Home » , » Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara di Sebelah Timur Demak pada Abad ke-16: Jipang-Panolan

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara di Sebelah Timur Demak pada Abad ke-16: Jipang-Panolan

Written By Moh Wahyudi on Senin, 02 Januari 2012 | 01.03






Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara di Sebelah Timur Demak pada Abad ke-16: Jipang-Panolan


IX-1.      Berita-berita kuno tentang daerah Rembang, legenda dan sejarah
Nama Jipang diberikan kepada daerah antara Gunung Kendeng dan pegunungan pesisir utara, yaitu daerah hulu Sungai Lusi atau Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa di sebelah selatan Jepara. Mungkin dahulu kala sungai ini bermuara di sebuah selat yang dangkal, tempat Demak, Pati, dan Juwana, yang memisahkan Pulau Muria dan daratan Jawa. Daerah ini sekarang terletak di kabupaten-kabupaten Blora dan Bojonegoro, yang termasuk Karesidenan Rembang. Panolan konon nama sebagian dari daerah itu.
Daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan ini berperan penting dalam legenda sejarah Jawa Barat dan Jawa Timur. Dalam riwayat-riwayat diberitakan bahwa Blora ialah tempat tinggal seorang pandai dari zaman bahari, Arung Bondan namanya. Rupanya, ia seorang ahli bangunan, nenek moyang patih-patih dan pejabat-pejabat raja-raja di zaman kuno. Menurut beberapa pembawa cerita, Mendang Kamulan, sebuah negeri asal dalam dunia dongeng, terletak di daerah Blora ini. Bojonegoro konon tempat tinggal seorang putra raja, bernama Angling Darma, yang mengerti bahasa hewan. Matahun ialah nama salah satu "tanah mahkota" (langsung dikuasai raja) Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, yang terletak di pedalaman Karesidenan Rembang yang sekarang. Tetapi, menurut Dr. Noorduyn, daerah itu tidak dapat seluruhnya disamakan dan an Kerajaan Jipang dahulu; nama kota Matahun belum dijumpai.[1]
Ibu kota daerah yang sekarang, Rembang, terletak di pantai utara, antara Juwana dan Lasem. Lasem ialah nama salah satu "tanah mahkota" kerajaan "kafir" Majapahit pada abad ke-14. Ada kemungkinan bahwa Gunung Lasem, yang sekarang terletak di garis pantai, lima abad yang lalu merupakan sebuah tanjung yang agak besar.[2] Dalam Bab IV-2, Juwana sudah digambarkan sebagai kota pelabuhan yang, menurut Tome Pires, pada permulaan abad ke-16 diperebutkan oleh "Gusti Pate", panglima terakhir kerajaan "kafir" Majapahit. Tome Pires memberitakan juga bahwa di Pati dan Juwana dibuat garam dalam empang-empang sepanjang pantai; garam ini merupakan barang ekspor.[3] Diberitakan oleh musafir Portugis itu bahwa pada waktu kunjungannya, Rembang mempunyai galangan kapal, tempat pembuatan kapal-kapal dagang Demak.[4]
Daerah Rembang yang sekarang, yang membentang ke timur melewati Tuban, terkenal karena mehghasilkan kayu jati. Berita Tome Pires tentang pembangunan kapal-kapal di kota pelabuhan Rembang menguatkan dugaan bahwa sudah sejak dahulu hutan-hutan di pedalaman mendatangkan hasil. Bahkan menurut perkiraan, sebelum zaman Islam di sana-sini sudah ditanam kayu jati untuk menjamin persediaan kayu yang bermanfaat ini.[5] Pada zaman Kompeni (VOC) dan pemerintahan Hindia Belanda, hutan-hutan jati di Rembang mendapat perhatian sepenuhnya.
 Dalam hubungan ini baiklah kita ingat akan kaum "Kalang", kelompok orang-orang Jawa, yang - sekalipun beragama Islam - masih menaati kebiasaan-kebiasaan yang aneh dan giat dalam perhutanan, khususnya di daerah Rembang. Pada abad ke-17 sudah diberitakan bahwa kaum Kalang di daerah-daerah yang banyak hutannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai pemimpin-pemimpin sendiri. Mungkin mereka sudah sejak zaman pra-Islam mendiami hutan-hutan dan mengusahakannya. Dan mungkin juga bahwa beberapa dongeng, yang terdapat dalam buku-buku cerita Jawa, berdasarkan cerita mitos mereka. Dalam kesusastraan pra-Islam hingga kini baru sedikit saja ditemukan penggambaran yang jelas tentang kaum "Kalang" ini.[6]

IX-2.      Aria Panangsang dari Jipang
Mehurut tambo Jawa, seperti diuraikan sebelum ini (Bab III-2), raja Demak yang keempat, Susuhunan Prawata, dibunuh oleh kemenakannya, Aria Panangsang, kira-kira pada tahun 1549. Aria Panangsang memerintah di Jipang sebagai raja bawahan. Tujuannya ialah membalas dendam kematian ayahnya, yang sebelumnya telah dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Mungkin juga Aria Panangsang menganggap dirinya berwenang menduduki tahta Demak. Tetapi rupanya ia kemudian dikalahkan dan dibunuh dalam pertempuran melawan laskar Jawa dari pedalaman, yaitu laskar Jaka Tingkir, penguasa Pajang. Jaka Tingkir bertindak sebagai pembalas dendam, antara lain atas kematian Kiai Kalinyamat dari Jepara, ipar Susuhunan Prawata, yang telah menemui ajalnya juga karena ulah Aria Panangsang. Akhirnya Jaka Tingkir, sebagai sultan Pajang, mewarisi raja-raja Demak.
Episode sejarah Jipang ini telah mendapat perhatian secukupnya dari Dr. Noorduyn.[7] Dengan tepat dinyatakannya bahwa tidak ada alasan untuk meragukan kebenaran tindakan kekerasan dan berakhirnya riwayat Aria Panangsang menurut cerita tutur Jawa, seperti dilakukan Prof. Berg sebelumnya. Suatu berita dalam sebuah surat berbahasa Belanda mungkin menyangkut pendekar Jipang yang semangat tempurnya menyala-nyala.[8] Anehnya, masih lama juga ia hidup dalam cerita-cerita rakyat setempat. Orang masih percaya bahwa ia akan hidup kembali jika potongan-potongan tubuhnya, yang telah dipencarkan ke mana-mana pada waktu ia meninggal, dikumpulkan dan disatukan lagi. Cerita rakyat ini mungkin semula beredar di kalangan umat Islam yang masih menganggap bahwa cucu raja besar Sultan Tranggana itu adalah pengganti tahta kerajaan di Demak yang sah.[9]

IX-3.      Penguasa-penguasa dipang dan Blora yang selanjutnya
Kekalahan dan kematian Aria Panangsang ternyata telah memaksa sanak saudaranya yang, tidak ikut menjadi korban, menyingkir ke Surabaya. Dalam bagian berikut ini akan dibicarakan suatu pemberitaan yang berasal dari Palembang mengenai keturunan Jipang.
Sesudah Jipang direbut, raja Pajang menyerahkan wilayah itu kepada salah seorang anggota keluarganya untuk diperintah sebagai tanah/ daerah gaduhan, 'pinjaman'. Sesudah raja mangkat dalam usia lanjut pada tahun 1587, Jipang dijadikan tempat tinggal putranya, Pangeran Benawa, karena kota Kerajaan Pajang telah diduduki oleh Senapati Mataram (lihat Bab XIX-7).
Pada dasawarsa terakhir abad ke-16 daerah Jipang juga jatuh ke bawah kekuasaan raja Mataram (1591). Pada tahun 1598, raja bahkan memerintahkan orang-orang dari Pajang membangun kembali ibu kota Jipang dengan kerja rodi. Pada waktu itu Jipang merupakan daerah perbatasan antara daerah raja Mataram dan Surabaya.[10]
Pada abad ke-17 dan ke-18, Jipang dijadikan tempat kedudukan bupati yang mewakili raja-raja Kartasura dan Surakarta. Mereka menganggap dirinya keturunan Matahun. Dari sinilah berasal para patih Surakarta yang terkenal dalam abad ke-19, yang memakai nama Sasranagara dan Sasradiningrat.[11]
Yang masih perlu dijelaskan ialah bahwa menurut daftar tahun kejadian yang disebut babad sangkala, pada tahun 1554 atau 1556 raja Pajang telah mengirim ekspedisi bersenjata ke Blora (yang disebut pamblora). Jika diperkirakan kemenangan atas Aria Panangsang dari Jipang terjadi pada tahun 1549, maka lima tahun kemudian di Blora, tidak jauh dari Jipang, masih juga terjadi pemberontakan melawan kekuasaan maharaja baru di Pajang. Tidak ada keterangan yang dapat menunjukkan apakah yang berkuasa di Blora adalah anggota-anggota jalur Jipang dari keturunan Demak pula; hal ini tidak mustahil.[12]

IX-4.      Hubungan keturunan penguasa di Jipang dengan Palembang
Nama Jipang tampak dicantumkan pada plakat yang diumumkan pada tanggal 1 September 1818 oleh komisaris Belanda Muntinghe, yang isinya menjamin bahwa bagi Palembang pemerintah Hindia Belanda akan mempertahankan undang-undang, terkenal dengan nama "Piagam Pangeran Jipang" (de wet, bekend onder de naam van Pejagem van dan Pangerang van Djiepan).[13] Dalam riwayat Palembang yang bersifat sejarah, berkali-kali terdapat kata-kata yang menunjuk pada hubungan dengan Jawa, khususnya dengan Jawa Timur. Hal itu akan diuraikan dalam Bab XVIII-3.
Suatu undang-undang yang terkenal sebagai piyagem Pangeran ing Jipang tidak dikenal dalam kesusastraan Jawa. Yang pasti ialah bahwa di berbagai daerah Sumatera Selatan telah dipakai buku-buku hukum Jawa yang disusun di keraton raja-raja Demak.[14] Salah satu di antaranya, yang paling terkenal, dikarang oleh Senapati Jimbun; ini mungkin salah satu dari nama Sultan Tranggana. Besar sekali kemungkinan kitab hukum Senapati Jimbun, atau yang lain, seperti buku Jugul Mudha, juga telah dipakai di keraton Aria Panangsang (masih kerabat Sultan Tranggana). Konon, sesudah jatuhnya Kerajaan Jipang pada pertengahan abad ke-16, keturunan atau pengikut pangeran yang terakhir dalam pengungsian juga membawa naskah tulisan buku hukum itu bersama dengan pusaka-pusaka lain. Mereka mengungsi ke timur, ke Surabaya. Dengan memiliki buku yang penting itu, mereka akan dapat membuktikan hubungan keluarga mereka dengan keturunan maharaja Demak.

e-books a.mudjahid chudari




[1]       Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah "Blora", "Boja Nagara", dan pada narna lain yang tersebut dalam teks), telah dicantumkan keterangan-keterangan singkat tentang cerita-cerita yang bersifat legenda ini, dan petunjuk tentang naskah-naskah Jawa yang menampilkan cerita-cerita tersebut. (Mengenai Matahun lihat juga Pigeaud, Java, jil. V, di bawah "Matahun", dan juga Noorduyn, "Ferry", hlm. 480).
[2]       Dalam Pigeaud, Java, (jil. V, di bawah "Lasem"), telah ditunjuk tempat-tempat dalam Nagara Kertagarna, tempat daerah ini disebutkan sebagai "tanah raja" milik anggota keluarga raja Majapahit.
[3]       Mengenai pengusahaan garam dan perdagangan garam di Jawa pada masa sebelum zaman Islam, terdapat pemberitaan-pemberitaan pada beberapa piagam "Biluluk" Jawa kuno, yang telah diterjemahkan dan dibicarakan dalam Pigeaud, Java (jil. V, di bawah "Biluluk", dan dalam Indeks, hlm. 42: "salt").
[4]       Dr. Meilink Roelofsz berkali-kali menceritakan Rembang, Pati, dan Juwana dalam karangannya (Meilink-Roelofzs, Asian Trade) sementara ia menunjuk pada Pires, Suma Oriental.
[5]       Mengenai pengelolaan hutan dan tentang hutan-hutan jati di Jawa pada masa sebelum zaman Islam, diuraikan dalam piagam Jawa Kuno Katiden (Pigeaud, Java, jil. V, di bawah "Jati" dan dalam Indeks, hlm. 44: "tree").
[6]       Pigeaud, Literature (jil.III di bawah "Kalang"), memuat petunjuk-petunjuk singkat tentang naskah-naskah Jawa, tempat golongan orang-orang ini dibicarakan. Dalam Pigeaud, Volksvertoningen (lihat indeksnya: "Kalang") dicantumkan pandangan-pandangan sementara tentang arti mitos asal orang Kalang (asal usulnya dari anjing).
[7]       Mengenai Jipang, Rajeg Wesi, dan Bojonegoro telah dikumpulkan keterangan-keterangan penting oleh Dr. Noorduyn (Noorduyn, "Ferry", dan Noorduyn, "Solo Ferries"). Panangsang ini mungkin nama tempat, yang belum dapat dipastikan lokasinya.
[8]       Lihat Berg, "Pandji-verhalen" (hlm. 42). Dalam Graaf, Senapati (hlm. 42) dikemukakan adanya berita Belanda yang mungkin dapat dihubungkan dengan Aria Panangsang dari Jipang.
[9]       Cerita tentang Aria Panangsang ini disebutkan dalam kumpulan legenda Melayu tentang para wali di Jawa dan tempat tinggalnya (Wardi, Kumpulan).
[10]     Tahun-tahun peristiwa ini, yang disebut dalam Babad Momana dari Yogya, telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati, hlm. 114. Lihat juga Bab XX-5 mengenai perluasan Kerajaan Mataram pada perempat terakhir abad ke-16.
[11]     Buku Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah Dalem) dalam bahasa Jawa, yang berwujud daftar keturunan nenek moyang dan sanak saudara para raja Surakarta dan Yogyakarta dari abad ke-19 (baik yang bersifat legenda maupun sejarah) berisi banyak cerita yang amat menarik, yang tentu telah dikumpulkan oleh Padmasoesastra dari catatan-catatan keluarga milik orang-orang terkemuka. Karena ia seorang pegawai, lagi pula anak emas Patih Surakarta, dia banyak menaruh perhatian pada keturunan Matahun. Keturunan itu dilukiskan dalam bukunya sebagai Carangan Matahunan (Cabang Matahun, hlm. 250-261). Moyang keturunan para patih ternyata seseorang yang bernama Bagus Sangka, cucu seorang Aria dari Dadap Tulis, yang menjabat tumenggung carik di Keraton Kartasura. Paku Buwana I (Sunan Puger, 1703-1719) mula-mula telah menugasi Bagus Sangka sebagai wali pengasuh (ngemong) Aria Matahun, alias Tumenggung Surawijaya dari Jipang. Sesudah ia meninggal, Bagus Sangka diangkat sebagai penggantinya di Jipang, dengan gelar Adipati Aria Matahun. Siapa Tumenggung Surawijaya (yang tua?) dari Jipang itu dahulu, tidak diberitakan. Pada tahun 1678 Aria Panangsang dari Jipang, seseorang yang baru keinudian memakai nama yang dahulu tersohor itu, bersama pengikut-pengikutnya, dalam pengabdiannya terhadap Sunan Mangkurat II, ikut serta dalam mengejar Trunajaya, waktu pangeran Madura ini (Trunajaya), sesudah jatuhnya ibu kota Kediri, mengundurkan diri ke arah timur, lewat Sungai Brantas sampai ke hulu sungai. Tidak diketahui Aria Panangsang termasuk keturunan mana, sebab baru muncul menjelang akhir abad ke-17 ini (lihat Graaf, Hurdr, hlm. 250).
[12]     Raffles (Raffles, History) menyebutkan pada "Chronological Table" sebagai kejadian untuk tahun 1556 suatu Conquest of Blora 'Penaklukan Blora'. Pemberitaan Raffles ini dan pemberitaan-pemberitaan lainnya yang seperti itu berdasarkan daftar-daftar tahun Jawa. Daftar yang berbeda dari yang dipakai Raffles menyebutkan terjadinya "pamblora" itu pada tahun 1554. Yang dimaksudkan kedua pemberitaan ini pasti kejadian yang sama; dan tahun mana yang paling tepat tidak menjadi soal.
[13]     Teks "plakkaat" Muntinghe terdapat dalam kumpulan Hollandse Handschriften di KITLV (lihat Graaf, Catalogus, hlm. 6).
[14]     Naskah-naskah buku-buku hukum Jawa yang ditemukan di Lampung, disebutkan dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 207 (LOr, no. 4280) dan jil. III, hlm. 139 b (AdKIT 1273/1a). Naskah yang disebutkan terakhir ini ditulis dengan huruf Lampung.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger