A. HUBUNGAN ISLAM DAN DEMOKRASI
Hubungan islam dengan demokrasi yang menjadi tema kajian cendikiawan musim, dibahasa dalam dua pendekatan: normatif dan empiris. Pada dataran normatif mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut pandangan islam. Sementara dari dataran empiris, mereka menganalisis implementasi demokrasi dalam praktek poliltik dan ketatanegaraan.
Syafi’i Ma’arif mengawali tinjauannya dengan mengemukaka tesis pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam al-qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka menurut syafii sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktek demokrasi Barat.
Menurut Iqbal, kohesi antara islam dengan demokrasi terketak pada prinsip persamaan (equality), yang didalam islam dimanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam kehidupan sosio-politik umat islam. “Hakikat tauhid sebagai suatu gagasan kerja ialah persamaan, solidaritas dan kebebasan.
Fazlur Rahman menela’ah hubungan konsep syura dengan demokrasi, melihat kedua institusi itu secara organik dengan perintah-perintah al-qur’an, Rahman berpendapat bahwa institusi semacam syura telah ada pada masyarakat Arabia pra-islam. Waktu itu para pemuka suku atau kota menjalankan urusan bersama melalui permusyawarahan. “institusi inilah yang kemudian didemokrasikan oleh al-qur’an, yang menggunakn istilah syura.[1]
Prinsip syura bertujuan melibatkan atau mengajak semua pihak untuk berperan serta dalam kehidupan negara. Sedangkan prinsip syura dari segi hukum islam manusia dibenarkan melakukan syura hanya dalam hal-hal yang ma’ruf atau kebaikan. Karena itu syura dilarang untuk digunakan dalam hal-hal yang mungkar. Misalnya, ada suatu parlemen karena ingin menciptakan undang-undang perjudian, maka lembaga ini tidak dibenarkan menggunakan prinsip syura untuk maksud itu.[2]
Memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.[3]
Hubungan islam dengan demokrasi pertama perlu dikemukakan unsur-unsur dasar atau “Family resemblance” demokrasi. Kedua, karena adanya kenyataan bahwa sebagian besar negara-negara islam tidak dimasukkan dalam studi demokrasi, adalah penting untuk melihat bagaimana islam dipersepsi oleh sebagian basar masyarakat Barat. Ketiga, perlu dijelaskan prinsi-prinsip dasar islam.
Berbeda dengan pandangan umum bahwa konsep dan praktik demokrasi adalah homogen, sebagian besar literatur tentang demokrasi menegaskan beragamanya konsep dan praktik demokrasi ini untuk mengatakan bahwa konsep dan praktik demokrasi itu sesungguhnya tidak tunggal. Unsur-unsur dasar atau “Family resemblance” demokrasi itu dipengruhi, dibentuk dan diperkaya oleh kultur dan struktur yang ada. Dengan kata lain, konsep dan praktik demokrasi digerakkan oleh konstruk sosiologi dan budaya masyarakat setempat.
Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama, memberikan penjelasan lain tentang sikap banyak pihak untuk tidak memasukkan sebagian negara-negara islam dalam analisis mereka tentang demokratisasi. Penekanan analisis atas kehidupan politik islam terutama yang berkembang di sebagian besar dunia Arab daripada atas” persyaratan-persyaratan sosial sebuah sistem demokrasi” bagi masyarakat manapun, telah mendorong mereka untuk berpendapat bahwa islam secara inheren tidaklah sesuai dengan demokrasi. Bahkan, oleh sementara pihak, islam telah dipandang sebagai “ ancaman besar terhadap kegiatan-kegiatan liberal”.[4]
Dikatakan seperti itu karena kebanyakan pandangan pengamat Barat tentang islam yang monolitis itu berasal dari pemahaman mereka yang terbatas tentang sifat dan esensi islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam Qur’an dan Sunnah) ataupun historis (sebagaimana tercermin dalam pengalaman kesejarahan umat islam).
Agama sebagaimana dilihat, dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia. Jika pendapat ini bisa dibenarkan, maka islam dibandingkan dengan agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis ini. Dasar utamanya terletak pada ciri islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana” kehadiran islam memberikan”panduan moral yang benar bagi manusia.”
Berdasarkan penjelasan tentang unsur-unsur dasar sebuah sistem demokrasi, dapat dikatakan bahwa pada tataran normatif, prinsip-prinsip islam sesuai dengan nilai-nilai demokrasi . Huntington sendiri (terlepas dari pandangannya yang negatif tentang hubungan islam demokrasi) sebenarnya percaya bahwa nilai-nilai islam “pada umumnya sesuai dengan persyaratan-persyaratan demokrasi.”[5]
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi dalam Islam dapat diartikan sebagai musyawarah (syuro) untuk mufakat. Maka arti musyawarah (syuro) disini adalah demokrasi yang sesuai dengan ajaran islam baik konsep maupun praktik walaupun tidak harus menyebutnya “demokrasi islam”.
Sebenarnya konsep syuro sudah ada pada masyarakat Arabia pra-Islam. Waktu itu, para pemuka suku atau kota menjalankan urusan bersama melalui permusyawaratan setelah nabi Muhammad wafat ketika itu Abu Bakar sebagai Khalifah pertama melakukan pidato pelantikannya di balai Bani Sa’idah, ia menyatakan bahwa dirinya telah menerima mandat dari rakyat yang memintanya melaksanakan Al-Qur’an dan Sunnah. Abu Bakar juga mengatakan bahwa selama ia melaksanakan ketentuan Al-Qr’an dan Sunnah, ia perlu didukung terus. Tetapi bilamana ia melakukan pelanggaran berat maka ia harus diturunkan.[6]
Kohesi antara islam dengan demokrasi terketak pada prinsip persamaan yang didalam islam dimanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam kehidupan sosio-politik umat islam. “Hakikat tauhid sebagai suatu gagasan kerja ialah persamaan, solidaritas dan kebebasan.
GLOSSARIUM
Empiris : Teori yang berpendapat bahwa segala pengalaman di dapat dari pengetahuan dan pengamatan
Implementasi : Pelaksanaan
Syura : Musyawarah
Kohesi : Perhubungan
Equality : Persamaan
Manifestasi : Pengumuman; pembuktian; pernyataan
Aksiomatis : Kebenaran yang tak perlu lagi diragukan lagi akan kebenarannya
Family resemblance : Kemiripan-kemiripan dasar
Instrumen : Alat
Monolitis :
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M Syafi’i. 1995. Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina
Azhary, Tahir M. 2004. Negara Hukum. Jakarta: Prenada Media .
Effendi, Bahtiar. Tamara, Nasir M (Ed.). dan Taher Elza Peldi (Ed.). 1996. Agama Dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Tranggono, Eko. Islam Demokrasi. http://jurnalushuluddin. files. wordpress. Com / 2008/ 03/ islam demokrasi. Pdf.
[1] M. Syafi’i anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.222-227
[2] M. Tahir Azhary, Negara Hukum, ( Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 114, 116
[4] Bahtiar. Effendi,dkk, Agama Dan Dialog Antar Peradaban.( Jakarta: Paramadina. 1996), Hal. 87-91.
[5] Bahtiar. Effendi, dkk, Agama Dan Dialog Antar Peradaban, op. cit., hlm. 91-98
[6] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, Op.Cit., hlm. 224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar