibangunnya sebuah kubah (kemah
lengkung), tidak jauh dari makam Abu Talib dan Khadijah.
Ketika ia ditanya, maukah ia beristirahat di rumahnya,
dijawabnya: "Tidak. Tidak ada rumah yang mereka tinggalkan
buat saya di Mekah," katanya. Kemudian ia masuk ke dalam kemah
lengkung itu, ia beristirahat dengan hati penuh rasa syukur
kepada Tuhan, karena ia telah kembali dengan terhormat, dengan
membawa kemenangan ke dalam kota, kota yang dulu telah
mengganggunya menyiksanya dan mengusirnya dari keluarga dan
kampung halamannya. Ia melepaskan pandang ke sekitar tempat
itu, ke lembah wadi dan gunung-gunung yang ada di
sekelilingnya. Gunung-gunung, tempat ia dahulu tinggal di
celah-celahnya, ketika tindakan Quraisy sudah begitu memuncak,
begitu keras mengasingkan dia. Di pegunungan itulah, yang juga
di antaranya Gua Hira, tempat ia menjalankan tahannuth ketika
datang kepadanya wahyu: 'Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah.
Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena.
Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya..."
(Qur'an, 96: 1-5)
 
Ke sekitar gunung-gunung itu ia melepaskan pandang, ke
lembah-lembah, dengan rumah-rumah Mekah yang bertebaran, dan
di tengah-tengah adalah Rumah Suci. Begitu rendah hati ia
kepada Tuhan, sehingga airmata menitik dari matanya, setitik
airmata Islam dan rasa syukur demi Kebenaran Yang Mutlak, yang
dalam segala soal kepadaNya jua akan kembali.
 
Saat itu juga terasa olehnya bahwa tugasnya sebagai komandan
sudah selesai. Tidak lama tinggal dalam kemah itu, ia segera
keluar lagi. Dinaikinya untanya Al-Qashwa, dan ia pergi
meneruskan perjalanan ke Ka'bah. Ia bertawaf di Ka'bah tujuh
kali dan menyentuh sudut (hajar aswad) dengan sebatang
tongkat5 di tangan. Selesai ia melakukan tawaf, dipanggilnya
Uthman b. Talha dan pintu Ka'bah dibuka. Sekarang Muhammad
berdiri di depan pintu, orang pun mulai berbondong-bondong. Ia
berkhotbah di hadapan mereka itu serta membacakan firman
Tuhan: "Wahai manusia. Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Tetapi orang
yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah
orang yang paling takwa (menjaga diri dari kejahatan). Allah
Maha mengetahui dan Maha mengerti." (Qur'an, 49: 13)
 
Kemudian ia menanya kepada mereka:
 
"Orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu, apa yang akan
kuperbuat terhadap kamu sekarang?"
 
"Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu yang pemurah."
jawab mereka.
 
"Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!" katanya.
 
Dengan ucapan itu maka kepada Quraisy dan seluruh penduduk
Mekah ia telah memberikan pengampunan umum (amnesti).
 
Alangkah indahnya pengampunan itu dikala ia mampu! Alangkah
besarnya jiwa ini, jiwa yang telah melampaui segala kebesaran,
melampaui segala rasa dengki dan dendam di hati! Jiwa yang
telah dapat menjauhi segala perasaan duniawi, telah mencapai
segala yang diatas kemampuan insani! Itu orang-orang Quraisy,
yang sudah dikenal betul oleh Muhammad, siapa-siapa mereka
yang pernah berkomplot hendak membunuhnya, siapa-siapa yang
telah menganiayanya dan menganiaya sahabat-sahabatnya dahulu,
siapa-siapa yang memeranginya di Badr dan di Uhud, siapa yang
dahulu mengepungnya dalam perang Khandaq? Dan siapa-siapa yang
telah menghasut orang-orang Arab semua supaya melawannya, dan
siapa pula, kalau berhasil, yang akan membunuhnya, akan
mencabiknya sampai berkeping-keping kapan saja kesempatan itu
ada!? Mereka itu, orang-orang Quraisy itu sekarang dalam
genggaman tangan Muhammad, berada di bawah telapak kakinya.
Perintahnya akan segera dilaksanakan terhadap mereka itu.
Nyawa mereka semua kini tergantung hanya di ujung bibirnya dan
pada wewenangnya atas ribuan balatentara yang bersenjatakan
lengkap, yang akan dapat mengikis habis Mekah dengan seluruh
penduduknya dalam sekejap mata!
Tetapi  Muhammad,  tetapi  Nabi,  tetapi  Rasulullah, bukanlah
manusia yang mengenal permusuhan, atau yang akan membangkitkan
permusuhan di kalangan umat manusia! Dia bukan seorang tiran,
bukan mau menunjukkan sebagai orang yang berkuasa. Tuhan telah
memberi keringanan kepadanya dalam menghadapi musuh, dan dalam
kemampuannya itu ia memberi pengampunan. Dengan itu, kepada
seluruh dunia dan semua generasi ia telah memberi teladan
tentang kebaikan dan keteguhan menepati janji, tentang
kebebasan jiwa yang belum pernah dicapai oleh siapa pun!

Apabila Muhammad kemudian memasuki Ka'bah, dilihatnya
dinding-dinding Ka'bah sudah penuh dilukis dengan
gambar-gambar malaikat dan para nabi. Dilihatnya lbrahim yang
dilukiskan sedang memegang azlam6 yang diperundikan,
dilihatnya sebuah patung burung dara dari kayu. Dihancurkannya
patung itu dengan tangannya sendiri dan dicampakkannya ke
tanah. Ketika melihat gambar Ibrahim agak lama Muhammad
memandangnya, lalu katanya: Mudah-mudahan Tuhan membinasakan
mereka! Orang tua kita digambarkan mengundi dengan azlam! Apa
hubungannya Ibrahim dengan azlam'? Ibrahim bukan orang Yahudi,
juga bukan orang Nasrani. Tetapi ia adalah seorang hanif (yang
murni imannya), yang menyerahkan diri kepada Allah dan bukan
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sedang
malaikat-malaikat yang dilukiskan sebagai wanita-wanita
cantik, gambar-gambar itu oleh Muhammad disangkal samasekali,
sebab malaikat-malaikat itu bukan laki-laki dan bukan
perempuan. Lalu diperintahkannya supaya gambar-gambar itu
dihancurkan. Berhala-berhala sekeliling Ka'bah yang disembah
oleh Quraisy selain Allah, telah dilekatkan dengan timah di
sekeliling Ka'bah. Demikian juga berhala Hubal yang berada
didalamnya. Dengan tongkat di tangan Muhammad menunjuk kepada
berhala-berhala itu semua seraya berkata:

"Dan katakanlah : yang benar itu sudah datang, dan yang palsu
segera menghilang; sebab kepalsuan itu pasti akan lenyap."
(Qur'an, 17: 81)
 
Berhala-berhala itu kemudian disungkurkan dan dengan demikian
Rumah Suci itu dapat dibersihkan. Pada hari pertama
dibebaskannya mereka itu, Muhammad telah dapat menyelesaikan
apa yang dianjurkannya sejak duapuluh tahun itu, dan yang
telah ditentang oleh Mekah dengan mati-matian. Dihancurkannya
berhala-berhala dan dihapuskannya paganisma dalam Rumah Suci
itu disaksikan oleh Quraisy sendiri. Mereka melihat
berhala-berhala yang mereka sembah dan disembah oleh
nenek-moyang mereka itu samasekali tidak dapat memberi
kebaikan atau bahaya buat mereka sendiri.

Pihak Anshar dari Medinah telah menyaksikan semua kejadian
itu. Mereka melihat Muhammad yang berdoa di atas gunung Shafa.
Terbayang oleh mereka sekarang bahwa ia pasti akan
meninggalkan Medinah dan kembali ke tempat tumpah darahnya
semula yang kini telah dibukakan Tuhan. Mereka berkata satu
sama lain: "Menurut pendapat kamu, adakah Rasulullah s.a.w.
akan menetap di negerinya sendiri?" Mungkin kekuatiran mereka
itu beralasan sekali. Ini adalah Rasulullah, dan di Mekah ini
Rumah Suci Baitullah dan di Mekah ini pula Mesjid Suci.
 
Tetapi setelah selesai berdoa Muhammad bertanya kepada mereka:
Apa yang mereka katakan itu. Setelah diketahuinya akan
kekuatiran mereka yang mereka sampaikan dengan agak maju
mundur itu, ia berkata: "Berlindunglah kita kepada Allah!
Hidup dan matiku akan bersama kamu." Dengan itu ia telah
memberikan teladan kepada orang tentang keteguhannya memegang
janji pada Ikrar 'Aqaba serta kesetiannya kepada
sahabat-sahabatnya yang seiring sepenanggungan di kala
menderita, teladan yang takkan dapat dilupakan, baik oleh
tanah air, oleh penduduk atau pun oleh Mekah sebagai Tanah
Suci.
 
***
 
Setelah berhala-berhala itu dibersihkan dari Ka'bah, Nabi
menyuruh Bilal menyerukan azan dari atas Ka'bah. Sesudah itu
orang melakukan sembahyang bersama dan Muhammad sebagai imam.
Sejak saat itu, sampai masa kita sekarang ini, selama
empatbelas abad, tiada pernah terputus Bilal dan
pengganti-pengganti Bilal terus menyerukan azan, lima kali
setiap hari, dari atas mesjid Mekah. Sejak saat itu, selama
empatbelas abad sudah, kaum Muslimin menunaikan kewajiban
salat kepada Allah dan selawat kepada Rasul, dengan
menghadapkan wajah, kalbu dan seluruh pikiran kepada Allah
semata, dengan menghadap Rumah Suci ini, yang pada hari
pembebasannya itu oleh Muhammad telah dibersihkan dari
patung-patung dan berhala-berhala.
 
Atas apa yang telah terjadi itu baru sekarang Quraisy mau
menerima, dan mereka pun sudah yakin pula akan pengampunan
yang telah diberikan Muhammad kepada mereka. Mereka melihat
Muhammad dan Muslimin yang ada di sekitarnya sekarang dengan
mata penuh takjub bercampur cemas dan hati-hati sekali. Namun
sungguhpun begitu ada sekelompok manusia terdiri dari
tujuhbelas orang, oleh Muhammad telah dikecualikan dari
pengampunannya itu. Sejak ia memasuki Mekah, sudah dikeluarkan
perintah supaya mereka itu, golongan laki-lakinya dibunuh,
meskipun mereka sudah berlindung ke tirai Ka'bah. Diantara
mereka itu ada yang bersembunyi dan ada pula yang sudah lari.
Keputusan Muhammad supaya mereka dibunuh bukan didorong oleh
rasa dengki atau karena marah kepada mereka, melainkan karena
kejahatan-kejahatan besar yang mereka lakukan. Ia tidak pernah
mengenal rasa dengki. Diantara mereka itu terdapat Abdullah b.
Abi's-Sarh, orang yang dulu sudah masuk Islam dan menuliskan
wahyu, kemudian berbalik murtad menjadi musyrik di pihak
Quraisy dengan menggembor-gemborkan bahwa dia telah memalsukan
wahyu itu waktu ia menuliskannya. Juga Abdullah b. Khatal,
yang dulu sudah masuk Islam kemudian sesudah ia membunuh salah
seorang bekas budak ia berbalik menjadi musyrik dan menyuruh
kedua budaknya yang perempuan - Fartana dan temannya -
menyanyi-nyanyi mengejek Muhammad. Dia dan kedua orang itu
juga dijatuhi hukuman mati. Di samping itu 'Ikrimah b. Abi
Jahl, orang yang paling keras memusuhi Muhammad dan kaum
Muslimin dan sampai waktu Khalid bin'l-Walid datang memasuki
Mekah dari jurusan bawah itu pun tiada henti-hentinya ia
mengadakan permusuhan.
 
Sesudah memasuki Mekah pun Muhammad sudah mengeluarkan
perintah jangan sampai ada pertumpahan darah dan jangan ada
seorang pun yang dibunuh, kecuali kelompok itu saja. Oleh
karena itu, mereka suami isteri lalu menyembunyikan diri, ada
pula yang lari. Tetapi setelah keadaan kembali aman dan
tenteram, dan orang melihat betapa Rasulullah berlapang dada
dan memberikan pengampunan yang begitu besar kepada mereka,
ada beberapa orang sahabat yang minta supaya mereka yang sudah
dijatuhi hukuman mati itu juga diberi pengampunan. Usman bin
'Affan - yang masih saudara susuan dengan Abdullah b.
Abi's-Sarh - juga datang kepada Nabi, memintakan jaminan
pengampunan. Seketika lamanya Nabi diam. Kemudian katanya:
"Ya" Dan dia pun diampuni. Sedang Umm Hakim (bint'l-Harith b.
Hisyam) telah pula memintakan kepada Muhammad jaminan
pengampuhan buat suaminya, 'Ikrima b. Abi Jahl yang telah lari
ke Yaman. Dia ini pun diampuni. Wanita itu kemudian pergi
menyusul suaminya dan dibawanya kembali menghadap Nabi.
Demikian juga Muhammad telah memaafkan Shafwan b. Umayya,
orang yang telah menemani 'Ikrima lari ke jurusan laut dengan
tujuan hendak ke Yaman. Kedua orang itu dibawa kembali tatkala
perahu yang hendak membawa mereka sudah siap akan berangkat.
Juga Hindun, isteri Abu Sufyan, yang telah mengunyah hati
Hamzah - paman Rasul sesudah gugur dalam perang Uhud - telah
dimaafkan, disamping orang-orang lain yang tadinya sudah
dihukum mati, semuanya dimaafkan. Yang dibunuh hanya empat,
yaitu Huwairith yang telah menggangu Zainab puteri Nabi
sepulangnya dari Mekah ke Medinah, serta dua orang yang sudah
masuk Islam lalu melakukan kejahatan dengan mengadakan
pembunuhan di Medinah dan kemudian melarikan diri ke Mekah
berbalik meninggalkan agamanya menjadi musyrik dan dua orang
budak perempuan Ibn Khatal, yang selalu mengganggu Nabi dengan
nyanyian-nyanyiannya. Yang seorang dari mereka ini lari, dan
yang seorang lagi diberi pengampunan.

Keesokan harinya setelah hari pembebasan itu ada seseorang
dari pihak Hudhail yang masih musyrik oleh Khuza'a dibunuh.
Nabi marah sekali karena perbuatan itu, dan dalam khotbahnya
di hadapan orang banyak ia berkata:
 
"Wahai manusia sekalian! Allah telah menjadikan Mekah ini
tanah suci sejak Ia menciptakan langit dan bumi. Ia suci sejak
pertama, kedua dan ketiga, sampai hari kiamat. Oleh karena
itu, orang yang beriman kepada Allah dan kepada Hari Kemudian
tidak dibenarkan mengadakan pertumpahan darah atau menebang
pohon di tempat ini. Tidak dibenarkan kepada siapa pun sebelum
aku, dan tidak dibenarkan kepada siapa pun sesudah aku ini.
Juga aku pun tidak dibenarkan marah kepada penghuni daerah ini
hanya untuk saat ini saja, kemudian ia kembali dihormati
seperti sebelum itu. Hendaklah kamu yang hadir ini
memberitahukan kepada yang tidak hadir. Kalau ada orang yang
mengatakan kepadamu bahwa Rasulullah telah berperang di tempat
ini, katakanlah bahwa Allah telah membolehkan hal itu kepada
RasulNya, tapi tidak kepada kamu sekalian, wahai orang-orang
Khuza'a! Lepaskanlah tangan kamu dari pembunuhan, sebab sudah
terlalu banyak; itu pun kalau ada gunanya. Kalau kamu sudah
membunuh orang, tentu aku juga yang akan menebusnya.
Barangsiapa ada yang dibunuh sesudah ucapanku ini; maka
keluarganya dapat memilih satu dari dua pertimbangan ini:
kalau mereka mau, dapat menuntut darah pembunuhnya; atau
dengan jalan diat."
 
Sesudah itu kemudian ia mendiat (memampas) keluarga orang yang
dibunuh oleh Khuza'a itu. Dengan khotbah itu serta sikapnya
yang begitu lapang dada dan suka memaafkan, hati penduduk
telah begitu tertarik kepada Muhammad yang tadinya di luar
dugaan mereka. Dengan demikian pula orang telah beramai-ramai
masuk Islam.
 
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kemudian setiap
berhala dalam rumahnya hendaknya dihancurkan," demikian
kemudian suara orang menyerukan.
 
Kemudian dikirimnya serombongan orang dari Khuza'a untuk
memperbaiki tiang-tiang sekitar Tanah Suci itu, suatu hal yang
menunjukkan betapa besar penduduk Mekah itu menghormati tempat
ini, dan yang menambah pula kecintaan mereka kepadanya.
Setelah diberitahukan bahwa mereka adalah masyarakat yang
patut dicintai dan bahwa ia tidak akan membiarkan atau
meninggalkan mereka, kalau tidak karena mereka yang
mengusirnya, kecintaan mereka terasa makin besar kepadanya.
 
Ketika itu Abu Bakr datang membawa ayahnya - yang dulu pernah
mendaki gunung Abu Qubais waktu ada pasukan berkuda - ke
hadapan Nabi. Melihat orang itu Muhammad berkata:
 
"Kenapa orang tua ini tidak tinggal saja di rumah; biar saya
yang datang kesana."
 
"Rasulullah," kata Abu Bakr, "sudah pada tempatnya dia yang
datang kepadamu daripada engkau yang mendatanginya."
 
Orang tua itu oleh Nabi dipersilakan duduk dan dielus-elusnya
dadanya; kemudian katanya:
 
"Sudilah menerima Islam."
 
Kemudian ia pun menyatakan diri masuk Islam dan menjadi orang
Islam yang baik. Akhlak Nabi yang tinggi dan cemerlang inilah
yang banyak menawan hati bangsa itu. Bangsa yang tadinya
begitu keras melawan Muhammad, sekarang mereka sangat
mencintai dan menghormatinya. Kini orang-orang Quraisy itu,
laki-laki dan perempuan, sudah menerima Islam dan sudah pula
memberikan ikrarnya.
 
Limabelas hari Muhammad tinggal di Mekah. Selama itu pula
keadaan Mekah dibangunnya dan penduduk diajarnya mendalami
hukum agama. Dan selama itu pula regu-regu dakwah dikirimkan
untuk mengajarkan Islam, bukan untuk berperang, dan untuk
menghancurkan berhala-berhala tanpa pertumpahan darah. Khalid
bin'l-Walid waktu itu sudah berangkat ke Nakhla untuk
menghancurkan 'Uzza - berhala Banu Syaiban. Tetapi setelah
berhala itu dihancurkan dan Khalid berada di Jadhima, begitu
mereka melihatnya, mereka pun segera mengangkat senjata. Oleh
Khalid mereka diminta supaya meletakkan senjata, orang semua
sudah masuk Islam. Salah seorang dari Banu Jadhima berkata
kepada golongannya: "Hai Banu Jadhima! Celaka kamu! Itu
Khalid. Sesudah perletakan senjata tentu kita ditawan dan
sesudah penawanan potong leher."
 
Tetapi golongannya itu menjawab:
 
"Maksudmu kita akan menumpahkan darah kita? Orang semua sudah
masuk Islam, perang sudah tidak ada, orang sudah aman."
 
Sesudah itu terjadi perletakan senjata. Ketika itulah dengan
perintah Khalid mereka dibelenggu, kemudian dibawai pedang dan
sebagian mereka ada yang dibunuh.
 
Apabila kemudian berita itu sampai kepada Nabi ia mengangkat
tangan ke langit seraya berdoa:
 
"Allahumma ya Allah! Aku bermohon kepadaMu lepas tangan dari
apa yang telah diperbuat oleh Khalid bin'l-Walid itu."
 
Sesudah itu Ali b. Abi Talib yang diutus dengan pesan:
 
"Pergilah kepada mereka dan lihat bagaimana keadaan mereka.
Cara-cara jahiliah harus kauletakkan di bawah telapak kakimu."
 
Ali segera berangkat dengan membawa harta yang oleh Nabi
diserahkan kepadanya. Sesampainya di tempat itu diat dan
pampasan sebagai tebusan darah dan harta-benda yang telah
dirusak, diserahkan kepada mereka, sehingga semua tebusan
darah dan pampasan harta-benda itu selesai dilaksanakan.
Sedang uang selebihnya yang diserahkan Rasulullah kepadanya
itu, semua diserahkan juga kepada mereka, untuk menjaga maksud
Rasulullah, kalau-kalau ada yang belum diketahuinya.
 
Dalam waktu dua minggu selama Muhammad tinggal di Mekah semua
jejak paganisma sudah dapat dibersihkan. Jabatan dalam Rumah
Suci yang sudah pindah kepada Islam sampai pada waktu itu
ialah kunci Ka'bah, yang oleh Nabi diserahkan kepada Uthman b.
Talha dan sesudah dia kepada anak-anaknya, yang tidak boleh
berpindah tangan, dan barangsiapa mengambilnya orang itu
aniaya adanya. Sedang pengurusan Air Zamzam pada musim haji di
tangan pamannya Abbas.
 
Dengan demikian seluruh Mekah sudah beriman, panji dan menara
tauhid sudah menjulang tinggi dan selama berabad-abad dunia
sudah pula disinari cahayanya yang berkilauan.
 
Catatan kaki:
 
1 Sejauh empat farsakh dan Mekah.

2 Beberapa penulis sejarah Nabi berpendapat, bahwa
Abbas menemui pasukan itu di Rabiqh. Yang lain
mengatakan, bahwa ia pergi ke Medinah sebelum ada
keputusan membebaskan Mekah. kemudian ia berangkat
bersama-sama pasukan pembebas itu. Tetapi banyak orang
membantah sumber ini dan diduga itu dibuat untuk
menyenangkan hati dinasti Abbasiya, yang penulisannya
pertama dilakukan pada masa mereka. Alasan ini mereka
perkuat bahwa Abbas - yang membela saudara sepupunya
selama di Mekah itu - tidak juga menganut agamanya,
sebab Abbas adalah seorang pedagang dan juga
menjalankan riba, dikuatirkan Islam akan mengganggu
perdagangannya. Ditambah lagi, bahwa dialah orang
pertama yang akan dijumpai oleh Abu Sufyan untuk diajak
bicara mengenai perpanjangan perjanjian Hudaibiya,
mengingat ia belum seberapa lama meninggalkan Mekah.

3 Sebangsa keledai, turunan kuda dengan keledai. Di
sini baghla, bagal betina (A).

4 Lihat halaman 326.

5 Asalnya: mihjan sebatang tongkat yang hulunya
berkeluk.

6 Al-azlam (jamak zalam dan zulam) yaitu qid-h (atau
anak panah tanpa kepala dan bulu) suatu kebiasaan yang
berlaku pada zaman jahiliah. Pada anak panah itu
tertulis kata perintah dan larangan: "kerjakan!" dan
"Jangan dikerjakan!" Benda itu dimasukkan orang ke
dalam sebuah tabung. Apabila orang hendak melakukan
perjalanan, perkawinan atau sesuatu yang penting
lainnya, ia memasukkan tangannya kedalam tabung itu
setelah diperkenankan dan dikocok, dan sebuah zalam
dicabutnya. Kalau yang keluar berisi "perintah" ia
boleh terus melaksanakan; kalau yang keluar berisi
"larangan" ia harus membatalkan maksudnya. Mengundi
dengan anak panah ini ialah guna mengetahui baik
buruknya nasib seseorang.
 
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger