Muhammad Husain Haekal
Letak Mekah - Ibrahim dan Ismail - Kisah penyembelihan
dan penebusan - Zamzam - Perkawinan Ismail dengan
Jurhum - Pembangunan Ka'bah - Mekah di bawah Jurhum -
Qushay dan anak-anaknya - Mekah di tangan Qushay -
Hasyim dan Abdul Muttalib - Tugas-tugas duniawi dan
agama di Mekah - Berhaji ke Mekah - Kisah Abraha dan
gajah - Abdullah bin Abdul Muttalib - Kisah
penebusannya.
DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut
Merah - antara Yaman dan Palestina - membentang bukit-bukit
barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer dari pantai.
Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu
luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit
itu kalau tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan
menuju ke Yaman, yang kedua jalan dekat Laut Merah di
pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.
Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak
Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh
sukar sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun
yang lalu. Yang pasti, lembah itu digunakan sebagai tempat
perhentian kafilah sambil beristirahat, karena di tempat itu
terdapat sumber mata air. Dengan demikian rornbongan kafilah
itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang datang dari
jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina
menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang
sebelum itu hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan
tempat perdagangan secara tukar-menukar antara yang datang
dari arah selatan jazirah dengan yang bertolak dari arah
utara.
Kalau Ismail adalah orang pertama yang menjadikan Mekah
sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu
gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini
dipakai tempat ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap
di tempat itu. Kisah kedatangannya ketempat itupun memaksa
kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.
Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang
kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada
masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa
ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian
disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka memberikan
rasa hormat dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah
dikerjakan ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya.
Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana hasil kerajinan
tangannya itu sampai disembah orang?
Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu kepada orang lain.
Ayahnyapun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu;
karena ia kuatir hal ini akan rnenghancurkan perdagangannya.
Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya. Ia
ingin membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan
alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil kesempatan
ketika orang sedang lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa,
dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala yang paling
besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:
"Engkaukah yang melakukan itu terhadap dewa-dewa kami, hai
Ibrahim?" Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling
besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang
mereka bisa bicara." (Qur'an, 21: 62-63)
Ibrahim melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya
mereka menyembah berhala, sebaliknya siapa yang seharusnya
mereka sembah.
"Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Ia
berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian
terbenam, iapun berkata: 'Aku tidak menyukai segala yang
terbenam.' Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata:
'Inilah Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam,
iapun berkata: 'Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku akan jadi sesat.' Dan setelah dilihatnya matahari
terbit, iapun berkata: 'Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.'
Tetapi bilamana matahari itu juga kemudian terbenam, iapun
berkata: 'Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu
persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada yang
telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak
termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)
Ibrahim tidak berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah
sebagai balasan ia dicampakkan ke dalam api. Tetapi Tuhan
masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya
Sarah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Pada waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit
(Hyksos).
Sarah adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja
Hyksos biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang
cantik-cantik. Ibrahim memperlihatkan, seolah Sarah adalah
saudaranya. Ia takut dibunuh dan Sarah akan diperisterikan
raja. Dan raja memang bermaksud akan memperisterikannya.
Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi bahwa Sarah bersuami.
Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil dimarahi. Ia
diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian
bernama Hajar- Olelm karena Sarah sesudah bertahun-tahun
dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka oleh Sarah
disuruhnya ia bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian
telah beroleh anak, yaitu Ismail. Sesudah Ismail besar
kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.
Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail
serta kurban yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah
sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di
Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat,
bahwa yang disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Disini
kita bukan akan menguji adanya perselisihan pendapat itu.
Dalam Qishash'l-Anbia' Syaikh Abd'l Wahhab an-Najjar
berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ismail.
Argumentasi ini diambilnya dari Taurat sendiri bahwa yang
disembelih itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya.
Pada waktu itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq
dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim tidak
lagi tunggal, melainkan sudah ada Ismail dan Ishaq. Dengan
mengambil cerita itu seharusnya kisah penyembelihan dan
penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini memang bisa
terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu terjadi terhadap
diri Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di
Palestina, tidak pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita
yang mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi
diatas bukit Mina, maka ini tentu berlaku terhadap diri
Ismail. Oleh karena di dalam Qur'an tidak disebutkan nama
person korban itu, maka ahli-ahli sejarah kaum Muslimin
berlain-lainan pendapat.
Tentang pengorbanan dan penebusan itu kisahnya ialah bahwa
Ibrahim bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan kepadanya
supaya anaknya itu dipersembahkan sebagai kurban dengan
menyembelihnya. Pada suatu pagi berangkatlah ia dengan
anaknya. "Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia
(Ibrahim) berkata: 'O anakku, dalam tidur aku bermimpi, bahwa
aku menyembelihmu. Lihatlah, bagaimanakah pendapatmu?' Ia
menjawab: 'Wahai ayahku. Lakukanlah apa yang diperintahkan
kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan kaudapati aku dalam
kesabaran.' Setelah keduanya menyerahkan diri dan
dibaringkannya ke sebelah keningnya, ia Kami panggil: 'Hai
Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.' Dengan begitu,
Kami memberikan balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan.
Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami menebusnya dengan
sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)
Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang
indah sekali, sehingga disini perlu kita kemukakan, sekalipun
tidak membawa kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan
memastikan bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada
anaknya itu: 'Anakku, bawalah tali dan parang itu, mari kita
pergi ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.' Anak itupun
menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk
seorang laki-laki, mendatangi ibu anak itu seraya berkata:
'Tahukah engkau ke mana Ibrahim membawa anakmu?' 'Ia pergi
mencari kayu dari lereng bukit itu,' jawab ibunya. 'Tidak,'
kata setan lagi, 'ia pergi akan menyembelihnya.' Ibu itu
menjawab lagi: 'Tidak. Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia
mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.'
'Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan dia menaati
perintahNya,' jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan
perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti
ayahnya itu. Kepada anak itupun ia berkata seperti terhadap
ibunya tadi. Tapi jawabannyapun sama dengan jawaban ibunya
juga. Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa
mimpinya itu hanya tipu-muslihat setan supaya ia menyembelih
anaknya dan akhirnya akan menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia
ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa jengkel Iblis itu
mundur teratur, karena maksudnya tidak berhasil, baik dari
Ibrahim, dari isterinya atau dari anaknya.
Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada anaknya tentang
mimpinya itu dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan.' Lalu katanya lagi dalam ballada itu: 'Ayah,
kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya
darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku.
Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan.
Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila
ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku
dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak melihat
wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud
ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah berpendapat
akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan
baginya, lakukanlah, ayah.'
'Anakku,' kata Ibrahim, 'ini adalah bantuan besar dalam
melaksanakan perintah Allah.'
Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak
itu lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Tetapi
kemudian ia dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Anak itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba
besar yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu
disembelihnya dan dibakarnya.
Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah
kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.
Ishaq telah menjadi besar disamping Ismail. Kasih-sayang ayah
sama terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah menjadi gusar
melihat anaknya itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya
itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar
dan anaknya tatkala dilihatnya Ismail memukul adiknya itu.
Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan bahagia kalau kedua
wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah
ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke arah selatan. Mereka
sampai ke suatu lembah, letak Mekah yang sekarang. Seperti
kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat para kafilah
membentangkan kemahnya pada waktu mereka berpapasan dengan
kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi
pada waktu itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun.
Ismail dan ibunya oleh Ibrahim ditinggalkan dan
ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah
gubuk tempat ia berteduh dengan anaknya. Dan Ibrahimpun
kembali ke tempat semula.
Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan
kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke
lembah mencari air. Dalam berlari-lari itu - menurut cerita
orang - antara Shafa dan Marwa, sampai lengkap tujuh kali, ia
kembali kepada anaknya dengan membawa perasaan putus asa.
Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang mengorek-ngorek
tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar
air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata
air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke dalam
pasir.
Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang Arab yang
sedang dalam perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang
akan cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah
yang akan datang.
Mata air yang memancar dari sumur Zamzam itu menarik hati
beberapa kabilah akan tinggal di dekat tempat itu. Beberapa
keterangan mengatakan, bahwa kabilah Jurhum adalah yang
pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan
anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal
di tempat itu setelah adanya sumber sumur Zamzam, sehingga
memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.
Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis
kabilah Jurhum. Ia dengan isterinya tinggal bersama-sama
keluarga Jurhum yang lain. Di tempat itu rumah suci sudah
dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu.
Juga disebutkan bahwa pada suatu hari Ibrahim minta ijin
kepada Sarah akan mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan
ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia mencari dan menemui
rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: "Mana suamimu?"
"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.
Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau
minuman, dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk
dihidangkan.
Ibrahim pergi, setelah mengatakan: "Kalau suamimu datang
sampaikan salamku dan katakan kepadanya: "Ganti ambang
pintumu."
Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail,
ia segera menceraikan isterinya, dan kemudian kawin lagi
dengan wanita Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin 'Amr. Wanita
ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu
kemudian ia pernah datang. "Sekarang ambang pintu rumahmu
sudah kuat," (kata Ibrahim).
Dari perkawinan ini Ismail mempunyai duabelas orang anak, dan
mereka inilah yang menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba,
yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum
dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah
mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali
bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapa dengan Irak
(Mesopotamia) dan Palestina, atau kemana saja Ibrahim
menginjakkan kaki.
Cerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan
konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan
Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detail. Dan
yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetail itu
berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang
sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat itu terdapat
mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar disambut
dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama
Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia
kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak.
Dari percampuran perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur
Ibrani-Mesir di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain,
menyebabkan keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani
dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan tentang Hajar yang
kebingungan setelah melihat air yang habis menyerap serta
tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa dan Marwa dan
tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka
masih diragukan.
Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan
Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu.
Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang
dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna
mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa
dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang
orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang
Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi
kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang
Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan
perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang
Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan
di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya dengan agama
Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar hanyut dalam
paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup
kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad
sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak
menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim
datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama
membangun Ka'bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada,
tentu itu akan memperkuat pendapat Sir William Muir.
Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia
berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak
berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak
masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang
Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai
dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan
sejarah itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahim yang
telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya,
ia pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah
bepergian dan biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara
Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan
lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak
pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang
dalam garis besamya sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu
mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak
Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke
negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti
hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan
mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini bagi mereka dapat
diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri
tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal
peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan
terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan
sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam
kitab-kitab suci lainnya!
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu
dan "Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah
yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi
semesta alam. Disitulah terdapat keterangan-keterangan yang
jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa memasukinya
menjadi aman." (Qur'an, 3: 96-97)
"Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu
tempat bersembahyang, dan kami serahkan kepada Ibrahim dan
Ismail menyucikan RumahKu bagõ mereka yang bertawaf, mereka
yang tinggal menetap dan mereka yang ruku' dan sujud. Dan
ingatlah tatkala Ibrahim berkata: 'Tuhanku, jadikan tempat ini
Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya,
mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.' Ia
berkata: 'Dan bagi barangsiapa yang menolak iman akan Kuberi
juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa
api, tujuan yang paling celaka,. Dan ingatlah tatkala Ibrahim
dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka
berdoa): 'Tuhan, terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah
Engkau Maha mendengar, Maha mengetahui." (Qur,an, 2: 125-127)
Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan
dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia supaya
beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi
tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula
cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah lbrahim dan
Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula dilakukan? Dan sejak
kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasi oleh paganisma? Hal
ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang kita
kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah
dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian1 yang menyembah
bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya
mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang
itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka
mengagungkan bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan
manifestasi kebesaranNya. Oleh karena lebih banyak yang tidak
dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka
diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam
batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit,
berasal dan beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula
manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan, kemudian
batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap
begitu agung, sehingga tidak cukup bagi seorang orang Arab
hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di dalam Ka'bah,
bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa saja dan
Ka'bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan
tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan
cara-cara peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau
bagi pencipta bintang-bintang itu. Dengan cara-cara demikian
menjadi kuatlah kepercayaan paganisma itu, patung-patung
dikuduskan dan dibawanya sesajen-sesajen untuk itu sebagai
kurban.
Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di
tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat
beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa
ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik dan
menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa sejarah, menerangkan
tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab. Demikian juga
Diodorus Siculus mcnyebutkan tentang rumah di Mekah yang
diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma yang sudah
begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim
di sana bertahan tidak begitu lama.
Dalam abad-abad itu sudah datang pula para nabi yang mengajak
kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah
semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada
paganisma. Datang Hud mengajak kaum 'Ad yang tinggal di
sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada Allah;
tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang sebagian
besar malah menyombongkan diri dan berkata: "O Hud, kau datang
tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan
meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu.
Kami tidak percaya kepadamu." (Qur'an, 11: 53) Bertahun-tahun
lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah
buas dan congkak. Demikian juga Saleh datang mengajak kaum
Thamud supaya beriman. Mereka ini tinggal di Hijr yang
terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi'l-Qura ke arah timur
daya dari Mad-yan (Midian) dekat Teluk 'Aqaba. Sama saja,
hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti ajakan Hud juga.
Kemudian datang Syu'aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak di
Hijaz, mengajak supaya mereka menyembah Allah. Juga tidak
didengar Merekapun mengalami kehancuran seperti yang terjadi
terhadap golongan 'Ad dan Thamud.
Selain para nabi itu juga Qur'an telah menceritakan tentang
ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan
itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah
berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka'bah itu.
Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun; mereka datang
dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman
Tuhan: "Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami
mengutus seorang rasul."(Qur'an 17: 15)
Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada
jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin
Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para
pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, siqaya,
rifada, nadwa, liwa' dan qiyada dipegang semua oleh Qushay.
Hijaba ialah penjaga pintu Ka'bah atau yang memegang kuncinya.
Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat sulit waktu
itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan
minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi
makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada
tiap tahun musim. Liwa' ialah panji yang dipancangkan pada
tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang
menghadapi musuh, dan qiyada ialah pimpinan pasukan bila
menuju perang. Jabatan-jabatan demikian itu di Mekah sangat
terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan orang-orang
Arab semua tertuju ke Ka'bah itu.
Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu
dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu pihak tak ada
hubungannya satu sama lain dengan Ka'bah serta kedudukannya
dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga
hubungannya.
Tatkala Ka'bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal
kita - tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah
Amalekit dan Jurhum. Sesudah Ismail menetap di sana dan
bersama-sama dengan ayahnya memasang sendi-sendi rumah itu,
barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk beberapa waktu
yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang
menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah
dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa
keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa
penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah
itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan
Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi
kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan
Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam
suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa
persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam
lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian.
Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Mekah masa
itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan
ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut
Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan
langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat
dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu
akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi
peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang
sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi
suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil
selama beberapa generasi sebelum Qushayy.
Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Mekah masih di tangan
Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith. Selama
dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami
perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang
yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka
berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha
dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga
Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu
memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci
itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup
berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini
akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali
Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana
emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai
sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke
dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya
dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan
menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari
Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a. Demikian
seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab,
nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.
Fatimah bint Sa'd bin Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai
anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika
Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan Rabi'a
bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah
melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya
mengenal Rabi'a sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy
dengan pihak kabilah Rabi'a terjadi permusuhan. Ia dihina dan
dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan
dari pihak mereka Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada
ibunya.
"Ayahmu lebih mulia dari mereka," kata ibunya kepada Qushayy.
"Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah
menempati Rumah Suci."
Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena
pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang
di Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan
Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyia - orang yang
berpandangan tajam dari kabilah Khuza'a. Tatkala Qushayy
melamar puterinya, Hubba, ternyata lamarannya diterima baik
dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan
perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan
anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia
makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat
supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba puterinya. Tetapi
Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari
kabilah Khuza'a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk.
Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu
dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman
keras.
Khuza'a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila
pimpinan Ka'bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang
yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di
kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah
pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka
sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa
kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang
paling kuat dan sangat dihargai di Mekah. Mereka mendukung
Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Sekarang
seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan
dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Seperti sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat,
bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah berada di tangan
Qushayy, bangunan apapun belum ada di tempat itu, selain Ka
bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza'a atau Jurhum tidak
ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan itu,
juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di
tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka.
Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah
ia mengumpulkan Quraisy dan menyuruh mereka membangun di
tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya
Dar'n-Nadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Mekah
yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat ini mereka
bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut
kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu
diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau
laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat
ini pula.
Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu membangun
tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka'bah itu, dengan
meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf
sekitar Rumah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan
yang menembus ke tempat tawaf tersebut.
Anak Qushayy yang tertua ialah Abd'd-Dar. Akan tetapi Abd
Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah
mendapat tempat pula.
Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang
dan sudah tidak kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana
mestinya, kunci Rumah itupun diserahkannya kepada Abd'd-Dar,
demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan.
Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka
yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada
musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka
yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang
pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan
makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga
terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil
mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Ketika mewajibkan itu ia
berkata kepada mereka:
"Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan,
keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang
berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung RumahNya. Mereka
itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim
ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka
pulang kembali."
Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah
dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi
anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih
baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh
karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams,
Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada
di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy
berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain
membela golongan yang lain lagi.
Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan
memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan
wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah
takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd,d-Dar
mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu
hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy, kalau
tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf
diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan
kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar.
Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap
demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.
Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan.
Dialah yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak
masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya,
yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi
makanan kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung
Baitullah, tamu Tuhan inilah yang paling berhak mendapat
penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan
sampai mereka pulang kembali.
Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan
jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus,
dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali
penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim
jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin
dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan
perjalanan musim panas ke Suria.
Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi
berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah,
sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan
perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd
Manaf membuat perjanjian perdamaian dengan
tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian
sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi
dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan
orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga
Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi
(Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat
persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak
Himyar di Yaman.
Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian
pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada
pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya. Rombongan
kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan
berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar
tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan
itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam
utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan
dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi
Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam
kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang
oleh Umayya anak Abd Syams -sepupunya - bahwa sudah tiba
masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan
kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya
telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di
Suria.
Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika
Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan
terpandang, muncul di tengah-tengah orang yang sedang
mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak
'Amr dari kabilah Khazraj. Hasyim merasa tertarik.
Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan laki-laki
lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau
kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hasyim
lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima, karena dia
mengetahui kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.
Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan suaminya.
Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia melahirkan
seorang anak yang diberi nama Syaiba.
Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke
Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan
oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd
Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena
sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia
dijuluki Al-Faidz', ("Yang melimpah"). Dengan keadaan Muttalib
yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu
segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.
Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak
Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah
besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan
kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya
dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy
menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka
lalu memanggilnya: Abd'l Muttalib (Budak Muttalib). "Hai,"
kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari
Jathrib." Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda
tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba
yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.
Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim
untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya.
Sesudah Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan
kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan
saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan
kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazraj di
Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan
demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.
Sekarang Abd'l-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim.
Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air
dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini
terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak sedikit.
Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang
persediaan air untuk tamu - sejak terserapnya sumur Zamzam
didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar
Mekah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat
Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar dan
memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus.
Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan
penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith
satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini
jugalah yang lama menjadi pikiran.
Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang
telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu.
Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap
ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd'l-Muttalib pun tentu
lebih banyak lagi memikirkan dam mengharapkan hal itu.
Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya
seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang
pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian
mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur
itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam
tersebut, sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu terletak
antara dua patung: Isaf dan Na'ila.
Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith.
Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas
dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang
lalu mau mencampuri Abd'l-Muttalib dalam urusan sumur itu
serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi
Abd'l-Muttalib berkata:
"Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku
dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan
qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku
dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat
bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."
Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada
juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di
tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak
keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua
buah pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh
Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua pelana
emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib
meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah
sumur Zamzam dapat berjalan lancar.
Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah
masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan
dapat membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh
anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak
lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah
seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai kurban
untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya
mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan pula sesudah
itu tidak beroleh anak lagi.
Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat
memenuhi nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi
kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing
di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat
berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.
Apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa,
orang-orang Arab masa itu lalu minta pertolongan juru qid-h
supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan
(mengadu nasib) melalui qid-h. Abdullah bin Abd'l-Muttalib
adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.
Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi
nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal
untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar
adalah nama Abdullah. Dituntunnya anak muda itu oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang
biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang
terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat
melarangnya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu
supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu
mendesak, namun Abd'l-Muttalib masih ragu-ragu juga.
Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya
sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku
Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan
harta kita, kita tebuslah."
Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat
akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa
memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan
mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya
menangguhkan sampai besok.
"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.
"Sepuluh ekor unta."
"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu.
"Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu
diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak
kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."
Merekapun menyetujui.
Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu
keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu
sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah
keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy
berkata kepada Abd'l-Muttalib - yang sedang berdoa kepada
tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."
"Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus kulakukan sampai tiga
kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap
keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa
puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta
itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau
binatang.
Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan.
Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab,
kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara
kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya
kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah
tanah Arab. At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah
penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar
bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia
akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya
terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak
memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin
Abbas yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih
seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah
anak Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika
itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. "Nadar
tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.
Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan
beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah
ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian
orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan
mendirikan rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci
di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu tak dapat menggantikan
Rumah Suci yang di Mekah, juga tak dapat memalingkan mereka
dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian rupa Abraha
menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa
perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik
orang-orang Arab - bahkan orang-orang Mekah sendiri - ke
tempat itu.
Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu
hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun
meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap
ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang
tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus
menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu. Dengan pasukan
yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan
perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah
besar.
Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali
kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya.
Suatu hal yang luarbiasa bagi mereka, kedatangan seorang
laki-laki Abisinia akan menghancurkan rumah suci mereka dan
tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki bernama
Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman -
tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab
lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya
yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat
menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi
tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin
Habib al-Khath'ami ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari
kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan,
yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk
jalan. Ketika Abraha sampai di Ta'if penduduk tempat itu
mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang
dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia diantar
oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.
Bila Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda
sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda
Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta
kepunyaan Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang
Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian
berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha
sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan
bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia
diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia
menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan
berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah
tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.
Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud
berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata,
bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya.
Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh
Abraha, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta
Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka'bah
serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak
menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran
delegasi Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta
Tihama baginya, ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali
ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu
dan pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan
pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan
Rumah Purba itu.
Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan
kota itu dan di mana pula akan tinggal. Malam itulah
Abd'l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy, berkumpul
sekeliling pintu Ka'bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon
minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang akan
menghancurkan Baitullah itu.
Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan tiba
waktunya bagi Abraha mengerahkan pasukannya menghancurkan
Ka'bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula
wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abraha dan
membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah
dialami sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang
datang dibawa angin dari jurusan laut, dan. menular menimpa
Abraha sendiri. Ia merasa ketakutan sekali. Pasukannya
diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya
menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati.
Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan
anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi
banyaknya.
Sampai juga Abraha ke Shan'a' tapi badannya sudah dihinggapi
penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti
anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah
mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam
Qur'an:
"Tidakkah kau perhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap
pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan rencana
mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung.
Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga
mereka seperti daun-daun kering yang binasa berserakan. "(
Qur'an 105: 1-4)
Peristiwa yang luarbiasa ini lebih memperkuat kedudukan Mekah
dalam arti agama, di samping itu telah memperkuat pula
kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan
penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara
kedudukan yang tinggi dan istimewa itu serta mempertahankannya
dari segala usaha yang akan mengurangi arti atau akan
menye,rang kota ini. Orang-orang Mekah lebih bersemangat lagi
mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka
peroleh karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat
kita bayangkan kemewahan hidup mereka di daerah padang-pasir
ini, gersang dan tandus.
Kegemaran penduduk daerah ini yang luarbiasa ialah minum
nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka
menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu
kenikmatan yang akan memudahkan mereka melampiaskan hawa
nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian
yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih
memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat
mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota
mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan
menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang
paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil
minum-minum hanyalah di pusat kota sekeliling bangunan Ka'bah.
Di tempat itu - di samping tiga ratus buah berhala atau lebih,
masing-masing kabilah dengan berhalanya - pembesar-pembesar
Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk; masing-masing
menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan
pedalaman, dengan Yaman, orang-orang Mundhir di Hira dan
orang-orang Ghassan di Suria, tentang datangnya kafilah serta
lalu-lintas orang-orang pedalaman.
Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk
cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap
kabilah mempunyai "pemancar" dan "pesawat radio" yang menerima
berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing
membawa cerita yang ada hubungannya dengan berita-berita orang
pedalaman, kisah-kisah tetangga dan handai-tolan sambil
minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka bermalam suntuk di
Ka'bah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih
memuaskan kehendak hawa-nafsu. Dengan mata batu permata
berhala-berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang
sedang berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan,
karena Ka'bah itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota
aman sentosa. Demikian juga berhala-berhala mendapat jaminan
mereka, bahwa tak seorangpun Ahli Kitab akan memasuki Mekah
kecuali tenaga kerja yang takkan bicara tentang agama atau
kitabnya.
Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi seperti
di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan :Ka'bah yang
dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka
lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan merekapun
berlindung ke sana dari segala serangan. Begitulah seterusnya
Mekah itu bebas berdiri sendiri, seperti kabilah-kabilah Arab
yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau
kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak pedulikan
cara hidup lain selain kebebasannya ini di bawah perlindungan
berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak pula terganggu,
dan tidak pula terpikir oleh mereka akan mengadakan suatu
kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi
dan Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.
Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak
mempunyai sesuatu bentuk apapun selain cara-cara hidup
pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak,
kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang
kasar, tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan
dan kepahlawanan.
Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi
lingkungan Ka'bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka'bah
tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu
keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat letaknya
dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu. Merekalah
yang memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga
segala gelar-gelar kebangsawanan menurut paganisma ada pada
mereka, yang sampai menimbulkan perang karenanya, menyebabkan
adanya persekutuan, atau perjanjian-perjanjian perdamaian
antar kabilah, yang tetap tersimpan di dalam Ka'bah, supaya
dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan
murkanya bagi mereka yang melanggar.
Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula rumah0rumah
kabilah yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti oleh
yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal
kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Termasuk umat
Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti kita sebutkan tadi -
adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari
Ka'bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu
percakapan mereka tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau
Yahudi, tidak sampai mendekati telinga pemuka-pemuka Quraisy
dan penduduk Mekah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu
benar-benar membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga.
Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalanan
mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para rahib sudah
biasa mereka mendengar cerita serupa itu.
Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang
akan datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang Arab waktu
itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah marah
kepada Umayya bin Abi'sh-Shalt karena arang ini sering
mengulang-ulang cerita para rahib tentang hal serupa itu. Dan
barangkali sesuai dengan kedudukan Abu Sufyan juga ketika itu
ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para rahib itu suka
membawa cerita semacam itu karena mereka tidak mengerti soal
agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya seorang
nabi yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita
yang sudah punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita
kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi hal serupa itu. Kita harus
menentang semua pembicaraan semacam itu.
Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada
Mekah dan kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan
bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa kenabian Muhammad
a.s. sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab pagan yang beraneka
ragam itu cahaya Tauhid dan sinar kebenaran akan memancar ke
seluruh dunia.
Abdullah bin Abd'l-Muttalib sebenarnya adalah pemuda yang
berwajah tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan
wanita-wanita Mekah. Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian
mereka ialah kisah penebusan, dan kisah seratus ekor unta yang
tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir
sudah menentukan Abdullah akan menjadi seorang ayah yang
paling mulia yang pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah
bint Wahb akan menjadi ibu bagi anak Abdullah itu. Ia kawin
dengan wanita itu dan selang beberapa bulan kemudian iapun
meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apapun yang akan
melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan
melahirkan Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu
masih bayi.
Pada gambar berikut ini silsilah keturunan Nabi yang
menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka
masing-masing.
SILSILAH MUHAMMAD SAW
Qushayy
(lahir 400M)
|
+----------------------+----------------------+
| | |
'Abd'l-'Uzza 'Abd Manaf 'Abd'd-Dar
| (lahir 430M)
| |
| +----------+-----------+----------+
Asad | | | |
| Muttalib Hasyim Naufal 'Abd Syams
| (lahir 464M) |
Khuwailid | Umayya
| 'Abd'l-Muttalib |
+----+----+ (lahir 497M) Harb
| | | |
'Awwam Khadijah | Abu Sufyan
| | |
Zubair | Mu'awiya
|
+--------+----------+-------+--+-----------+----------+
| | | | | |
Hamzah 'Abbas 'Abdullah Abu Lahab Abu Talib Harith
(lahir 545M) |
| +----------+----------+
| | | |
MUHAMMAD 'Aqil 'Ali Ja'far
(lahir 570M) | |
| +---+---+
| | |
Muslim Hasan Husain
Catatan kaki:
1 Kaum Sabian yang dimaksudkan di sini bukan yang dimaksudkan
dalam Qur'an (2: 62), yaitu sekta Nasrani yang berpegang pada
Taurat dan Injil yang belum mengalami perubahan, melainkan
orang-orang Harran yang disebut oleh Ibn Taimia sebagai pusat
golongan ini dan sebagai tempat kelahiran Ibrahim atau tempat
ia pindah dan Irak (Mesopotamia). Di tempat ini terdapat
kuil-kuil tempat menyembah bintang-bintang. Kepercayaan mereka
ini sebelum datangnya agama Nasrani. Setelah datang Agama
Nasrani, kepercayaan mereka menjadi campur-baur dan dikenal
sebagai pseudo-Sabian. (Dikutip oleh al-Qasimi dalam
Mahasin't-Ta'wil, jilid 2 hal. 154-147). Juga mereka tidak
sama dengan kaum Sabaean yang berasal dari Saba di Arab
Selatan (A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar