Home » , » Sebab-Sebab Kekalahan Kerajaan-Kerajaan Jawa Timur dan Pesisir dalam Perang Melawan Mataram pada Abad ke-16 dan ke-17

Sebab-Sebab Kekalahan Kerajaan-Kerajaan Jawa Timur dan Pesisir dalam Perang Melawan Mataram pada Abad ke-16 dan ke-17

Written By Moh Wahyudi on Senin, 02 Januari 2012 | 01.38






Sebab-Sebab Kekalahan Kerajaan-Kerajaan Jawa Timur dan Pesisir dalam Perang Melawan Mataram pada Abad ke-16 dan ke-17


XXI1.   Perpecahan politik dalam kerajaan-kerajaan Jawa Timur dan Pesisir sejak berdirinya
Selama kira-kira seratus tahun, dari pertengahan abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17, empat orang raja (terutama yang kedua dan yang keempat yaitu Panembahan Senapati dan Sultan Agung) dengan kekuatan dan kekerasan telah memaksa hampir semua raja Jawa Tengah dan Jawa Timur tunduk pada kekuasaan tertinggi Mataram. Pada waktu itu banyak tempat kediaman raja, yang merupakan pusat lalu lintas perdagangan, ilmu pengetahuan Islam dan pusat kesusastraan dan kesenian Jawa, yang terletak di daerah sepanjang pantai utara Jawa (mulai dari Jepara dan Demak sampai Panarukan dan Blambangan), mengalami kehancuran. Keturunan-keturunan raja, kalau tidak dimusnahkan, melarikan diri ke tempat-tempat lain. Mereka turun derajat menjadi bangsawan rendahan di daerah, atau - karena terpaksa - menjadi priayi baru atau pegawai pejabat yang hidupnya tergantung pada kemurahan hati raja-raja Mataram.
Perluasan kekuasaan Mataram dan kemenangan tentara Mataram telah mencemaskan hati mereka yang hidup sezaman dan yang menjadi korban. Pada abad ke-17 dan ke-18 para sastrawan di Keraton - sambil mengagumi dan memuliakan raja, pemberi nafkah mereka - beranggapan bahwa kemakmuran mencolok yang dialami keluarga raja Mataram selama abad pertama sejak berdirinya itu disebabkan oleh pengaruh tenaga gaib yang melindungi kerajaan pedalaman itu. Konon, kemajuan pesat Mataram pada abad ke-16 dan ke-17 itu disebabkan karena penduduk masih segar, penuh semangat, dan tenaga belum dimanfaatkan. Di samping itu kemajuan Mataram juga disebabkan oleh kemunduran (dalam beberapa hal) kerajaan-kerajaan tua di Pesisir yang kekayaannya merangsang nafsu orang-orang pedalaman ini.
Dapat ditunjuk beberapa hal yang dapat membantu kita memahami mengapa Mataram mencapai kemenangan yang mencolok dalam perang melawan kota-kota pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa yang di bidang ekonomi lebih maju. Salah satu penyebabnya ialah perpecahan politik di dalam kerajaan-kerajaan Pesisir Jawa.
Dalam bab-bab terdahulu telah diuraikan bagaimana berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pertama sepanjang pantai utara Jawa, - mula-mula di Jawa Timur, lalu di Jawa Tengah - sejak perempat terakhir abad ke-15 di dalam atau sekitar kota-kota dagang, yang sudah ada pada zaman sebelum Islam. Kekuasaan tertinggi Majapahit diakui oleh para pemegang kekuasaan setempat di kerajaan-kerajaan bandar, baik sebelum zaman Islam maupun pada zaman Islam, sampai pada perempat pertama abad ke-16. Tetapi diragukan apakah perintah-perintah maharaja kepada raja-raja bawahannya dilaksanakan juga jika perintah itu dapat merugikan kepentingan mereka.
Sebagai pusat lalu lintas perdagangan di daerah, dan sebagai bandar singgah pedagang seberang, kerajaan-kerajaan Pesisir bersaing dengan tajam. Keturunan-keturunan penguasa - biasanya karena perkawinan - berhubungan kerabat, namun persaingan dagang selalu ada. Seorang: penguasa akan mengalami kesulitan dalam mengusahakan bawahan dan anggota-anggota keluarganya agar bersedia mempertaruhkan jiwa raganya untuk membantu seorang saingan jika diserang oleh musuh dari dalam atau luar negeri.
Menurut cerita tutur Jawa, Sultan Tranggana dari Demak pada perempat kedua abad ke-16 telah berhasil mengusahakan supaya banyak raja bawahan (yang sementara itu telah menjadi Islam) Majapahit tua itu mengakui dirinya sebagai penguasa tertinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak diketahui apakah pasukan-pnsukan Demak telah terpaksa melakukan perjuangan yang berat untuk,mencapai hal itu, seperti ketika melawan Majapahit dan Panarukan yang "kafir" itu. Karena kekuasaan politik telah pindah ke tangan orang Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pengakuan (mungkin pada perempat kedua abad ke-16) Sultan Demak sebagai maharaja zaman baru Islam dianggap wajar. Tetapi nyatanya pemerintahan Sultan Tranggana dari Demak berakhir dengan mendadak pula.
Berkat pengaruh Sunan Giri, raja negeri pedalaman Pajang diakui serentak oleh raja-raja Jawa Timur sebagai sultan pada tahun 1581. Tetapi dalam cerita tutur tidak ada petunjuk-petunjuk jelas yang dapat membuktikan bahwa kekuasaan Pajang besar pengaruhnya terhadap tindakan politik raja-raja Jawa Timur. Lagi pula, Sultan Pajang pada tahun 1587 telah mangkat.
Mungkin dalam perempat terakhir abad ke-16 raja-raja Surabaya dan Pasuruan bersama-sama telah berkuasa di pedalaman Jawa Timur sampai di Kediri. Di bawah pimpinan mereka pada tahun 1589 sekelompok raja Jawa Timur di Mojokerto serentak menahan Panembahan Senapati yang masih muda itu untuk bertindak sebagai maharaja di Jawa Timur. Tetapi pada tahun 1590 mereka tidak menghalang-halangi laskar Mataram merebut Kota Madiun dan mengusir rajanya, yang berasal dari dinasti Demak yang tua itu.
Sesudah Madiun diduduki, para panglima Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senapati (dan kelak di bawah pimpinan cucunya, Sultan Agung) telah berkali-kali (hampir tiap tahun) melancarkan ekspedisi militer dari Mataram dan Pajang menundukkan daerah-daerah Jawa Timur dan Pesisir. Usaha pertama yang dilakukan antara tahun 1593 dan 1595 oleh raja-raja Jawa Timur secara bersama untuk menghentikan gerakan-gerakan tersebut - dengan jalan memukul Mataram di daerahnya sendiri - ternyata telah gagal.
Dapat diperkirakan bahwa selain tidak adanya kerja sama antara para panglima Jawa Timur dan Pesisir, jalan di daerah pegunungan, yang penuh hutan di pedalaman Jawa Tengah bagian selatan (yang baru sebagian saja dibuka), sukar ditempuh. Hal ini merighambat gerakan pasukan dari timur. Akhirnya mereka terpaksa mundur. Prajurit-prajurit Mataram yang mempertahankan tanah kelahirannya itu dilindungi pula oleh banyak sungai yang harus diseberangi oleh musuh yang datang menyerang.[1]

XXI2.   Kegagalan kerajaan-kerajaan Pesisir Jawa dalam perangnya melawan bangsa asing, untuk memperebutkan perdagangan yang menguntungkan dengan daerah Seberang
Lalu lintas perdagangan antarbangsa lewat laut yang menyinggahi pantai utara Jawa sejak dahulu kala merupakan sumber pendapatan yang penting bagi kota-kota pelabuhan di daerah Pesisir. Hal yang demikian itu khususnya berlangsung di tempat-tempat dan ketika penduduk Jawa (yang tidak jarang berdarah campuran) dapat ikut serta dalam perdagangan itu dengan mempergunakan perahu mereka sendiri. Pada abad ke-15 (dan mungkin juga sebelumnya) mereka sudah mampu berbuat demikian. Perdagangan laut yang banyak membawa untung itu ternyata berkaitan dengan penyebaran agama Islam di kalangan pelaut dan pedagang pada masa itu.
Kemakmuran (setidak-tidaknya pada tingkat para penguasa) di kota-kota pelabuhan Jawa pada abad ke-16 bertumpu pada lalu lintas perdagangan. Daerah pedalaman, asal tidak terlalu sukar dicapai, berkaitan dengan perdagangan itu sebagai penghasil bahan (terutama padi) yang sangat laku di kota-kota pelabuhan. Para penguasa di pedalaman mendapat kesempatan menarik keuntungan dari lalu lintas barang perdagangan ke pantai ini.
Pelayaran dagang Portugis, yang menyusup masuk ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-16, telah merugikan kemakmuran kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa, sekalipun sedikit demi sedikit. Hilangnya kapal-kapal laut besar dan mahal yang tidak sedikit jumlahnya - akibat usaha yang gagal untuk membebaskan Malaka dan orang Portugis - sukar ditebus, karena galangan kapal yang besar-besar tidak ada di Jawa, melainkan di Pegu, Asia Tenggara.
Pada paruh kedua abad ke-16 kerajaan-kerajaan sepanjang pantai utara, yang kemakmurannya tergantung pada perdagangan laut, telah menanggung kerugian berat karena kericuhan politik di dalam negeri, dan serangan berkali-kali dari orang-orang Jawa pedalaman yang haus akan barang rampasan perang, juga karena pukulan di bidang perdagangan tadi. Para penguasa di kota-kota pelabuhan, sekalipun sudah berusaha keras, akhirnya tidak dapat juga bertahan menghadapi pasukan-pasukan Mataram; pasukan itu dikirim dari markas yang strategis dan kuat di pedalaman ke kota-kota pelabuhan untuk menghadapi musuh satu demi satu. Selama perang berlangsung, perdagangan semakin mundur. Sesudah direbut dan dirampas kekayaannya, kota-kota pelabuhan tersebut biasanya diperintah oleh seorang bupati yang ditunjuk oleh raja Mataram. Pasti sukar bagi orang-orang itu - mungkin dari kalangan militer - untuk menghidupkan kembali perdagangan dan dunia usaha di daerah yang hancur tersebut.
Pada abad ke-17 (yang tidak dibicarakan dalam buku ini) kerajaan-kerajaan Pesisir Jawa telah kehilangan kemerdekaannya, mula-mula karena dikuasai raja-raja Mataram, kemudian karena diperintah oleh Kompeni di Betawi. Tetapi kenang-kenangan akan masa jaya peradaban Pesisir pada abad ke-16 masih tetap ada.[2]

XXI3.   Perbedaan-perbedaan demografis antara kerajaan-kerajaan pantai utara Jawa dan kerajaan pedalaman Mataram
Mengenai sejarah politik, kerohanian, dan perkembangan ekonomi tanah Jawa pada abad ke-16, setidak-tidaknya dapat kita peroleh kesimpulan yang agak jelas dari keterangan yang dapat dikumpulkan. Namun tidak demikian halnya soal kependudukan. Namun, perlu juga soal itu mendapat perhatian.. Mungkin juga, peperangan pada abad-abad ke-16 dan ke-17 antara "wong Mataram" dari pedalaman dan kerajaan-kerajaan di pantai utara Jawa itu ada hubungannya dengan perbedaan demografis antara "orang Jawa pedalaman" dan "orang Jawa pantai" yang banyak berdarah asing.
Sejarah perkembangan penduduk Pulau Jawa sekarang, yang terdiri dari berbagai suku dan golongan para pendatang dari seberang laut, sejak dahulu kala amat sedikit dikenal orang. Cerita tutur dalam sastra Jawa memuat sesuatu yang berhubungan dengan transmigrasi dan imigrasi penduduk di zaman kuno, tetapi cerita-cerita tersebut kabur sekali, sehingga sukar dijadikan pegangan. Sekalipun demikian, berguna juga dipelajari.[3] Sudah jelas bahwa pengaruh pendatang baru dari seberang laut terhadap susunan penduduk di Jawa pertama-tama terasa di daerah pantai. Oleh karena itu, sudah dari zaman dahulu ada perbedaan sifat antara "orang Jawa Pesisir" dan "orang Jawa pedalaman".
Cerita tutur Jawa tentang golongan-golongan pendatang baru dari seberang laut, yang masuk sebelum zaman Islam, demikian kaburnya, sehingga tanah asal mereka hampir tidak dapat ditelusuri lagi. Sebaliknya, cerita-cerita Jawa tentang asal orang-orang yang telah menyebarkan agama Islam di daerah-daerah sepanjang pantai utara, sifatnya lebih jelas. Seperti yang telah dikemukakan pada permulaan tulisan ini mereka berasal dari pantai timur Asia Tenggara, dan sebagian ada yang mula-mula memakai nama Cina. Sebagai orang Islam, yang kelak dianggap sebagai orang suci dalam agama Islam, mereka menjadi tetap terkenal dalam cerita tutur dengan nama-nama Arab mereka.[4]
Dari naskah-naskah Cina dapat diketahui bahwa jauh pada zaman kuno telah berlangsung hubungan perdagangan antara Cina dan Asia Tenggara. Berita-berita Cina telah menjadi sumber bagi sebagian besar penulisan sejarah politik Jawa dalam masa sebelum Islam, menurut rekonstruksi sarjana-sarjana Barat pada abad ke-19 dan ke-20.[5] Dapat diperkirakan bahwa "utusan-utusan" dari keraton-keraton di Asia Tenggara, yang menurut naskah-naskah Cina hampir tiap tahun datang menghadap kaisar Cina di istana kekaisaran, umumnya orang-orang yang berasal dari tempat-tempat yang dulunya merupakan koloni-koloni dagang Cina. Mereka itu merupakan kawula yang setia terhadap raja-raja setempat dan mempunyai hubungan baik dengan keluarga raja.[6] Pendatang-pendatang Cina yang berasal dari Cina Selatan sekarang ini rupanya cepat menjalin hubungan keluarga dengan keturunan-keturunan raja pribumi. Sulit diterima bahwa banyak wanita Cina pada zaman dahulu pindah ke Nusantara yang jauh ini.
Bahwa keturunan-keturunan raja terkemuka di daerah-daerah Pesisir mempunyai asal usul campuran tidak diabaikan oleh cerita sejarah; tetapi umumnya hal itu tidak banyak diperhatikan. Agama Islam - tidak hanya dalam teori tetapi juga dalam praktek - di Asia Tenggara bersikap agak acuh tidak acuh terhadap asal usul pelbagai suku bangsa berwarna. Lebih-lebih pada abad-abad ke-15 dan ke-16, ketika semangat keagamaan Islam masih muda dan kuat, pemakaian nama Arab (atau Jawa) sudah cukup (di samping pernyataan beralih agama dan, mengucap kalimat Syahadat) memberikan pengakuan kepada seorang penganut baru dan keturunannya sebagai anggota penuh "keluarga" Islam. Sebaliknya, mungkin pula - dan ini tidak jarang terjadi - penganut-penganut baru agama Islam itu untuk beberapa waktu masih tetap memakai nama "kafir" mereka (dalam hal ini nama Cina), karena telah dikenal dengan nama itu dalam lingkungan pedagang. Lama kelamaan, dan pada generasi yang berikut, nama-nama Cina itu lenyap.
Pertentangan antara keluarga-keluarga campuran Cina (atau India) di daerah-daerah pantai utara orang Jawa pedalaman dalam sejarah jarang dibicarakan.[7] Tetapi yang pantas dikemukakan ialah tidak sedikitnya cerita-cerita Jawa - dari zaman peradaban Pesisir (abad ke-16 - ke-18) - yang menampilkan tokoh-tokoh keturunan Cina. Epos Islam yang tersebar luas tentang Menak Amir Hamzah, pendekar agama Islam yang gagah berani, memuat kisah tentang putri Cina, yang termasuk paling digemari di daerah-daerah Pesisir dan Jawa Timur.[8]
Berdasarkan uraian di atas, kita boleh beranggapan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17 empat macam ciri sering terdapat pada satu generasi, yaitu: asal usul campuran asing, hubungan-hubungan dagang dengan daerah-daerah seberang laut, kepemimpinan kelompok-kelompok Islam, dan keikutsertaan dalam peradaban Pesisir baru yang bercorak Islam. Cukup beralasan kalau anggota-anggota dari kalangan terkemuka dan yang telah beradab ini, seperti raja-raja di Demak, Tuban, Gresik, Surabaya, Cirebon, dan Banten, merasa dirinya jauh lebih tinggi daripada para penguasa daerah "pedalaman". Namun sebaliknya, "wong Mataram" merasa benci dan iri terhadap tetangganya yang kaya di pantai utara itu. Pasukan-pasukan yang dikirim oleh raja-raja Mataram ke Pesisir dan Jawa Timur berperang atas dorongan nafsu tamak akan kekayaan. "Orang Jawa Pesisir" yang kaya tidak cukup mampu mempertahankan diri terhadap serangan-serangan saudara mereka dari pedalaman yang miskin itu.
Di samping besarnya semangat tempur yang ada pada "orang-orang pedalaman" dan kecilnya keberanian "orang-orang Jawa Pesisir", perlu juga dipertimbangkan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17 kesehatan penduduk pantai dirongrong oleh penyakit malaria yang endemis. Hal itu pada abad-abad berikutnya banyak merusakkan daya tahan rakyat. Karena bertambah ramainya lalu lintas, ada pula penyakit-penyakit lain yang berjangkit, khususnya di daerah-daerah pantai.
 Berita-berita jelas tentang keadaan kesehatan rakyat dalam naskah-naskah Jawa pada abad ke-16 lebih jarang daripada berita-berita tentang kependudukan. Memang ada beberapa berita, sehubungan dengan abad ke-17 dan ke-18, yang menyebut kerugian yang diderita rakyat karena berjangkitnya epidemi. Hanya suatu perkiraan bahwa rakyat yang terus dirongrong oleh penyakit - dan yang hidup di kota-kota pelabuhan yang pengap dikelilingi tembok - merupakan juga salah satu sebab kekalahan kerajaan-kerajaan Pesisir dalam perang melawan Mataram di pedalaman.

e-books a.mudjahid chudari




[1]       Serangan musuh terhadap daerah Mataram tidak dilakukan dari arah barat daya pada abad ke-16 dan kemudian, tampaknya, amat jarang. Daerah Kedu dipisahkan dari daerah Pesisir oleh gunung-gunung yang tinggi; lembah-lembahnya sulit ditempuh. Dalam legenda-legenda bersejarah Bagelen disebut, namun pada abad ke-16 penduduk daerah ini mungkin jarang. Lalu lintas antara Bagelen dan Mataram juga dipersulit oleh daerah pegunungan dan sungai. Raja-raja Mataram memiliki pertahanan yang kuat di daerahnya yang dari tempat itu mereka tanpa banyak risiko dapat mengirimkan pasukannya ke timur, dan tempat mereka agak aman terhadap serangan-serangan musuh.
[2]       Meilink-Roelofsz, Asian Trade, mengandung banyak keterangan mengenai perkembangan ekonomis di daerah-daerah Pesisir. Tampak jelas bahwa perkembangan ekonomis berkaitan erat dengan pembentukan kebudayaan Islam di daerah, Pesisir dan juga dengan sejarah politiknya, yang dalam buku kami ini merupakan inti masalahnya.
[3]       Bandingkan Bab Pendahuluan buku ini, khususnya unsur keempat penulisan sejarah Jawa: Susunan dan pertambahan penduduk. Cerita Jawa mengenai Ajisaka menyangkut imigrasi kelompok orang asing dari Asia Tenggara. Dalam Serat Kandka (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 358-359) terdapat sebuah cerita Ajisaka,yang panjang lebar. Paramayoga, karangan Ranggawarsita, mengandung juga karangan tentang India (Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 170).
[4]       Cerita tutur Jawa yang mengatakan bahwa para pemimpin pertama masyarakat Islam di Gresik dan Surabaya berasal dari Cempa telah dibicarakan dalam Bab I-2. Nama-nama Cina cikal bakal Kerajaan Demak pada paruh kedua abad ke-15 telah diberitakan dalam Bab I-2.
[5]       Karya Groeneveldt, Notes, yang sudah klasik itu, lambat laun ditambah dengan informasi baru berdasarkan pengkajian naskah-naskah Cina pada abad ke-20 ini; untuk yang paling mutakhir, lihat Wolters, Early.
[6]       Mengenai perdagangan laut di kota-kota pelabuhan Jawa sejak abad ke-14, dan mengenai penduduknya yang berdarah campuran, lihat Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 500, dst.
[7]       Dalam hubungan ini perlu dicatat adanya cerita dalam Babad Mataram mengenai bala tentara sewaan - di antaranya orang-orang Cina pcranakan yang tidak merdeka - yang dipergunakan oleh raja Demak pada tahun 1587 untuk memperkuat tuntutannya atas tahta Sultan Pajang almarhum (lihat Bab XIX-7).
[8]       Teks-teks Jawa yang menyinggung orang-orang Cina, dapat dibaca dalam Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 211. Ikhtisar cerita "Putri Cina" dapat dibaca dalam Poerbatjaraka, Menak.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger