DI suatu pagi yang indah aku bangun dengan keinginan untuk tidak mengikuti kuliah,” cerita Bung Karno dalam otobiografinya Sementara mendayung sepeda tanpa tujuan-sambil berpikir, ia sampai di bagian selatan Bandung, suatu daerah pertanian yang padat.
Bung Karno, yang waktu itu menjadi mahasiswa THS Bandung (sekarang ITB) kemudian terlibat dalam suatu percakapan dengan seorang petani berpakaian lusuh yang tengah mencangkul sawahnya. Di dapatinya, petani ini memiliki sendiri sawahnya yang sempit dengan hasil yang sekedar cukup untuk menghidupi keluarganya. Petani itu memiliki sendiri pondok tempat tinggalnya. Dengan perkataan lain, ia memiliki – sekalipun serba sedikit, modal dan alat produksinya. Ditanya, petani itu menjawah namanya Marhaen, suatu nama yang konon umum di kalangan rakyat jelata Jawa Barat di tahun 1920-an itu. Suatu ilham segera muncul di benak Soekarno.
Ia akan memakai nama itu untuk menyebut jutaan orang Indonesia yang nasibnya seperti si Marhaen orang kecil dengan tanah milik kecil, dengan alat-alat kecil sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Kaum Marhaen, menurut Soekarno, berbeda dengan kaum proletar menurut paham Marxis.
Kaum proletar adalah mereka yang sama sekali tidak ikut memiliki sarana produksi, berbeda dengan si Marhaen yang sekalipun “orang kecil”, miskin, namun bukan tergolong proletar. Sejak itu istilah Marhaen lahir. Pada dasarnya Marhaenisme menuntut perlunya persatuan di antara semua golongan melawan liekuatan kolonial. Di samping itu jug mempertentangkan gagasan sosialisme, nasionalisme dan demokrasi melaan kapitalisme, penindasan dan rasisme. Tujuan perjuangan adalah untuk kemenangan massa Marhaen.
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan di Bandung pada 1927 oleh Bung Karno dkk (antara lain Anwari, Sartono, Iskaq Tjokrohadisurjo, Soenario dan Budhyarto) merupakan organisasi yang secara tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menolak bekerjasama dengan penjajah Belanda. Aksi massa, adalah dasar perjuangan partai ini.
Marhaenisme sebagai suatu ajaran kemudian makin berkembang terutama oleh Bung Karno dengan tulisan dan pidato-pidatonya. Antara lain pidatonya 1 Juni 1945 yang umum disebut pidato akhirnya Pancasila.
Marhaenisme kemudian dianggap sebagai perasan semua ajaran Soekarno. Setelah Indonesia merdeka, PNI kemudian memakainya sebagai asas perjuangan dan menyebut organisasinya sebagai Front Marhaenis. Dalam sejarah PNI, berhagai rumusan tentang Marhaenisme telah dibuat. Dalam masa awalnya setelah kemerdekaan, para pemimpin PNI sering dikecam kehidupan mereka tidak sesuai dengan konsep Marhaenis yang mereka perjuangkan.
Rumusan Marhaenisme juga sering berubah sesuai dengan perkembangan politik — dan komposisi pimpinan PNI. Pertentangan dalam tubuh pimpinan PNI sendiri mengakibatkan antara lain pemisahan dan pembentukan partai baru, Partai Indonesia Raya (PIR, 1948), Partai takyat Nasional (PRN, 1950) dan Partindo (1958). Pada 1960 PNI memberi gelar Presiden Soekarno sebagai “Bapak Marhaenisme” dan rumusan resmi Marhaenisme mempersamakannya dengan Pancasila dan Manipesto Politik 1959 (Manilol).
Setelah 1960 PNI dianggap bergeser ke kiri – konon untuk mengimbangi berkembangnya PKI, hingga kemudian muncul rumusan Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Beberapa tokoh yang menentang kemudian dituding scbagai “Marhaenis gadungan.” Rumusan ini diubah dan dikembalikan lagi pada persamaan Marhaenisme dengan Pancasila pada 1966, lewat suatu deklarasi Yudya Pratidina Marhaenis.
Sumber Majalah Tempo 30 Agustus 1980
Sebuah catatan kecil :
Kepada penulis otobiografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengisahkan bagaimana ia mendirikan PNI lantas merekrut para pelacur menjadi anggotanya. Tak urung, tercatat 670 pelacur berbondong-bondong menjadi anggota PNI. Oleh Bung Karno, mereka dipuji sebagai para loyalis sejati, yang mau menjalankan perintah Bung Karno untuk kepentingan pergerakan.
Alkisah… 670 pelacur Kota Bandung, selanjutnya menjadi informan (inforgirl…?) bagi Bung Karno. Alkisah, 670 perempuan lacur Kota Kembang, menjadi mata bagi Bung Karno. Alkisah, 670 wanita sundal Paris van Java, menjadi telinga bagi Bung Karno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar