Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16. Bagian Tengahnya: Dari Probolinggo sampai Panarukan
XVI-1. Berita-berita kuno tentang Probolinggo, legenda dan sejarah Nama Probolinggo yang lama ialah Banger. Nama itu terdapat pada daftar daerah-daerah yang dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pada perjalanan kelilingnya menjelajahi ujung timur Jawa pada tahun 1359M. Selain itu Banger sebagai nama kota atau daerah tidak disebutkan dalam cerita tutur Jawa. Tetapi Kali Banger di Probolinggo itu masih dikenal orang setempat. Di daerah Probolinggo ini, mulailah jalan besar yang tua, dari pantai menanjak ke arah barat daya, naik menuju ke Dataran Tinggi Tengger. Bagi sebagian desa pegunungan di dataran tinggi itu, sejak zaman dahulu jalan Probolinggo tersebut merupakan jalan yang menghubungkannya dengan daerah dataran rendah. Yang serupa itu terdapat juga di daerah Lumajang, yang terletak di pedalaman ujung timur Jawa di sebelah selatan Probolinggo. Di situ juga dimulai sebuah jalan yang naik ke daerah pegunungan. Umum diketahui bahwa masyarakat Tengger sejak dahulu kala, sejak zaman raja-raja Majapahit, selalu bersikap menolak campur tangan para penguasa dataran rendah, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang agama. Bahkan sampai sekarang agama Islam sebagian saja diterima. Adanya hubungan lama berdasarkan letak geografis antara daerah-daerah Probolinggo, Lumajang, dan Tengger dapat kita ketahui pula dari cerita legenda Jawa Timur, yang mengisahkan peperangan antara Majapahit dan raja Blambangan. Menakjingga dari Blambangan yang kuat dan tangguh itu, yang kawin dengan putri-putri dari Balega dan Sampang di Madura, konon ingin mempersunting juga Ratu Kenya dari Majapahit yang masih gadis. Probolinggo menjadi medan pertempuran; di sana terlebih dahulu gugur Raja Rangga Lawe dari Tuban sebagai panglima perang Ratu Kenya. Kemudian Damarwulan dari Paluh Amba, dengan menggunakan tipu muslihat dan memanfaatkan pengkhianatan, berhasil membunuh Menakjingga. Seorang penguasa dari Lumajang, Menakkoncar bertempur di pihak ratu Majapahit. Riwayat hidup Damarwulan itu, pemuda yang karena keberaniannya diangkat menjadi raja Majapahit, menjadi pokok kisah abad ke-16 atau awal abad ke-17, yang dalam berbagai versi telah tersebar luas ke mana-mana. Masih ada cerita legenda tentang seorang raja, pendahulu Menakjingga sebagai raja Blambangan. Raja ini semula seorang pemimpin agama "kafir", seorang "ajar" dari Dataran Tinggi Tengger. Dalam uraian tentang sejarah Blambangan yang bersifat legenda, cerita ini akan kita jumpai kembali (lihat Bab XVII-1). Kebenaran kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang diberitakan dalam legenda itu tidak dapat diuji berdasarkan berita dari sumber yang lebih dapat dipercaya. Cerita-cerita Jawa disebutkan di sini sekadar untuk menunjukkan betapa penting kerajaan-kerajaan di ujung timur itu di hati para pengarang cerita yang hidup di Jawa Timur dan Pesisir pada abad ke-17 dan ke-18. Ketika pada abad ke-18 dan ke-19 sastra Jawa memusatkan diri pada keraton-keraton di Jawa Tengah, perhatian pada ujung timur Jawa ini menjadi pudar. Yang hanya sedikit berarti bagi penelitian sejarah ialah berita mengenai Kerajaan Probolinggo sebagai salah satu dari kelompok tiga kerajaan (di samping Nilambara dan Asmalila) dalam naskah purana tiruan Jawa-Bali, yang bernama Adi Purana. Naskah tersebut konon baru ditulis pada abad ke-19 di Lombok. Nama-nama yang tidak terhitung jumlahnya dalam naskah ini mungkin semuanya dikarang saja, atau merupakan nama samaran yang kunci rahasianya tidak kita ketahui.
XVI-2. Berita-berita kuno tentang pedalaman ujung timur Pulau Jawa dan Panarukan Dalam kumpulan sajak pujian dari abad ke-14 yang ditujukan kepada Raja Hayam Wuruk di Majapahit terdapat uraian luas tentang perjalanan keliling menjelajahi ujung timur Jawa, yang dilakukan raja pada tahun 1359 M. Meskipun banyak tempat disebut dalam naskah itu - ialah tempat-tempat istirahat bagi raja dan para punggawa selama perjalanan panjang mereka - sekarang tidak dikenal lagi, garis-garis besar perjalanan itu cukup jelas. Menurut penulis epos tersebut, perlawatan raja itu tidak lebih ke timur dari Patukangan. Tempat itu boleh kita hubungkan dengan Panarukan yang sekarang. Di tempat itu maharaja Majapahit berkenan menerima upeti dari raja-raja bawahannya yang berada di bagian timur. Utusan Bali, Blambangan, dan Madura hadir di situ. Pada waktu itu rupanya Panarukan merupakan salah satu pangkalan penting bagi kekuasaan raja Majapahit. Dalam laporan perjalanan keliling Raja Hayam Wuruk itu menjelajahi ujung timur Jawa itu terdapat berita-berita penting mengenai Sagara. Tempat itu konon menjadi pusat kekuasaan kerohanian "kafir". Dahulu letaknya di pegunungan, di sebelah utara Dataran Tinggi Yang. Meskipun letak Sagara di zaman pra-Islam sudah diketahui, orang tidak berhasil memastikan apakah di situ pada zaman Islam masih ada penguasa-penguasa rohaniah. Tempat-tempat lain di ujung timur Jawa bagian tengah yang menurut penulis Nagara Kertagama pada pertengahan abad ke-14 penting juga ialah Sadeng, Keta, dan Pajarakan. Untuk mendapatkan kekuasaan atas Sandeng dan Keta ini, pada abad ke-16 terjadi pertempuran antara pasukan Majapahit dan penguasa setempat. Berita dalam Pararaton 'Kitab Raja-Raja' menyangkut perluasan kekuasaan raja Jawa Timur di pedalaman ujung timur Jawa ini. Agak sulit menghubungkan berita Jawa Kuno yang dapat dipercaya ini dengan cerita-cerita tutur setempat yang baru kemudian dicatat; apalagi cerita-cerita itu pun hampir sama sekali belum pernah diselidiki. Akhirnya tidak boleh kita lewatkan tanpa disebut bahwa di tanah pedalaman ujung timur Jawa, di beberapa tempat telah ditemukan makam-makam, "peti-peti jenazah" yang dibuat dari batu sebagai peninggalan peradaban zaman prasejarah. Seperti di tempat-tempat lain pula, di ujung timur Jawa ini pun tidak mungkin kita menemukan hubungan yang jelas antara prasejarah dan permulaan sejarah suku Jawa yang tertulis.
XVI-3. Ujung Timur Jawa bagian tengah sekitar tahun 1500 M. Keterangan Tome Pires tentang Canjtam, Pajarakan, Panarukan, dan Chamda Meskipun letak daerah-daerah "Canjtam" dan "Chamda" dapat ditentukan berdasarkan berita-berita dalam Suma Oriental, nama-namanya yang sudah banyak berubah itu tidak mudah ditemukan kembali sebagai nama-nama tempat/kota yang ada sekarang di daerah-daerah Probolinggo dan Jember, padahal tempat-tempat itu seharusnya ada di daerah-daerah tersebut. Kalau "Canjtam" disamakan dengan keraton dekat Panarukan dan "Chamda" disamakan dengan Jember, (menurut penerbit Suma Oriental, Armando Cortesao) hal ini tidak meyakinkan, khususnya karena umur nama tempat-tempat yang sekarang, keraton dan Jember belum diketahui dengan pasti. Nama itu tidak terdapat dalam kisah perjalanan Nagara Kertagama (abad ke-14). Memang suatu kenyataan bahwa sesudah berabad-abad berlalu, banyak nama tempat lama di ujung timur Jawa hilang lenyap karena peperangan dan penghancuran. Yang dapat dipertimbangkan ialah apakah "Canjtam" dapat dihubungkan dengan Gending. Gending adalah nama suatu daerah yang disebut dalam Nagara Kertagama, letaknya antara Probolinggo dan Pajarakan. Dari kisah perjalanan itu ternyata bahwa tempat tersebut penting juga kedudukannya dalam kerajaan Hayam Wuruk di Majapahit. Tidak lebih dari suatu perkiraan apabila "Chamda" yang disebutkan dalam Suma Oriental, yang mungkin terletak di pedalaman, dihubungkan dengan daerah Sadeng. Daerah itu beberapa kali disebutkan dalam Nagara Kertagama dan Pararaton (lihat cat. 260). Dapat diduga bahwa nama Puger yang pada abad ke-17 terdapat dalam cerita tutur sejarah, baik di Jawa-Bali maupun di Jawa Tengah, khususnya Mataram, menyangkut daerah Sadeng yang lama. Nama Puger sekarang masih dikenal. Pemberitaan-pemberitaan historis Tome Pires tentang "Canjtam", Pajarakan, dan Panarukan ternyata penting. Konon, pada permulaan abad ke-16 para penguasa ketiga daerah ini telah mengakui raja "Canjtam" (Lending? atau Probolinggo?) sebagai pemimpin. Raja "Canjtam" ini bernama "Pate Pular" (nama yang sama sekali tidak mempunyai sumber pengenal lain). Ketiga raja daerah pantai di tengah-tengah ujung timur Jawa yang berserikat itu sekitar tahun 1510 M. cenderung mengakui kekuasaan raja Surabaya. Tetapi raja Blambangan yang berkuasa telah mengambil langkah kekerasan senjata untuk mencegahnya. Raja-raja "Canjtam", Pajarakan, dan Panarukan tewas dalam atau sebagai akibat pertempuran itu, dan tanah-tanah mereka diambil dan dikuasai secara langsung oleh raja Blambangan. Sudah jelas bahwa kejadian-kejadian ini sesuai dengan rangka sejarah yang berkali-kali digambarkan oleh Tome Pires: peperangan antara raja Islam dari Surabaya yang gagah berani itu dan raja "kafir" dari Blambangan. Mengenai "Chamda" di tanah pedalaman itu Tome Pires hanya memberitakan bahwa daerah tersebut ada di bawah kekuasaan raja Blambangan, dan bahwa daerah tersebut dengan tanah pegunungannya berbatasan dengan wilayah "Guste Pate". Dari pemberitaan para informan Tome Pires ini, jelaslah bahwa pada permulaan abad ke-16 "Chamda" juga meliputi daerah Lumajang. Daerah itu terletak di kaki Pegunungan Semeru, yang merupakan batas antara ujung timur Jawa dan daerah-daerah lain, yang dahulu bernama Sengguruh dan Tumapel atau Singasari. Selama masa awal abad ke-16 Sengguruh masih belum memeluk agama Islam.
XVI-4. Ujung timur Jawa bagian tengah pada paruh pertama abad ke-16 Dari pemberitaan-pemberitaan dalam Suma Oriental dapat diambil kesimpulan bahwa "Canjtam" (Gentling?, Probolinggo?), Pajarakan, dan Panarukan pada permulaan abad ke-16 hampir terlanda oleh kekuasaan raja Islam di Surabaya. Kemudian ketiga daerah itu oleh raja "kafir" dari Blambangan ditaklukkan dan diduduki. Menurut kronik peristiwa mengenai perebutan daerah oleh Demak, pada tahun 1535 Pasuruan ditaklukkan oleh maharaja Islam di Jawa Tengah, melalui sebuah aksi militer lewat laut. Hal ini dimungkinkan karena pada tahun 1531 Surabaya (yang sudah lama menjadi Islam) telah mengakui kekuasaan Demak. Dari tahun 1535 sampai 1545, menurut kronik itu, Sultan Tranggana menundukkan tanah pedalaman Jawa Timur (lihat Bab II-12). Mungkin orang di Jawa Tengah dalam paruh pertama abad ke-16 telah menganggap daerah Pasuruan sebagai daerah perbatasan antara kerajaan Jawa Timor dan kerajaan-kerajaan di ujung timur Jawa. Dengan didudukinya Pasuruan itu, selesailah masa ekspansi untuk sementara. Pada tahun 1535 seorang musafir Portugis, Galvao, mengunjungi Panarukan. Waktu itu masyarakatnya masih "kafir". la mendengar cerita bahwa seminggu sebelum kedatangannya, seorang janda telah membakar dirinya (Jacobs, Treatise). Ekspedisi Sultan Demak melawan kerajaan "kafir" Blambangan di ujung timur Jawa baru terjadi kemudian, pada tahun 1546. Menurut kisah Mendez Pinto, konon "laksamana" Pasuruan (yang dikacaukan dengan Panarukan) merupakan seorang panglima yang ulung dalam aksi militer ini, yang berakhir dengan pengepungan Panarukan (oleh penulis Portugis itu disebut Pasuruan). Menurut kronik peristiwa dari Demak, Blambangan jatuh pada tahun 1546. Apabila laskar Jawa Tengah dan laskar Pasuruan pada tahun itu memang telah menduduki sebagian besar ujung timur Jawa, maka berhasillah penanaman kekuasaan maharaja Islam untuk waktu yang lama. Ini terbukti dari sejarah ujung timur Jawa pada paruh kedua abad ke-16. Meninggalnya Sultan Demak pada waktu atau sebagai akibat ekspedisi terhadap Panarukan pada tahun 1546, dan berkuasanya Sultan Pajang atas Jawa Tengah - yang nafsu ekspansinya tidak sebesar sultan yang mendahuluinya - menyebabkan kerajaan-kerajaan "kafir" di ujung timur Jawa selama lebih dari tiga perempat abad bebas dari serangan-serangan para raja Islam dari sebelah barat. Baru pada tahun 1639-1640 Sultan Agung dari Mataram berhasil menduduki daerah itu.
XVI-5. Ujung Timur Jawa bagian tengah pada paruh kedua abad ke-16 Terus berlangsungnya "kekafiran" di Panarukan terbukti dari berita-berita para penyebar agama Roma Katolik yang pernah giat di sana. Dari pemberitaan-pemberitaan ini dapat disimpulkan bahwa Panarukan telah menjadi rebutan antara Blambangan yang "kafir" itu dan raja-raja Pasuruan yang Islam. Menurut berita orang-orang Katolik tadi, pada tahun 1575 Panarukan telah direbut oleh raja "kafir" dari Blambangan, Santa Guna, dari tangan penguasa Islam yang sebelumnya memerintah di sana. Tidak terbukti apakah orang Islam itu raja bawahan raja Pasuruan. Menurut berita Portugis lain, pada tahun 1559 Panarukan masih "kafir" (lihat Bab XVII-3). Pada tahun 1579 seorang romo Jezuit, Bernardino Ferrari, mengunjungi Panarukan untuk melayani orang-orang Portugis yang tinggal di situ. Jelas, ia berlayar dengan kapal Portugis yang berpangkalan di Malaka (sejak tahun 1511 diduduki Portugis). Di kota pelabuhan ujung timur Jawa itu ia mendapat sambutan yang ramah. Raja "kafir" itu bahkan meminta, dengan perantaraan perutusan, supaya lebih banyak misionaris dikirim. Kira-kira tahun 1585 romo-romo kelompok biarawan Capucijn dari Malaka yang beroperasi juga di Blambangan berhasil mentahbiskan seorang "imam berhala", saudara sepupu raja "kafir" di situ, menjadi orang Kristen. Beberapa waktu berselang, bangsawan yang telah dikristenkan itu dibunuh oleh rakyat. Pada dasawarsa terakhir abad ke-16 kedudukan para misionaris di Panarukan dan Blambangan tidak sebaik seperti semula, dan sebelum abad ini berakhir, daerah-daerah tersebut ditinggalkan. Pada permulaan tahun 1597 pelaut Belanda Cornelis de Houtman di dekat Panarukan berjumpa dengan slave van eenen Munninck die in Panaruca den Christenen predicte ende Javanen doopte (budak belian seorang biarawan yang di Panarukan telah berdakwah di depan orang-orang Kristen dan mempermandikan orang-orang Jawa). Ancaman dan desakan raja Islam di Pasuruan telah menjadi alasan bagi para romo itu untuk memutuskan meninggalkan negeri tersebut. Waktu pada tahun 1597 Blambangan yang "kafir" itu diserang oleh pasukan Pasuruan, Panarukan juga jatuh ke tangan orang-orang Islam. Ini dapat disimpulkan dari berita pelaut-pelaut Belanda yang pertama.
XVI-6. Ujung Timur Jawa bagian tengah pada paruh pertama abad ke-17. Penaklukan terhadap Sultan Agung Mataram Raja Islam di Pasuruan, yang pada akhir abad ke-16 telah berhasil memasukkan Panarukan dan Blambangan ke dalam wilayahnya, kemudian mendapat pukulan dari Sultan Agung dari Jawa Tengah. Pada tahun 1616 dan 1617 Pasuruan diduduki oleh orang-orang Mataram, kira-kira 80 tahun sesudah raja "kafir" terakhir di situ diusir atau diturunkan dari tahta oleh laskar Sultan Demak. Seperti halnya Sultan Tranggana, Sultan Agung memerlukan bertahun-tahun untuk menundukkan ujung timur Jawa ini. Penaklukan daerah Blambangan baru terlaksana sepenuhnya pada tahun 1639.
e-books a.mudjahid chudari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar