Home » » Mundur dan Runtuhnya Kesultanan Demak pada Pertengahan Abad ke-16

Mundur dan Runtuhnya Kesultanan Demak pada Pertengahan Abad ke-16

Written By Moh Wahyudi on Senin, 02 Januari 2012 | 00.38






Mundur dan Runtuhnya Kesultanan Demak pada Pertengahan Abad ke-16

III-1 Sumber-sumber penulisan sejarah kehidupan raja-raja Demak yang terakhir
Berita-berita Portugis yang menyangkut zaman ini, yang dimuat dalam buku Peregrinacao karangan Mendez Pinto (Pinto, Peregrinacao) dan satu dua pemberitaan lain, agak ringkas atau tidak dapat dipercaya. Cerita babad dan buku-buku cerita Jawa Tengah dalam paruh kedua abad ke-16, sesudah meninggalnya Sultan Tranggana yang perkasa itu di Demak, mengisahkan sering terjadinya perang dinasti, yang berakhir dengan munculnya Sultan Pajang. Para penulis Jawa di Keraton Mataram pada abad ke-17 dan ke-18 menganggap masa pendek Kejayaan dinasti Pajang sebagai masa peralihan dari zaman Demak ke zaman keluarga raja Jawa Tengah bagian selatan.
Ada dua peninggalan silsilah keluarga raja di Demak, yang dapat memberi gambaran yang jelas mengenai hubungan-hubungan kekeluargaan. Silsilah pertama berdasarkan buku 'Cerita tentang keturunan raja di Jawa' (Verhaal wegens de afkomst des konings van Java).. Silsilah ini tentu mula-mula disusun dalam bahasa Jawa oleh atau atas perintah Pangeran Purbaya putra Sultan Agung dari Banten, waktu ia terpaksa tinggal lama di Betawi (tahun 1684 sampai 1732). Karya tulis tersebut jatuh ke tangan Joan van Hoorn yang kemudian menjadi gubernur jenderal (tahun 1704-1709). Atas perintahnya tulisan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1867 tulisan itu  sebagai warisan Joan van Hoorn  dimasukkan dalam kumpulan naskah-naskah tulisan Barat milik KLTLV (Hoorn, Notitien). Naskah Jawa ini dari awal abad ke-18 merupakan dasar bagi penyusunan silsilah berikut ini.
Anehnya,  karya tulisan Jawa Barat ini tidak memberitakan apapun tentang adanya hubungan kekeluargaan antara raja-raja Demak dan raja Pajang; sedangkan dalam tambo Mataram ada keterangan tentang hubungan tersebut.
Pangeran
Mas ll
Pangeran Tareng-ganu
Sultan Demak
Pangeran
Lepir
(Lepin)
Pangeran
Ratu
Pangeran
Jepang
Ratu
Siganlaoutan
Putri
Ratu
Pangeran
Kedir
Pangeran
Madepandan
Pangeran
Mas1
Putri Ratu Kagaluhan
Raden
Uju
Raden
Jaladderi
Raden
Urawan
Pangeran
Surabaya
Ratu Bagus Wirapraba
 

























Silsilah kedua berdasarkan Hikayat Hasanuddin dari Banten (Edel, Hasanuddin) cabang keturunan Demak yang ada di Banten ditambahkan di sini demi jelasnya gambaran yang menyeluruh.
Aria Trenggana, Sultan AhmadAbdu’l
Arifin dari Demak (- 1546)
Pangeran
Lepen
Pangeran
Ratu
Pangeran
Jipang
Ratu Sedang
Luhut
Ratu Aria
Jepara
Pangeran
Kedir
Pangeran
Madepandan
Pangeran
Juruh (1604)
Ratu Gagaluhan
X Ingawanti
Saudara
Perempuan
Hasanuddin
Yusuf
Pangeran Muhammad Sedeng Rana
Pangeran
Mas
Pangeran
Surabaya
Ratu Bagus Wirapraba
 



























Jelaslah bahwa kedua silsilah dapat dibandingkan. Banyak tokoh yang disebutkan di situ akan dibicarakan dalam bagian-bagian yang berikut ini.

Ill-2        Raja Demak keempat, Susuhunan Prawata, lagenda dan sejarah
Menurut Mendez Pinto (Pinto, Peregrinacao), meninggalnya Sultan Demak, Tranggana, secara mendadak dalam ekspedisi melawan Pasuruan (Panarukan) di ujung timur Jawa pada tahun 1546, telah mengakibatkan timbulnya kekacauan dan pertempuran antara para calon pengganti raja. Ibu kota Demak hancur karenanya. Pinto mengabarkan adanya pertempuran antara Yang Dipertuan di Cirebon dan "Laksamana" di "Panarukan" (yang dimaksud tentunya Pasuruan). Kedelapan raja yang berhak memilih raja baru (pengganti Sultan Tranggana) akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan Demak dan kembali saja. Pembesar-pembesar kerajaan yang masih tinggal, tanpa setahu "kelompok delapan" itu, pergi ke Jepara; di situ Yang Dipertuan di Surabaya, "Pate Sudayo", terpilih untuk mengisi jabatan sebagai Sultan Demak. "Pate Sudayo" ini berkedudukan di "Pisammanes", yang jauhnya dua betas jam perjalanan dari Demak. Dalam jangka waktu sembilan hari ia muncul di Demak dengan membawa bala tentara yang sangat besar. la mulai memulihkan ketertiban dengan menggunakan kekejaman dan pertumpahan darah. Pada waktu itulah Mendez meninggalkan Jawa. Jadi, dalam bukunya Peregrinacao ia tidak memberitakan bagaimana penggantian raja itu akhirnya dapat diatur.
Cerita-cerita penulis Portugis ini, yang secara mencolok dihiasi dengan pemberitaan mengenai jumlah prajurit dan kapal yang luar biasa besarnya, sama sekali tidak dikuatkan kebenarannya oleh cerita-cerita babad Jawa (tidak seperti pemberitaan-pemberitaan Tome Pires, yang benar-benar dikuatkan oleh cerita-cerita babad Jawa). Tidak mustahil kalau Mendez Pinto, seperti halnya mengenai Pasuruan dan Panarukan, mengacaukan nama-nama geografis itu karena tidak mengenalnya. Mungkin seorang penguasa dari Jawa Timur (Surabaya, Sidayu (?), Pasuruan), dalam kekacauan yang terjadi sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, telah berusaha merebut kekuasaan di Demak (sehingga pusat kepentingan politik Jawa akan berpindah lagi dari Jawa Tengah ke Jawa Timur). Tetapi ini tidak berhasil sama sekali. Cerita-cerita Jawa tidak mengungkapkan hat ini. Tetapi pemberitaan Mendez Pinto memang penting bahwa sebagai akibat kekacauan di Demak, wibawa Jepara - kota pelabuhannya - secara politis naik, sehingga putusan yang penting telah ditetapkan di situ. Sejarah Jepara akan dibicarakan dalam Bab VI.
Menurut semua cerita babad di Jawa Tengah, Sultan Tranggana di Demak diganti oleh Susuhunan Prawata, yang diberi nama sesuai dengan nama gunang (Gunung Prawata), tidak jauh dari ibu kota yang lama, yang menjadi tempat tinggalnya. Tempat kediaman ini (dalam pengasingan sukarela), dan gelar Susuhunan yang dalam bentuk singkatnya - Sunan - juga dipakai oleh orang-orang suci Islam seperti Kalijaga, memberi petunjuk bahwa kekuasaan raja ini pertama-tama bersumber pada kewibawaannya sebagai pelindung agama. Nama pribadi "Susuhunan dari Gunung" itu agaknya tidak dikenal. Dalam Serat Kandha yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda (Serat Kandha, hat. 439), mengenai dia diberitakan bahwa "volgens eijgen verkiezing Priai Moenkim ofte eeti Heilige soesoehoenan van Prawata" (karena pilihannya sendirilah ia telah menjadi Priayi Munkim atau Susuhunan Suci di Prawata).[1] Masuk akal bahwa selama masa pergolakan politik dan sesudahnya - yang mulai timbul di Demak sesudah mangkatnya Sultan - kekuasaan rohani seorang keturunan tingkat tinggi keluarga raja yang lama itu sajalah yang merupakan satu-satunya jaminan untuk mengembalikan ketertiban dalam batas tertentu. Dapat diduga bahwa Susuhunan di Prawata telah mencari dan mendapat juga bantuan dari "masyarakat orang alim", yang telah menganggap Masjid Demak yang suci itu sebagai pusatnya, yaitu masjid yang telah didirikan dan dikelola oleh keluarga raja Demak.
Daerah yang dijadikan tempat tinggal Susuhunan, yaitu Prawata, memang terkenal, dan sudah sejak abad ke-19 diselidiki oleh sarjana-sarjana Belanda. Menurut salah satu Serat Kandha (Codex LOr, No. 6379, jil. 9), konon, Prawata telah didirikan oleh Sultan Tranggana sebagai taman sari, tempat menikmati kesegaran dan keindahan.[2]
 Silsilah-silsilah yang dicantumkan pada Bab III-1 tidak menyebut Susuhunan Prawata. Mungkin ia harus dianggap sama orangnya dengan putra kedua Sultan Tranggana, yang dipanggil Pangeran Ratu (Sang Raja).
 Pertempuran berdarah antara para calon pengganti raja, yang -katanya J disaksikan sendiri oleh Mend6z Pinto, muncul dalam babac Jawa Tengah dalam bentuk kisah mengenai serangkaian pembunuhan Menurut cerita-cerita babad dan buku-buku cerita (serat kandha) sesudah meninggalnya Sultan Tranggana, saudara laki-lakinya, Pangeran Seda Lepen, telah dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Abdi-abdi pangeran tua itu kemudian membunuh orang yang telah mengakhiri nyawa majikannya itu (Babad Tanah Djawi, jil. IV, hal.12 dan Serat Kandha, Codex LOr, No. 6379, jil. 9). Seda Lepen meninggal d sungai adalah nama pangeran itu, yang diberikan sesudah ia meninggal; pembunuhan itu agaknya dilakukan dekat jembatan sungai. Tidak diberitakan alasan Susuhunan Prawata menyuruh membunuh pamannya. Dapatlah diduga bahwa pamannya itu pun calon pengganti raja. Pada silsilah yang disajikan di atas ini, Lepen (boleh jadi singkatat dari Seda Lepen) ialah kakak Pangeran Ratu (yang boleh disamakan dengan Susuhunan Prawata), dan bukan pamannya. Tidak mudah untuk menyimpulkan apa yang benar-benar telah terjadi. Serat Kandha (Codex LOr, No. 6379) menyebut yang terbunuh itu dengan nama: Pangeran Saba Kingking. Konon ia ayah Aria Panangsang, yang pada gilirannya membalas dendam dengan pembunuhan juga.[3]
Sama sekali tidak ada berita yang dimuat dalam babad Jawa mengenai pemerintahan Susuhunan Prawata. Tetapi ada surat Portugis yang ditulis oleh Manuel Pinto (bukan Fern. Mendtsz Pinto yang telah disebut di atas), ditujukan kepada Uskup Besar di Goa, bertanggal 7 Desember 1548, dan dikirim dari Malaka. Ternyata penulisnya singgah di Jawa dalam perjalanan pulang dari Sulawesi Selatan kembali ke Barat, dan mengadakan pembicaraan dengan raja. Menurut tanggalnya, mungkin raja itu Susuhunan Prawata.[4]
Manuel Pinto antara lain memberitakan, raja Jawa itu sedang berusaha mengislamkan seluruh Pulau Jawa. Raja berkata, bila usaha ini berhasil, ia akan menjadi segundo turco, maksudnya: menjadi sultan Turki yang kedua, setaraf dengan Suleiman I, Sang Pencinta Kemewahan (1520-1566). la mengira akan dapat dengan mudah menjatuhkan Malaka dengan menutup jalur-jalur pengiriman beras dari Jawa. Ia berkata juga bahwa sedang mempertimbangkan untuk mengirimkan ekspedisi ke Sulawesi Selatan dengan maksud menaklukkan dan mengislamkan daerah itu. Manuel Pinto berusaha supaya raja membuang pikiran tersebut karena khawatir kalau-kalau ekspedisi tentara Jawa akan merugikan Pastor Vicente Viegas yang pada waktu itu juga sedang berusaha memperkenalkan agama Kristen di Sulawesi Selatan.
Dari berita-berita Manuel Pinto, dapat ditarik kesimpulan bahwa raja Jawa itu mengetahui sedikit mengenai perkembangan politik di Eropa. Pada tahun 1547 Sultan Suleiman I telah mengkonsolidasikan kedudukannya di daerah-daerah Hungaria dengan mengadakan perjanjian dengan Kaisar Karel V. la seorang pahlawan agama Islam. Dr.Crucq telah berusaha (Crucq, "Kanon", hal. 362) membuktikan bahwa pada pertengahan abad ke-16 di Keraton Demak hidup seorang Portugis yang murtad, berasal dari Algarvia (bagian Portugis yang paling selatan), terkenal dengan nama Coje Geinal (mungkin saja Khoja Zainu'I-Abidin), yang kerjanya membuat meriam untuk raja. Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang inilah yang banyak memperluas pengetahuan Keraton Demak tentang Eropa dan penyebaran agama Islam. [5]
Boleh jadi raja Demak yang keempat ini telah menganggap dirinya penguasa yang berhak penuh atas kerajaan Islam itu dan sebagai pelindung agama Islam, sedangkan kekuasaan pemerintahan sebenarnya sudah beralih ke tangan orang lain. Pertumbuhan kekuasaan raja-raja Islam yang setengah merdeka di Jawa Barat (Cirebon dan Banten) dan di Jawa Timur (Surabaya dan Gresik-Giri) dimulai pada pertengahan abad ke-16; begitulah anggapan orang. Agaknya Susuhunan Prawata tidak kuasa mengubah situasi yang demikian itu. Sejarah kerajaan-kerajaan yang lebih kecil akan dibicarakan dalam bab-bab berikut.
Tidak ada berita-berita Portugis atau berita-berita Eropa lain mengenai akhir pemerintahan raja Demak ini. Sebaliknya, cerita-cerita dalam babad dan tambo Jawa Tengah memuat cerita romantis tentang pembunuhan Susuhunan Prawata. Konon, ia bersama istrinya telah dibunuh atas perintah atau oleh kemenakannya sendiri, Aria Panangsang, sebagai balas dendam atas kematian ayah Aria Panangsang, yang beberapa waktu sebelumnya dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Aria Panangsang ialah raja bawahan di Jipang-Panolan (letaknya cukup jauh di sebelah timur Demak). la jugalah yang mengusahakan kematian Pangeran Kalinyamat, yang karena perkawinan masih mempunyai hubungan keluarga dengan raja Demak. Bahkan ia merencanakan pembunuhan terhadap Jaka Tingkir, yang kelak akan menjadi Sultan Pajang. Janda Pangeran Kalinyamat yang terbunuh itu kelak banyak dikenal sebagai Ratu Kalinyamat. Konon dengan tindakannya yang tepat telah dapat menggerakkan hati Jaka Tingkir untuk memerangi Aria Panangsang dari Jipang dengan tentara Pajangnya. Jipang ditundukkan, dan Aria Panangsang gugur. Demikianlah berakhir keluarga raja Demak cabang Jipang, dan mulailah Pajang memegang kekuasaan tunggal. Maka, berdirilah kerajaan pedalaman yang pertama di Jawa Tengah sebelah selatan, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan politik besar selama berabad-abad. Para penulis sejarah pada abad ke-17 dan ke-18 memandang Pajang sebagai pelopor Kerajaan Mataram. Sejarah Jepara-Kalinyamat, sejarah Jipang-Panolan, dan sejarah Pajang masing-masing akan dibicarakan dalam Bab-Bab VI, IX, dan XIX (lihat juga cat. 73).
Sungguh suatu hal yang menarik perhatian bahwa silsilah yang berdasarkan naskah-naskah Jawa Barat, seperti tercantum di atas (Bab III-1), tidak memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas yang dapat menguatkan kebenaran cerita-cerita babad. Pada silsilah itu terdapat satu orang pangeran Jipang, yang dikisahkan sebagai adik laki-laki Pangeran Ratu, yang boleh dianggap sama dengan Susuhunan Prawata dalam cerita babad di Jawa Tengah. Nama Aria Panangsang tidak terdapat dalam silsilah tersebut. Kenyataan ini mendorong kita untuk berhati-hati sebelum gambaran keadaan yang serba romantis dalam babad itu kita terima sebagai kebenaran historis.
Menurut Babad Giyanti (Yasadipura, Babad, jil. IV, hal. 43), baik Susuhunan Prawata maupun musuhnya, Aria Panangsang, menemui ajalnya pada tahun 1549 M. (tahun Jawa 1471). Tahun 1549 sebagai tahun kematian Susuhunan Prawata - raja Demak yang keempat dan terakhir sebagai raja merdeka - tampaknya dapat dipercaya, karena dua tahun kemudian Ratu Putri di Jepara, Ratu Kalinyamat, dengan kapal-kapalnya telah ikut serta mengadakan ekspedisi penting melawan Malaka. Ini terbukti dari berita-berita Portugis. Dapat dimengerti bahwa ia merasa aman pada waktu itu di kotanya, Jepara, karena kemenangan sekutunya, Sultan Pajang, telah mengakhiri kekalutan-kekalutan Demak di lingkungan dekatnya.
Pemerintahan pendek Susuhunan Prawata dari Demak (1546-1549) merupakan antiklimaks terhadap masa kejayaan raja yang mendahulainya, Sultan Tranggana, yang sebagai raja Islam telah memerintah sebagian besar Pulau Jawa. Jatuhnya kekuasaan Demak sesudah tahun 1546 tampaknya tidak terlalu banyak mencemarkan wibawa-religius masjid sucinya dan keturunan Sultan. Masjid tersebut dalam abad-abad berikutnya masih menjadi pusat bagi orang-orang alim di Jawa Tengah, dan keturunan raja-raja Demak masih lama diperlakukan dengan hormat dan rasa segan di keraton raja-raja Jawa yang lain. Orang-orang Portugis - yang berjumpa dengan seorang pangeran Demak di tempat pengasingannya di Keraton Banten - menghormati pangeran itu sebagal wakil keturunan "kaisar-kaisar" di Jawa. Gelar Susuhunan dan tempaf tinggal di "gunung" (Prawata), yang kita ketahui dari raja merdeka yang terakhir, dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa waktu ia masih hidup pun wibawa religius Demak lebih penting daripada kekuasaan politiknya.'[6]
Mungkin sekali pada pertengahan abad ke-16 perdagangan di laut sebagian besar sudah pindah dari Demak ke Jepara, karena selat dangkal yang merupakan jalan masuk ke Demak sudah tertutup oleh endapan lumpur. Pada paruh kedua abad ke-16 dan pada abad ke-17 Jepara merupakan kota pelabuhan Jawa Tengah yang terpenting.

III-3        Runtuhnya kekuasaan pemerintahan Demak
Oleh karena tidak ada berita-berita, khususnya karya tulis Portugis atau karya Eropa lain yang dapat dikaitkan pada zaman sesudah meninggalnya Susuhunan Prawata pada tahun 1549, uraian berikut ini berdasarkan cerita sejarah Jawa Tengah saja. Kemenangan raja (-taklukan) Pajang, Jaka Tingkir, atas raja (-taklukan) Jipang, Aria Panangsang, pembunuh raja Demak yang terakhir, menurut cerita-cerita babad, telah mengangkat penguasa Pajang langsung ke jenjang kekuasaan tertinggi di Jawa Tengah. la telah mengubah tempat kediamannya di pedalaman Jawa Tengah sebelah selatan menjadi ibu kota keraton suatu kerajaan pedalaman di Jawa. Para raja yang lebih tua di daerah-daerah pantai sepanjang pantai utara (Pesisir), dan para penguasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, rupa-rupanya dengan segera mengakui dia sebagai raja tertinggi (maharaja). Ibu kota lama, Demak, kemudian menjadi ibu kota daerah, yang diperintah oleh seorang penguasa yang tunduk pada raja Pajang.[7] Keadaan demikian tidak berubah sampai ketika kekuasaan politik di pedalaman pada akhir abad ke-16 pindah dari Pajang ke Mataram.
Namun, gambaran keadaan yang demikian itu tampaknya terlalu sederhana. Para penulis cerita babad di Jawa Tengah dari abad ke-17 dan ke-18 cenderung membesar-besarkan kekuasaan raja-raja di kerajaan-kerajaan pedalaman Pajang dan Mataram, dengan mengorbankan kedudukan daerah-daerah para raja yang mendahului mereka, yaitu kerajaan-kerajaan Pesisir. Sebenarnya kekuasaan Ratu Putri di Kalinyamat-Jepara sangat besar di daerah-daerah sepanjang pantai utara sebelah barat, sampai di Banten, hingga jauh dalam paruh kedua abad ke-16. Ini tertulis dalam babad-babad di Citebon dan Banten (lihat Bab-bab VII dan VIII).
Lagi pula, terdapat pemberitaan seorang Portugis, De Couto (Couto, Da Asia, jil. VIII, Bab 21), yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan salah satu ekspedisinya melawan Malaka yang dijajah Portugis, pada tahun 1564 raja Aceh yang gagah berani, 'Ala'ad-Din Shah telah mengirim utusan untuk meminta bantuan dari 0 Rey de Dama, lmperador do Java (Ratu Demak, maharaja Jawa). Tetapi menurut De Couto, raja Demak ini menolak, karena ia tidak rela bila raja Aceh itu mencapai kemenangan atas orang-orang Portugis. la khawatir kalau-kalau Aceh menjadi terlalu berkuasa dan memasukkan Jawa ke dalam daerah pengaruhnya. Para utusan dari Aceh itu bahkan dibunuh di Demak; hal ini tentu saja menutup segala kemungkinan terciptanya persekutuan. Kejadian ini tentu dilihat oleh orang-orang Portugis sebagai "uluran tangan surga" (0bra Divina); karena itulah De Couto menyajikan berita ini secara panjang lebar.
Tidak ada alasan untuk menduga bahwa De Couto mengacaukan Demak dengan Jepara, sebab Jepara sering juga disebutnya. Jadi, pada tahun 1564, kira-kira lima belas tahun sesudah meninggalnya Susuhunan Prawata, di Demak masih ada seorang "kaisar" yang kekuasaannya (tampaknya) cukup besar sehingga timbul pikiran pada raja Aceh yang perkasa itu untuk mengusulkan suatu persekutuan. Siapa "kaisar" yang dimaksud tidak dapat ditemukan dalam cerita-cerita babad Jawa. Kiranya ia dapat digambarkan sebagai berikut: Ia semula seorang pemimpin rohani, seorang keturunan keluarga raja Demak yang harum namanya, yang kekuasaannya lebih banyak berdasarkan kewibawaan tradisionalnya sebagai pelindung agama Islam dan sebagai panata'gama (pengatur agama) daripada berdasarkan kekuasaan politik.[8] Kekuasaan di Tanah Pesisir dalam perempat ketiga abad ke-16 ada di tangan Ratu Kalinyamat di Jepara. la melindungi dan mengasuh kemenakan-kemenakannya, yaitu putra-putra saudara-saudaranya yang terbunuh di Demak.
Dalam silsilah-silsilah keluarga raja Demak yang dicantumkan di atas (Bab III-1) disebutkan Pangeran Kediri sebagai anak laki-laki Pangeran Lepen. Pangeran ini - disebut juga Pangeran Pangiri - agaknya menurut beberapa babad masih memegang kekuasaan sekadarnya di Demak sesudah Susuhunan Prawata meninggal. Mungkin dialah sang "kaisar" yang dimaksud dalam berita De Couto itu. Jadi, ia seorang kemenakan Susuhunan Prawata dan Ratu Kalinyamat di Jepara, dan (menurut tradisi Mataram) juga kemenakan Sultan Pajang.
Akhirnya ada juga pemberitaan cerita babad lain, yang menyangkut penggantian Sultan Pajang yang meninggal pada tahun 1587, yang mungkin juga dapat dihubungkan dengan raja Demak yang terakhir ini. Cerita itu mengisahkan bahwa dalam periode kekacauan sesudah meninggalnya Sultan, raja Demak dengan sejumlah prajurit (di antaranya terdapat budak-budak belian, orang-orang Bali, Bugis, dan Makassar) juga telah muncul di Pajang dengan maksud melaksanakan hak dan tuntutannya atas kekuasaan tertinggi sebagai raja. Tetapi prajurit-prajurit pengiringnya segera dapat dicerai-beraikan oleh pengikut-pengikut bersenjata raja Mataram. Raja Mataram ini, Panembahan Senapati, teman sekutu calon pengganti raja yang lain yaitu Pangeran Benawa, telah memperlakukan yang dipertuan di Demak yang teramat mulia itu dengan sangat hormat. la memberi perintah supaya raja Demak (yang boleh jadi sudah tua) diantarkan kembali ke Demak dengan tandu yang dikawal, dan dengan kedua tangannya diikat dengan selendang sutera (cinde) saja. Dalam cerita babad susuhunan Mataram (Meinsma, Babad hal. 170 dst.) raja Demak ini hanya disebut adipati Demak. Rupanya, ia kawin dengan anak perempuan Sultan Pajang yang tertua (lihat juga Bab XIX-7 dan cat. 330).
Apabila berita ini mempunyai dasar kebenaran, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada tahun 1587 kekuasaan politik raja Demak sudah tidak berarti lagi, sehingga lawannya dapat saja bersikap baik hati terhadapnya. Lagi pula, dapat disimpulkan bahwa raja Demak terbukti besar juga kewibawaannya di pedalaman Jawa Tengah dalam bidang agama terhadap penduduknya, yang ayah atau kakeknya baru 50 atau 75 tahun masuk agama Islam (berkat dakwah Sunan Tembayat).
Tidak diketahui arti nama Pangeran Kediri atau Pangiri, yang menurut cerita Jawa Barat telah disandang oleh raja terakhir dari dinasti Demak. Tidak terlalu besar kemungkinan nama tersebut ada kaitannya dengan daerah Kediri di tepi Sungai Brantas di Jawa Timur. Namun, bila demikian halnya, pada zaman-zaman terakhir Kesultanan Demak rupanya sudah menjadi kebiasaan, bahwa pangeran-pangeran diberi nama gelar, yang mengandung tuntutan atas daerah yang jauh letaknya, seperti lazimnya di Keraton Mataram (Pangeran Puger, Pangeran Singasari), jadi bukan "kekuasaan" yang nyata atas daerah tersebut (lihat juga cat. 334).
 Menurut sebuah tarikh Jawa, yang diolah Raffles ke dalam bukunya History of Java, kiranya pada tahun 1588 - sesudah runtuhnya Demak - para pejabat tinggi bersama rakyatnya telah pergi naik kapal. Bila pemberitaan ini benar, maka putra Pangeran Kediri/Pangiri bersama para pengikutnya menyingkir karena takut akan bertambahnya kekuasaan raja Mataram (yang tidak berhubungan keluarga dengan dia seperti Sultan Pajang almarhum). Menurut silsilah-silsilah keluarga raja Demak tersebut di atas, Pangeran Kediri mempunyai seorang putra, Pangeran Mas, yang juga disebut Pangeran Juru(h). Pangeran Demak inilah yang dijumpai pedagang-pedagang Belanda, yang pada tahun 1596 singgah di Banten (Eerste Schipvaert, hal. 429-430). Mereka mendengar bahwa ayah pangeran itu dahulu telah memerintah seluruh Jawa, tetapi karena tindakan raja-raja bawahannya, dipecat (Graaf, Senapati, hal. 98). Anaknya, yang jatuh miskin karena perang, berangkat ke Malaka - jajahan Portugis - dan kemudian (tahun 1596) ke Banten; di sana ia disambut dengan hormat oleh kerabatnya, raja Banten. Haknya atas kekuasaan di Demak pada asasnya telah diakui, dan ia menerima penghormatan sebagai bangsawan, sesuai dengan asal usulnya. Di Banten ia tinggal dalam perumahan di luar kota. Kiranya lama juga ia tinggal di Jakarta (yang pada waktu itu di bawah kekuasaan raja Banten).
Tidak mustahil bahwa cerita yang didengar oleh orang-orang Belanda mengenai tinggalnya calon pengganti raja Demak di Malaka itu mengandung kebenaran. Pada tahun 1587 Paulo de Lima, "Herculesnya bangsa Portugis", merebut Kota Johor. Kemenangan orang-orang Portugis ini besar sekali pengaruhnya di Nusantara bagian barat. Sultan Aceh menawarkan perjanjian perdamaian, dan pada tahun 1587 itu juga muncullah perutusan Jawa di Malaka (de Couto, Da Asia, XII, hal. 624-627). Karena salah paham, timbullah kesulitan, tetapi hubungan dengan orang-orang Jawa tetap baik, dan pedagang-pedagang Jawa tetap menyinggahi Malaka. Dapat dimengerti kalau calon pengganti raja Demak yang tidak bertanah itu pada tahun 1588 mengharapkan bantuan dari Malaka guna menghadapi kekuasaan Mataram, yang dari tanah pedalaman Jawa Tengah terus saja mendesak ke utara; Malaka yang dipilih, karena penduduknya pelaut, yang pemimpinnya belum lama berselang mencapai kemenangan besar. Tetapi dalam karya tulisan orang Portugis tidak terdapat berita tentang adanya kontak antara Gubernur De Lima dan calon pengganti raja Demak.
Seorang wakil Inggris di Banten, Scott, telah memberitakan akhir kehidupan calon pengganti raja Demak tersebut. Scott menyatakan, pada tahun 1604 ia mendengar bahwa dalam perjalanan laut dari Banten ke tempat lain di pantai utara, Pangeran Mas telah dibunuh oleh salah seorang putranya. la dimakamkan di permakaman Banten "Palanangka" (seharusnya "Pangkalan Tangka"). Kejadian ini juga dicantumkan dalam Sadjarah Banten (Djajadiningrat, Banten, hal.150), dan dalam Hikayat Hasanuddin (Edel, Hasanuddin, hal. 251-252). Menurut nama tempat peristirahatan terakhirnya di tanah rantau itu, calon pengganti raja Demak tersebut di Banten dikenal sebagai Sultan Pangkalan Tangka.
Berdasarkan sebuah berita dalam Eerste Schipvaert (jil. I, hal. 103) dapat diambil kesimpulan bahwa pada tahun 1596 keluarga raja Demak masih mempunyai pengikut. Di situ ada kata-kata; Dauma, waer den Keyser noch voor Coning ghekent wordt ‘Demak, tempat Kaisar masih diakui sebagai raja'. Yang dimaksud adalah Pangeran Mas, yang di kalangan orang Belanda dikenal dari Banten. Menurut cerita babad-babad di Jawa Tengah, pada tahun 1602-1604 timbul pemberontakan di Demak melawan kekuasaan Mataram. Besar sekali kemungkinan bahwa calon pengganti raja Demak pada tahun 1604 atau sekitarnya telah mempunyai rencana untuk berlayar dari Banten ke Demak, untuk memimpin pengikut-pengikutnya. Apa yang menjadi alasan sampai ia dibunuh itu, kiranya, tetap merupakan rahasia.
Silsilah-silsilah keluarga raja Demak yang disajikan di atas (Bab III-1), kecuali menyebutkan kedua putra calon raja, Pangeran Mas/ Pangeran Juru(h), juga menyebutkan banyak anggota keluarga lain yang lebih muda. Lebih lanjut tidak ada kabar tentang mereka. Boleh jadi mereka anggota keluarga-raja Banten.
Yang termasuk keturunan dan kerabat keturunan raja-raja Demak, yang di luar tanah airnya berhasil mencapai kedudukan penting dalam kemelut politik abad ke-16 itu, ialah mereka yang disebut di atas; raja Jepara, raja Cirebon, raja Banten, dan raja Pajang; dan selain itu juga para Yang Dipertuan di Jipang Panolan. Kita masih ingat bahwa menurut cerita Jawa, Aria Panangsang telah memegang peranan - yang berakibat buruk baginya - dalam peristiwa pembunuhan antarkeluarga di Demak pada pertengahan abad ke-16. Para penguasa di Jipang ternyata masih mempunyai hubungan keluarga dengan para penguasa di Matahun, yaitu suatu daerah yang - seperti Pajang dan Mataram - semula termasuk "tanah mahkota" milik keluarga raja Majapahit yang kuno dan "kafir" itu. Boleh jadi keturunan atau pengikut keluarga Jipang pada abad ke-16 dan ke-17 telah menduduki tahta kerajaan di Palembang. Dalam bab-bab berikut ini sejarah daerah-daerah tersebut akan diberikan perhatian masing-masing.

III-4        Demak di bawah kekuasaan raja-raja Mataram
Setelah Panembahan Senapati sekitar tahun 1588 memegang tampuk pemerintahan di Jawa Tengah sebelah selatan (lihat Bab XX-4), raja-raja Pati, Demak, dan Grobogan dianggapnya sebagai sampun kareh 'sudah dikuasai'. Sekitar tahun 1589 mereka diperintah untuk bersama dengan dia dan prajurit-prajurit Mataram ikut ke Jawa Timur, menaklukkan raja-raja Jawa Timur (Meinsma, Babad, hal.182). Maksud raja Mataram ini gagal, tampaknya terutama karena campur tangan Sunan Giri. Panembahan Senapati terpaksa kembali ke Mataram dengan tangan hampa.
Mungkin sekali penguasa-penguasa Demak, Pati, dan Grobogan, yang pada tahun 1589 (menurut Babad itu) telah bersikap sebagai taklukan yang patuh itu, sama orang-orangnya dengan mereka yang telah mengakui Sultan Pajang, yang sudah tua dan meninggal pada tahun 1587, sebagai penguasa tertinggi. Jadi, agaknya Pangeran Kediri di Demak, setelah mengalami penghinaan di Pajang sebelumnya, ternyata masih berhasil memerintah tanah asalnya selama beberapa waktu. Bagaimana dan kapan tepatnya pemerintahan (yang mungkin berupa pemerintahan semu saja) berakhir, tidak ada kepastian (Graaf, Senapati, hal. 98).
Pada tahun 1591 konon Panembahan Senapati dari Mataram telah mulai berusaha memperluas, kekuasaannya atas Kediri, dengan mencampuri sengketa antara para calon yang ingin menduduki tahta kosong di kerajaan tua itu. Salah seorang dari calon-calon itu, yang disebut Senapati Kediri, telah minta bantuan kepada Mataram, dan Panembahan Senapati telah mengirimkan pasukan yang besar sekali untuk membantunya, yang terdiri dari para bawahan beserta pengikut-pengikutnya (Meinsma, Babad, hal. 199). Pimpinannya diserahkan kepada Pangeran Wiramenggala, salah seorang putra raja Mataram yang tertua; ibunya dari keturunan Kajoran, dan ia sendiri saudara kandung Pangeran Adipati Jayaraga, yang kelak akan menjadi bupati Panaraga (Padmasoesastra, Sadjarah, hal.121). Bupati-bupati Pajang, Demak, dan Jagaraga (di daerah Madiun) diharuskan menggabungkan diri - bersama pengikut mereka - pada ekspedisi ini. Hasil yang dicapai oleh penyerangan ini hanyalah bahwa Senapati Kediri sekeluarga bersama pengikutnya ikut kembali ke Mataram (dan segera di sana ia mencapai kedudukan penting di Keraton); namun Kediri sendiri tidak direbut. Bupati Demak., yang dalam cerita ini bersama bupati-bupati lain disebut sebagai bawahan seorang pangeran Mataram yang untuk pertama kali harus berusaha mencapai keharuman nama dalam pertempuran, untuk disamakan dengan orang yang disebut Pangeran Kediri, keturunan dari "dinasti kaisar" Demak. Besar kemungkinan peranan keluarga raja Demak yang sudah tua itu sekitar tahun 1590 sudah berakhir sama sekali di Jawa Tengah, dan daerah Demak sejak itu diperintah oleh seorang bupati yang ditunjuk oleh raja Mataram.
Boleh jadi baru pada tahun 1595 orang-orang Demak memihak raja-raja Jawa Timur, yang mulai melancarkan serangan terhadap Kerajaan Mataram yang belum sempat berkonsolidasi diri. Serangan tersebut dapat dipatahkan, tetapi panglima perang Mataram, Senapati Kediri yang sudah membelot ke Mataram itu, gugur dalam pertempuran dekat Uter. Sehabis perang, Panembahan mengangkat Ki Mas Sari (dari Wirasari, lihat Bab II-12, salah satu daerah yang pertama-tama direbut oleh Sultan Tranggana, pada tahun 1528?), sebagai adipati di Demak, (Meinsma, Babad, hal. 202), rupanya karena pemimpin pemerintahan yang sebelumnya tidak memuaskan, atau ternyata tidak dapat dipercaya (Graaf, Senapati, hal. 122).
Anak Panembahan Senapati yang menjadi penggantinya, dan kelak disebut juga Seda-ing Krapyak, pada tahun 1601 telah mengangkat kakak sulungnya yang tidak sekandung, Pangeran Puger, sebagai adipati Demak (Meinsma, Babad, hal. 202).[9] Pangeran Puger tidak dapat berpuas hati dengan kedudukan di bawah kekuasaan adik tirinya. Karena pengaruh Yang Dipertuan di Gending dan di Panjer (mungkin berasal dari Jawa Timur), di Demak ia mengangkat senjata untuk tiba-tiba menyerang Mataram. Mungkin sekali Pangeran Mas sekitar tahun 1604 ingin memanfaatkan gerakan anti-Mataram di Demak ini dari Banten, untuk mendapatkan kedudukan kembali di tanah asalnya, Jawa Tengah. Tetapi di dekat Tambak Uwos, Pangeran Puger dikalahkan dan ditawan oleh prajurit-prajurit Mataram yang dipimpin oleh Raja sendiri. Sebagai hukuman ia bersama sanak saudaranya, tetapi tanpa pengikut, diharuskan tinggal di Kudus (mernahake ing Kudus). Kekuasaan di Demak oleh raja diserahkan kepada seorang prajurit yang berjasa (lurah ganjur, kepala prajurit bertombak), Ki Gada Mestaka, yang dengan nama Tumenggung Endranata menjadi bupati di Demak.
Tumenggung Endranata I di Demak ini pada tahun-tahun kemudian agaknya juga tidak bebas dari pengaruh politik Pesisir yang berlawanan dengan kepentingan Mataram di pedalaman. Pada tahun 1627 ia terlibat dalam pertempuran antara penguasa di Pati, Pragola II, dan Sultan Agung. la dibunuh dengan keris sebagai pengkhianat, atas perintah Sultan Agung (Graaf, Sultan Agung, hal.138-141).
Sesudah dia, masih ada lagi seorang tumenggung, Endranata II, yang menjadi bupati di Demak. Tumenggung ini seorang pengikut setia Susuhunan Mangkurat II di Kartasura, yang memerintah Jawa Tengah pada perempat terakhir abad ke-17. Pada tahun 1678 disebutkan adanya Tumenggung Suranata di Demak (lihat Bab II-16).
Sebagai pelabuhan laut agaknya Kota Demak sudah tidak berarti pada akhir abad ke-16. Sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain, daerah Demak masih lama mempunyai kedudukan penting dalam ekonomi kerajaan raja-raja Mataram. Sampai abad ke-19 di banyak daerah tanah Jawa rasa hormat pada Masjid Demak dan makam-makam Kadilangu masih bertahan di antara kaum beriman; Kota Demak dipandang sebagai tanah suci. Hal itulah yang terutama menyebabkan nama Demak dalam sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping nama Majapahit.

e-books a.mudjahid chudari




[1]       "Munkim" dapat dihubungkan dengan mukim, suatu istilah yang berasal dari bahasa Arab (muqim), yang menurut hukum agama Islam (fiqih) berarti menetap/bertempat tinggal secara tetap (sebagai anggota jemaah masjid setempat). Kata itu di Aceh biasa dipakai dalam bahasa resmi perkantoran untuk menunjukkan pengertian masyarakat-haminte teritorial (Snouck Hurgronje, Achenese, jil. I, him. 80; Juynboll, Handleiding,hlm. 70). Menurut ilmu bahasa, kata mukim ada hubungannya dengan kaum (kata Arab qawn), yang dalam bahasa Jawa biasa dipakai dalam arti "masyarakat alim", yang tinggal dekat masjid. Di Jawa, dalam desa yang tidak ada masjidnya, kata "kaum " bahkan dapat berarti satu orang, yaitu "pejabat keagamaan desa", yang mewakili golongan Islam dalam pemerintahan desa. Tetapi Sunan Prawata dalam beberapa teks Jawa ternyata juga disebut Sunan Mukmin, yang berarti Orang Beriman yang Sejati (Arab: mu'min).
[2]       Uraian tentang Prawata terdapat dalam karangan Veth, "Nalezingen". Uraian itu berdasarkan pada penyelidikan J. Knebel, kontrolir Kudus yang juga telah menyusun lampiran pada Rapporten mengenai daerah tersebut. Menurut Knebel, pada paruh kedua abad ke-19 di Undakan, suatu desa dekat Prawata, beberapa orang kebayan (anggota pemerintah desa bawahan) masih mempertahankan kebiasaan mengenakan kuluk (tutup kepala berbentuk kemcut), dengan tubuh bagian atas terbuka, karena mereka menganggap dirinya sebagai abdi raja Demak. Brumund juga menguraikan lagi tentang Prawata (Brumund, Hindoeisme). Di situ dilihatnya sebidang tanah yang oleh penduduk setempat disebut Sitinggil dan - dekat Garuda - kolam berisi kura-kura besar-besar berwarna belang, yang diberi makan seperti binatang keramat. Kolam kura-kura dekat Garuda itu juga pemah diberitakan oleh Domis (Domis, Aanteekeningen, bagian ke-3, hlm. 13), dan oleh Cornets de Groot Sr. (Comets de Groot, "Grissee", hlm. 231), yang menamakan tempat itu Sendang Garuda atau Saniet. Sultan Demak rupanya berkali-kali berziarah ke tempat tersebut.
 Kesucian Prawata juga terbukti dari suatu kenyataan bahwa di situ pada tahun 1680, pada akhir perang pergantian kekuasaan lima tahun di Jawa, telah terjadi pergolakan rakyat. Seorang wanita mengangkat dirinya sebagai "Ratu Tanah Jawa" dan mengirim lima utusan yang mengenakan pakaian rohaniwan (papeclederen) datang pada panglima tentara Belanda Couper untuk "memberi peringatan" kepadanya. Sunan Mangkurat II di Kartasura, setelah diberi tahu oleh Couper, memberi perintah untuk membunuh "orang-orang gelandangan" itu dan menghancurkan "keraton baru di Prawata" (Daghregister, berita bertanggal 11 November 1680).
 Di Godong atau Gogodong, 7 atau 8 kilometer dari Prawata, terdapat gua dalam bukit batu karang yang mempunyai dua jalan keluar, dan yang menurut cerita tutur juga dianggap keramat oleh Keraton Demak. Pada tahun 1678 Antonio Hurdt (Graaft, Hurdr, hlm. 90), dalam ekspedisi dari Japara ke Kediri telah melewati Gogodong, dan ternyata "ada dua gua dalam batu karang, yang bertemu di bagian dalam, keduanya cukup lebar dan dari sini mengalir air yang sangat jernih, yang berasal dari pancuran mata air, dan yang diminum juga oleh Susuhunan dan opsiropsir kami". Diceritakan kapadanya bahwa "seorang sultan dari Demak, yang sangat besar nafsunya untuk memerintah dan ingin menguasai pemerintahan di Majapahit, telah bertapa di situ, madraga, empat puluh hari dengan berpuasa dan berdoa, agar dikuasainya seluruh wilayah Jawa." Menurut Knebel (Rapporten) di dekat Prawata masih ada tempat-tempat "keramat" lagi, yang menurut cerita tutur dahulu pemah ditempati Susuhunan yang dihormati itu. Di Kampung Swanagaran bahkan disimpan tempolong 'peludahan', yang dahulu dipakai Susuhunan sebagai benda wasiat.
[3]       Kisah romantis mengenai kematian raja Demak yang keempat telah dibicarakan oleh Brandes dalam suatu pembicaraan tentang Aria Panangsang. Mengenai Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang telah mengucapkan kaul untuk tetap tidak memakai pakaian selama belum diadakan pembalasan terhadap pembunuh suaminya, yaitu Aria Panangsang, telah ditulis sebuah karangan oleh Dr. D.A. Rinkes (Rinkes, Genoveva,). (Lihat Bab VI tentang Jepara).
[4]       Surat Portugis yang ditulis oleh Manuel Pinto telah diterbitkan oleh P. Delplace (Delplace, Selectae). Buku tersebut sebagian diterjemahkan, dan sebagian lagi dijadikan ringkasan dalam tinjauan ilmiah C. Wessels (Wessels, "Wat staat"). Untuk studi mengenai sejarah Demak tersebut digunakan salinan surat yang berada di perpustakaan Istana Ajuda di Lisabon.
[5]       Sejak permulaan abad ke-16, para raja di Nusantara sangat mendambakan memiliki meriam. Meriam-meriam itu, kecuali dipakai sebagai senjata, juga dianggap sebagai tanda kekuasaan raja. Penelitian Crucq tentang asal meriam-meriam tua di Jawa penting bagi penulisan sejarah (Crucq, "Kanon"). Sarjana-sarjana Jawa juga merasa tertarik pada asal meriam-meriam tua itu (yang tentunya mempunyai nama panggilan masing-masing). Dalam beberapa cerita rakyat tentang sejarah lama kerajaan-kerajaan Jawa yang bersifat legenda, meriam-meriam itu mempunyai kedudukan penting (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Cannon"; jugacat.137).
[6]       Kapan mulai dipakainya gelar-gelar susuhunan, sunan, sinuhun, dan kasuhun belum dapat dipastikan. Gelar-gelar sinuhun dan kasuhun terdapat dalam naskah-naskah yang tidak berasal dari kalangan Islam, sebagai gelar dari Kekuasaan Gaib, yang berkuasa di Selatan, di Samudra (Pigeaud, Literature, jil. II, di bawah "Sinuhun", "Kasuhun"). Ini menjadi petunjuk bahwa kata-kata ini dari zaman dahulu kala sudah berjiwa religius. Sunan telah menjadi gelar yang lazim diperuntukkan bagi Orang-orang Suci di Jawa. Belum pasti apakah gelar susuhunan itu oleh raja Demak yang terakhir itu sendiri sudah dipakai. Jika belum, alasannya mungkin kekuasaannya tidak cukup besar untuk memakai gelar itu. Pertimbangan ini juga berlaku bagi keturunan-keturunannya yang menyebut dia sebagai Susuhunan Prawata.
 Agak ganjil bahwa raja Mataram yang ketiga, yang terkenal sebagai Sultan Agung, sejak tahun 1624 memakai gelar susuhunan, sebelum ia berhak memakai gelar sultan. Kebanyakan raja dari keluarga-raja Mataram di Jawa Tengah meniru beliau dan menamakan diri susuhunan. Pembuatan "sitinggil" yaitu "tanah yang ditinggikan" (serambi yang lebih tinggi dari tanah sekitarnya, tempat duduk raja), sebagai singgasana, agar pandangan raja dapat meliputi seluruh alun-alun keraton, mungkin dapat dihubungkan dengan gelar susuhunan ini ("Yang Dijunjung Tinggi"; lihat Grad, Sultan Agung, hlm. 108-110, dan hlm. 127-131).
Hal yang menarik perhatian juga ialah adanya kesesuaian nama gelar Susuhunan Prawata yang dipakai oleh raja Demak terakhir yang "alim" dengan gelar Sunan Gunung Jati ("Orang Suci di Gunungjati") yang dipakai oleh cikal bakal keluarga raja Cirebon, dan dengan gelar Sunan Giri ("Orang Suci di Gunung") yang dipakai "imam raja" di Giri-Gresik. Kiranya mustahil kesesuaian ini bersifat kebetulan belaka. Lebih masuk akal perkiraan bahwa pada pertengahan abad ke-16 para penguasa Islam, yang sejak waktu yang belum lama (tidak lebih dari satu abad) telah mencapai kebesaran dan kedudukan yang tinggi, mulai beranggapan bahwa tempat tinggal atau istana kebesaran di atas tempat yang berketinggian itu sudah merupakan kebiasaan dan berkaitan dengan kekuasaan mereka, yang berdasarkan agama itu. Peradaban Jawa sebelum zaman Islam telah mengenal bangunan-bangunan keramat di atas gunung, candi-candi di lereng-lereng gunung bagi dewa-dewa, dan perkampungan-perkampungan (dengan tempat-tempat pendidikan) jemaah-jemaah suci di pegunungan (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 484 dst). Dapat dimengerti bahwa pembudayaan agama Islam di Pulau Jawa menambah majunya pembangunan pembuatan "tempat-tempat keramat" pada abad ke-16. Peranan orang-orang suci di Jawa (yang anggota-anggotanya antara lain Sunan Gunungjati dan Sunan Giri) bagi perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-16 dan ke-17 telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 76 dst. dan 138 dst. Dapat diperkirakan bahwa tempat-tempat keramat Islam di Jawa, seperti Gunung Jati, Prawata, Giri, dan Tembayat, dalam peradaban sebelum zaman Islam memang sudah merupakan tempat-tempat yang dihormati orang. Jawaban atas pertanyaan ini baru akan dapat diberikan setelah diadakan penggalian-penggalian kepurbakalaan.
[7]       Dalam Babad Mataram (Meinsma, Babad, hlm. 75) tertulis bahwa anak Sultan Demak yang kedua, yang bernama Sunan Prawata, sesudah ayahnya meninggal, telah menggantinya sebagai pemegang kekuasaan di Kerajaan Demak (jumeneng amengku nagari Demak), dan bahwa ia hidup rukun dengan Adipati Pajang; keduanya menerima keadaan itu (rukun kaliyan sang adipad ing Pajang, sanri narimahipun).
[8]       Gelar "Pengatur Agama" (Panatagama) telah lama menjadi bagian tata nama sakral bagi raja-raja Jawa di Jawa Tengah. Penting untuk diketahui kapan gelar itu dipakai untuk pertama kalinya. Mungkin Panatagama itu suatu terjemahan gelar Arab yang bersifat keagamaan.
[9]       Menurut Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 121) Pangeran Adipati Puger dari Demak adalah anak Nyai Adisara. Mungkin Adisara ini nama tempat. Wanita istimewa ini, yang kiranya bukan termasuk keturunan terkemuka, menurut cerita tutur (Meinsma, Babad, hlm. 186) memainkan peranan penting pada tahun 1590, waktu Panembahan Senapati merebut Madiun.  Nyai Adisara ini rupanya, atas perintah tuannya, Panembahan Senapati, telah menemui raja Madiun di kota kedudukannya. Tergoda oleh kecantikan wanita itu, raja Madiun percaya pada tawaran tertulis Senapati (yang ternyata tipuan belaka itu) bahwa ia (Senapati) akan takluk. Karenanya,raja Madiun membubarkan laskarnya. Akibatnya, Senapati dapat menduduki Madiun. Pangeran Puger, yang pada tahun 1601 dijadikan Adipati Demak, mestinya paling lambat dilahirkan sekitar tahun 1580. Nyai Adisara itu mungkin salah seorang abdi wanita yang bukan tergolong muda lagi di dalam keputrian istana Panembahan Senapati Mataram. Menurut Sadjarah Dalem ia masih mempunyai anak perempuan, yang kawin dengan seorang adipati: Tepasana, mungkin masih seorang kemenakan Senapati.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger