Masyarakat yang multikulturalis sudah pasti memiliki budaya, aspirasi dan perbedaan-perbedaan yang beraneka ragam, namun mereka tetap sama, tidak ada yang merasa paling hebat atau paling kuat dari yang lain. Mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam bidang sosial maupun politik. Namun akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan atau bahkan sering menimbulkan pro dan kontra di antara sesama mereka, yang pada dapat menimbulkan terjadinya konflik baik antar etnis maupun antar agama.
Diantara factor pemicu konflik dalam multikulturalisme adalah perbedaan agama, sebab agama adalah merupakan sesuatu yang paling asasi dalam diri seseorang dan paling mudah menimbulkan gejolak emosional. Sejarah mencatat bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia pada dasarnya bukanlah disebabkan oleh agama saja, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik, namun agama dijadikan sebagai simbol bahkan sebagai motor penggerak untuk terjadinya konflik antar ummat beragama.
"hai manusia, sesungguhnya kamu dari seorang laki - laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku - suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguuhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal". (Q.S. Al-Hujurat : 13). Disini dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan berbagai bangsa utuk saling kenal-mengenal. Surat Al-Hujarat menerangkan tentang akhlak yang baik yang berhubungan dengan sikap orang mu'min terhadap Allah , Nabi Muhamad saw, dan sikap mereka terhadap saudara-saudara mereka seagama.
ISLAM KULTURAL
Kata kebudayaan berasal dari sansekerta, budhaiyah ialah berntuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan atau kulture adalah segala hasil dari segala cipta karsa dan rasa.[1]
Menurut DR. M. Hatta, kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semua tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme adalah keberanekaragaman dari budaya yang ada di suatu negara. Dr. Turnomo Rahardjo membedakan keduanya sebagai berikut :[2]
a. Kulturalisme
a) Bertujuan mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek pragmatis dan instrumental dalam kontak antarbudaya.
b) Memberikan penekanan pada pemeliharaan identitas kultural
c) Mengkombinasikan pendekatan etic (memperoleh data) dan pendekatan emic (mendapatkan data) dalam pertukaran antarbudaya.
b. Multikulturalisme
a) Bertujuan mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat diubah oleh kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal.
b) Berusaha memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya.
c) Merupakan proses emic (mendapatkan data) karena mensyaratkan pemeliharaan terhadap keberadaan setiap budaya.
Undang-undang Dasar memberikan kebebasan dalam beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pemakaian hak ini. Tidak ada perubahan dalam status penghargaan pemerintah terhadap kebebasan beragama selama periode pembuatan laporan, dan kebijakan pemerintah kian memberikan kebebasan secara umum dalam beragama. Namun, saat sebagian besar penduduk menikmati tingkat kebebasan beragama yang tinggi, pemerintah hanya mengakui enam agama besar. Beberapa larangan hukum terus berlaku pada beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui.Beberapa larangan Pemerintah terkadang memberikan toleransi terhadap diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok individu dan seringkali gagal menghukum para pelakunya.
Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya propinsi yang diberikan wewenang untuk melaksanakan hukum Islam (Syariah), beberapa pemerintah daerah di luar Aceh mengeluarkan peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah yang menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama minoritas. Pemerintah tidak menggunakan wewenang konstitusionalnya atas masalah-masalah agama untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan daerah ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok agama minoritas terus mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam konteks pencatatan sipil untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan dengan pengeluaran kartu identitas. [3]
Formalisasi syariat yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia di tengah pluralitas social budaya, cenderung mengakibatkan diintegrasi bangsa yang akan menjadi semakin rumit pada akhirnya[4]. Mereka menganggap Syariat Islam adalah jalan atau rujukan yang ditetapkan oleh agama Islam, perujukan disisni bermaksud bahwa orang-orang beragama Islam menempuh jalan hidupnya atas dasar agama Islam, hidup memiliki berbagia aspek, karena itu syariat Islam membuka segala aspek tersebut, maka Islam merujuk syariat untuk segala aspek kehidupan yang dijalaninya. Sedangkan sebagian lagi memberikan pandangan bahwa syariat Islamadalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman.[5] Karena itu diperlukan tinjauan ulang dalam upaya memfomalisasikan secara utuh penerapannya di Indonesia yang notabene Negara berpenduduk muslim terbesar yang sangat plural dan memiliki culture yang majemuk.
ISLAM DAN MULTIKULTURAL
Multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural.
Indonesia dikenal sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi pada realitanya Indonesia mempunyai kebudayaan yang sangat majemuk, bahkan dalam arah dan gerak para penganutnya berbeda-beda berdasarkan kelompok-kelompoknya masing-masing. Ada kelompok yang menginginkan penerapan syariat Islam berlandaskan Al-quran dan As-sunnah mnejadi hokum formal di Indonesia, ada pula kelompok yang lebih cenderung menginginkan penyerapan terhadap nilai-nilai agama Islam dengan ajarannya yang menynentuh seluruh lapisan masyarakat sebagai agama rahmatan li al-alamien.
Konsep Syariat Islam di Indonesia di tengah pluralitas social budaya akan cenderung mengakibatkan disintegrasi di tanah air. Misalnya, pertarungan wacana dan ideologi Islam kembali mencuat ke permukaan ketika dua kubu yang saling berseberangan yaitu Islam fundamental dan liberal. Dalam perdebatannya, tentu saja perbedaan pendapat dan konflik sosial pun seringkali tidak bisa dihindari. Bahkan, klaim kebenaran (truth claim), tuduh-menuduh, penghakiman dan pengkiafiran seolah menjadi trend dalam kehidupan beragama di negeri ini. Karena itu, syariat Islam sebagai ideologi bangsa perlu ditinjau kembali dalam penerapannya.
Nusantara adalah realitas sebenarnya Islam multikultural, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya.[6] Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo.
Kini, realitas multikultural tersebut kadangkala menantang kita untuk bisa bersikap lebih arif dan bijak. Kebjaksanaan ini dituntut terkait munculnya beragam kelompok dalam Islam di Indonesia belakangan ini, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, alirannya bapak Mussadeq, JIL, LDII, Ikhwanul Muslimin, dll.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sangat prularis dan bahkan multikulturalis sebab negeri ini terdiri atas berbagai etnis, bahasa, agama, budaya, kultur dan lain sebagainya. Keragaman kultur tersebut terbukti dengan tetap kokohnya kesatuan bangsa atas nama “Bhinneka Tunggal Ika” yang selalu dijunjung tinggi masyarakat.
Banyak hal yang mempengaruhi dalam upaya menciptakan Indonesia damai tanpa mengusik kemajemukan budaya, dan berbagai aspek pendukungnya. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
Kedua, realitas yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.
Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.
Multikulturalisme merupakan salah satu ajaran Tuhan yang sangat berguna dan bermanfaat bagi ummat manusia dalam rangka untuk mencapai kehidupan yang damai di muka bumi, hanya saja prinsip-prinsip multikulturalisme itu sering tercemari oleh perilaku-perilaku radikalisme, eksklusivisme, intoleransi dan bahkan “fundamentalisme”. Hal ini dapat diatasi apabila kita bisa menjadikan iman dan taqwa berfungsi dalam kehidupan yang nyata bagi bangsa dan negara. Bila iman dan taqwa itu telah berfungsi dalam kehidupan kita masing-masing dan agama telah berfungsi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, maka perilaku-perilaku radikalisme, ekseklusivisme, intoleransi dan “fundamentalisme” akan terhindar dari diri ummat beragama dan kita akan menjalani hidup yang demokratis yang penuh dengan kebersamaan dan persaudaraan. Dengan demikian akan tercipta keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara dan terhindar dari konflik-konflik yang bernuansa agama.
KEANEKARAGAMAN DALAM ISLAM
Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Samsul Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang Multikulturalisme. Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).[7]
a) Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif.
Kemajemukan internal ini mencakup antara lain : Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik kepartaian.
b) Multikulturalisme Eksternal
Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama.
Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan Islam.
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK
Multikulturalisme di suatu Negara khususnya di Indonesia dapat menimbulkan konflik apabila antara budaya yang satu dengan yang lainnya tidak ada rasa kebersamaan dalam segala hal. Faktor pemicunya yaitu sebagai berikut :
1. Faktor ekonomi dan politik.
Faktor ini sangat dominan sebab terjadinya kerusuhan sosial di berbagai daerah pada negeri ini adalah disebabkan ketidakpuasan kalangan masyarakat terhadap terjadinya kesenjangan sosial yang sangat tajam antara si kaya dengan si miskin, antara pejabat dengan rakyat jelata, antara ABRI dengan sipil, antara majikan dengan buruh, antara pengusaha besar dengan pedagang kecil, sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, politik dan ekonomi yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Ketidakpuasan tersebut diwujudkan dalam bentuk protes-protes sosial yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial, ditambah lagi dengan agama yang menopang untuk membolehkan aksi-aksi tersebut.
2. Faktor agama itu sendiri yang meliputi :
a. Pendirian Rumah Ibadah yang tidak didirikan atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi ummat beragama serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Penyiaran Agama yang dilakukan secara berlebihan dan memaksakan kehendak bahwa agamanyalah yang paling benar, sedangkan agama lain adalah salah. Lebih berbahaya lagi manakala penyiaran agama itu sasaran utamanya adalah penganut agama tertentu.
c. Bantuan Luar Negeri baik berupa materi maupun berupa tenaga ahli yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, apalagi sering terjadi manipulasi bantuan keagamaan dari luar negeri.
d. Perkawinan Berbeda Agama yang sekalipun pada mulanya adalah urusan peribadi dan keluarga, namun bisa menyeret kelompok ummat beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut akibat hukum perkawinan, harta benda perkawinan, warisan dan sebagainya.
e. Perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang memperhatikan situasi, kondisi, toleransi dan lokasi tempat pelaksanaan perayaan itu. Apalagi perayaan itu dilakukan besar-besaran dan menyinggung perasaan.
f. Penodaan Agama dalam bentuk pelecehan atau menodai doktrin dan keyakinan suatu agama tertentu baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Penodaan agama ini paling sering memicu terjadinya konflik antar ummat beragama.
g. Kegiatan Aliran Sempalan, baik dilakukan perorangan maupun oleh kelompok yang didasarkan atas sebuah keyakinan terhadap agama tertentu namun menyimpang dari ajaran agama pokoknya.
3. Faktor lokalitas dan etnisitas.
Faktor ini terutama muncul sebagai akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya masalah etnisitas, Indonesia memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab terdiri dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250 bahasa. Faktor ini akan menjadi pemicu dengan menguatnya etnisitas seperti penduduk asli atau putra daerah dan pendatang yang dengan mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada konflik, bahkan kerusuhan sosial.
Ketiga faktor tersebut akan dapat diatasi dengan meningkatkan semangat pluralisme dan multikulturalisme yang dasar-dasarnya terdapat dalam ajaran-ajaran agama yang hidup dan berkembang di negeri ini. Apalagi seperti kata ahli sosiologi Durkheim, agama ibarat “Lem Perekat” yang mengikat warga masyarakat supaya berada dalam kebersamaan, persatuan dan kesatuan.
MASYARAKAT LINGKUNGAN BUDAYA
Tentang adanya kaitan antara kondisi geografis, dan iklim suatu daerah dengan watak penghuninya telah lama menjadi kajian sarjana muslim. Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Mukodimah, membagi bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing dalam watak para penghuninya. Ia memaparkan tentang pengaruh keadaan udara suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah laku orang-orang setempat. Faktor pengaruh kultural terwujud dalam bentuk pengaruh budaya Arab dan budaya Persia merupakan suatu ungkapan yang diterima secara umum bahwa kaum muslim sendiri mampu membedakan antara yang benar-benar Islam universal dan Arab yang lokal.
Ada kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal yang diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar ilmu ushul fiqih bahwa “ada adalah syariat yang di hukumkan”. Artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya adalah sumbur hukum dalam Islam. Asalkan unsur-unsur budaya lokal tersebut minimal tidak bertentangan dengan prinsip – prinsip Islam, unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus di hilangkan.
MULTIKULTURALISASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
Layaknya penjelasan hubungan antara agama dan ilmu, ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu secara otomatis tidak dapat dipisahkan dengan agama. Terlebih lagi Al-Quran dan As-sunnah sebagai sumber hukum dari semua perkara memberikan porsi yang cukup besar dalam membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ekonomi. Bahkan prinsip, metodologi dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan Islam sebagai agama.
Ketika Islam ditetapkan sebagai sebuah system ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariah, maka system itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang Muslim ataupun Non-Muslim. Ketentuan riba atau judi misalkann, atau penggunaan mata uang dinar dan dirham, membuat pertumbuhan ekonomi yang nyata (yang terbukti dengan tetap berdiri kokohnya perbankan atau instansi-instansi dengan system syariah setelah gempuran krisis global baru-baru ini) pertumbuhan ekonomi yang nyata dan stabil akan menghasilkan kesejahteraan bagi semua dan memupuskan ketimpangan social-ekonomi di masyarakat. System seperti ini pun tergambar dalam system ekonomi pancasila yang kita pakai termaktub dalam aplikasi ekonomi kerakyatan. Tanpa merusak budaya yang sudah ada, pemerintah tetap merumuskan kaidah syariat Islam meskipun terkadang masih banyak kerancuan, tetapi tetap memelihara budaya bangsa dan mengakulturasikannya dengan system syariat untuk kemaslahatan bersama.
Islam merupakan nilai atau sistem koprehensif yang mampu mengatur secara baik semua aktifitas hidup dan kehidupan manusia. Misalkan Perbedaan letak geografis dan iklim disuatu daerah menyebabkan adanya perbedaan cara dalam melakukan kegiatan ekonomi. Seperti halnya dibeberapa daerah terpencil di Indonesia masih menggunakan sistem barter atau tukar barang dalam kegiatan ekonominya.
Sistem tersebut oleh pemerintah dibolehkan atau tidak dilarang karena merupakan suatu adat atau kebudayaan yang masih melekat pada masyarakat di daerah tersebut. Seperti halnya yang diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul al-Fiqh, bahwa adat kebiasaan bisa dijadikan suatu hukum bagi masyarakat tersebut selama adat atau budaya tersebut tidak bertentangan dengan nilai – nilai Islam. Artinya Islam memiliki fleksibilitas dalam penerapan hukum yaitu disesuaikan dengan situasi kondisi kultur budaya pada daerah tertentu, termasuk di Indonesia yang memiliki beragam budaya dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda namun tetap satu jua. Seperti halnya perbedaan mata uang antar negara yang disebabkan tingkat kesejahteraan ekonomi yang berbeda pula, namun semua perbedaan itu tidak menghambat jalannya transaksi ekonomi antar negara. Keberanekaragaman budaya menimbulkan keanekaragaman pula dalam kegiatan ekonomi.
KESIMPULAN
Negara dan agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan relasi agama-negara. Hal itu juga merupakan sinergi sebagai gerakan bersama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan, sesuai visi UUD 1945 dan Pancasila.
Akhirnya, gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lain (others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. Pertanyaan akhir sebagai penutup tulisan ini adalah, beranikah kita ber-Islam secara multikultural?. Sesuai dengan pembahasan di atas dapat di simpulkan secara garis besar bahwa Islam bersifat fleksibel dalam berbagai budaya asalkan masih dalam koridor prinsip – prinsip Islam yang benar.
DAFTAR PUSTKA
Absar Abdalla, Ulil. Islam Liberal Dan Fundamentalis. 2007. Elsaq Press : Jogjakarta.
Huasaini Adian. Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia. 2005. Renaisans : Jakarta.
Majid Nurcholish, Islam Dokrin dan Peradaban. 1992 Yayasan Wakaf Paramadina : Jakarta.
Notowidagdo Rohiman, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadist. 1996
Raja Grafindo Persada : Jakarta.
P.J. Zoetmulder, dalam bukunya cultuur, dikutip Prof. DR. Koentjaraningrat, dalam Pengantar Antopologi. 1982. Aksara Bru : Jakarta.
[1] P.J. Zoetmulder, dalam bukunya cultuur, dikutip Prof. DR. Koentjaraningrat, dalam Pengantar Antopologi. 1982. Aksara Baru : Jakarta. Hal 80.
[4] Huasaini Adian. Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia. 2005. Renaisans : Jakarta. Hal 157.
[5] Absar Abdalla, Ulil. Islam Liberal Dan Fundamentalis. 2007. Elsaq Press : Jogjakarta. Hal 13.
[7] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar