umat Islam yang kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah wa alJama‘ah. Al Hasan al Basri (w. 110 H)
Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah.
Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H). Menurut dia, Allah
mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta‘alluq
(berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud.
Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terserah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah
memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al Hasan al Asy‘ari, dikenal pula
Ahmad at Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al Maturidi as Samarkandi (w. 333 H) yang ketiganya disebut
dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih
tepat paham mereka dibanggakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy‘ariyah, paham Maturidiyah dan
paham Tahawiyah.
Pendiri paham Mu‘tazilah adalah Wasil ibn ‘Ata’ (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al Hasan al
Basri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wasil berdiri dari majlis alHasan dan pergi ke satu sudut dari
Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan almanzilah bain
almanzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini berkembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan
pokok ajaran mereka. Menurut mereka, Al-Quran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada
takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah.
Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan
Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free
act). Orang pertama berpaham Qadariyah adalah Ma‘bad alJuhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang
pertama berpaham Jabariyah adalah Ja‘d ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh
muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127 H karena menurut dia sorga dan neraka
akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam
bukunya yang berjudul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal.
Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syi‘ah ‘Ali. Syi‘ah ‘Ali juga membentuk aliran
yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacammacam
pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn
Hambal (w.241 H), Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H) dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf
diwakili al Baqillani (w.403 H) dan al Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil.
Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya.
Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan ‘tangan Allah.’ Khalaf mengartikannya dengan
‘kekuasaan Allah.’
Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte.
Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya, sekte
‘Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita
porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran. Sekte Saba’iyah dari Syi‘ah yang berpendapat bahwa
wahyu itu seharusnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril tersalah menurunkannya kepada Muhammad Saw. Tentunya
paham-paham seperti ini sudah tergelincir dari Islam.
Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah.
Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H). Menurut dia, Allah
mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta‘alluq
(berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud.
Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terserah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah
memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al Hasan al Asy‘ari, dikenal pula
Ahmad at Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al Maturidi as Samarkandi (w. 333 H) yang ketiganya disebut
dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih
tepat paham mereka dibanggakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy‘ariyah, paham Maturidiyah dan
paham Tahawiyah.
Pendiri paham Mu‘tazilah adalah Wasil ibn ‘Ata’ (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al Hasan al
Basri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wasil berdiri dari majlis alHasan dan pergi ke satu sudut dari
Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan almanzilah bain
almanzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini berkembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan
pokok ajaran mereka. Menurut mereka, Al-Quran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada
takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah.
Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan
Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free
act). Orang pertama berpaham Qadariyah adalah Ma‘bad alJuhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang
pertama berpaham Jabariyah adalah Ja‘d ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh
muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127 H karena menurut dia sorga dan neraka
akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam
bukunya yang berjudul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal.
Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syi‘ah ‘Ali. Syi‘ah ‘Ali juga membentuk aliran
yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacammacam
pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn
Hambal (w.241 H), Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H) dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf
diwakili al Baqillani (w.403 H) dan al Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil.
Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya.
Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan ‘tangan Allah.’ Khalaf mengartikannya dengan
‘kekuasaan Allah.’
Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte.
Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya, sekte
‘Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita
porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran. Sekte Saba’iyah dari Syi‘ah yang berpendapat bahwa
wahyu itu seharusnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril tersalah menurunkannya kepada Muhammad Saw. Tentunya
paham-paham seperti ini sudah tergelincir dari Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar