Sejarah Kera jaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Gresik-Giri
XI-1. Berita-berita kuno tentang Gresik, legenda dan sejarah Dahulu kala Gresik merupakan kota pelabuhan yang terkenal karena letaknya terlindung di Selat Madura, dan membelakangi tanah yang subur: delta Bengawan Solo. Sungai besar itu pernah merupakan jalan penghubung yang penting antara tanah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur (Pajang, kemudian Kartasura dan Surakarta) dengan tanah-tanah pesisir di timur laut. Menurut berita-berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota pelabuhan pada paruh kedua abad ke-14 di sebidang tanah pantai yang telantar. Penduduk pertama ialah pelaut dan pedagang Cina. Pada abad ke-15 perkampungan baru itu mungkin telah menjadi makmur; pada tahun 1411 seorang penguasa Cina di situ telah mengirim utusan yang membawa surat-surat dan upeti ke keraton Kaisar di Cina. Pada tahun 1387 M. Gresik sudah dikenal sebagai wilayah kekuasaan maharaja Majapahit. Ini terbukti dari Piagam Karang Bogem, yang berisi ketetapan tentang kawula, budak, atau orang tebusan di keraton yang berasal dari Gresik. Mungkin maharaja Majapahit yang bersemayam di pedalaman Jawa Timur beranggapan bahwa daerah-daerah pantai juga termasuk wilayahnya dan di situ kekuasaannya sebagai penguasa wilayah juga diakui. Hubungan antara raja pribumi dan pedagang asing yang menetap di negara mereka yang ingin mempertahankan hubungan mereka dengan tanah leluhurnya, lebih-lebih dari sudut kepentingan perdagangan, dapat diduga dengan adanya berita-berita tentang perutusan dari seberang lautan ke Cina. Seperti yang diberitakan pada permulaan abad ke-15 sehubungan dengan Gresik, perutusan yang menghadap kaisar Tiongkok (biasanya orang Cina peranakan), mengambil peranan yang penting. Yang masih perlu disebut di sini ialah sebuah cerita Jawa, yang dicantumkan dalam Serat Kandha tentang serangan terhadap Gresik yang dilakukan oleh musuh-musuh dari seberang lautan atau bajak-bajak laut dari Wandhan Inggris. Serangan itu digagalkan oleh seorang prajurit Probolinggo, yang bernama Sapu Jagad atau Sapu Laga. Buku cerita Jawa yang dimaksud itu (Codex LOr, No. 6379 dan KBG, No. 7) berisi lebih banyak kisah serangan oleh orang-orang asing dari seberang lautan terhadap kota-kota pelabuhan Jawa. Cerita-cerita itu tidak dapat diteliti kebenarannya; dan nama-nama musuh-musuh dari seberang laut itu hanya sedikit yang dapat dikenali dengan pasti. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah hubungan, yang disebut dalam cerita tersebut, antara Gresik dan Probolinggo. Nama Probolinggo belum tua, namun nama lama tempat itu, Banger, telah dicantumkan dalam Nagara Kertagama dari abad ke-14. Sekarang pun nama itu masih dikenal. Dalam legenda-legenda di ujung timur Jawa tentang peperangan antara Majapahit dan Blambangan, daerah Probolinggo termasuk daerah Menakjingga dari Blambangan. Beberapa hal menunjukkan bahwa mungkin sudah sejak abad ke-14 ada hubungan lewat laut, sepanjang pantai Selat Madura, antara Gresik dan Blambangan di ujung timur Jawa, dan kota-kota pelabuhan di antara kedua tempat itu (lihat Bab-bab XV, XVI, dan XVII). Pada Bab I-1 dibicarakan cerita-cerita Jawa mengenai permulaan penyebaran agama Islam di Jawa Timur. Di sana dikemukakan adanya makam-makam Islam yang sudah tua sekali, yang ditemukan di dekat Gresik, maupun tentang kedua saudara kakak beradik yang legendaris itu, keduanya putra seorang Arab yang kawin dengan putri Cempa. Yang sulung adalah perintis kelompok Islam di Gresik. Adiknya, yang bernama Raden Saleh, kelak terkenal sebagai Sunan Ngampel Denta dari Surabaya. Sukar untuk menemukan hubungan cerita tutur itu dengan dongeng-dongeng tentang asal usul para Sunan Giri, raja-raja Surabaya, maupun kedua ratu di Gresik pada sekitar tahun 1500 M. (menurut Torpe Pires).
Xl-2. Gresik sekitar tahun 1500 M Mengenai keadaan ekonomi dan politik di Gresik pada permulaan abad ke-16 terdapat keterangan-keterangan penting dalam buku Tome Pires, Surna Oriental. Musafir Portugis itu menganggap Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa. la memberitakan adanya transaksi yang diadakan oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-Kiu dengan Gresik, dan perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda. Menurut Torne Pires, waktu ia di Gresik ada dua penguasa yang saling memerangi. Daerah mereka di kota itu dipisahkan oleh sungai kecil yang dangkal. Penulis Portugis itu menyebut nama Pate Cucuf dan Pate Zeinall. Pate Cucuf memerintah bagian kota yang paling besar dan paling penting, tempat perdagangan laut. Konon, ia masih kerabat keluarga raja di Malaka (yang kehilangan negerinya karena Kota Malaka telah direbut oleh orang-orang Portugis), dan ia dianggap keturunan Melayu. Penguasa yang lain, Pate Zeinall, menurut Tome Pires, memerintah di bagian pedalaman yang agraris; ia tidak berdagang dan tidak kaya. la adalah penguasa Islam yang tertua di kota-kota pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan bersahabat dengan Pate Rodim, yang tua dan Pate Rodim yang muda dari Demak. Pada kesempatan lain, dalam membicarakan asal usul keturunan pemimpin-pemimpin Islam di Demak, Tome Pires menyebut bahwa ayah Pate Rodim yang tua adalah "budak belian" dari Gresik. Cerita-cerita lain menunjukkan asal usulnya dari keturunan Cina dan Gresik sebagai tempat persinggahan raja-raja Islam di Demak. Dalam Suma Oriental tidak disebut asal usul Pate Zeinall. Karena Tome Pires pada tahun 1515 sudah meninggalkan Jawa, maka ia tidak dapat memberitakan sejarah kedua penguasa Gresik itu lebih lanjut. Sukar untuk menyesuaikan pemberitaan Portugis itu (yang untuk kurun waktunya sendiri pantas dipercaya) dengan cerita tutur Jawa tentang lahir dan berkembangnya keturunan para pemimpin agama di Giri. Pada paruh kedua abad ke-16 dan pada abad ke-17 mereka mempunyai kedudukan penting dalam sejarah Jawa.
XI-3. Gresik dan permulaan kekuasaan pemimpin-pemimpin Agama; Prabu Satmata dari Giri, legenda dan sejarah Dalam Suma Oriental Torne Pires tidak memberitakan apa-apa tentang ulama-ulama besar Islam (di kota-kota lain pun tidak), walaupun mereka itu sekitar tahun 1500 M. telah mulai memperlihatkan kegiatan. Sebaliknya, cerita tambo Jawa tentang asal keturunan para sunan di Giri ternyata panjang lebar. Cerita-cerita tersebut termasuk kesusastraan Pesisir Timur, yang pada abad ke-17 dan ke-18 pusat kerohanian dan kemasyarakatannya terdapat di Giri-Gresik dan Surabaya. Cerita-cerita Jawa tersebut bermuatan unsur legenda dan dongeng. Tetapi hubungan yang disebutkannya antara Gresik-Giri dengan Blambangan dan dengan tempat-tempat lain, mempunyai nilai sejarah yang penting. Tahun-tahun kejadian yang disebutkan di dalamnya tampaknya dapat dipercaya. Menurut cerita tutur Jawa, seorang ahli agama berkebangsaan Arab berasal dari Jeddah, bernama Wali Lanang, telah memperistri seorang putri raja "kafir" Blambangan (yang telah disembuhkannya dari suatu penyakit); ia mendapat seorang anak laki-laki dari perkawinan itu. Wali Lanang meninggalkan Blambangan karena ia tidak berhasil mengislamkan rajanya. Bayi itu dimasukkan ke dalam peti dan dilemparkan ke laut dan kemudian diselamatkan oleh seorang nakoda perahu milik Nyai Gede Pinatih dari Gresik, janda Patih Samboja. Anak itu diambil sebagai anak angkat, dan kemudian disuruh berguru kepada Sunan Ngampel Denta dari Surabaya, yang memberi anak pungut itu nama Raden Paku. Raden Paku dari Gresik itu diasuh bersama anak Sunan Ngampel Denta, Santri Bonang. Mereka berdua pergi ke Malaka dan menjadi murid Wali Lanang (ayah Raden Paku). Wali Lanang memberi mereka tugas hidup untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Timur. Sekembalinya di Gresik, beberapa waktu kemudian Raden Paku menetap di Gunung (= Giri) sebagai kiai besar. la memilih nama Prabu Satmata. Tutur Jawa menyebutkan tahun-tahun kejadian sebagai berikut: 1477 M., meninggalnya Nyai Gede Pinatih, ibu pengasuh Prabu Satmata; 1485 M. pembangunan kedaton, 'istana', dan tiga tahun kemudian pembuatan "kolam"; tahun 1506 M. meninggalnya Prabu Satmata. Berkenaan dengan cerita tutur ini dapat dikemukakan hal sebagai befikut. Tampak jelas hubungan moyang dinasti Giri dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang luar negeri, dengan pelayaran serta perdagangan di laut, dan dengan Blambangan, Surabaya, dan Malaka. Menurut cerita tutur ini, Nyai Gede Pinatih adalah seorang wanita Islam; jika tidak, tidak akan ia menyuruh anak angkatnya berguru pada orang suci di Surabaya. Menetapnya di Giri (sesudah bertempat tinggal di Gresik) dapat dihubungkan dengan pembangunan kedaton, pada tahun 1485. "Kolam" yang dibuat pada tahun 1488 M. itu mungkin suatu "taman indah" dengan danau tiruan (yang dihuni kura-kura), beserta pulau kecil di tengahnya, lengkap dengan balai kecil, yang biasanya disebut bale kambang. Bangunan "taman air" (taman sari) demikian itu sejak dahulu kala merupakan bagian dari kompleks istana raja di Jawa. Memiliki taman semacam itu tentu menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama di Giri. Penanggalan yang agak tua dalam cerita Jawa, yaitu pada perempat terakhir abad ke-15, kehidupan Prabu Satmata dari Giri, dan ibu angkatnya yang sudah beragama Islam, Nyai Gede Pinatih dari Gresik, menguatkan pendapat bahwa Gresik dan Surabaya adalah kota-kota pelabuhan Jawa Timur yang pertama tempat terbentuknya umat Islam. Tindakan Prabu Satmata dari Giri itu (seperti juga yang dilakukan para wali Islam di Jawa pada zaman yang sama) dapat dianggap sebagai suatu usaha memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi kepentingan para pedagang Islam yang sering kurang semangat agamanya; biasanya mereka keturunan asing dan berasal dari golongan menengah yang berada atau kurang berada, dan mungkin sudah sejak abad ke-14 bertempat tinggal di kota-kota atau kota-kota kecil di Jawa. Dibangunnya kedaton dan dipakainya nama gelar raja (Prabu Satmata) boleh dianggap sebagai gejala telah meningkatnya kesadaran harga diri pada wali dan pemimpin kelompok keagamaan Islam yang masih muda; lebih dari kelompok-kelompok yang lebih tua, merasa dirinya anggota masyarakat Islam internasional. Apabila Prabu Satmata pada tahun 1485 M. memang telah membangun tempat kediamannya di Giri (sekalipun ia sebagian tahun tinggal di Kota Gresik), maka dialah orang pertama di antara ulama yang membangun tempat berkhalwat dan tempat berkubur di atas sebuah bukit dalam uraian yang lebih dahulu, Tembayat, Prawata dekat Demak dan Gunungjati dekat Cirebon telah diberitakan, tetapi berbeda dengan Demak dan Cirebon, sejak zaman kerajaan "kafir" Majapahit Gresik merupakan kota yang cukup berarti. "Tempat keramat di atas gunung" tentu sudah dianggap penting dalam kehidupan keagamaan sebelum zaman Islam di Jawa Timur. Menurut cerita tutur Jawa, "gunung keramat" Penanggungan pada tahun 1543 telah diduduki oleh laskar Islam sultan Demak (lihat Bab II-12). Dapat diduga bahwa kelompok-kelompok "kafir" yang memiliki satu atau beberapa "bukit keramat" sebagai pusat keagamaannya (dapat dibandingkan dengan masyarakat Tengger yang sekarang masih ada, dan tempat-tempat keramat Besakih dan Gunung Batur di Bali), telah memberikan perlawanan bersenjata waktu orang-orang alim Islam datang untuk menjadikan gunung keramat mereka menjadi daerah Islam. Apakah Giri dekat Gresik sebagai pusat kehidupan Islam dan sebagai tempat penghayatan agama bagi orang-orang Islam beriman telah didirikan sekadar mencontoh "gunung keramat" di Jawa Timur? Ataukah didirikan di tempat bekas "gunung keramat"? Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri Bonang pada umumnya harus menyebarkan agama Islam di Jawa Timur (dan memang, kenyataannya kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitakan perjalanan-perjalanan jauh). Betapa besar arti Giri sebagai pusat keagamaan bagi umat Islam di Jawa Timur, dan selanjutnya juga di bagian timur Nusantara pada abad ke-16 dan ke-17, masih akan dibicarakan kemudian. Dalam pada itu, bungkamnya Tome Pires tentang Giri dan Prabu Satmata menimbulkan perkiraan bahwa - yang jelas sampai tahun 1515, waktu musafir Portugis itu pergi - pusat kehidupan Islam di bukit dekat Gresik belum menjadi pusat kekuasaan pemerintahan atau pusat ekonomi yang berarti. Pada permulaan abad ke-16 kekuasaan keraton Kerajaan Majapahit di pedalaman Jawa Timur (atau kekuasaan pemimpin pemerintahan Gusti Pate, seperti yang diberitakan oleh Tome Pires), masih cukup besar. Boleh diduga bahwa sampai pada saat didudukinya kota kerajaan tua (Majapahit) itu oleh orang-orang alim Islam pada tahun 1527, para penguasa duniawi Islam di Gresik masih mengakui raja "kafir" di Majapahit sebagai penguasa tertinggi. Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada waktu itu raja-raja Islam di Demak, Jepara, dan Tuban juga masih berbuat serupa. Perkiraan bahwa Pate Zeinall yang diberitakan oleh Tome Pires sekitar tahun 1515 dapat dikatakan sama orangnya dengan ulama di Giri (Prabu Satmata atau penggantinya), dapat disanggah. Penulis Portugis itu menggambarkan Pate Zeinall, yang mungkin pernah dilihatnya juga, sebagai penguasa yang gagah berani atas daerah pertanian di pedalaman. la masih kerabat yang lebih tua dan sahabat para penguasa Islam pertama di Sidayu, Jepara (Pate Unus), dan Demak (Pate Rodim). la tidak berkepentingan dalam perdagangan laut. Penggambaran Pate Zeinall demikian itu berlawanan dengan pribadi pemimpin agama di Giri, yang sebenarnya berasal dari kalangan pelaut dan pedagang asing, yang tinggal di kota pelabuhan Gresik. Cerita Jawa tentang awal mula keturunan Giri tidak memberitakan apa-apa tentang pemilikan tanah atau wilayah pertanian. Tidak benar jika ulama yang pertama di Giri disamakan dengan Pate Cucuf yang diberitakan oleh Tome Pires sekitar tahun 1515. Musafir Portugis itu mengetahui sungguh-sungguh riwayat hidup Pate Cucuf dan ayahnya Pate Adam. Mereka orang-orang Melayu, dan masih kerabat keluarga raja Malaka yang diusir oleh bangsa Portugis; mereka itu pedagang-pedagang di laut. Memang keluarga Melayu ini mempunyai kepentingan yang sama dengan keturunan Giri dalam hal perdagangan di laut dan hubungannya dengan Malaka, tetapi dalam Suma Oriental sama sekali tidak dinyatakan adanya suatu hubungan Pate Cucuf dengan Blambangan, Surabaya, dan agama Islam. Seandainya ulama pertama di Giri termasuk keturunan Melayu terkemuka, seperti Pate Cucuf, maka boleh diharapkan bahwa cerita tutur Jawa memberitakan atau mengingatkan akan asal usul keturunan raja ini. Kenyataannya, yang dituturkan adalah asal usul yang sangat rendah dan menyerupai dongeng: anak pungut yang diasuh hanya karena rasa belas kasihan. Sebaliknya, seandainya Pate Cucuf telah mempunyai hubungan dengan Blambangan, Tome Pires tentunya mendengar tentang hal itu dan akan memberitakannya, karena ia memang bercerita agak panjang lebar tentang raja "kafir" di ujung timur Jawa. Suatu keberatan penting terhadap pandangan seolah-olah Patty Cucuf yang diberitakan Tome Pires atau Pate Zeinall dari Gresik itu sama orangnya dengan pemuka agama pertama (atau yang kedua) di Giri ialah kenyataan bahwa nama Kota Giri tidak pernah muncul dalam Suma Oriental, meskipun musafir Portugis itu pasti pernah datang juga di Sidayu dan Gresik. Dapatlah diperkirakan bahwa orang Portugis "kafir" itu tidak mendapat keterangan tentang urusan agama (a.l. karena memang tidak memintanya) dan pada permulaan abad ke-16 pusat keagamaan di Giri dan para ulamanya belum menduduki tempat penting dalam pikiran pedagang di Jawa Timur, yang berhubungan dengan Tome Pires. Jadi, pada zaman Tome Pires, para penguasa duniawi di Kota Gresik dan para ulama di Giri hidup berdampingan raja. Kekuasaan pemerintahan di kota agaknya pada abad ke-16 jatuh ke tangan para ulama, tetapi sekali-sekali keturunan raja Surabaya juga berkuasa di sana. Meskipun letaknya sangat berdekatan dan dalam beberapa hal berhubungan, Kota Gresik dan Giri ini dalam sejarah dan dalam cerita-cerita Jawa tidak dapat disamakan sepenuhnya.
XI-4. Pemimpin agama yang kedua di Giri, Sunan Dalem; legenda dan sejarah Menurut daftar-daftar tarikh Jawa, penguasa (ulama) yang kedua di Giri mulai memegang peranan pada tahun 1506. Rupanya, ia hidup sezaman dengan Sultan Tranggana dari Demak dan ia telah mengalami pula pendudukan kota Kerajaan Majapahit oleh pasukan Islam pada tahun 1527. Di antara mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Sunan Satmata disebutkan juga bahwa ia telah memindahkan "pertapaan" - tempat ayahnya dulu membiasakan diri ber-khalwat - beserta masjid dan perigi tempat mengambil air wudu dari sebuah gunung di Blambangan ke Giri. Hal itu dilakukannya hanya dengan kekuatan "daya pikir" belaka. Dalam legenda mengenai Giri terdapat cerita tentang serangan-serangan yang dilakukan, atau percobaan-percobaan pembunuhan yang direncanakan, oleh raja "kafir" Majapahit atau pegawai-pegawainya, yang ditujukan kepada ulama Giri itu. Seperti biasanya, legenda-legenda itu samar-samar dalam hal penentuan waktu. Pemerintahan Sunan Satmata dan Sunan Dalem dalam legenda dicampur aduk saja. Dapat diperkirakan bahwa sikap permusuhan antara Majapahit dan Giri baru berkembang dan terwujud pada permulaan abad ke-16, waktu pihak raja mulai memandang pengislaman berbagai kota pelabuhan sebagai bahaya bagi kekuasaannya. Bukan tanpa alasan bahwa pernimpin umat beragama di Giri didakwa melakukan usaha merebut kekuasaan duniawi di kota pelabuhan tua Gresik. la memperlihatkan ketidaksenangannya untuk memberi penghormatan kepada maharaja "kafir" di Majapahit sebagai penguasa tertinggi. Penghormatan itu selalu dilakukan oleh para penguasa di Tuban, kota yang paling sedikit sama tuanya dengan Giri/Gresik itu, walaupun mereka sudah Islam. Keyakinan beragama yang teguh pada keturunan Giri ini mungkin disebabkan ia keturunan seorang cendekiawan agama. Menurut cerita tutur Jawa, raja Majapahit telah memberi perintah untuk membunuh Sunan Giri. Namun, algojo yang dikirim rupanya bersedia memeluk agama Islam. Malahan kemudian ia menjadi pengikut ulama itu. Sejak itulah ia memakai nama Mutalim Jagapati, Dalam dongeng-dongeng lain juga terdapat pelaku yang bernama Jagapati, teman seperjuangan Sunan Giri melawan kekuasaan "kafir". Menurut cerita lain, raja Majapahit bahkan telah mengirim Patih Gajah Mada dengan kekuatan militer untuk melawan Giri. Serangan ini digagalkan tidak lain dan tidak bukan hanya karena daya ajaib keris Kala Munyeng (atau Kalam Munyeng) yang, menurut cerita, berasal dari alat tulis (kalam) orang suci itu. Dalam legenda ini kiranya "kalam" (tenaga batin) disejajarkan dengan Kala Munyeng, suatu kekuasaan adikodrati atau setan, yang sudah disebut-rebut dalam naskah-naskah dari zaman pra-Islam. Yang menarik perhatian dalam cerita ini ialah hubungan antara orang suci Islam itu dan sebilah keris, yang telah ikut bertempur melawan "alam kafir". Cerita tentang tindakan bersenjata yang dilakukan oleh kekuasaan Kerajaan Majapahit terhadap penguasa di pantai utara agak dikuatkan oleh pemberitaan Todie Pires. Menurut Suma Oriental (Pires, Suma Oriental, hal. 189), kiranya Guste Pate, penguasa Majapahit - mungkin pada permulaan abad ke-16 - telah menghancurkan daerah Cajongam. Cajongam mungkin dapat disamakan dengan Juwana. Dalam pembicaraan tentang hubungan antara raja-raja Demak-Japara dan raja-raja Pati-Juwana (pada Bab IV-2) telah diajukan dugaan bahwa kepala pasukan Majapahit berusaha mengembalikan kekuasaan raja di sebelah barat laut Kerajaan (Majapahit) dengan melakukan serangan terhadap Cajongam. Apabila legenda Jawa tentang keris Sunan Giri itu mempunyai inti kenyataan, maka usaha serupa itu di sebelah timur laut - lebih dekat pada ibu kota - telah mengalami kegagalan. Menurut cerita Jawa Tengah dari abad ke-17 atau ke-18, sunan di Giri (Sunan Dalem) juga ikut serta secara aktif dalam pendudukan kota Kerajaan Majapahit (pada tahun 1527). Alas tunjukan Sunan Ngampel Denta - yang tertua di antara orang-orang suci - bahkan ia memegang kekuasaan tertinggi di kerajaan lama itu selama 40 hari sesudah hilangnya Brawijaya. Maksudnya ialah untuk menghilangkan segala bekas yang ditinggalkan oleh "alam kafir", sebelum raja Demak dilantik menjadi maharaja (lihat Bab II-10). Cerita ini tidak ada dalam tambo-tambo lama di Giri dan Gresik. Tempat terhormat Sunan Giri dalam cerita itu mungkin bukanlah suatu kenyataan historis, tetapi merupakan usaha selanjutnya untuk lebih menonjolkan posisi Giri. Sebaliknya, yang justru pantas dipercaya ialah beberapa cerita Jawa Timur tentang adanya hubungan antara Giri dan Sengguruh, daerah Malang sekarang. Menurut cerita tutur setempat, penguasa di Gribik (atau Ngibik) di daerah Sengguruh telah beralih ke agama Islam berkat jasa seorang syekh di Manganti, paman Sunan Giri. Seperti biasa cerita demikian tidak menyebutkan waktu-waktunya. Tetapi dari pemberitaan ini dapat diambil kesimpulan bahwa di pedalaman Jawa Timur pun sekitar tahun 1500 M. sudah terbentuk kelompok-kelompok Islam, berkat pengaruh orang-orang alim yang berasal dari daerah pantai utara. Dalam hal ini kiranya Gribik dapat dibandingkan dengan Singkal di daerah Kediri (yang pernah ditempati Sunan Bonang), dengan Tembayat di daerah Klaten (didirikan oleh orang terkemuka/ bangsawan dari Semarang), dan dengan Pasir di tanah Jawa bagian barat daya (tempat raja Demak menanamkan pengaruhnya). Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan anggota-anggota keturunan patih "kafir" Majapahit, yang (menurut Tome Pires sebagai Guste Pate) pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan Jawa Timur "Gamda", yang menurut penulis Portugis itu sekitar tahun 1515 M. diperintah oleh anak laki-laki Guste Pate, mungkin meliputi daerah Sengguruh juga. Kerajaan itu masih akan disinggung lagi dalam pembicaraan tentang sejarah ujung timur Jawa pada abad ke-16 (Bab XV, XVI, dan XVII). Menurut cerita yang panjang lebar dan cukup teliti, dengan disertai tahun terjadinya peristiwa, pada tahun 1535 M. penguasa "kafir" dari Sengguruh menduduki pusat Islam, Giri. Sesudah sekelompok kecil orang Cina Islam, di bawah pimpinan Panji Laras dan Panji Liris, dekat Lamongan dikalahkan oleh orang-orang dari pedalaman, Sunan Dalem memerintahkan kepala pasukannya Jaga Pati (sama dengan yang diberitakan dalam cerita lain?; lihat di muka) untuk menghentikan pertempuran. Sunan Dalem telah meninggalkan Giri untuk menyingkir ke Gumena, yang diperintah oleh Ki Dang Palih. Syekh Koja, paman Sunan (sama dengan Syekh Manganti, yang telah mengislamkan Gribik), telah menyetujuinya. Orang-orang "kafir" dari selatan tadi membuka dan merusakkan makam Sunan Satmata yang saleh itu, tetapi suatu kawanan lebah yang keluar dari dalam makam itu telah memaksa orang-orang "kafir" itu meninggalkan Giri lagi, dan kembali ke Sengguruh. Sunan Dalem dapat kembali ke tempat kedudukannya. Di sebelah timur makam suci sunan pendahulunya, ia menyuruh buat makam untuk Syekh Grigis, juru kunci yang telah dibunuh oleh para penyerang "kafir". Di Gumena beliau memerintahkan untuk mendirikan masjid dengan atap tingkat tiga. Hal itu tentu untuk menyatakan rasa terima kasih atas bantuan yang telah diterimanya di tempat itu. Terlepas dari cerita legenda tentang kawanan lebah tadi, cerita tutur setempat yang disertai tahun-tahun kejadian ini layak dipercaya. Dari cerita itu dapat diambil kesimpulan bahwa 8 tahun sesudah runtuhnya kota kerajaan tua Majapahit (pada tahun 1527) "orang-orang kafir" masih juga berusaha membendung meluasnya agama Islam ke timur dengan mengadakan serangan terhadap Giri. Memang demikianlah, menurut kronik Demak (lihat Bab II-12), pada tahun 1531 Surabaya telah dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan maharaja Islam di Demak, dan pada tahun 1535, sama tahunnya dengan pertempuran di Giri, laskar Demak diceritakan telah merebut Pasuruan. Pasuruan ini boleh jadi merupakan kota penting dalam kerajaan "Gamda" (menurut Tome Pires), yang meliputi daerah Sengguruh juga. Dapatlah diduga bahwa kekalahan Pasuruan (musibah yang lebih hebat daripada kawanan lebah) telah memaksa laskar Sengguruh melepaskan kembali Giri yang baru saja diduduki itu. Mereka merasa terancam hubungannya dengan markas besarnya di pedalaman akan terputus. Lamongan, yang menurut cerita Giri pada tahun 1535 masih di bawah kekuasaan "orang-orang kafir" (yang pernah mendatangi Giri), menurut kronik Demak, pada tahun 1541 dan 1542 telah diduduki pasukan Demak. Sekaligus Kota Wirasaba yang letaknya sedikit lebih ke selatan. Sejak itu Giri merasa aman dari serangan lewat darat dari sebelah selatan. Anehnya, cerita setempat tentang pendudukan sementara atas Giri tidak memberitakan apa-apa tentang Kota Gresik; mungkin karena Gumena dan Gresik mempunyai hubungan yang erat. Juga tidak ada berita lain tentang bantuan langsung dari maharaja Islam dan Demak. Ada kemungkinan besar bahwa para ulama besar di Giri, sesudah runtuhnya kerajaan "kafir" Majapahit pada tahun 1527, merasa dirinya merdeka dan bebas, juga dari raja Islam baru di Demak. Dengan didudukinya Tuban pada tahun 1527 dan Surabaya pada tahun 1531 (mungkin dari laut), Sultan Tranggana telah mengambil langkah pertama ke arah penegakan kekuasaannya di daerah-daerah pantai utara kerajaan "kafir" dahulu. (Baru waktu diadakan ekspedisi-ekspedisi militer dari tahun 1535 hingga 1545, ia, menurut daftar tahun peristiwa, telah menundukkan daerah-daerah pedalaman, dan terakhir Sengguruh). Penundukan atau pendudukan atas Giri/Gresik tidak diberitakan sama sekali, baik dalam cerita Demak maupun dalam cerita Giri. Apabila dugaan dapat dibenarkan bahwa Gumena - di bawah pemerintahan Ki Dang Palih - dan Gresik yang mempunyai dua penguasa itu (menurut Tome Pires) boleh dihubungkan satu dengan yang lain, Sunan Dalem di Giri itu pada tahun 1535 telah mengambil keuntungan politik dari rasa takut yang ditimbulkan oleh kedatangan laskar "kafir" dari Sengguruh untuk memperkuat kekuasaannya sendiri di kota pelabuhan itu. Dapat diperkirakan bahwa kedua penguasa di Gresik yang (menurut Tome Pires) saling memerangi itu tidak akan mampu mengatur pertahanan kota terhadap penyerang dari luar. Pembangunan masjid di Gumena pada tahun 1539 (menurut cerita tutur setempat) adalah suatu tanda pengukuhan kekuasaan para ulama Giri di Gresik. Tentang kedua penguasa (di Gresik) ini selanjutnya tidak ada berita lagi.
XI-5. Pemimpin Agama ketiga dan keempat dari Giri yang paling terkemuka pada abad ke-16, Sunan Prapen Menurut kisah setempat, Sunan Dalem, yang pada tahun 1506 mulai memerintah, wafat pada tahun 1545 atau 1546. Konon, ia digantikan anaknya yang dua tahun kemudian meninggal. Sunan ketiga dari Giri ini sesudah meninggal diberi nama anumerta Sunan Seda-ing-Margi, yang artinya sunan yang menemui ajal dalam perjalanan. Selanjutnya tidak ada yang diketahui lagi tentang dia. Menurut cerita setempat, pada tahun 1548 M. ia digantikan oleh kakaknya yang terkenal dengan nama anumerta Sunan Prapen (menurut tempat bangunan makamnya). Kisah setempat yang berkenaan dengan tahun 1570 M. (Wiselius, "Historiseh") menceritakan bahwa pada waktu masih hidup ia memakai nama "Sunan Mas Ratu Pratikal". Sunan Prapen ialah pemimpin agama di Giri. Selama pemerintahannya yang panjang sekali (dari tahun 1548 sampai kira-kira tahun 1605) ia banyak berjasa membentuk dan memperluas kekuasaan "kerajaan Imam" Islam, baik di Jawa Timur dan Jawa Tengah maupun di sepanjang pantai pulau-pulau Nusantara Timur. Paruh kedua abad ke-16 merupakan masa kemakmuran Giri/Gresik sebagai pusat peradaban Pesisir Islam dan pusat ekspansi Jawa di bidang ekonomi dan politik di Indonesia Timur. Menurut kisah setempat, pada tahun 1549 M., satu tahun sesudah ia mulai berkuasa, Sunan Prapen membangun keraton. Konon kedaton yang didirikan oleh kakeknya, Prabu Satmata, pada tahun 1488, dipandang tidak sesuai lagi dengan kejayaan dan kekuasaan yang telah dicapai oleh keturunan pemimpin-pemimpin agama. Jatuhnya kekuasaan Kerajaan Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546 mungkin telah mempengaruhi Sunan Prapen. la ingin mendirikan suatu bangunan besar sebagai tanda sudah merdeka. Masjid di Kudus, "kota suci" tidak jauh dari Demak, menurut prasasti pada tahun 1549 juga selesai dibangun (lihat Bab V-2). Ada alasan untuk menduga bahwa pemimpin-pemimpin agama di Kudus pada pertengahan abad ke-I6 juga ingin berbuat seperti raja-raja merdeka. Cerita Jawa setempat tidak memuat berita-berita yang menunjukkan bahwa Giri/Gresik menderita karena jatuhnya Kerajaan Demak dan kericuhan di Jawa Tengah, sebelum raja Pajang - sebagai anggota keluarga terakhir dinasti lama - memegang pimpinan. Berbeda dengan raja-raja di daerah yang letaknya lebih ke barat, seperti Tuban dan Jipang, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Demak, Sunan Prapen dari Giri tidak mau mencampuri urusan politik penguasa-penguasa di pedalaman Jawa Tengah. Sebagai wakil dinasti Demak, Ratu Kalinyamat dari Jepara yang hidup sezaman dengan Sunan Prapen masih tetap mempertahankan kekuasaannya atas daerah-daerah di sepanjang pantai barat Laut Jawa sampai Banten. la juga melakukan usaha mengusir orang-orang Portugis dari Malaka, tetapi gagal. Pada paruh kedua abad ke-16, Sunan Prapen hanya memusatkan usahanya memperluas kekuasaan rohani dan duniawinya serta hubungan-hubungan dagangnya lewat laut ke arah timur. Ekspansi ini akan dibicarakan dalam bagian berikut. Besar kemungkinan, bahkan di tanah pedalaman Jawa Timur, Sunan Prapen tidak banyak berusaha untuk berkuasa. Pada daftar tahun-tahun peristiwa Jawa (juga yang dipakai Raffles dan Hageman) tahun 1548-1552, diberitakan adanya perjalanan raja Giri ke Kediri (menurut Hageman bahkan merupakan suatu pendudukan Kediri). Berturut-turut terjadi tahun 1551 M., Kediri dibakar; tahun 1579 M.: kemenangan terakhir kaum Islam; rajanya menghilang (lihat Graaf, Senapati, cat. pada hal. 61). Berdasarkan catatan-catatan tahun peristiwa itu orang akan menduga bahwa Kerajaan Kediri dari tahun 1548 (waktu jatuhnya Kesultanan Demak) sampai pada akhir perempat ketiga abad ke-16 (1575) masih "kafir". Sunan Giri pada pertengahan abad itu (waktu terjadinya kericuhan di Jawa Tengah sesudah jatuhnya Kerajaan Demak) berusaha memasukkan agama Islam ke daerah itu (atau mencegah timbulnya kembali "kekafiran"?). Karena tidak ada berita dari sumber lain, maka untuk sementara tidak mungkin menentukan apa yang sebenarnya terjadi di Kediri (lihat juga Bab XIX-5. Pajang, dan cat. 370). Raja-raja di wilayah lama yang dahulu termasuk daerah inti kerajaan "kafir" Majapahit, pada waktu jatuhnya kekuasaan maharaja Demak, tampaknya masing-masing tetap mempertahankan kekuasaan yang sudah ada. Menurut cerita Jawa Tengah, pada perempat ketiga abad ke-16, raja Surabaya, yang terkemuka di antara sesama raja (primus inter pares), mewakili raja-raja Jawa Timur. Dalam kedudukan itu ia mengakui raja Pajang sebagai maharaja. Penguasa Giri/Gresik dianggap pelopor para raja yang ikut serta mengambil keputusan politik ini. Kekuasaan di bidang rohani Sunan Prapen dari Giri, lebih-lebih waktu ia sudah lanjut usia, juga diakui oleh raja-raja di pedalaman Jawa Timur. Cerita Jawa Tengah tentang tahun 1581, ketika raja Pajang dilantik sebagai raja Islam utama dan sebagai sultan, dapat dipercaya. Upacara ini kiranya dilakukan di keraton Sunan Prapen dari Giri yang pada waktu itu sudah tua; raja Pajang, JakaTingkir yang pada tahun 1549 mengalahkan Aria Jipang, rupanya juga sudah lanjut usianya. Pada pelantikan yang diberitakan dalam banyak naskah Jawa dan daftar tahun peristiwa itu, hadir raja-raja dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, dan bahkan raja-raja daerah pantai Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Boleh dianggap upacara ini merupakan suatu kemenangan bagi Sunan Prapen sebasai negarawan. la boleh berharap bahwa, di bawah pimpinan rohaninya, ketertiban pemerintahan di Jawa Timur akan tertanam teguh. Tetapi, menurut cerita tutur Jawa Tengah, Senapati Mataram yang masih muda, yang baru pada tahun 1584 mulai memerintah, selagi Sultan Pajang masih hidup sudah mulai berusaha memperbesar kekuasaannya di Jawa Tengah. Hal ini merugikan pihak yang berhak mewarisi. Pada tahun 1588 ia berhasil menduduki kota Kerajaan Pajang, yang letaknya dekat dengan daerahnya. Sejak itu para panglima Mataram sering mengadakan ekspedisi militer dan memaksa hampir semua penguasa daerah di Jawa Tengah mengakui kekuasaan tertinggi Senapati Mataram. Tetapi Surabaya masih bertahun-tahun lamanya menjadi pusat perlawanan raja-raja Jawa Timur. Ada berita dalam babad dan buku cerita Jawa Tengah bahwa pada tahun 1589 sudah terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Surabaya. Pada waktu itu Sunan Giri bertindak sebagai penengah dan pendamai. Menurut cerita, pada waktu itu (dan juga pada kesempatan-kesempatan lain) pemimpin agama itu telah memperlihatkan kurnia Ilahinya dengan meramalkan bahwa selanjutnya keluarga raja Mataram akan menguasai seluruh Jawa. Tetapi cerita tentang ramalan mengenai kejayaan di masa datang Mataram berasal dari angan-angan dan khayalan para pejabat (abdi dalem) raja Mataram pada abad ke-17 dan ke-18. Sukar dipercaya bahwa Sunan Prapen yang sudah tua itu pada tahun 1589 sengaja mengucapkan pernyataan yang menguntungkan seorang penguasa setempat yang masih muda, jauh di tanah pedalaman Jawa Tengah dan merugikan sanak saudara Sultan Pajang yang bersahabat dengan dia. Yang sudah pasti ialah bahwa Keraton Giri sesudah tahun 1589 menjadi tempat berlindung bagi raja-raja Jawa Tengah dan Jawa TImur, yang tanahnya diduduki oleh laskar Mataram. Menurut sumber-sumber yang boleh dipercaya, anggota-anggota keluarga raja Pajang dan Tuban, dan Pangeran Mas dari Aros-Baya di Madura diizinkan beberapa waktu tinggal di Giri. Hal itu membuktikan adanya suatu sikap Giri yang memihak Mataram. Menjelang akhir hidupnya yang panjang itu, Sunan Prapen menyatakan keinginan menghormati kakeknya, Prabu Satmata, pendiri dinasti pemimpin-pemimpin rohani di Giri. Menurut cerita setempat, ia telah memberi perintah untuk membuat cungkup di atas makam kakeknya, konon pada tahun 1590 M. Rupanya, ia menyadari bahwa kekuasaannya di Jawa Timur terletak di atas dasar rohani yang kukuh, yang telah diletakkan oleh seorang ulama, yakni kakeknya itu. Pemimpin agama keempat di Giri ini pasti telah lanjut sekali usianya. Pada tahun 1601, pelaut Belanda, Olivier van Noort, waktu singgah di Gresik (Noort, Reis, jil.I, hal. 141-142) mendengar bahwa raja tua itu berumur 120 tahun; istri-istrinya yang banyak itu mempertahankan hidupnya dengan menyusuinya seperti seorang bayi. Berita-berita dari Cina juga mengabarkan bahwa raja tua itu lebih dari seratus tahun umurnya. Menurut cerita Jawa setempat, ia wafat pada tahun 1605 M. Tidak ada alasan untuk meragukan tahun kejadian ini.
XI-6. Campur tangan pemimpin-pemimpin agama dari Giri/Gresik di daerah-daerah seberang lautan pada abad ke-16 Para pelaut dan para pedagang Gresik telah memperkenalkan nama Giri dalam abad ke-16 dan ke-17 di pantai-pantai banyak pulau di bagian timur Nusantara. Sejak zaman Sunan Prapen kekuasaan para pemimpin agama dari Giri ternyata mendominasi Gresik. Tidak ada berita-berita dari paruh kedua abad ke-16 yang mengabarkan adanya kekuasaan duniawi yang merdeka di kota pelabuhan itu. Dalam kisah-kisah di Lombok, Giri mempunyai kedudukan penting. Pangeran Prapen, anak Susuhunan Ratu di Giri, disebut dengan nama jelas. Dengan armadanya ia singgah lebih dulu di Pulau Sulat dan Sungian. la telah memaksa raja "kafir" di Teluk Lombok mengakui kekuasaan Islam. Kemudian ia telah memasuki Tanah Sasak di barat daya. Kemudian ia berlayar ke Sumbawa dan Bima. Dalam ekspedisi yang kedua, orang-orang Jawa Islam menduduki kota Kerajaan Lombok, Selaparang. Rencana mereka merebut Bali Selatan dari sebelah timur, demi penyebaran kebudayaan dan ekonomi Jawa dan untuk agama Islam, rupanya terpaksa dibatalkan karena mendapat perlawanan berat dari Dewa Agung, raja Gelgel. Mungkin raja itu adalah Dewa Agung Batu Renggong yang konon pada pertengahan abad ke-16 melawan usaha-usaha mengislamkan dirinya. Menurut cerita tutur Bali, ia tidak mempunyai hubungan baik dengan penguasa-penguasa Islam di Jawa. Namun dalam hal ini Giril Gresik tidak disebut. Menurut cerita setempat, usaha pengislaman di Makassar dilaksanakan oleh kegiatan seseorang dari Minangkabau, yang bernama Dato ri Bandang. Dahulu ia murid pemimpin agama di Giri, dan menurut Babad Lombok bahkan ia masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga Giri (mungkin karena perkawinan). Jadi, pengaruh Giri juga sampai di Sulawesi Selatan. Menurut cerita sejarah di Kutai, Dato ri Bandang - disebut juga Tuan di Bandang dan sama orangnya dengan yang telah giat bekerja di Makassar - berjuang juga di Kalimantan Timur untuk penyebaran agama Islam. Di Kalimantan Selatan keluarga raja Banjarmasin telah beralih ke agama Islam berkat pengaruh Demak. Hal itu mungkin sudah terjadi pada paruh pertama abad ke-16 (lihat Bab II-13), pada masa sebelum kekuasaan Giri berkembang. Tetapi cerita setempat di Pasir, di Kalimantan Selatan memberitakan juga adanya perkawinan antara "pangeran-pangeran" Giri dengan putri-putri setempat. Karena Raja Matan dari Sukadana, yang mulai memerintah pada tahun 1590, memakai nama Giri Kusuma, diduga ada pula pengaruh Giri di sana. Berita-berita yang panjang lebar dan besar jumlahnya mengenai hubungan antara Giri/Gresik dan Indonesia bagian timur terdapat dalam cerita-cerita dari pulau-pulau itu sendiri. Sebagian besar cerita itu telah dihimpun oleh Pendeta Valentijn dalam bukunya mirip suatu ensiklopedi berjudul Oud en Nieuw Oost-Indien. Perlu dicatat di sini orang suci Islam dan pendiri "negeri" (negorij) Tengah-tengah, yang makamnya di Kailolo sekarang masih dihormati, dipanggil Usman. Anehnya, seorang Usman atau Ngusman juga disebut-sebut dalam Sadjarah Dalem dalam bab tentang keturunan orang suci di Surabaya, Sunan Ngampel Denta. Ngusman ini, anak seorang cendekiawan agama dari Gresik, kawin dengan anak perempuan Sunan Katib di Ngampel Denta. la diberitakan telah menetap di Maluku (Pulo Moloko). Istrinya (mungkin jandanya), sekembalinya di Jawa, diberi sebutan Nyai Gede Moloko. Memang benar bahwa yang dimaksud dahulu dengan nama Maluku (Pulo Moloko) bukan Tengah-tengah dan Kailolo yang lebih selatan letaknya. Ketidaktelitian ini tidak terlalu penting; Usman dari Kailolo dan Ngusman Jawa boleh dianggap sama orangnya. Mungkin Nyai Gede Moloko di Jawa dalam Sadjarah Dalem juga sama orangnya dengan Mahadum Ibu Kali Tuwa, seorang wanita terkemuka yang bersama dengan "Perdana Pati" Tuban telah berlayar dari Hitu ke Jawa. Menurut cerita yang dicatat oleh Valentijn, orang-orang Hitu baru pada tahun 1565 mengadakan perjanjian dengan "Raja Giri" atau "Raja Bukit" untuk mendapat perlindungan terhadap orang-orang Portugis. Prajurit-prajurit Jawa selama kurang lebih 3 tahun telah tinggal di suatu tempat yang bertahun-tahun sesudah itu masih disebut "Kota Jawa". Raja Ternate, Zainu'I-Abidin, yang memerintah mulai tahun 1486 sampai 1500, pernah menjadi seorang penguasa di Giri (Satmata?) ketika masih putra mahkota. Tentang pemuda Ternate ini diceritakan bahwa ia dengan satu tetakan pedangnya membelah kepala seorang Jawa yang mengamuk dan mau menyerang Sri Sunan Giri. Pedangnya itu membelah sebuah batu karang, yang bertahun-tahun sesudah itu masih kelihatan bekasnya. Pada abad ke-17, hubungan Giri dengan Hitu dan tempat-tempat lain di Indonesia bagian timur sering diadakan. Pada permulaan abad itu tidak jarang orang Belanda bercerita tentang seorang pemimpin agama yang mereka namakan "Pans Islam". Dalam karya raksasanya (Valentijn, Oud en Nieuw), Valentijn sering menyampaikan berita tentang "Raja-Imam". la dapat menyebutkan nama semua desa di sekitarnya yang termasuk daerah Giri. Tetapi dalam tinjauan ini tentang sejarah abad ke-16 tidak terungkap sejarah kelanjutan "kerajaan imam" ini. Kemerdekaannya hilang disebabkan oleh siasat politik raja-raja Mataram yang dengan kekerasan ingin memaksa semua daerah di tanah Jawa mengakui kekuasaannya.
XI-7. Ketiga pemimpin agama dari Cirebon, Kudus, dan Giri pada abad ke-16, diperbandingkan satu sama lain Ketiga kerajaan terpenting yang diperintah oleh pemimpin-pemimpin agama, yang di Jawa berdiri berdampingan dalam paruh kedua abad ke-16, yaitu Cirebon, Kudus, dan Giri/Gresik, masing-masing mempunyai ciri khas. Dari legenda-legenda Jawa tentang orang-orang suci dan cerita sejarah boleh diambil kesimpulan bahwa di Cirebon/Gunung Jati keimanan dan mistik Islam mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat dan juga di dalam keraton orang suci dan anak cucunya. Kekayaan dan kekuasaan politik raja-raja Cirebon tidak pernah sangat besar. Berbeda dengan kedua keturunan lainnya, dinasti Kudus tidak dapat memiliki daerahnya lebih dari satu abad tanpa mengalami campur tangan maharaja-maharaja Mataram; Kudus letaknya terlalu dekat dengan ibu kota Jawa Tengah bagian selatan. Dalam pada itu, di "kota suci" tersebut umat Islam, yang "taat" masih menunjukkan semangat juangnya untuk bertempur demi agama Islam dan tekadnya untuk tetap bebas merdeka, masih juga sesudah keturunan pahlawan perkasa yang merebut Majapahit sudah lama tidak mempunyai kekuasaan lagi. Unsur-unsur teologi Islam, yang pada umumnya merupakan pokok penelitian ilmiah, tetap mendapat perhatian orang di Kudus. Di bidang ekonomi dan politik, para sunan Giri mempunyai kedudukan yang jauh lebih penting dari sunan-sunan di Cirebon atau Kudus. Dengan kebijaksanaan politiknya, dan bila perlu dengan keberanian pejuang, ternyata selama kira-kira dua abad, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan raja-raja pedalaman Majapahit dan Mataram. Keraton di Giri sungguh besar sumbangannya untuk kemajuan peradaban Islam di Pesisir, yang masih tetap melanjutkan tradisi kebudayaan "kafir" pra-Islam. Para pedagang dan pelaut dari Gresik telah memperkenalkan nama pemimpin-pemimpin agama dari Giri sampai jauh di luar Jawa. Golongan elite di kota pelabuhan ini agaknya lebih banyak berdarah campuran dibanding dengan golongan elite di kota-kota pelabuhan lain di Jawa; keturunan Cina mempunyai kedudukan penting dalam sejarah Gresik. Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan pengaruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh para sunan di Giri daripada hidup saleh secara Islam dan mempelajari ilmu agama. Sunan Prapen dari Giri dan Sunan Gunungjati dari Cirebon hidup sezaman. Keduanya meninggal dalam usia yang sangat lanjut. Sungguh menarik perhatian bahwa baik legenda Jawa tentang orang-orang suci maupun cerita-cerita sejarah tidak memberitakan adanya hubungan antara kedua "Pemimpin Gunung" di pantai utara Jawa itu. Perbedaan dalam sifat kedua sunan itu - yang seorang terbuka yang lain tertutup - mungkin memang menyebabkan kurang adanya komunikasi antara mereka. Kisah-kisah pun tidak menyebut-nyebut soal itu. (Pada tahun 1636, waktu Panembahan Kawis Guwa dari Giri dibawa ke Mataram sebagai tawanan, di keraton Sultan Agung ia bertemu muka dengan Panembahan Ratu dari Cirebon). Dalam hubungan ini pantas sekali diperhatikan bahwa tempat permakaman Gunungjati dekat Cirebon berabad-abad lamanya dianggap sebagai daerah suci, yang hanya dalam situasi tertentu boleh diinjak oleh seorang kafir, sekalipun pejabat tertinggi. Sebaliknya, makam sunan-sunan di Giri, meskipun dihias dengan kayu berukir yang mahal dan berlapis emas, tidak dianggap terlalu suci untuk dilindungi dari kehadiran orang kafir.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar