Jika Karl Marx memercayakan perubahan pada perjuangan “kelas” dan Max Weber mengalamatkannya pada “aliran kultural”,adalah Ortega Y Gasset yang memercayai “kaum muda” sebagai agen perubahan. Pandangan terakhir ini memperoleh perwujudan historisnya di Indonesia.
“Akhirnya,” tulis Ben Anderson, “saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh “kesadaran pemuda” ini.” Mohammad Hatta, sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan pertanyaan retoris, “Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik?” Lantas ia jawab sendiri, “Kalau mahasiswa Belanda, Perancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda yang serba menggembirakan, pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya.”
Bung Hatta menyodorkan alasan lain yang menggelitik. Fakta bahwa sebagian besar pemimpin kaum muda ini berasal dari kalangan pegawai tinggi dan kelas berada tidak menyurutkan mereka untuk berjuang. Sebaliknya, sikap orangtua mereka yang terpaksa oleh sistem kepegawaian kolonial untuk berdiam diri, berbohong, dan berbicara yang enak-enak saja tentang masalah politik dan kolonial, memperlihatkan betapa Bapak mereka merupakan lambang ketidakjujuran dan ketidakberdayaan abadi. Maka, tak segan-segan mereka berontak-menyempal, “dari kumpulannya terbuang”.
Maka panggung politik pergerakan diwarnai tiga aliran ideologi besar, yakni Islam, Nasionalisme, dan Komunisme. Pada tiga aliran ideologi pegerakan itu bertabur tokoh-tokoh muda yang hebat di masanya. Sebutlah nama Douwes Dekker, dr Soetomo, dr Tjiptomangoenkoesoemo, Soetatmo Soeriokoesoemo, Semaoen, HOS Tjokroaminoto, Tan Malaka, H Agus Salim, Abdul Muis, Soekarno, Hatta, Sjahrir, maupun tokoh seperti Amir Sjarifudin (mantan perdana menteri yang ikut dalam Perundingan Renville dan belakangan ditembak mati 31 Oktober 1948 karena terlibat pemberontakan PKI Madiun -lihat Abu Hanifah, Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin, Prisma Agustus 1977) atau tokoh muda yang namanya tak muncul dalam buku sejarah resmi karena politik Orde Baru yang kerap menyembunyikan peran mereka.
Pada masa itu, generasi muda tidak jauh beda dengan anak muda gaul sekarang yang bermimpi untuk berbaju safari, menjadi pegawai negeri, ambtenaar, yang mengharapkan pensiun dan status sosial di masyarakat. Perguruan tinggi favorit pada masa itu bukanlah THS di Bandung, ataupun STOVIA (sekolah kedokteran) di Jakarta, melainkan OSVIA (sekolah pamong praja, kini STPDN atau IPDN). Para orang tua mereka yang umumnya priyayi feodal sangat mengharapkan anak-anak mereka dapat meneruskan karier ambtenaar di pemerintahan kolonial. Para priyayi takut anak-anaknya tidak akan dapat hidup layak bila tidak menjadi ambtenaar. Tidak ada ide-ide kemerdekaan di benak mereka, yang ada hanyalah slogan “muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Lain hal Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan anak muda pergerakan lainnya adalah minoritas di tengah massa anak muda priyayi yang mengantri di loket pendaftaran OSVIA.
Generasi tokoh muda di atas adalah politisi dalam arti sesungguhnya: Mereka membentuk gerakan dan berlanjut menjadi partai politik, mendidik masyarakat, baik langsung melalui rapat-rapat umum terbuka dan kursus-kursus kader partai, pengajaran di sekolah swasta, maupun tidak langsung, yakni lewat pamflet dan surat kabar.
Menariknya, setiap partai memiliki surat kabar, bahkan cabang partai pun menerbitkan surat kabar, cukup maju untuk keadaan saat itu. Sejak awal mereka paham betul bahwa melalui media massa, penyebaran gagasan dan konsep kemerdekaan lebih luas dan efektif. Tokoh muda yang disebut di atas juga dikenal sebagai penulis andal.
Beberapa contoh karya terbaik tokoh muda saat itu antara lain karya Sukarno: Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, 1926; Indonesia Menggugat (Pidato Bung Karno di Pengadilan Bandung, 1930), Tulisan Hatta: Indonesiae Vrij; HOS Tjokroaminoto: Islam dan Sosialisme; Sjahrir: Perjoeangan Kita; Tan Malaka: Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog). Tokoh muda di masa pergerakan nasional sudah matang itu memikirkan bagaimana Hindia Belanda (Indonesia) bisa merdeka dan bagaimana kemerdekaan itu harus diraih, cara dan strategi apa yang diambil serta landasan atau dasar apa bagi bangsa yang merdeka kemudian. Tak heran, perdebatan mengenai ideologi menjadi amat menarik. Romantisme perjuangan itu menyebabkan mereka bersedia menjadi martir. Maka, mereka pun siap dipenjara atau dibawa ke pengasingan, bahkan hingga dikirim ke Boven Digul.
Usia Muda Memimpin PartaiMenjadi pemimpin di usia muda. Itulah yang terjadi dalam masa pergerakan.Tokoh-tokoh muda yang memiliki latar belakang pendidikan cukup baik telah mendirikan dan memimpin partai maupun organisasi pergerakan, karena mereka sadar melalui wadah organisasilah, tujuan-tujuan perjuangan–terutama kemerdekaan—bisa dicapai.
Sedikit contoh dari mereka, HOS Tjokroaminoto yang menjadi guru politik bagi Sukarno meneruskan kepemimpinan H Samanhudi dalam Sarekat Islam dalam usia muda (lihat Deliar Noer; Gerakan Modern Islam di Indonesia, LP3 ES, 1982). Sukarno membentuk dan memimpin Partai Nasional Indonesia, PNI, (lihat Bernhard Dahm; Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, 1987 ).
Tokoh muda yang cukup spektakuler pada zamannya adalah Semaoen. Dalam usia yang masih sangat muda (sekitar 18 tahun) ia sudah memimpin Sarekat Islam (SI) Semarang bersama rekannya, Darsono. Setelah melalui perdebatan panjang, karena ketertarikannya pada gerakan sosialisme/ISDV ia pun berpisah dengan SI dan mendirikan Persyarekatan Komunis India (PKI) tahun 1920 dan menjadi ketua pertama. Baru di tahun 1921 organisasi itu berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia/PKI dengan Tan Malaka sebagai Ketua (lihat Suradi; Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Pustaka Sinar Harapan, 1997).
Selain kepemimpinan muda sejak awal, sejarah pergerakan dan masa selanjutnya memberi pelajaran berharga bagi para politisi, khususnya dalam mengembangkan demokrasi. Perbedaan pendapat dan konflik yang memuncak pada perpecahan partai, juga menjadi hal biasa di masa itu, tapi solusi atas konflik diselesaikan secara demokratis. Ada forum perdebatan dan akhirnya voting seperti dalam kasus SI Merah dan SI putih. Tidak ada kekerasan, apalagi merusak kantor partai.
Sikap hidup sederhana juga mengajarkan pada kita–khususya kaum muda di partai— bahwa menjadi pemimpin merupakan tanggung jawab yang harus dijalankan secara amanah. Pemimpin kala itu hidup sederhana dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Akankah generasi muda–terutama yang aktif dalam gerakan-gerakan menuntut porsi kaum muda menjadi pemimpin—mau belajar dari sejarah, tidak ada yang salah. Sejarah bisa memberi arah bagaimana masa depan yang lebih baik itu harus diperjuangkan secara konseptual, terarah, dan dengan kerja keras. Mungkin masa depan yang lebih baik itu baru bisa dinikmati anak cucu kita. Tapi, kalau tidak dari sekarang, kapan lagi?
Referensi :- Yudi Latif, “Pergerakan Indonesia Muda”, Kompas, 26 Oktober 2007
- Suradi, “Sejarah yang Harus Menjadi Arah”, Sinar Harapan, 05 November 2007
- Alfanny, Kiprah Pemuda, gusmus.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar