I. Pendahuluan
Islam adalah ajaran Allah SWT terstruktur sebagai agama terakhir, substansi ajarannya mencakup segala aktifitas manusia di atas permukaan bumi. Dan karenanya manusia diserukan untuk beramal menurut ketentuan ridha Allah SWT. Dalam formalitas kehidupan lahiriyah, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Penciptanya, juga hubungan manusia dengan sesamanya, plus dengan lingkungan sekitarnya. Dalam pada itu, Islam setelah hadir dalam sejarah, secara kultural dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain aspek hukum.[1]
Syariat Islam dari mabda’nya berfungsi memelihara 5 (lima) jenis perkara, yakni, jiwa, keturunan, harta benda, akal dan agama. Di atas mabda-mabda itu, ulama sangat giat melakukan pengkajian dengan berbagai cara atau metode; antara lain, tatacara seperti adanya klasifikasi Maqaashid al Syari’ah ( tujuan syara’) menjadi 3 (tiga) peringkat, yakni, dharuriyah, haajiah dan tahsiniyah.[2] Ketiganya dalam tasyri, memiliki peran di atas semua obyek hukum menurut prinsip fundamental dalam syariat, baik karena ada petunjuk dari nas Alquran dan Sunah, maupun menurut ijtihad para ulama. Dengan demikian, maka tesis hukum Islam akan lahir dengan berbagai versi atau akan tergambar di dalam variabel mazhab-mazhab.
Perspektif hukum Islam lazim dibangun dengan berbagai metode. Tentu di dalamnya tidak hanya mengatur hubungan bersifat horisontal, juga ada garis bersifat vertikal. Dalam terminologi fikih, terutama menurut mazhab Suni kecuali mazhab Zahiri,[3] ketentuan yang mengatur hubungan horisontal disebut fikih muamalah, ketentuan yang mengatur hubungan vertikal disebut fikih ibadah.
Uraian sebagai latar belakang mengenai hukum Islam di atas adalah kerangka dasar mengemukakan masalah, ialah bagaimana perspektif sejarah dan budaya pemikiran tentang hukum Islam. Permasalahan terebut segera dilakukan pemecahan dengan menggunakan pendekatan kultural dari sejarah dan sosiologi hukum.
II. INTISARI SEJARAH DAN BUDAYA PEMIKIRAN TENTANG HUKUM
ISLAM
Islam setelah hadir dalam sejarah, aspek hukum sebagai salah satu obyek pengkajian di dalamnya, mempunyai pengalaman sejarah yakni waktu perjalanan sampai kini telah memasuki 5 (lima) periode, Yakni; (1) periode Rasulullah SAW., (2) periode Sahabat Besar atau Al-Khulafa Al-Rasyidin, (3) periode Abbasiyah atau zaman Mujtahid klasik, juga disebut masa kehidupan berpikir atau kemajuan, (4) periode taklid atau zaman pertengahan, juga disebut masa ketertutupan dan kemunduran, dan (5) periode modern atau zaman pembaharuan.[4]
Jika disimak hukum Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi pengkajian dalam setiap dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau metode. Oleh sebab itu, pada zaman Rasulullah SAW., hukum Islam secara bersahaja dapat diperoleh berdasarkan wahyu Allah SWT dan ijtihad Rasulullah SAW, yaitu hukum Islam dalam perspektif Alquran dan Sunah. Masing-masing diyakini oleh umat Islam adalah syari’at Islam, semua tergambar sebagai dalil naqli atau nash-nash. Hukum Islam sejauh diistimbatkan dari keduanya disebut fikih nushush. Berikut dalam istimbatnya dengan akal atau pemikiran disebut fikih ijtihady[5]
Para sahabat ketika menerima Alquran dan Sunah, mereka tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata, kecuali sahabat seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering mengusulkan pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula pendapatnya hingga dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau kadang menggunakan kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah; seperti kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan, hukum harta rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara atau membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian zakat. Kebijakan dalam contoh di atas dalam konteksnya digali oleh ahli-ahli hukum Islam modernisme ke dalam kerangka epistimologi baru dalam studi Islam disebut fikih siyasi, di luar Islam serupa dengan sebuah ilmu disebut politik hukum. Dalam pada itu, mungkin para pemikir kontemporer tidak sangat keliru, jika memang terdapat di antara mereka mendukung hak pemerintah untuk men-takhshish kaidah umum nash-nash dan membatasi kemutlakannya.[6]
Dengan demikian, persepsi para sahabat dalam budaya pemikiran, mereka semuanya menganut paham tekstual terhadap sumber ajaran Islam. Mereka selain tunduk terhadap suatu kebijakan khalifah tentang larangan ketat berdiskusi tentang agama kecuali Alquran dan tradisi umum dari Nabi, juga terdapat petunjuk Rasulullah SAW memang menolak rasio atau ijtihad dalam pengembangan dan perluasan ajaran agama.[7] Dalam pada itu, paham zahiriah atau tekstualisme, dari zaman klasik sampai sekarang, merupakan bahagian dalam sejarah dan budaya pemikiran hukum Islam, seirama dan berdampingan dengan paham maknawiyah atau kontekstualisme. Beberapa mazhab klasik dalam bidang hukum, seperti mazhab Zahiri, Hambali dan Ibnu Taimiyah; serta mazhab-mazhab kontemporer seperti neozahiri dari Wahabi di Arab Saudi dan Muhammadiyah di Indonesia; semuanya adalah mazhab-mazhab berasaskan paham lahiriyah atau tekstual, baik budaya pembaharuan yang merujuk kepada Alquran semata-mata, maupun kepada Sunah yang dilegalisir menurut tingkat kualifikasinya, kemudian berikut ditetapkan sebagai mabda’ atau sumber hukum.
Ketika ketatanegaraan dalam Islam di tangan Dinasti Umayyah, maka perjalanan budaya tasyri’ tampak tidak seimbang dengan perjalanan politik, dibanding dengan zaman al-Khulafa al-Rasyidin. Tasyri’ berkembang sekadar ide belaka, sehingga supremasi hukum di sini bukan sesuatu hendaknya positif atau dituntut, jika bertentangan dengan kemauan politik; zaman orde lama dan orde baru mungkin dapat dijadikan contoh sederhana di Indonesia. Dengan demikian, perjalanan tasyri’ dan politik, serta otoritas ulama dan umara membentuk sekularisasi, tasyri’ membawa ulama berkepala besar, dalam sisi politik sudah membawa umara bertangan besar. Oleh sebab itu, tesis hukum Islam sejauh bersangkutan dengan kepentingan umum, seperti hukum jinayah atau pidana dan hukum ketatanegaraan tidak mutlak berlaku. Jadi hal hal misalnya sanksi pidana dan bentuk negara ditentukan oleh kebijakan politik, meskipun kelak ada pertentangan dengan hukum syara’ dari Alquran dan sunah serta tradisi sahabat.
Dinasti Umayyah pada saatnya, adalah keadaan sudah berhadapan dengan kemajemukan umat terdiri atas tiga golongan yakni, Syi’ah, Khawarij dan Jumhur.[8] Kehadiran mereka merupakan isyarat bahwa kemajemukan umat merupakan dalil yang menyampaikan kepada keadaan menyulitkan atau darurat, suasana bukan lagi dianggap stabil, simpel dan sederhana. Dalam pada itu, supremasi hukum syara boleh saja dibatasi kompetensinya atau diganti menurut pertimbangan politik, yakni seolah tiada waktu hendaknya lalai dari memelihara kepentingan umum, dan keselamatan umat, seperti ketiadaan penguasa atau khalifah di atas permukaan bumi. Di atas ketiga golongan dalam Islam di atas, masing-masing secara tersendiri membentuk alur pemikiran budaya Islam mulai dari aspek politik dan hukum, sampai kepada aspek teologi, filsafat dan tasawuf.
Sejauh di dalam peran ketiga golongan Islam di atas, hukum Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidin berbeda dengan hukum Islam masa Bani Umayyah. Tesis hukum berkembang bukan lagi karena azas musyawarah atau mufakat, tetapi tampaknya adalah sisa yang sesuai persepsi masing-masing golongan. Perbedaan pendapat misalnya, golongan Khawarij dan Syi’ah tidak menerima hadits-hadits kecuali apa yang diriwayatkan oleh pihaknya sendiri. Golongan jumhur di satu sisi tetap mengantisipasi hadits-hadits dari siapapun saja setelah memenuhi syarat-syarat tsiqah[9] Dalam pada itu, khawarij dan syi’ah kelihatan tidak sama demokratnya dengan Jumhur dalam kerangka penjaringan hadits-hadits sebagai salah satu metodologi hukum Islam. Keduanya tampak memiliki sikap subyektif dan nepotisasi.
Dengan demikian, golongan jumhur sebagai paling banyak didukung ketika itu berpendapat, bahwa Khalifah haruslah orang-orang berasal dari suku Quraisy, seolah sebuah suku mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada suku-suku Arab lainnya, sebagaimana petunjuk sebuah hadits shahih menyatakan, bahwa Imam-Imam dari suku Quraisy. Jadi keempat khalifah Rasyidah, begitu pula Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, mereka adalah khalifah-khalifah Islam dan mereka tidak menyimpang dari Sunah. Di atas teori ini dijadikan hukum ketatanegaraan yang dianut oleh ahlusunah wal jama’ah.[10]
Di samping pendapat menurut jumhur di atas, berkembang pula pandangan dari dua pihak lagi yaitu Khawarij dan Syi’ah, pihak pertama berpendapat bahwa setiap orang Islam meskipun bukan ras Arab boleh saja menjadi Imam, asal saja ia mempunyai kemampuan untuk itu;[11] Pihak kedua berpendapat, bahwa jabatan Imam bukanlah hak setiap orang Islam, tetapi imam adalah hak semata-mata Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.[12] Oleh sebab itu, perbedaan di atas tiga golongan Islam, tentu saja merupakan fakta yang menyampaikan bahwa tesis hukum Islam sudah lazim berbeda pada kasus yang serupa.
[1] Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979), Jilid II, h. 7.
[2] Lihat, Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Cairo : Dar al Fikr, 1377 H/1957 M.), h. 344.
[3] Dalam Mazhab Zahiri, Hubungan horisontal dan vertikal bersama-sama merupakan aspek ketaatan kepada Allah SWT sepanjang termasuk Syari’ah. Lihat Ibnu Hazm Al Muhalla, (Mesir, Maktabah al-Jumhuriyah 1967 M. / 1387 H.), 13 Jilid
[4] Lihat, Harun Nasution, Op.Cit., h. 10. Di sini Harusn Nasution mengemukakan periode hukum baru sampai pada periode taklid menurut kelima periode ijtihad sebagai kemajuan dan periode taklid sebagai kemunduran.
[5] Lihat, Shufiy Hasan Abu Thalib, Tathbiq al-Syari’at al-Islamiyat fiy al-Baladi al-Arabiyah, (Cairo : Dar AlNahdah al-Arabiyyah, t.th.), h. 27.
[6] Ibrahim Husen, “Sampai Di Mana Ijtihad Dapat Berperan”, Makalah disampaikan pada diskusi panel di IAIN Gung Jati Bandung, 15 Maret 1989.
[7] Argumen Pokok Dikemukakan Mazhab Zahiri, bahwa Al-Din sudah sempurna, tidak lagi menerima tambahan dan pengurangan sebagaimana Alquran telah menyebutkan dalam surat al-Maidah : 10. Lihat, Iba Hazm, Op.Cit., Jilid I, h. 26.
[8] Lihat Harusn Nasution, op.cit., h. 96-104.
[9] Lihat, Muhammad Yusuf Musa, al-Madkhal Li al-Dirasat alFiqh al-Islamiy, (Cairo : Dar al-Fikr al-Araby, 1380 H./1961 M.), Cet. II, h. 49.
[10] Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara ( Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1990), Cet. II, h. 63-69.
[11] Lihat, Muhammad Yusuf Musa, Op.Cit., h. 48.
[12] Lihat, Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar