Home » , » Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Tuban

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Tuban

Written By Moh Wahyudi on Senin, 02 Januari 2012 | 01.05






Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Tuban


X-1.       Berita-berita kuno tentang Tuban, sejarah dan legenda
Mengingat keadaan geografisnya, Kota Tuban ini tidak ditakdirkan menjadi kota pelabuhan yang penting. Pada abad ke-15 dan ke-16 saja kapal-kapal dagang yang sedikit besar sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari kota. Tidak diketahui apakah dahulu keadaannya lebih baik. Dapat diduga bahwa Tuban sejak zaman dahulu menjadi kedudukan penguasa-penguasa setempat yang kuat. Berita-berita Portugis dan Belanda dari abad ke-16 memberi kesan bahwa mata pencaharian orang Tuban adalah bertani, beternak, dan menangkap ikan di laut.[1] Hasil-hasilnya adalah beras, ternak, dendeng, ikan kering, dan ikan asin yang dapat dijual, baik ke daerah pedalaman maupun kepada kapal-kapal dagang yang berlabuh untuk menambah persediaan bahan makanannya. Lagi pula orang-orang Tuban, yang asal mulanya mungkin nelayan, juga melakukan pembajakan dengan perahu-perahu kecil. Kapal-kapal dagang yang berharga muatannya (rempah-rempah), yang sejak dahulu mengarungi Laut Jawa menuju ke dan dari kota-kota dagang besar, seperti Gresik dan Surabaya, dijadikan sasaran mereka.[2]
Sudah sejak abad ke-11 dalam berita-berita para penulis Cina Kota Tuban disebut sebagai kota pelabuhan. Gerombolan-gerombolan Cina-Mongolia, yang pada tahun 1292 datang menyerang Jawa Timur (suatu kejadian yang kemudian menyebabkan berdirinya Majapahit), konon mendarat di Tuban. Lalu dari sana pulalah mereka meninggalkan daratan.[3] Tidak dapat diteliti lagi apakah tujuh abad yang lalu tempat tersebut dapat lebih mudah disinggahi kapal daripada sekarang. Sejak itu pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Jalan yang mudah ditempuh dengan kendaraan menuju ke selatan, lewat pegunungan pantai terus ke Babad di tepi Bengawan Solo, zaman dulu telah menjadikan Tuban pintu gerbang bagi daerah hulu sungai-sungai besar di Jawa Timur, seperti Bengawan Solo dan Brantas. Yang pasti ialah bahwa kedua sungai besar ini, yang menghubungkan timur, barat, dan selatan, benar-benar merupakan faktor yang sangat penting dalam sejarah politik dan peradaban di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tuban juga mempunyai kedudukan penting dalam legenda sejarah Jawa Timur. Kebenaran peristiwa-peristiwa dalam cerita boleh dikatakan meragukan, begitu pula penanggalannya, namun kenyataan bahwa Tuban sering disebut menunjukkan namanya sudah lama terkenal sebagai kota penting di daerah pantai utara Jawa Timur.
Sebelumnya telah dijelaskan adanya hubungan yang, menurut legenda, telah terjalin antara Tuban dan Jepara (cerita tentang Sandang Garba, cat. 107); juga antara Tuban dan Jawa Barat bagian Sunda. Menurut buku cerita Jawa Tengah, Majapahit didirikan oleh seorang pangeran dari Sunda, yang bernama Jaka Susuruh atau Raden Tanduran. Ibu Jaka Susuruh konon kelahiran Tuban, dan kakak laki-lakinya yang bernama Aria Bangah (ibunya seorang wanita Islam dari Grage, yaitu Cirebon) kelak menjadi penguasa di Tuban. Hubungan antara Tuban dan kota kerajaan di pedalaman Jawa Timur, Majapahit (atau kota-kota kerajaan sebelumnya), memang ada dalam legenda ini. Hubungan itu pada abad ke-15 dan ke-16, dan bahkan sebelum itu, benar-benar ada; hal itu tidak perlu diragukan.[4]
Memang ada beberapa alasan untuk percaya akan adanya hubungan antara Sunda di Jawa Barat dan Jawa Timur, lewat laut melalui pantai utara. Pada zaman dahulu, waktu kerajaan-kerajaan "kafir" Jawa Tengah dan Jawa Timur baru saja mulai berkembang, kebebasan bergerak golongan-golongan rakyat - baik di pedalaman, maupun di laut sepanjang Pantai Utara - lebih besar daripada kemudian. Ketika itu tuan-tuan tanah tidak mau lagi melepaskan petani-petaninya; supaya terjamin masuknya hasil panen tahunan secara teratur.
Dalam dongeng-dongeng tentang Tuban kedudukan keturunan raja Ranggalawe penting. Menurut buku-buku cerita, ayah Ranggalawe, Dandang Wacana, pergi ke Bali untuk mengambil putri Bali bagi raja Majapahit, Ardi Wijaya. Putri Bali ini kelak menjadi nenek ratu Majapahit yang kemudian terkenal dengan nama Ratu Kenya itu. Ranggalawe sendiri dan putranya, merupakan pahlawan-pahlawan kerajaan Ratu Kenya dalam pertempuran-pertempuran melawan raja Blambangan, Menakjingga yang meminang dia. Ranggalawe telah menjadi pahlawan dalam balada-balada yang bersifat sejarah gadungan di Jawa Timur, yang dikarang pada abad ke-15 atau sesudahnya. Kenyataannya, Ranggalawe mungkin hidup sekitar tahun 1300 M., sezaman dengan dan teman seperjuangan sang pangeran pendiri Majapahit.[5]

X-2.       Tuban sekitar tahun 1500; sejarah dan legenda
Mengenai Kota Tuban pada permulaan abad ke-16, musafir Portugis Tome Pires mendapat kesan bahwa kota itu tempat kedudukan raja; perdagangan dan pelayaran tidak berperan seperti di Gresik. Keratonnya mewah, dan kotanya, meskipun tidak besar sekali, mempunyai pertahanan yang tangguh. Keluarga rajanya, sekalipun beragama Islam, sejak pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja Majapahit di pedalaman. Sebagian penduduk Kota Tuban pada zaman Tome Pires masih "kafir". Menurut musafir Portugis itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vira. la bukan seorang Islam yang taat, meskipun kakeknya sudah masuk Islam. Dari kata Vira dikenal kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi dapat juga Vira dihubungkan dengan Wila-Tikta. Menurut tambo-tambo Jawa Tengah dan Jawa Timur, raja Tuban yang memerintah sekitar tahun 1500 M. itu memakai gelar Aria Wila-Tikta.
Cerita sejarah lokal Tuban dibukukan menjadi Babad Tuban, suatu naskah yang terutama hanya memuat urutan nama para penguasa kota tersebut, tetapi sayang tanpa tahun-tahun kejadian.[6] Menurut Babad Tuban, Aria Wila-Tikta itu anak dan pengganti Aria Teja, yaitu seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan raja Tuban, Aria Dikara, untuk masuk Islam. Kemudian ia mendapat putri Aria Dikara sebagai istri. Nama Aria Teja dalam bahasa Arab adalah Abdurrahman. Kisah ini sesuai sekali dengan cerita Tome Pires yang mengatakan bahwa penguasa Tuban sekitar tahun 1500 M. itu adalah cucu raja Islam yang pertama di tempat itu. Keduanya boleh dipercaya.[7] (lihat juga Bab I-1, dan cat. 4).
Nama-nama yang disebutkan dalam Babad Tuban itu ternyata gelar Adikara (Sanskerta: adhikara) adalah gelar yang dicantumkan pada bagian akhir nama jabatan gubernur di daerah-daerah penting, atau pejabat-pejabat tinggi keraton. Mereka juga berhak memakai gelar Aria. Pada kata wilatikta darat dikenal kata Wilwatikla, terjemahan Sanskerta untuk Majapahit.[8] Jadi, nama-nama yang dituturkan itu memperkuat berita-berita tentang hubungan yang sudah lama ada antara Keraton Majapahit dan keturunan para penguasa Tuban.

X-3.       Tuban dan penyebaran agama Islam di Jawa Timur; legenda dan sejarah
Dapat dimengerti bahwa kota tua di pantai utara, yang penguasanya pada pertengahan abad ke-15 (atau sebelumnya) sudah masuk Islam, tetapi yang tetap berhubungan baik dengan keraton "kafir" Majapahit, merupakan pusat penting untuk memulai usaha penyebaran Islam di Jawa Timur. Sukar untuk dibayangkan bahwa Aria dari Tuban yang beragama Islam itu, sebagai pejabat terkemuka di Keraton "kafir"., di tempat ia harus tinggal tiap tahun untuk beberapa waktu, dapat membebaskan diri dari upacara-upacara non-Islam. Padahal, upacara-upacara itu merupakan bagian politik Kerajaan Majapahit. Tetapi sanak saudara dan para pegawai Islam, pengikut Adipati Tuban yang kaya dan berpengaruh itu, mestinya menimbulkan keheranan karena sikap mereka terhadap kebaktian "kafir". Beberapa cerita Jawa mengisahkan bahwa pada waktu Majapahit diserang oleh orang-orang Islam (tahun 1527, menurut dugaan orang), beberapa pangeran di Keraton telah masuk Islam dan tidak ikut serta dalam pertempuran itu.[9] Berita-berita tentang anggota keluarga raja Majapahit yang sudah masuk Islam dapat pula dihubungkan dengan hadirnya para pejabat penting yang beragama Islam. Selain itu, sebelumnya telah dikatakan bahwa di Majapahit sudah lama ada orang Islam.[10]
Menurut lagenda-lagenda tentang orang suci Islam di Jawa, anggota dinasti raja Tuban sungguh banyak sumbangannya dalam penyebaran agama Islam di Jawa Timur. Seorang adipati, yaitu Adipati Wilatikta (mungkin yang mendahului Pate Vira, yang disebut Tome Pires), telah memberikan seorang putrinya sebagai istri kedua kepada Raden Rahmat dari Surabaya, yang kelak terkenal sebagai Sunan Katib Ngampel Denta. Dari perkawinan ini lahirlah orang suci yang sungguh luar biasa, yang dengan nama Sunan Wadat (yang hidup membujang) dari Bonang, telah bermukim dan giat di banyak tempat di daerah-daerah pesisir sebelah timur. Antara lain ia dikabarkan lama menjadi penghulu di Masjid Suci Demak. Makamnya di Tuban menjadi tempat ziarah.[11]
Orang suci lain, yang menurut asalnya dari keluarga raja Tuban, ialah Raden Sahid yang kelak akan terkenal dengan nama Sunan Kalijaga. Menurut cerita, ia anak Tumenggung Wilatikta dari Tuban. Waktu mudanya ia seorang berandal; berkat asuhan Sunan Bonang (mungkin masih kerabat yang lebih tua, dari pihak ibunya) ia dapat kembali ke jalan yang benar. Beberapa lama ia tinggal di Cirebon dan menjadi menantu Sunan Gunungjati. Kemudian ia muncul di keraton Sultan Tranggana di Demak, dan di situ ia bertemu dengan Sunan Kudus, penghulu Masjid Keramat. Menurut cerita, Sunan Kalijaga itu seorang bangsawan Jawa, berasal dari kaum atasan, yang akhirnya menjadi ketua Musyawarah Alim Ulama yang mengadakan pertemuannya di Masjid Demak. la dimakamkan di Kadilangu, tidak jauh dari Demak.[12]
Pada abad ke-17 dan ke-18, meskipun tidak berarti lagi di bidang politik dan ekonomi, Tuban tetap masih terkenal sebagai tempat tinggal para ulama terkemuka. Dalam hubungan ini perlu disebut nama Haji Amad Mustakim dari Cabolek (daerah Tuban). Perdebatannya dengan Ketib Anom dari Kudus tentang mistik Islam menjadi pokok pembicaraan dalam suatu tulisan Jawa yang terkenal, disebut Serat Cabolek.[13]

X-4.       Sejarah politik Kerajaan Tuban pada abad ke-16, lagenda dan sejarah
Raja bawahan Islam di Tuban, yang tetap setia kepada maharaja "kafir" dari Majapahit, adalah salah seorang yang tetap bersikap netral pada waktu orang-orang alim di bawah pimpinan tokoh yang kelak bernama Sunan Kudus menyerang kota kerajaan tua itu. Menurut satu cerita Jawa, yang diberitakan oleh Raffles, pertempuran pertama terjadi dekat Tuban dan umat Islam menderita kekalahan (waktu penghulu Demak gugur). Orang bertanya apakah orang-orang alim mungkin bermaksud menundukkan Tuban dahulu sebelum menyerang ibu kotanya. Menurut tarikh Jawa (babad sangkala) seperti diuraikan terdahulu (Bab II-12), pada tahun yang sama, yaitu 1527, waktu Majapahit direbut oleh orang-orang Islam, konon Tuban sudah diduduki pula oleh sultan Demak. Cerita yang dibukukan, Babad Tuban oleh laskar Demak dan runtuhnya Majapahit.
 Babad Tuban menyebutkan bahwa sesudah Aria Wilatikta masih beberapa nama raja-raja lagi, yang konon keturunan Aria Dikara. Telah banyak terjadi kekacauan dan perkelahian di antara keluarga raja. Akhirnya seorang raja Tuban menjadi menantu Sultan Pajang.
Adipati Tuban itu (yang dalam Babad Tuban disebut Pangeran Aria Pamalad), menurut cerita Jawa Tengah (Serat Kandha, hal. 528, 554, 573), telah menduduki tempat yang penting di Pajang pada akhir pemerintahan Sultan. Bersama adipati Demak, juga menantu Sultan Pajang, ia ingin mempertahankan hak atas tahta bagi putra Sultan yang masih muda, Pangeran Benawa, terhadap serangan Senapati dari Mataram. Setelah sultan tua meninggal, Sunan Kudus - atas ajakan raja Tuban -ingin menyelesaikan perselisihan itu dengan memutuskan bahwa adipati Demak menggantikannya di Pajang, sedang Pangeran Benawa dari Pajang yang masih muda itu akan berkedudukan di Kerajaan Jipang yang tua itu. Akan tetapi Senapati Mataram menganggap sepi hak-hak adipati Demak itu; dengan cepat ia dapat menguasai semua wilayah kesultanan.
Apa pun kebenaran dalam cerita Jawa, yang dapat dipertimbangkan adalah kemungkinan raja Tuban, karena ikatan lama dengan keluarga raja Demak, Jipang, dan Pajang, telah berusaha untuk menentang perluasan pengaruh raja Mataram yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengannya. Tetapi perlawanannya pada tahun 1587 tidak mampu menahan tekanan Mataram yang masih muda itu.
Menurut Babad Tuban, Pangeran Aria Pamalad dari Tuban, sesudah ada pemerintahan selingan, diganti oleh putranya, yang disebut Pangeran Dalem. Raja inilah yang menjadi tokoh pembangun masjid besar di Tuban dan bangunan pertahanan Guwa Babar.[14] Mungkin bangunan pertahanan ini telah banyak berjasa dalam mematahkan serangan satuan-satuan tentara Mataram, yang dikirim oleh Senapati pada tahun 1598 dan 1599. Antara dua kali serangan dari pedalaman, pada bulan Januari 1599 Tuban disinggahi oleh kapal-kapal Belanda di bawah komando Laksamana Muda Van Warwijek (Tweede Schipvaert). Orang-orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton. Penguasanya menamakan diri raja terbesar di Jawa.
Pada tahun 1617 raja Tuban masih berkeinginan untuk mengadakan ikatan keluarga dengan raja terakhir dari Pajang, yaitu Pangeran Benawa II, melalui perkawinan; Pangeran Benawa II ini memberontak terhadap Sultan Agung dari Mataram (lihat Bab XIX-8).
Akhirnya keluarga raja Tuban yang tua itu terpaksa tunduk juga pada nafsu serakah Sultan Agung yang terus memperluas daerahnya. Pada tahun 1619 Kota Tuban ditundukkan oleh orang-orang Jawa dari pedalaman. Menurat Babad Tuban, Pangeran Dalem telah lebih dulu melarikan diri lewat laut ke Pulau Bawean di Laut Jawa. Kemudian ia mungkin menetap di Rajeg Wesi, di daerah Jipang (jadi tidak jauh dari tempat asalnya, Tuban).[15] Konon ia dimakamkan di Bojonegoro, di kampung Kadipaten, di sebelah timur kabupaten, di pusara yang bernama "Buyut Dalem".
Pada abad ke-17 dan sesudahnya, yang memerintah di Tuban ialah bupati-bupati yang diangkat oleh raja-raja dinasti Mataram.

e-books a.mudjahid chudari




[1]       Piagam Jawa Timur dari Karang Bogem - tahun 1387 - (Pigeaud, Java, jil. I, hlm. 122; jil. III, hlm. 173, dan jil. IV, hlm. 449-454) menguraikan adanya perkampungan di pantai utara, tempat orang memelihara ikan dalam tambak-tambak dengan air laut, untuk pembuatan terasi. Tidak ada petunjuk-petunjuk jelas bahwa Karang Bogem boleh secara langsung dihubungkan dengan Tuban. Tetapi dapat diperkirakan bahwa Tuban dahulu terjadi dari kampung, seperti Karang Bogem itu (sekarang agaknya tidak diketahui lagi lokasinya). Mengherankan bahwa dalam Nagara Kertagama, yaitu lukisan Kerajaan Majapahit dari tahun 1365 yang penting itu, Kota 'Cuban tidak disebutkan. Pada abad ke-11 Tuban pasti sudah ada.
[2]       Mengenai keadaan ekonomi dan politik di Tuban pada abad ke-15 dan ke-16, lihat Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 105-107, 284-286, dan indeksnya).
[3]       Beberapa pemberitaan mengenai sejarah Tuban sebelum zaman Islam terdapat dalam Graaf, Geschiedenis (hlm. 59 dan 63). Berita-berita kuno dari orang-orang Cina tentang Tuban disebutkan dalam Krom, Hindoe.
[4]       Pigeaud, Literature (jil. II, hlm. 361), berisi ikhtisar dari buku cerita Codex LOr no. 6379, yang berkali-kali menyebutkan nama Tuban; lihat juga jil. III, di bawah "Tuban".
[5]       Cerita-cerita legenda dan balada-balada tentang Ranggalawe Tuban dicantumkan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 123 dan 125. Banyak di antara sajak-sajak itu telah diterbitkan dan diberi penjelasan oleh Professor Berg. Dalam karya Brandes, Pararaton, telah tercantum dan dibicarakan ikhtisar-ikhtisar kisah Damarwulan dari zaman Islam muda, yang berkali-kali menyebutkan nama Tuban dan Ranggalawe.
[6]       Lihat Tan Koen Swie, Babad. Mungkin penyusun babad tersebut menganggap dirinya sendiri berasal dari keturunan raja-raja Tuban yang tua, yang kehilangan kekuasaannya waktu pasukan-pasukan Jawa Tengah pimpinan Sultan Agung -sesudah pertempuran-pertempuran hebat - berhasil merebut kota yang sudah diperkuat itu pada tahun 1619. Selanjutnya Babad Tuban itu akan dipergunakan lagi sebagai sumber sejarah. Karena berita-beritanya tentang zaman lama (sekitar tahun 1500 M.) dapat dipercaya, maka pemberitaannya tentang masa selanjutnya kiranya juga dapat dipercaya, setidak-tidaknya perlu disebutkan.
[7]       Padmasoesastra (Sadjarah Dalem) menyebutkan Aria Teja dari Tuban sebagai anak Abdurrahman, seorang ulama dari tanah Arab. Menurut dia, Aria Teja I ini moyang (turunan ke-4) Aria Teja, yang menjadi ayah mertua Sunan Katib dari Ngampel Denta (Surabaya). Padmasoesastra menempatkan pemberitaan-pemberitaan ini pada paragraf yang menyangkut Nyai Gede Manila, istri kedua Sunan Ngampel yang berasal dari Tuban (Sadjarah Dalem, hlm. 41). Pengarang yang berasal dari Surakarta ini menyebutkan silsilah Abdurrahman/Aria Teja I, yang diurut kembali sampai dengan Abbas, anak Abdul Muntalip, raja Mekkah, jadi tidak sampai pada Nabi sendiri, seperti yang diperkirakan orang. Abdurrahman, ulama keturunan Arab ini, kiranya orang yang paling berkenan ("kawiji”) pada raja Majapahit pertama, Jaka Susuruh (yang menurut asalnya, seorang pangeran Sunda dari Jawa Barat). Sesudah Jaka Susuruh menjadi raja Majapahit, rupanya ia telah merebut kembali tanah asalnya Pajajaran, yang terpaksa ditinggalkannya untuk mengungsi. Sesudah mendapat kemenangan, raja itu telah memberi anak emasnya yang berketurunan Arab itu (yang agaknya telah berjasa kepadanya) nama Aria Teja, dan mengangkatnya sebagai penguasa di Tuban. Cerita legenda ini ternyata sesuai dengan pemberitaan yang terdapat dalam buku cerita Codex LOr, no. 6379 (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 361b) tentang Raja Kumara dari Majapahit (kiranya anak Susuruh). Raja Kumara telah mengusir pamannya, Siung Wanara, dari Pajajaran ke Banten. Maka, pada waktu itu para pandai besi Pajajaran pindah ke Majapahit. - Dalam hubungan ini baiklah disebutkan juga suatu pemberitaan (dalam Codex NBS, no. 25-2; Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 719a), tentang Empu Domas, suatu jemaah para pandai besi yang dipimpin oleh Modin Tuban, pemimpin Islam di Tuban, dan Ki Keleng. Cerita-cerita legenda ini (dan masih ada lagi cerita-cerita lain semacam itu dalam kesusastraan Jawa) di sini hanya sambil lalu saja kita sebutkan, untuk memperlihatkan betapa pentingnya kedudukan Tuban dalam hubungannya dengan Majapahit dan Jawa Barat, menurut cerita-cerita tutur di daerah-daerah Pesisir Timur Laut mengenai permulaan zaman Islam. Lihat juga Bab XII-1, akhir, dan cat. 208.
[8]       Adikara dan adikarana (Sanskerta: penguasa/pemerintah) telah disebutkan dalam Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 107b), dan Wilwalikta, di bawah judul "Wilwa", Aegle marmelos = Maja (jil. V, hlm. 306b). Jadi, nama gelar Aria Wilwatikta dapat diartikan sebagai gelar Aria dalam Keraton Majapahit.
[9]       Jalannya peristiwa, menurut sangkaan kita, waktu kota kerajaan lama Majapahit diduduki oleh "orang-orang alim" dan raja-raja Islam, telah dibicarakan pada Bab II-10 dan V-1.
[10]     Pada Bab I-1 telah diberitakan adanya petunjuk-petunjuk mengenai terdapatnya  orang-orang Islam dalam Kerajaan Majapahit pada zaman dahulu.
[11]     Dalam Pigeaud, Literature (jil. III di bawah "Bonang" dan "Tuban") telah dimuat petunjuk-petunjuk pendek tentang lagenda-lagenda Jawa yang menonjol dan naskah-naskah Jawa yang memuatnya. Tinjauan Drewes, "Struggle", dan Drewes, Admonitions berisi tinjauan-tinjauan menarik mengenai Sunan Bonang. Buku yang disebut terakhir ini berisi perbaikan dan penambahan buku Schrieke, Bonang; anggapan Schrieke bahwa Sunan Bonang adalah penulis sendiri naskah tersebut memang tidak benar.
[12]     Lagenda-Iegenda Jawa mengenai Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunungjati dan orang-orang suci lainnya dalam agama Islam telah dibicarakan dalam Djajadiningrat. Banten.
[13]     Cabolek dengan singkat sudah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil.I, hlm. 88 dst. Nama tempat Cabolek yang mengingatkan kita akan bahasa Sunda (bahasa Sunda Ci-) agak berhubungan dengan lagenda-lagenda yang disebutkan pada cat. 163 tentang hubungan-hubungan lama antara Tuban dan Jawa Barat, dan antara Cerbon dan Pajajaran, lewat laut (lihat juga cat. 106). Dalam rangka ini perlu diperhatikan Soebardi, Cabotek.
[14]     Dalam Babad Tuban (Tan Koen Swie, Babad) masih diberitakan suatu hal yang khas, yaitu mengenai kubu pertahanan yang dinamakan "kumbakarna", dengan ridha Tuhan dibangun oleh Orang Suci Mohammad Asngari, dari Majagung. Sejak itu orang ini sangat dimuliakan di Tuban.
[15]     Rajeg Wesi ialah kota tua yang disebutkan dalam Noorduyn, "Solo Ferries". Kisah sejarah Jawa, karangan Padmasoesastra, Rangsang Toeban,sukar diketahui kedudukannya dalam sejarah Tuban.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger