Bab I
Pendahuluan
Tujuan utama buku ini adalah mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat, namun bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara. Dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya, prinsip-prinsip syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara. Oleh karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat diperlukan agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam. Pendapat ini juga bisa disebut ‘netralitas negara terhadap agama’, dimana institusi negara tidak memihak kepada doktrin atau prinsip agama manapun. Bagaimanapun juga, netralitas seperti itu sasarannya adalah semata-mata kebebasan individu dalam masyarakat untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap pandangan atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Ini bukan berarti bahwa Islam dan politik harus dipisahkan, sebab hal itu tidak perlu dan tidak dikehendaki. Pemisahan Islam dan negara, sembari tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan dan perundang-undangan resmi, tetapi dengan tetap tunduk kepada perisai-perisai hukum, yang akan dijelaskan di bawah ini. Pandangan tersebut berangkat dari premis bahwa negara dan politik sulit dibedakan, meskipun diantara keduanya terdapat hubungan yang permanen dan nyata. Saya lebih memilih melakukan mediasi strategis dan terencana terhadap ketegangan pemisahan agama dan negara serta mengatur hubungan Islam dan politik, daripada mencoba memaksakan suatu penyelesaian yang tuntas dengan satu atau pun lain cara.
Negara adalah sebuah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan proses-proses, yang semestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil melalui proses politik dari setiap masyarakat. Dengan pengertian ini negara seharusnya merupakan segi swa-kelola pemerintahan yang dijalankan secara lebih mantap dan terencana, sedangkan politik adalah proses dinamis dalam memilih diantara pilihan-pilihan kebijakan yang saling berlawanan. Untuk menjalankan fungsi tersebut dan yang lainnya, negara harus memiliki apa yang disebut monopoli penggunaan kekuatan yang sah, yaitu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya pada seluruh penduduk tanpa risiko menghadapi perlawanan yang dilakukan oleh rakyat di bawah kekuasaannya. Kekuatan memaksa negara, yang kini makin meluas dan efektif dibanding yang pernah ada dalam sejarah manusia, akan menjadi kontraproduktif ketika dijalankan dengan sewenang-wenang atau untuk tujuan-tujuan yang korup dan tidak sah. Itulah mengapa sangat penting untuk tetap menjaga negara senetral mungkin. Tugas ini menuntut kewaspadaan yang ajek dari semua warga negara yang bertindak melalui berbagai strategi dan mekanisme politik, hukum, pendidikan, dan lainnya.
Oleh karena itu, pembedaan antara negara dan politik mengasumsikan interaksi yang ajek di antara organ-organ dan institusi-institusi negara, di satu sisi, dan aktor-aktor politik dan sosial yang terorganisir, serta pandangan-pandangan yang berlawanan tentang kemaslahatan publik, di sisi lain. Pembedaan ini juga beranjak dari suatu kesadaran yang serius akan risiko penyalahgunaan kekuatan negara yang memang memaksa. Penting untuk memastikan bahwa negara bukan sekadar sebuah pencerminan penuh dari politik sehari-hari, melainkan harus mampu menengahi dan menjatuhkan keputusan atas pandangan-pandangan dan proposal-proposal kebijakan yang bertentangan, yang menuntutnya untuk tetap independen dari kekuatan-kekuatan politik yang berbeda dalam masyarakat. Karena independensi sepenuhnya tidaklah mungkin, maka kadang perlu mengingat kembali hakikat politik negara yang tidak bisa sepenuhnya otonom dari aktor-aktor politik yang mengontrol para aparaturnya. Paradoksnya, realitas keterhubungan ini justru menuntut usaha keras untuk memisahkan negara dari politik, agar orang-orang yang kini disingkirkan dari proses politik masih bisa mengharapkan perlindungan organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap ekses-ekses dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat negara.
Kebutuhan ini bisa diilustrasikan dengan pengalaman-pengalaman partai penguasa tunggal yang mengontrol negara secara total, dari Nazi Jerman dan Uni Soviet hingga banyak negara di Afrika dan dunia Arab selama dekade terakhir abad kedua puluh. Apakah dalam bentuk nasionalisme Arab di Mesir di bawah pemerintahan Nasser, atau partai Baath di Irak di bawah Saddam Hussain, dan Syria di bawah Hafiz al-Assad, negara menjadi agen langsung dari partai yang sekaligus merupakan alat politik negara. Dalam keadaan seperti itu, warga negara terperangkap di antara negara dan partai, tanpa kemungkinan memperoleh penanggulangan administratif atau hukum dari negara atau dari oposisi politik yang berada di luar wilayah kontrol negara.
Kegagalan menjalankan pembedaan antara negara dan politik cenderung membahayakan perdamaian, stabilitas dan perkembangan yang sehat dari seluruh masyarakat. Pasalnya, mereka yang terabaikan haknya untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam politik akan menarik diri atau terpaksa menempuh jalur kekerasan karena tidak adanya cara-cara penanggulangan yang memadai.
Oleh karena itu, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mempertahankan pembedaan negara dan politik, ketimbang mengabaikan ketegangan tersebut dengan harapan bahwa ketegangan itu toh akan teratasi dengan sendirinya. Pembedaan negara dan politik yang perlu namun sulit ini dapat dimediasikan melalui prinsip-prinsip dan mekanisme-mekanisme yang menjaga dan mendukung konstitusionalisme serta kesetaraan hak-hak seluruh warga negara. Tapi seperti yang akan saya diskusikan pada bab 3, prinsip-prinsip dan institusi-institusi ini tidak akan berjalan tanpa partisipasi aktif dan sungguh-sungguh dari semua warga negara, dan mustahil berfungsi bila masyarakat percaya bahwa prinsip dan institusi itu tidak sesuai dengan keyakinan agama dan norma-norma budaya yang mempengaruhi sikap politik mereka. Prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis mensyaratkan bahwa warga negara merasa terpanggil dan sungguh-sungguh mau berpartisipasi dalam segala aspek swa-kelola (self-governance), termasuk melakukan tindakan politik yang terorganisir untuk menjaga agar pemerintah tetap bertanggungjawab dan tanggap terhadap harapan-harapan mereka. Motivasi dan kesungguhan ini, yang sebagian dipengaruhi oleh keyakinan agama dan budaya yang melingkupi warga negara, harus dibangun atas dasar apresiasi dan komitmen terhadap nilai-nilai konstitualisme dan hak-hak asasi manusia. Saya akan menguraikan pendekatan terhadap perubahan sosial ini pada bagian akhir bab ini.
Buku ini adalah sebuah ikhtiar untuk menjelaskan dan menyokong upaya penting dan sekaligus sulit untuk menjembatani paradoks pemisahan kelembagaan Islam dan negara, sembari tetap memperhitungkan adanya keterkaitan yang niscaya antara Islam dan politik dalam masyarakat Islam saat ini. Sebagai seorang Muslim, saya mencoba memberikan kontribusi dalam proses ini di kalangan masyarakat Muslim, meskipun tidak berarti bahwa persoalan-persoalan yang saya diskusikan di sini hanya khusus untuk Islam dan umat Islam saja. Untuk mencapai tujuan tersebut, saya akan menentang ilusi berbahaya tentang negara Islam yang bisa menjalankan prinsip-prinsip syariah melalui kekuatan negara yang memaksa. Saya juga menentang ilusi berbahaya lainnya bahwa Islam bisa atau seharusnya ditarik keluar dari kehidupan publik umatnya. Secara singkat saya ingin mengatakan bahwa keanekaragaman opini tentang setiap aspek kebijakan publik atau perundang-undangan di kalangan sarjana-sarjana Muslim dan mazhab-mazhab pemikiran (madzâhib) menunjukkan bahwa tindakan apa pun yang dilakukan lewat lembaga-lembaga negara harus tetap memilih di antara pandangan-pandangan yang berlawanan yang sama-sama sah dari sudut pandangan tertentu dalam Islam. Lagi pula, tidak ada standar-standar atau mekanisme-mekanisme yang disepakati untuk menjatuhkan pilihan di antara pandangan-pandangan tersebut, di dalam berbagai mazhab pemikiran, terlebih-lebih di antara aliran Sunni atau Syiah. Kedua, apa pun standar atau mekanisme yang dipaksakan oleh organ-organ negara untuk memutuskan kebijakan dan perundang-undangan resmi dengan sendirinya mesti didasarkan pada pertimbangan manusiawi orang-orang yang mengontrol lembaga-lembaga tersebut.
Dengan kata lain, apa pun yang dijalankan oleh negara atas nama syariah dengan sendirinya akan menjadi sekuler, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan politik yang memaksa dan bukan oleh otoritas Islam yang unggul, sekalipun tidak tertutup kemungkinan mencari tahu bagaimana pandangan masyarakat Muslim tentang hal itu. Menolak tegas ilusi berbahaya mengenai sebuah negara Islam yang menerapkan secara paksa prinsip-prinsip syariah perlu dilakukan, agar dengan demikian umat Islam dan warga negara lainnya betul-betul mampu hidup sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam kenyataannya, gagasan tentang negara Islam adalah ide paska kolonial yang didasarkan pada model negara Eropa dan pandangan totalitarian tentang hukum dan kebijakan publik sebagai instrumen-instrumen rekayasa sosial yang dijalankan oleh elit penguasa. Para pendukung apa yang disebut negara Islam berusaha menggunakan kekuasaan dan institusi negara, seperti yang dibentuk oleh kolonialisme Eropa, dan kemudian berlanjut setelah kemerdekaan, guna mengatur secara paksa perilaku individu dan hubungan-hubungan sosial dengan cara-cara khusus yang dipilih oleh elit penguasa. Adalah berbahaya mencoba inisiatif-inisiatif totalitarian seperti itu atas nama Islam karena akan jauh lebih sulit mempertahankannya, dibanding bila hal yang sama diusahakan oleh sebuah negara yang terang-terangan mengaku sekuler tanpa klaim legitimasi keagamaan atas totalitarianismenya. Pada saat yang sama, jelas bahwa pemisahan kelembagaan agama dan negara mana pun tidaklah mudah karena negara akan serta merta dituntut mengatur peran agama guna menjaga netralitas negara atas agama, yang memang diperlukan bagi negara sebagai mediator dan juri di antara kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang bertentangan seperti yang disebutkan di atas.
Alasan utama lainnya untuk menekankan pentingnya netralitas negara atas agama, karena kualitas ini merupakan syarat mutlak pemenuhan ajaran-ajaran Islam dan perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban keagamaan bagi setiap individu Muslim. Pemenuhan seperti itu harus benar-benar dilakukan dengan suka rela karena hal itu menuntut niat yang ikhlas (niyah), yang tentu akan sirna bila dipaksakan penerapannya oleh negara. Tambah lagi, ketika umat Islam ingin mengusulkan kebijakan atau perundang-undangan yang bersumber dari agama atau keyakinanannya, sebagaimana seluruh warga negara memiliki hak yang sama, mereka semestinya mendukung proposal seperti itu dengan apa yang saya sebut ‘nalar publik” (public reason). Kata ‘publik’ di sini mengacu kepada kebutuhan agar alasan-alasan yang melandasi kebijakan dan perundang-undangan itu dikemukakan secara publik dan juga bahwa proses penalaran atas masalah tersebut terbuka bagi dan dapat diakses oleh semua warga negara. Jadi, saya maksudkan dengan ‘nalar publik’ adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran dimana warga pada umumnya bisa menerima atau menolak, dan membuat proposal tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir atau murtad. Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan dan motivasi personal, mutlak adanya bagi kaum Muslim, baik sebagai penduduk mayoritas atau minoritas, karena sekalipun Muslim sebagai mayoritas mereka tidak akan lantas bersepakat terhadap kebijakan dan perundang-undangan mana yang serta merta cocok dengan keyakinan Islam mereka.
Namun, tidak realistis dan tidak bijak mengharapkan masyarakat betul-betul memenuhi syarat-syarat nalar publik karena pilihan-pilihan seperti itu diputuskan dalam alam dorongan dan niat yang bersifat batini. Sulit untuk menjelaskan mengapa masyarakat memilih dengan cara tertentu atau menjustifikasi agenda politik untuk dirinya atau karib kerabatnya. Tapi tujuannya haruslah guna mendukung dan mendorong nalar dan penalaran publik, sembari terus mengurangi pengaruh-pengaruh eksklusif dari keyakinan agama yang bersifat personal. Tuntutan atas nalar publik dan penalaran publik tidak mengandaikan bahwa masyarakat yang mengontrol negara dapat menjadi netral. Sebaliknya, tuntutan ini justru harus menjadi tujuan penyelenggaraan negara semata-mata karena masyarakat cenderung terus bertindak berdasarkan keyakinan-keyakinan atau justifikasi-justifikasi personal. Tuntutan untuk menyatakan secara publik dan terbuka pembenaran-pembenaran yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dengan bebas diterima atau ditolak oleh masyarakat umum, akan terus-menerus mendorong dan mengembangkan sebuah konsensus yang lebih luas di kalangan masyarakat umum, melampaui pandangan keagamaan atau keyakinan sempit berbagai individu dan kelompok. Kemampuan untuk menyatakan nalar publik dan mendebatnya secara terbuka telah ada di sebagian besar masyarakat, dan apa yang ingin saya serukan adalah secara terus-menerus mengembangkan hal itu secara sadar dan efektif. Saya tidak mengatakan bahwa kemampuan ini benar-benar tidak ada sekarang ini, atau mengharapkan bahwa akan segera dapat diwujudkan seketika. Saya harap ikhtiar menjalankan nalar publik dalam pengajuan proposal saya ini akan bertambah jelas setelah klarifikasi lebih lanjut di bab ini dan bab-bab berikutnya.
Persoalan terminologi yang perlu dijelaskan secara singkat di sini menyangkut hubungan antara proposisi-proposisi utama buku ini dan istilah serta konsep ‘sekularisme’. Pemisahan Islam dan negara, yang merupakan bagian awal proposisi utama saya, terdengar seperti sekularisme yang biasanya dipahami dan ditolak oleh banyak umat Islam. Hubungan antara Islam dan politik, yang ditekankan pada bagian kedua proposisi ini, adalah sebuah usaha untuk membahas masalah sekularisme yang sedang menjadi sorotan umat Islam. Persepsi negatif tentang sekularisme yang umum di banyak dunia Islam tidak membedakan pemisahan Islam dan negara, di satu sisi, dan keterhubungan Islam dan politik di sisi lain. Akibat gagal mengenal perbedaan ini, pemisahan Islam dan negara hanya dimengerti sebagai pengasingan Islam sepenuhnya menjadi wilayah pribadi, dan dikeluarkannya Islam dari kebijakan publik. Karena bukan ini pengertian yang saya usulkan, mungkin akan bijak menggunakan istilah pluralisme daripada sekularisme untuk menghindari kebingungan antara pendirian saya dengan pandangan mereka yang negatif terhadap sekularisme. Pemakaian kata ‘pluralisme’ cocok karena sekularisme pada dasarnya diperlukan bagi terwujudnya pluralisme secara praktis dan berkesinambungan. Yaitu, diterimanya berbagai bentuk keragaman agama, budaya dan yang lainnya, sebagai nilai-nilai sosial dan politik yang positif, secara penuh dan terlembagakan. Sesungguhnya baik sekularisme maupun pluralisme kedua-duanya menghendaki netralitas negara. Tapi saya juga akan menggunakan istilah sekularisme seperti ditegaskan di sini untuk merehabilitasi konsep ini dan mengurangi asosiasi-asosiasi negatif terhadap kata ini.
Persoalan terminologi lain adalah bahwa saya akan menggunakan istilah ’negara teritorial’ ketimbang ‘negara bangsa’ karena ciri-ciri penting model Eropa yang sekarang diimplementasikan oleh semua masyarakat Islam adalah yurisdiksi eksklusif negara atas sebuah wilayah khusus dan penduduk yang tinggal di dalamnya, tanpa menghiraukan apakah mereka merupakan sebuah bangsa atau bukan dalam arti yang sepenuhnya. Saya juga menemukan bahwa penekanan-penekanan pada ‘bangsa’ sering membawa kepada kebijakan-kebijakan otoritarian yang mengganggu penegasan diri individual dan komunal, yang sesungguhnya merupakan dasar awal pembentukan negara. Oleh karena itu, harapan saya adalah memberikan kontribusi untuk mengubah sikap-sikap umat Islam berkenaan dengan hakikat negara yang secara inheren sekuler, dan berkenaan dengan peran penting prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia dan kewarganegaraan, dengan terus-menerus menengahi dan menegosiasikan hubungan-hubungan di antara umat Islam, negara dan masyarakat. Konteks negosiasi konstan dari hubungan-hubungan ini dalam masyarakat Islam sekarang ini dibentuk oleh transformasi-transformasi besar-besaran dalam struktur dan institusi politik, sosial serta ekonomi, yang mempengaruhi kehidupan semua umat Islam dan hubungannya dengan komunitas-komunitas lain sebagai akibat dari kolonialisme Eropa serta, yang lebih belakangan, kapitalisme global. Keadaan ini juga terbentuk oleh situasi-situasi politik dan sosiologis internal dari masing-masing masyarakat, termasuk internalisasi perubahan-perubahan yang terinspirasi dari luar, dimana masyarakat Islam harus terus mengikuti Barat dari segi bentuk negara, pendidikan dan organisasi sosial, serta pengaturan-pengaturan ekonomi, hukum, dan administratif setelah mencapai kemerdekaan politik. Konsekuensinya, semua masyarakat Islam sekarang tidak hanya hidup di dalam negara-negara teritorial yang secara total terintegrasi ke dalam sistem-sistem interdependensi dan pengaruh lintas budaya yang menglobal dari ekonomi, politik dan keamanan, namun juga harus secara suka rela berpartisipasi dalam proses-proses ini.
Sekarang saya akan menawarkan beberapa klarifikasi tentang hubungan antara Islam, syariah dan negara dalam perspektif sejarah. Tapi perlu dikemukakan di sini bahwa saya tidak akan mengutip sumber-sumber ilmiah untuk mendukung berbagai proposisi yang saya buat dalam bab ini karena semuanya akan ditemukan secara lebih terperinci, dengan kutipan penuh dari sumber-sumber yang relevan, di dalam bab-bab berikut. Kutipan-kutipan yang terperinci pada tahap ini mungkin mengganggu karena tujuannya adalah memberikan gambaran umum tentang ide-ide dan tema-tema pokok yang akan didiskusikan di seluruh buku ini, dengan penulisan sumber-sumber yang cukup memadai di bab-bab berikutnya.
Islam, Syariah dan Negara
Karena pokok persoalan buku ini adalah hubungan-hubungan antara Islam, negara dan masyarakat, sangat penting untuk mengklarifikasi makna dari istilah-istilah yang saya gunakan di atas. Hal-hal berikut mungkin terdengar jelas bagi beberapa pembaca, tapi lebih baik menjelaskannya kembali untuk menghindari kebingungan dan salah pengertian yang mungkin muncul dari asumsi-asumsi yang salah atau asumsi-asumsi yang tak dapat dibenarkan seputar pemahaman bersama atas pokok persoalan tersebut atau implikasi-implikasinya. Ini khususnya penting bagi tujuan saya karena saya berbicara sebagai seorang Muslim yang sedang berusaha mempengaruhi sikap Muslim-muslim yang lain, dan bukan menjaga jarak atau impersonal terhadap mereka.
Pertama, umum diketahui bahwa Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan Nabi Muhammad antara 610—632 masehi, manakala beliau menyampaikan Al-Quran dan menguraikan makna-makna dan aplikasi-aplikasinya secara terperinci melalui apa yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kedua sumber ini, Al-Quran dan Sunnah Nabi, merupakan dasar dari pengertian istilah Islam dan konsep-konsep turunan serta ajektiva yang digunakan, khususnya di kalangan umat Islam. Al-Quran dan Sunnah Nabi adalah sumber rukun iman yang dijunjung tinggi oleh individu-individu Muslim, sumber praktik-praktik ritual yang mesti mereka jalankan, serta ajaran-ajaran moral dan etika yang mereka hormati. Al-Quran dan Sunnah Nabi juga adalah pedoman bagi umat Islam dalam mengembangkan hubungan-hubungan sosial dan politik, serta mengembangkan norma-norma dan institusi-institusi hukumnya. Islam dalam artian pokok ajaran ini adalah tentang bagaimana mewujudkan kekuatan yang membebaskan dari sebuah kesaksian yang hidup dan proaktif akan Tuhan yang Maha esa, Maha kuasa, dan Maha ada (Tauhid). Ini adalah pengertian Islam yang diyakini dan dijadikan acuan oleh mayoritas umat Islam dalam kehidupan sehari-hari guna membimbing perkembangan spiritual dan moral mereka menuju apa yang dikehendaki Tuhan untuk umat manusia di dunia ini. Dari perspektif inilah saya mencoba membingkai persoalan-persoalan ini dalam kaitannya dengan negara, masyarakat, sebagaimana akan diterangkan kemudian.
Istilah syariah sering digunakan dalam wacana Islam saat ini, seolah-olah kata ini sinonim dengan Islam dalam pengertian umum yang dipaparkan di atas. Yakni, sebagai totalitas kewajiban keagamaan umat Islam baik dalam pengertian personal-pribadi, maupun dalam kaitannya dengan norma-norma dan kelembagaan sosial, politik, dan hukum. Namun, prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi; prinsip-prinsip syariah merupakan sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks sejarah tertentu. Karena itu, masih lebih banyak Islam dibanding syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Yakni, Syariah adalah pintu dan koredor untuk menjadi seorang Muslim, meski tak menutup habis pintu-pintu pengetahuan manusia tentang Islam dan tentang pengalaman dalam merealisasikannya. Baik dalam hubungan dengan Islam ataupun syariah, kerangka acuan islami merupakan hasil dari apa yang saya sebut ‘agensi manusia’ (‘human agency’) dari kaum Mukmin, atau sebuah sistem makna yang dibangun dari pengalaman dan refleksi introspektif manusia serta perkembangan yang lebih sistematis menurut suatu metodologi yang mapan.
Dasar pemikiran sebuah wacana Islam adalah bahwa setiap Muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi kewajiban agamanya. Prinsip dasar tanggung jawab perseorangan yang tidak bisa dilepaskan atau didelegasikan ini, adalah satu dari tema-tema Al-Quran yang terus diulang. Namun ketika umat Islam mencoba mengetahui apa yang diwajibkan syariah dalam situasi yang khusus, mereka lebih cenderung bertanya kepada ulama atau sufi yang mereka percaya, dibanding mengacu langsung kepada Al-Quran dan Sunnah itu sendiri. Apakah dilakukan secara perseorangan atau lebih, oleh alim atau sufi, rujukan kepada Al-Quran dan Sunnah serta merta berlangsung melalui struktur dan metodologi yang sudah umum diterima. Ini biasa terjadi dalam kerangka doktrin dan metodologi yang mapan dari sebuah mazhab tertentu, akan tetapi tidak pernah benar-benar dilakukan dengan cara yang segar dan orisinal, tanpa prakonsepsi yang mengarahkan tentang bagaimana mengenali dan menafsirkan teks-teks Al-Quran dan Sunnah yang relevan.
Dengan kata lain, kapan pun kaum Muslim mempertimbangkan sumber-sumber utama ini, mereka tidak bisa menghindari filter yang tidak hanya berupa lapisan-lapisan pengalaman dan interpretasi generasi-generasi sebelumnya, tapi juga sebuah metode rumit yang menentukan teks mana yang dianggap relevan untuk persoalan tertentu, dan bagaimana teks itu seharusnya dipahami. Oleh karena itu, ‘agensi manusia’ menyatu dengan setiap pendekatan terhadap Al-Quran dan Sunnah di banyak tingkatan, mulai dari berabad-abad pengalaman dan interpretasi yang terakumulasi hingga pada konteks sekarang ini dimana kerangka acuan Islam dimunculkan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu penjelasan singkat pada tingkat ini, adalah bagaimana sebuah kerangka acuan Islam bisa dimunculkan dari perspektif kelembagaan kebijakan dan perundang-undangan negara?
Sebagai sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan, mempercayai atau bertindak. Manusialah yang selalu bertindak atas nama negara, menggunakan kekuasaan atau menjalankannya melalui organ-organnya. Jadi kapan pun manusia membuat keputusan tentang persoalan kebijakan, mengusulkan atau membuat rancangan undang-undang yang dianggap mewujudkan prinsip-prinsip Islam, hal ini dengan sendirinya mencerminkan perspektif pribadi manusia itu atas persoalan tersebut, dan sama sekali bukan perspektif negara sebagai sebuah entitas yang otonom. Lebih dari itu, ketika usulan kebijakan atau undang-undang seperti itu dibuat atas nama partai politik atau organisasi, posisi-posisi seperti itu juga diambil oleh manusia pemimpin yang berbicara atau bertindak untuk entitas itu. Benar bahwa sikap-sikap spesifik pada persoalan-persoalan kebijakan dan perundang-undangan bisa dinegosiasikan di antara aktor-aktor yang kritis, tapi hasilnya tetap saja produk dari penilaian individual seorang manusia, dan pilihan yang diterima dan dilaksanakan pun berdasarkan sebuah pandangan yang disepakati oleh para aktor itu.
Sebagai contoh, keputusan untuk memberi sanksi hukum bagi tindakan mengkonsumsi minuman beralkohol sebagai kejahatan hadd yang didefinisikan oleh syariah sesungguhnya merupakan pandangan pelaku politik individual setelah menilai semua jenis pertimbangan praktis, dan bahasa yang digunakan dalam menyusun rancangan undang-undang dan langkah-langkah yang diambil dalam mewujudkannya juga merupakan hasil keputusan dan pilihan manusia. Maksudnya, persoalan di sini adalah bahwa keseluruhan proses formulasi dan implementasi kebijakan dan perundang-undangan publik tunduk kepada kesalahan dan kekeliruan manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa melanggar kehendak Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persoalan kebijakan dan perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka.
Struktur dan metodologi yang dikenal sebagai ushul al-fiqh dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim terdahulu guna memahami dan menjalankan ajaran Islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Sunnah. Dalam rumusan aslinya, bidang pengetahuan manusia ini mencoba mengatur penafsiran atas sumber-sumber dasar ini di bawah sinaran pengalaman sejarah generasi Muslim awal. Usul Fiqih juga mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan teknik-teknik pengambilan keputusan hukum, seperti ijma’ (konsesus), qiyas (pemikiran dengan analogi) dan ijtihâd (pertimbangan hukum). Teknik-teknik ini secara umum diterima menjadi metode-metode untuk menentukan prinsip-prinsip syariah, dan bukan sebagai sumber-sumber subtantif semata. Namun, ijma’ dan ijtihâd memiliki peran yang lebih mendasar melampaui makna-makna teknis yang terbatas itu. Justru dalam pengertiannya yang lebih luas inilah metode ini bisa menjadi dasar bagi perkembangan syariah yang lebih kreatif dan dinamis di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Islam dan Syariah
Konsensus (Ijma’) generasi-generasi Muslim sejak masa awal Islam bahwa teks Al-Quran benar-benar terkandung dalam naskah yang dikenal sebagai al-Mushaf, merupakan alasan pokok mengapa teks ini diterima oleh umat Islam kapan pun dan dimana pun. Demikian pula halnya ketika umat Islam pada umumnya menerima keaslian laporan mengenai apa yang dikatakan dan diperbuat Nabi (Sunnah), meskipun dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menetapkannya, dan sampai saat ini masih kontroversial di kalangan banyak umat Islam. Dengan kata lain, pengetahuan kita tentang Al-Quran dan Sunnah adalah hasil konsensus antar generasi semenjak abad ketujuhbelas. Ini bukan berarti bahwa umat Islam mengarang sumber-sumber ini melalui konsensus, tapi semata-mata untuk menggarisbawahi bahwa kita mengetahui dan menerima teks-teks ini sebagai valid karena umat Islam dari generasi ke generasi mempercayainya. Lebih dari itu, konsensus adalah dasar otoritas dan kontinuitas ushul al-fiqh serta semua prinsip-prinsip dan teknik-tekniknya, karena struktur interpretatif ini selalu tergantung pada penerimaan apa adanya di kalangan umum umat Islam dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dalam pengertian ini, ijma’ adalah dasar penerimaan Al-Quran dan Sunnah itu sendiri, begitu juga keseluruhan dan rincian metodologi interpretasinya.
Bagi umat Islam perbedaan signifikan antara Al-Quran dan Sunnah dengan teknik-teknik ushul al-fiqh, berarti bahwa di dalam Al-Quran dan Sunnah tidak mungkin ada penambahan teks baru karena Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir dan Al-Quran adalah wahyu pemungkas. Sebaliknya, tak ada satu pun yang mencegah atau menganggap tidak sah pembentukan konsensus baru tentang teknik-teknik interpretasi atau interpretasi-interpretasi inovatif atas Al-Quran dan Sunnah, yang karenanya kemudian menjadi bagian syariah. Demikian pula halnya dengan pembentukan teknik-teknik atau prinsip-prinsip yang ada sekarang ini ketika menjadi bagian syariah pada awalnya. Perisai-perisai hukum pemisahan Islam dari negara dan pengaturan peran politik Islam melalui konstitusionalisme dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang saya ajukan ini diperlukan. Hal ini berguna untuk menjamin kebebasan dan keamanan umat Islam untuk berpartisipasi dalam mengusulkan dan memperdebatkan interpretasi-interpretasi segar atas sumber-sumber dasar tersebut.
Pemahaman atas syariah seperti apa pun selalu merupakan produk ijtihâd dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk memahami makna Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tapi dalam proses perkembangannya selama abad kedua dan ketiga Hijriah, istilah ‘syariah’ diartikan dan dibatasi oleh sarjana-sarjana Muslim/ulama dalam dua cara. Pertama, mereka menetapkan bahwa ijtihâd hanya bisa dilakukan dalam perkara-perkara yang tidak diatur oleh teks Al-Quran dan Sunnah yang tegas (nash qat’i). Ini adalah proposisi logis, tapi ini tidak hanya mengasumsikan bahwa umat Islam sepakat atas teks-teks mana yang relevan terhadap persoalan-persoalan, dan bagaimana menafsirkannya, tapi juga menganggap permanen setiap konsensus yang dicapai atas persoalan-persoalan tersebut di masa lalu. Kedua, ulama-ulama masa awal menetapkan syarat yang terperinci bagi seseorang yang bisa diterima sebagai mujtahid, begitu pula cara yang sah untuk menjalankan ijtihâd. Tapi setiap pendefinisian terhadap istilah, atau syarat yang wajib dipenuhi oleh ulama yang bisa melaksanakan peran ini, lagi-lagi adalah hasil penalaran dan penilaian manusiawi.
Menentukan apakah teks Al-Quran atau Sunnah (nash) berlaku atau tidak pada sebuah masalah, dan apakah teks itu tegas atau tidak (qat’i), serta siapa yang bisa melaksanakan ijtihâd dan bagaimana menjalankannya, semua itu merupakan persoalan yang hanya bisa diputuskan oleh penalaran dan pertimbangan manusia. Oleh sebab itu, sedari awal menyensor usaha-usaha seperti itu jelas merusak dasar pemikiran tentang bagaimana prinsip-prinsip syariah bisa diperoleh dari Al-Quran dan Sunnah. Tidak logis mengatakan bahwa ijtihâd tidak bisa dilakukan menyangkut setiap persoalan atau masalah karena pernyataan itu sendiri adalah produk penalaran dan perenungan manusia. Juga berbahaya membatasi kemampuan menjalankan ijtihâd hanya pada sekegelintir kecil Muslim, yang dianggap memiliki kualitas-kualitas khusus. Pasalnya, hal itu dapat membuat praktik ijtihâd akan tergantung pada orang-orang yang akan mengatur dan menerapkan kriteria untuk menyeleksi siapa yang memenuhi syarat untuk menjadi mujtahid. Memberikan otoritas ini pada institusi atau organ apa saja, apakah negeri atau swasta, sangatlah berbahaya karena kekuasaan itu pasti akan dimanipulasi untuk alasan-alasan politis atau lainnya. Karena mengetahui dan menegakkan syariah merupakan tanggung jawab setiap Muslim yang tak dapat dielakkan, tak seorang pun manusia atau institusi yang bisa mengontrol proses ini bagi Muslim. Wewenang untuk memutuskan siapa yang memenuhi syarat untuk melaksanakan ijtihâd dan bagaimana hal itu bisa dijalankan oleh setiap Muslim merupakan masalah keyakinan dan kewajiban agama. Oleh sebab itu, tidak boleh ada sensor atau kontrol terhadap proses ini sebelumnya. Dengan kata lain, membatasi perdebatan bebas dengan mempercayai otoritas institusi-institusi atau manusia untuk memutuskan pandangan mana yang harus diikuti atau diberangus, berarti tidak konsisten dengan sifat religius syariah itu sendiri. Pemikiran ini merupakan salah satu fondasi utama Islam yang saya maksudkan untuk menjamin pluralisme, hak-hak asasi manusia, dan kewarganegaraan bagi semua.
Renungan-renungan ini akan saya munculkan kembali dalam bagian-bagian lain buku ini. Tapi, mungkin ada baiknya memberikan ilustrasi dan klarifikasi singkat di bawah ini. Perkembangan syariah yang lebih sistematis dimulai selama era Abbasiyah awal (750 M). Pandangan tentang perkembangan syariah yang relatif lamban sebagai sebuah sistem yang koheren dan berdiri sendiri dalam sejarah Islam diperjelas oleh kerangka waktu munculnya mazhab-mazhab utama pemikiran (madzahib), pengumpulan Sunnah secara sitematis sebagai sumber syariah kedua dan yang lebih terperinci, serta perkembangan metodologi hukum (ushul al-fiqh). Semua perkembangan ini terjadi pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Era Abbasiyah awal menyaksikan kemunculan mazhab-mazhab utama ilmu hukum Islam, termasuk mazhab-mazhab utama yang dikenal sekarang yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Sadiq (wafat tahun 765 M—pendiri aliran utama ilmu hukum Syiah) Abu Hanifa (wafat 767 M); Malik (wafat 795 M); al-Syafi’i (wafat 820 M); dan Ibn Hanbal (wafat 855 M)
. Dengan kata lain, generasi-generasi Muslim awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah sebagaimana yang kemudian diterima oleh mayoritas Muslim hingga saat ini. Selain itu, perkembangan dan penyebaran selanjutnya dari mazhab-mazhab ini telah dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, politik, sosial dan demografis. Faktor-faktor ini kadang berhasil membuat pengaruh beberapa mazhab beralih dari satu wilayah ke wilayah lain, atau menetap di wilayah tertentu, seperti aliran Syiah sekarang ini, atau bahkan berakibat punahnya beberapa mazhab, seperti mazhab al-Tsauri dan al-Thabari dalam tradisi Sunni.
Faktor lain yang perlu dicatat, sepanjang sejarah Islam raja-raja Muslim cenderung menyokong beberapa mazhab tertentu saja. Sebagai contoh, karena berasal dari Irak yang saat itu menjadi pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah, Mazhab Hanafi memperoleh dukungan resmi negara. Mazhab ini akhirnya menyebar ke Afghanistan dan kemudian ke anak benua India, di mana imigran-imigran India kemudian membawanya ke Afrika Timur. Mazhab ini juga terkenal di seluruh Asia Tengah dan Dinasti Utsmani yang mendukung prinsip-prinsip yurisprudensi Mazhab Hanafi sebagai dasar negara dan praktik hukum. Tapi, dukungan negara terhadap mazhab tertentu terus berlangsung melalui penunjukkan hakim-hakim yang terlatih dalam mazhab yang dipilih dan spesifikasi yurisdiksi geografis serta pokok persoalan hukumnya, ketimbang melalui pembuatan undang-undang atau kodifikasi seperti dalam pengertian modern.
Prinsip konsensus (ijma’) jelas berfungsi sebagai kekuatan penyatu yang cenderung menyatukan semua kandungan mazhab-mazhab Sunni dan memberangus cakupan pemikiran kreatif baru melalui ijtihâd. Sudah umum diterima bahwa terjadi suatu pemberangusan peran penalaran hukum yang kreatif secara bertahap (juga disebut ditutupnya pintu ijtihâd) dengan asumsi bahwa menjelang masa itu syariah telah dijabarkan secara penuh dan mendalam. Tidak soal apakah pintu ijtihâd ditutup atau tidak, dan ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan, yang jelas belum ada perubahan dalam struktur dasar dan metodologi syariah semenjak abad kesepuluh, meskipun sejumlah adaptasi praktis terus terjadi dalam cakupan dan lokasi yang terbatas. Kekakuan itu mungkin diperlukan untuk mempertahankan stabilitas sistem selama masa kemunduran dan kemacetan yang kadang terjadi pada institusi-institusi politik dan sosial masyarakat Islam. Dari sudut pandang Islam, tidak ada otoritas manusia yang berhak melarang ijtihâd, meskipun mungkin telah ada konsesus mengenai hal ini di kalangan umat Islam. Atas dasar itu, tak ada satu pun yang dapat mencegah munculnya konsensus baru bahwa ijtihâd seharusnya dilaksanakan dengan bebas guna menjawab kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi masyarakat Islam yang baru.
Islam dan Negara
Sifat religius syariah dan fokusnya pada pengaturan hubungan antara Tuhan dan manusia mungkin satu-satunya alasan utama bertahan dan berkembangnya pengadilan-pengadilan sekuler yang berfungsi memutuskan perkara-perkara praktis dalam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan secara umum. Aspek lain dari sejarah hukum masyarakat Islam yang diasosiasikan dengan sifat religius syariah adalah perkembangan fatwa (ifta).
Ulama yang tidak terikat dengan negara mengeluarkan opini-opini hukum (fatwa) atas permintaan gubernur provinsi dan hakim-hakim negara, di samping memberikan nasihat pribadi kepada orang-orang, seperti yang terjadi di masa Islam awal. Jenis nasihat hukum privat ini terus berlanjut sampai pada periode sejarah Islam berikutnya, yaitu Dinasti Utsmani yang mendominasi sebagian besar dunia Islam selama lebih dari lima abad.
Sultan-sultan Utsmani mendukung Mahzab Hanafi, dan akhirnya mengkodifikasi prinsip-prinsip mazhab ini menjelang pertengahan abad kesembilan belas. Inilah pertama kalinya dalam sejarah Islam prinsip-prinsip syariah yang merupakan hasil interpretasi satu mazhab tertentu dikodifikasi dan dijadikan hukum resmi yang seragam di negeri itu. Inovasi tersebut, yang kemudian menjadi norma dalam dunia Muslim paska kolonial, melegitimasi dan melembagakan otoritas negara untuk memilih satu dari sejumlah pandangan mengenai syariah yang berlawanan, tanpa benar-benar membuka perdebatan seputar dasar pembuatan hukum keluarga sebagai sebuah persoalan kebijakan publik. Sementara itu, di Asia dan Afrika, hal yang sama terjadi, yakni pergantian sistem syariah dan adat lokal oleh peraturan kolonial. Bagaimanapun juga, ada ketegangan antara realitas dukungan negara terhadap mazhab tertentu dan kebutuhan untuk mempertahankan independensi tradisional syariah, karena penguasa memang seharusnya melindungi dan mendukung syariah tanpa harus mengklaim atau tampil menciptakan dan mengontrolnya. Ketegangan ini terus berlanjut hingga di era modern, di mana syariah tetap menjadi hukum agama masyarakat Mukmin, yang independen dari otoritas negara, sementara negara mencoba memperoleh kekuatan legitimasi syariah untuk mendukung otoritas politiknya.
Konsesi yang diberikan Dinasti Utsmani kepada kekuasaan-kekuasaan Eropa menjadi model pengadopsian hukum dan sistem administrasi peradilan Barat. Selain itu, maklumat-maklumat yang dikeluarkan Dinasti Utsmani membenarkan perubahan tidak hanya dalam rangka memperkuat negara dan melindungi Islam, tapi juga menekankan pentingnya menjamin persamaan hak di antara warga negara Utsmani. Dengan demikian, Dinasti Utsmani telah meletakkan fondasi bagi pengadopsian model negara bangsa dan kewarganegaraan Eropa yang sama di mata hukum. Perhatian yang lebih seksama terhadap apa yang terjadi di akhir periode Utsmani penting untuk konteks wilayah geografis di luar Dinasti Utsmani, karena hal yang sama berulang kali terjadi dengan cara yang berbeda di seluruh dunia Islam.
Pembaruan-pembaruan berikut ini diperkenalkan ke dalam hukum Utsmani. Yaitu, Hukum Niaga tahun 1850, Hukum Pidana tahun 1858, Hukum Tata Niaga tahun 1879, Hukum Perdata tahun 1880, dan Hukum Niaga Kelautan, kesemuanya mengikuti model hukum Eropa yang mengusahakan sebuah pengundangan yang komprehensif untuk semua peraturan yang relevan. Meskipun yurisdiksi syariah digantikan secara signifikan dalam bidang-bidang ini, masih dilakukan usaha untuk mempertahankan beberapa elemennya. Majallah yang kemudian dikenal sebagai Hukum Perdata tahun 1876, diberlakukan secara resmi selama lebih dari sepuluh tahun (1867-1877). Meskipun tidak direncanakan sedemikian rupa, Majallah mengkodifikasi peraturan-peraturan kontrak dan perbuatan-perbuatan perdata (tort) menurut Mazhab Hanafi, memadukan bentuk Eropa dengan isi syariah. Kodifikasi utama prinsip-prinsip syariah ini membuat sejumlah besar prinsip syariah yang relevan menjadi lebih sederhana dan lebih mudah diakses oleh para penggugat dan hakim/pengacara.
Majallah memperoleh posisi kewenangan tertinggi segera setelah pengundangannya, sebagian karena Majallah merepresentasikan contoh otoritatif yang paling politis dan paling awal tentang pemberlakuan secara resmi sebagian besar syariah oleh otoritas negara. Dengan demikian, terjadi transformasi prinsip-prinsip syariah menjadi hukum positif dalam pengertian modern. Tambah lagi, perundang-undangan itu diterapkan secara langsung dalam masyarakat Islam di seluruh Dinasti Utsmani, dan terus diaplikasikan dalam beberapa bagian di paruh kedua abad keduapuluh. Kesuksesan Majallah disebabkan oleh fakta bahwa Majallah memasukkan beberapa aturan yang diambil dari sumber-sumber lain, tidak hanya dari Mazhab Hanafi, sehingga memperbesar kemungkinan untuk menyeleksi sumber-sumber dalam tradisi Islam yang lebih luas. Prinsip selektifitas (takhayur) di antara doktrin-doktrin syariah yang sama-sama sah sebenarnya telah diterima secara teoritis, namun belum dipraktikkan sebegitu luas dan resmi. Dengan menerapkan prinsip ini di seluruh institusi negara, Majallah membuka pintu bagi reformasi berikutnya, meskipun tujuan awalnya terbatas. Namun pada saat yang sama, kodifikasi pandangan sebuah mazhab, meskipun dengan menyeleksi dan memasukkan beberapa pandangan lain, tetap menghalangi akses ke mazhab-mazhab dan ahli-ahli lain. Persoalan yang ditekankan di sini adalah seluruh proses merupakan produk otoritas politik sekuler negara, bukan otoritas agama syariah semata.
Tren peningkatan ekletisisme dalam pemilihan sumber-sumber dan sintesis antara konsep-konsep dan institusi-institusi hukum Islam dengan Barat bukan hanya menjadi sulit diubah, melainkan telah berkembang jauh, khususnya melalui karya ahli hukum Mesir berpendidikan Perancis, Abd al-Razziq al-Sanhuri (w. 1971). Pendekatan pragmatis al-Sanhuri berdasar pada pandangan bahwa syariah tidak bisa dimajukan kembali sepenuhnya dan tidak bisa diterapkan tanpa adaptasi terhadap kebutuhan masyarakat Islam modern. Ia menggunakan pendekatan ini dalam membuat draf Hukum Perdata Mesir tahun 1948, Hukum Irak tahun 1951, Hukum Libiya tahun 1953, dan Hukum Kuwait serta Hukum Niaga tahun 1960/1961. Al-Sanhuri dilibatkan oleh penguasa otokratik untuk membuat rancangan hukum yang komprehensif untuk diundangkan tanpa melalui perdebatan publik. Oleh karena itu, sulit mengatakan apakah model ini bisa berjalan jika pada saat itu negara-negara tersebut demokratis. Tapi apa pun tingkat inklusi prinsip-prinsip syariah, proses itu sendiri jelas merupakan pembuatan undang-undang sekuler, dan bukan pengundangan langsung prinsip-prinsip itu sebagai hukum Islam yang ditasbihkan.
Paradoksnya, reformasi itu juga menjadikan seluruh korpus prinsip-prinsip syariah tersedia dan mudah diakses oleh hakim dan pembuat kebijakan dalam proses menyeleksi dan mengadaptasi aspek-aspek yang akan dimasukkan kedalam perundang-undangan modern. Sintesis tradisi-tradisi hukum Islam dan Eropa juga menunjukkan ketidakmungkinan penerapan sistematis dan langsung prinsip-prinsip syariah tradisional dalam konteks modern. Alasan utamanya, kompleksitas dan keragaman syariah itu sendiri, sebagaimana telah berkembang di sepanjang abad. Jelas ada ketidaksepakatan di dalam dan antara komunitas Sunni dan komunitas Syiah, yang kadang-kadang hidup berdampingan di dalam negara yang sama, seperti Irak, Lebanon, Saudi Arabia, Syiria, dan Pakistan. Namun, mazhab atau opini ulama yang berbeda mungkin saja diikuti oleh komunitas Muslim di dalam negara yang sama, walaupun mazhab atau opini itu tidak secara formal diterapkan oleh pengadilan. Lagi pula, praktik pengadilan tidak selalu serta merta sesuai dengan mazhab yang diikuti oleh mayoritas penduduk Muslim di negeri itu. Misalnya, negeri-negeri Afrika Utara mengikuti Dinasti Utsmani dalam hal dukungan terhadap Mazhab Hanafi meskipun praktik-praktik yang populer di situ adalah Mazhab Maliki. Karena negara modern hanya bisa mengoperasikan prinsip-prinsip hukum penerapan umum yang ditetapkan secara resmi, prinsip-prinsip syariah bisa berpengaruh secara politis dan sosiologis, namun tidak secara otomatis diterapkan sebagai hukum positif tanpa intervensi negara.
Konsekuensi legal dan politis dari perkembangan ini kini menjadi lebih intensif karena pengaruh kuat kolonialisme Eropa yang signifikan dan pengaruh global Barat dalam bidang-bidang pendidikan umum dan pelatihan-pelatihan profesional bagi para pejabat negara. Perubahan-perubahan kurikulum dalam institusi-institusi pendidikan menunjukkan bahwa syariah tidak lagi menjadi fokus pengajaran tingkat lanjut dalam pengetahuan Islam, melainkan telah digantikan oleh serangkaian bidang studi sekuler, yang banyak diambil dari model-model Barat. Berkenaan dengan pendidikan hukum khususnya, generasi pertama pengacara-pengacara dan ahli-ahli hukum mengikuti pelatihan tingkat lanjut di universitas-universitas Eropa dan Amerika Utara dan kembali untuk mengajar generasi selanjutnya atau menjadi pejabat senior pengadilan. Selain itu, pada masa lalu tingkat melek huruf dalam masyarakat tradisional Islam sangat rendah, di mana para ulama/fuqaha memonopoli kepemimpinan intelektual komunitasnya. Namun sekarang tingkat melek huruf rakyat tumbuh dengan cepat di seluruh dunia Islam. Akibatnya, terbuka pintu untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara lebih demokratis. Jadi tidak hanya ulama yang kehilangan monopoli sejarah mereka atas pengetahuan tentang sumber-sumber syariah yang sakral, tapi interpretasi-interpretasi tradisional dari sumber-sumber itu secara bertahap terus dipertanyakan oleh Muslim kebanyakan.
Transformasi penting lain dari masyarakat Islam yang perlu disebutkan di sini adalah berkaitan dengan watak negara itu sendiri dalam konteks lokal dan globalnya. Meskipun terdapat keberatan-keberatan yang serius terhadap kelahiran negara yang berlangsung di bawah pengawasan kolonial, berdirinya negara model Eropa di seluruh masyarakat Islam, sebagai bagian dari sistem global yang berdasarkan model yang sama, telah mengubah secara radikal hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik di seluruh wilayah. Dengan tetap mempertahankan bentuk khusus organisasi sosial dan politik ini setelah kemerdekaan, masyarakat Islam telah dengan sukarela memilih untuk terikat oleh seperangkat minimum kewajiban-kewajiban nasional dan internasional atas keanggotaannya dalam komunitas dunia negara-negara teritorial. Walaupun ada perbedaan yang jelas pada tingkat perkembangan sosial dan stabilitas politik di semua negara, seluruh masyarakat Islam sekarang hidup di bawah rezim-rezim konstitusional domestik dan sistem-sistem hukum yang mensyaratkan penghormatan pada hak-hak minimum kesetaraan dan non diskriminasi untuk semua warga negara. Sekalipun ada konstitusi-konstitusi nasional dan sistem-sistem hukum yang gagal mengakui secara gamblang dan menjalankan kewajiban-kewajiban ini secara efektif, pemenuhan praktis secara minimum dijamin oleh realitas hubungan internasional saat ini. Haluan perubahan ini mustahil dibalikkan, meskipun penyesuaian yang lebih kuat dan sistematis dengan syarat-syarat pemerintahan demokratis dan hak-hak asasi manusia masih belum jelas dan masih problematis bagi sebagian besar negeri-negeri Muslim, juga bagi negeri-negeri lain di seluruh dunia.
Sebagai kesimpulan tinjauan singkat tentang Islam, Syariah dan Negara, jelas bahwa ada kebutuhan yang mendesak untuk terus melanjutkan proses reformasi Islam, merekonsiliasi komitmen religius Muslim dengan kebutuhan-kebutuhan praktis masyarakat pada saat ini. Premis bagi poses reformasi ini, dalam pandangan saya, bisa dikemukakan sebagai berikut. Meskipun Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber-sumber suci Islam sesuai dengan keyakinan Umat Islam, makna dan implementasi keduanya dalam kehidupan sehari-hari selalu merupakan produk interpretasi dan tindakan manusia dalam konteks sejarah yang spesifik. Tidak mudah mengetahui dan menerapkan syariah dalam hidup ini kecuali melalui keterlibatan agensi manusia (the agency of human beings). Setiap pandangan syariah yang dikenal umat Islam sekarang, sekalipun dengan suara bulat disetujui, timbul dari opini-opini manusia tentang makna Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana yang diyakini dan dipraktikkan oleh banyak generasi Muslim. Dengan kata lain, pendapat ulama-ulama Islam menjadi bagian syariah melalui konsesus kaum Mukmin berabad-abad lamanya, dan bukan melalui keputusan spontan penguasa atau kehendak satu kelompok ulama.
Kerangka Kerja dan Proses Transformasi Sosial
Transformasi sikap-sikap umat Islam terhadap hubungan antara Islam, syariah dan negara melibatkan arena tindakan negara, melalui kebijakan-kebijakan pemerintahan dan pembaruan hukum dan konstitusional untuk memastikan pemisahan Islam dan negara. Juga terdapat domain masyarakat, pada tingkat individual maupun komunal, yang memiliki sasaran untuk menggabungkan nilai-nilai netralitas negara terhadap agama, konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia, sebagai sesuatu yang konsisten dengan, jika bukan dibutuhkan oleh Islam. Dua dimensi transformasi baik melalui perubahan institusi-institusi resmi maupun melalui perubahan pada tingkat masyarakat sipil, pada kenyataannya saling tergantung dan saling mendukung. Setiap sasaran mungkin memerlukan tindakan-tindakan dan strategi-strategi yang berbeda, sesuai konteks sosial dan kebudayaan masing-masing. Walau demikian dua jenis transformasi ini berhubungan erat dimana yang satu merupakan sebab dan akibat bagi yang lainnya. Agar transformasi yang dinamis ini berjalan di dalam masyarakat Islam, kita juga harus mengklarifikasi dan mentransformasikan hubungan permanen dan hubungan yang diinginkan antara Islam dan politik, sebagaimana yang dikatakan sebelumnya.
Oleh karena itu, transformasi-transformasi yang dimaksud mengakui ragam relevansi Islam terhadap komunitas-komunitas Muslim di seluruh pemukaan bumi, baik sebagai agama, dan lebih luas lagi, sebagai kebudayaan, maupun sebagai dasar praktik sosial. Ini menunjukkan dimensi ketiga dari proposal saya, yang merupakan pertanyaan tentang bagaimana mengubah akar sosial dalam kebudayaan atau memberinya legitimasi kultural. Sebagaimana akan saya tekankan berulang kali di dalam buku ini, pemisahan Islam dan negara bukan berarti tidak memberikan peran pada Islam dalam kebijakan publik, perundang-undangan atau kehidupan publik secara umum, tapi peran itu harus didukung oleh apa yang saya sebut ‘nalar publik’, dan harus tunduk kepada perisai-perisai konstitusional serta perlindungan hak-hak asasi manusia. Jadi, syariah sesungguhnya memiliki masa depan yang paling penting dalam masyarakat dan komunitas Islam karena peran fundamentalnya dalam sosialisasi anak-anak, penghormatan terhadap pranata-pranata dan hubungan-hubungan sosial, serta pembentukan dan pengembangan nilai-nilai dasar tersebut, yang itu semua diterjemahkan ke dalam perundang-undangan umum serta kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis. Tapi, syariah tidak akan memiliki masa depan sebagai sebuah sistem normatif bila dibuat dan diselenggarakan begitu saja oleh negara sebagai hukum publik dan kebijakan publik. Klaim bisa saja dibuat untuk mengatakan bahwa suatu kebijakan atau hukum adalah syariah, tapi klaim itu akan selalu salah karena hal itu tidak lebih dari sebuah usaha menggunakan kesucian Islam untuk kepentingan politik elit penguasa.
Transformasi kebudayaan atau perubahan sosial tidak bisa dijalankan sebagai suatu prakarsa yang murni ‘eksternal’, yakni terasing dari sejarah, kebudayaan atau praktik sosial. Sebaliknya, perubahan sosial dan transformasi budaya harus berakar dan berdasar pada budaya komunitas itu sendiri agar supaya perubahan berlangsung absah, koheren dan berkelanjutan. Pada gilirannya hal ini menunjukkan peran yang dimainkan oleh komunitas-komunitas dan anggota-anggotanya sebagai partisipan, subyek dan aktor perubahan sosial, atau dengan kata lain, peran agensi manusia dalam proses itu. Sekarang saya akan mendiskusikan berbagai dimensi kerangka kerja transformasi sosial ini dalam artian dinamika kebudayaan dan identitas, pentingnya legitimasi kultural untuk perubahan sosial, dan peran agensi manusia.
Kebudayaan dan Identitas
Untuk mengembangkan teori yang jelas tentang perubahan sosial diperlukan, pertama, pemahaman yang cukup tentang gagasan-gagasan kebudayaan dan identitas, yang merupakan bingkai yang digunakan orang-orang dan komunitas dalam mendefinisikan diri mereka, dan yang menjadi dasar bagi praktik sosial, interaksi, serta pertukaran. Saya menggunakan istilah kebudayaan dalam pengertiannya yang paling luas, yaitu totalitas nilai, institusi dan bentuk-bentuk perilaku yang ditransmisikan di dalam masyarakat, termasuk barang-barang serta hubungan-hubungan sosial-politik. Dengan mengatakan ini tidak berarti bahwa kebudayaan adalah segalanya, namun terdapat dimensi kebudayaan pada setiap aspek kehidupan dan aktifitas manusia, yang tertanam di dalam norma-norma dan institusi-institusi kebudayaan.
Kebudayaan-kebudayan manusia jelas tidak hanya dapat dikenali dan dibedakan satu sama lain, tapi masing-masing kebudayaan ditandai oleh keanekaragaman internalnya sendiri, kecenderungannya pada perubahan dan saling mempengaruhi dalam hubungannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Jelas salah mengasumsikan bahwa sejarah-sejarah spesifik dan kekhususan-kekhususan kontekstual tidaklah bermakna, demikian pula halnya menolak kemungkinan-kemungkinan adanya nilai-nilai bersama dan ciri-ciri serta institusi-institusi umum. Realitas keanekaragaman lintas kebudayaan memungkinkan kita untuk berbicara tentang kekhususan lokal, nasional dan budaya-budaya regional, atau tentang kebudayaan komunitas-komunitas yang dicirikan oleh bahasa, etnisitas, agama dan lain-lain. Kesamaan norma, praktik dan sejarah dalam sebuah kelompok memungkinkan terpadunya gagasan mengenai kebudayaan umum, sekalipun ada tumpang tindih dengan kelompok lain. Tapi hal ini tidak seharusnya mengorbankan keanekaragaman dan kontestasi yang diakui dalam masing-masing kebudayaan. Pada saat yang sama pengakuan atas perbedaan kebudayaan seharusnya tidak membawa pada pandangan bahwa beberapa kebudayaan begitu luar biasa dan unik sehingga mereka menentang kemungkinan-kemungkinan lintas kebudayaan atau analisis komparatif. Seperti akan didiskusikan pada bab 3, realitas keanekaragaman dan kontestasi internal, seperti dialog lintas kebudayaan dan pengaruh timbal balik, bisa dipertimbangkan untuk mengembangkan konsesus yang saling melapisi (overlapping consensus) terhadap nilai-nilai dan praktik-praktik tertentu, seperti konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia. Hal ini mengabaikan langgengnya perbedaan mengenai fondasi-fondasi dan dasar pemikiran dari kesepakatan tersebut.
Masyarakat Islam tunduk kepada prinsip-prinsip kehidupan sosial dan politik yang juga berlaku pada masyarakat lain, karena umat Islam juga berjuang untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama; makanan, tempat tinggal, keamanan, stabilitas politik dan seterusnya, sama seperti manusia-manusia lain. Mereka melakukan hal tersebut juga di dalam kondisi-kondisi yang berlaku di semua masyarakat dan komunitas manusia, termasuk kebutuhan untuk berubah dan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan yang mempengaruhi kehidupan individual dan kolektif mereka. Fakta bahwa perubahan sosial dalam masyarakat dan komunitas Islam dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman Islam yang kuat dan perannya dalam kehidupan publik dan kehidupan pribadi para penganutnya juga umum terjadi di penganut agama-agama lain. Perubahan sosial pada umat Hindu atau Kristen, misalnya, juga dipengaruhi oleh pemahaman yang kuat pada agama mereka. Memang ciri-ciri khas Islam sebagai agama akan mempengaruhi cara orang-orang Islam memahami dan mempraktikkan agamanya dalam latar yang berbeda. Namuan, hal tersebut tidak lantas membuat masyarakat Muslim menentang prinsip-prinsip kehidupan sosial dan kehidupan politik masyarakat manusia secara umum. Refleksi komparatif sesungguhnya dapat mengungkapkan bahwa beberapa komunitas Islam di anak benua India memiliki lebih banyak kesamaan dengan komunitas Hindu dan Sikh di wilayah itu karena kesamaan sejarah, pengalaman dijajah, dan konteks kekinian mereka, dibandingkan dengan komunitas Islam di Sub-Sahara Afrika, yang kebudayaan dan praktiknya mungkin justru berkaitan erat dengan komunitas non-Muslim yang bertetanggaan.
Istilah identitas sering dimunculkan untuk menunjukkan sesuatu yang jelas terdefinisi, stabil dan pasti. Tapi juga jelas bahwa masyarakat mengatur hidup mereka agar menjadi cukup terbuka dan fleksibel sehingga memungkinkan mereka mengambil keuntungan dari pilihan-pilihan perilaku yang berbeda yang mereka benarkan dalam kerangka sistem nilai dan makna kebudayaan dan agama mereka sendiri. Setiap hari kita memilih aspek mana dari identitas kita yang kita harapkan atau kita inginkan untuk ditekankan atau tidak ditekankan dalam merespon pertimbangan-pertimbangan baik taktis maupun strategis dalam rangka menyebarluaskan atau melindungi kepentingan jangka pendek atau jangka panjang kita. Sebagai seorang Muslim, saya mungkin menegaskan identitas Islam saya yang eksklusif atau menekankan toleransi Islam dan penerimaan terhadap perbedaan agama, tergantung pada apakah saya anggota agama mayoritas atau minoritas dan tergantung pada hubungan-hubungan politik yang berlaku di antara komunitas keagamaan di negeri saya.
Dengan kata lain, formasi dan transformasi identitas adalah sebuah proses dinamis meliputi pilihan-pilihan yang disengaja, bukan kondisi yang kekal dan tak dapat dielakkan. Makna dan nilai dibangun individu-individu melalui aturan-aturan budaya yang dimiliki bersama oleh kelompok-kelompok tertentu, namun bukan sesuatu yang ganjil bagi seseorang untuk berpindah dari satu aturan ke aturan lain, ataupun bergerak di antara keanekaragaman identitas sosial. Aturan-aturan ini mencakup ‘kesetiaan primordial’ (primordial attachments), seperti bahasa dan ikatan keagamaan, yang telah dipelajari dan terbentuk pada masa kecil, begitu juga dengan aturan-aturan baru yang dipelajari kemudian. Kita kadang dengan perhitungan atau ‘instrumental’ berpindah dari suatu aturan ke aturan lain yang mungkin tidak serta merta konsisten dengan tujuan-tujuan yang diakui atau dianggap secara publik sebagai aturan-aturan asal. Lagi pula, setiap rangkaian proses dan interaksi menggabungkan elemen-elemen identitas sebelumnya yang disesuaikan atau yang ditemukan kembali, dengan identitas yang baru diciptakan atau yang sesuai dengan situasi khusus. Sebagai contoh, menjadi seorang Muslim dalam konteks khusus, bagi saya, mencakup apa arti menjadi Muslim di masa lalu, yang dengan sendirinya mencakup negosiasi dengan orang lain tentang makna tersebut sebelumnya, serta dengan maksud yang terdekat dari identitas Islam. Dengan kata lain, penetapan identitas pada waktu atau keadaan tertentu merupakan hasil dari aktor, konteks dan tujuan, juga hasil dari makna atau kandungan, betapun luasnya, yang diasosiasikan oleh aktor-aktor yang berbeda dengan identitasnya sendiri, dalam hubungannya dengan identitas orang lain atau komunitas yang digaulinya.
Sebuah aspek dari proses formasi dan transformasi adalah kebutuhan akan penerimaan atau pengakuan orang lain atas identitas yang diyakini atau yang diakui. Sementara identifikasi diri merupakan sesuatu yang penting, kesuksesan pada tingkat pribadi sekalipun tergantung pada respon orang lain, yang mendorong terjadinya penegasan sebuah identitas independen. Karena kita tak sepenuhnya mampu mengontrol bagaimana orang lain memandang kita, kita perlu bernegosiasi dengan mereka tentang bagaimana mereka memandang identitas kita dan bagaimana mereka terkait dengan pandangan itu menurut perspektif mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya identitas-identitas yang terisolasi atau yang berdiri sendiri karena watak dan hasil dari proses penentuan identitas-identitas dimaksud bisa berubah dan tidak pasti. Ambil contoh, saya mungkin berada dalam sebuah situasi dimana saya menganggap orang lain akan memandang negatif identitas saya sebagai Muslim, sehingga saya terdorong untuk menyembunyikan fakta diri Saya. Tapi ketika saya menyadari bahwa identitas saya sebagai Muslim sebenarnya tidak penting bagi orang lain, atau ketika saya tahu bahwa memiliki identitas tersebut justru menguntungkan, maka saya mungkin akan menyatakan identitas saya. Tapi pertanyaannya kemudian adalah menjadi Muslim seperti apa yang diharapkan atau diterima oleh orang lain, Muslim liberal atau konservatif, Muslim taat atau bukan. Lagi pula menggunakan ekspresi taktis atau instrumental seperti itu atas identitas agama atau kebudayaan merupakan hal yang sudah begitu umum dan spontan, sehingga acap tidak disadari oleh kita, atau kita sendiri tidak mau mengakuinya secara terbuka.
Sebagai kesimpulan, konsep identitas bisa didefinisikan secara luas atau sempit, tergantung pada aktor, konteks dan tujuan. Sering konsep identitas merupakan sebuah aturan untuk wacana moral dan politik atau pengganti bagi aneka tujuan, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Termasuk bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri, di mana dan kapan, untuk tujuan apa, begitu juga bagaimana orang lain menerima dan berhubungan dengan kita, bagaimana mereka bereaksi pada satu aspek identitas kita dan yang lainnya. Apakah kolektif atau personal, identitas mencakup serangkaian tindakan, motivasi, komitmen subtantif dan afiliasi instrumental. Sebagai contoh, apakah menjadi seorang Muslim India disyaratkan atau diharuskan bermusuhan dengan orang Hindu atau menerimanya sebagai manusia yang setara sebagai warga negara India? Bagaimana seorang Muslim Sunni Pakistan seharusnya menilai seorang Muslim Syi’ah atau Ahmadiyah di Karachi; bagaimana pula seorang Muslim Syi’ah Iran menilai seorang Baha’i di Teheran, atau Sunni Turki menilai seorang Alawi di Istanbul? Tak satu pun hubungan-hubungan ini seragam atau mutlak dibakukan sedemikian rupa, karena anggota setiap komunitas berbeda atau tidak tetap dalam cara mereka menilai atau berhubungan satu sama lain.
Justru karena gagasan-gagasan tentang diri dan orang lain, makna-makna nilai dan konstruksi memori-memori budaya terbuka pada kontestasi dan reformulasi, maka saya menekankan pentingnya mengamankan ruang bagi proses itu agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Para pendukung interpretasi-interpretasi dominan atas aspek-aspek budaya atau identitas agama yang diketahui biasanya menampilkan penafsiran-penafsiran tersebut sebagai satu-satunya posisi kebudayaan yang ‘otentik’ atau ‘absah’ mengenai masalah ini. Fakta ini justru makin menunjukkan pentingnya menjamin setiap kemungkinan berbeda pendapat dan kebebasan menyatakan pandangan-pandangan atau praktik-praktik alternatif. Eksistensi kebudayaan-kebudayaan yang saling tumpang tindih, identitas-identitas bersama antara pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, dan fakta kesamaan, tidak menunjukkan adanya kebudayaan-kebudayaan atau identitas-identitas yang homogen atau monolitik, tidak pula bahwa pandangan-pandangan seperti itu mesti dipaksakan pada seluruh kelompok atau masyarakat. Realitas keanekaragaman internal yang benar-benar nyata dalam kebudayaan-kebudayaan juga mengindikasikan kebutuhan akan toleransi dan penghargaan atas perbedaan di dalam maupun di antara kebudayaan-kebudayaan. Perspektif mengenai proses-proses formasi dan transformasi kebudayaan dan identitas ini menekankan kebutuhan untuk mengamankan ruang dan proses-proses kontestasi dan reformasi bagi pengukuhan identitas diri seseorang, tapi juga bagi upaya menyoal makna dan implikasi-implikasinya, selama seseorang menganggapnya penting. Ruang seperti itu perlu bagi perdebatan publik internal dan dialog lintas kebudayaan, dan juga penyataan diri pribadi maupun bersama.
Saya mendukung sekularisme, pluralisme, konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia dari perspektif Islam, karena saya percaya pendekatan terhadap prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini sangat diperlukan untuk melindungi kebebasan setiap orang untuk menegaskan, menyoal atau mengubah identitas kebudayaan atau identitas keagamaannya. Hak saya untuk menjadi diri sendiri mensyaratkan dan mengharuskan saya menerima dan menghormati hak orang lain untuk juga menjadi diri mereka sendiri, dan dalam istilah mereka sendiri. Prinsip timbal balik ini, atau Kaidah Dasar (Golden Rule), merupakan fondasi utama lintas kebudayaan universitalitas hak-hak asasi manusia, yang saya akan uraikan dalam bab 3. Tapi sekarang saya kembali pada pertanyaan, mengapa saya begitu percaya terhadap pentingnya menegaskan prinsip-prinsip ini dari perspektif Islam. Apakah pandangan ‘relativis’ seperti itu justru lebih banyak memisahkan daripada mempersatukan komunitas-komunitas agama yang berbeda di bawah prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini, atau apakah pandangan tersebut begitu diperlukan sehingga kita harus mencari legitimasi kultural internal untuk mendukung prinsip-prinsip tersebut sembari berjuang mengatasi risiko ketidaksepakatan?
Legitimasi Kultural Perubahan Sosial
Adanya keanekaragaman budaya yang sama di antara dan di dalam kebudayaan-kebudayaan, serta kebutuhan untuk menyediakan kemungkinan kontestasi dan konsensus di dalam dan di antara kebudayaan-kebudayaan itu, menunjukkan pentingnya jaminan legitimasi kultural bagi perubahan sosial. Karena perilaku sosial dan kemungkinan perubahan sosial itu terjadi di dalam sistem normatif masing-masing kebudayaan, apa pun perubahan dalam sistem itu mesti dapat dipahami dan terpadu dalam kerangka yang ada. Salah jika mengira sebuah sistem normatif bisa netral secara kultural, karena sistem itu, per definisi, secara inheren dan permanen berakar pada kebudayaan. Segala yang dilakukan umat manusia, dari aktifitas-aktifitas dan interaksi-interaksi harian yang duniawi sampai pada aktifitas-aktifitas dan interaksi-interaksi yang bersifat keagamaan atau simbolis berakar pada kebudayaan. Kita cenderung gagal menyadari hal ini justru karena kebudayaan kita sudah begitu mendarah daging sebagai sebagai norma atau ‘cara alami’ bagi apa pun yang kita lakukan, bagi keberadaan kita sendiri. Sekali kita menyadari bahwa cara-cara kita mengada dan bertindak, nyatanya bukanlah norma yang universal bagi seluruh umat manusia, bahkan bukan bagi semua orang di dalam komunitas kita sendiri, kita akan mengakui betapa sulitnya berbicara tentang nilai-nilai universal tanpa berhadapan dengan kenyataan keanekaragaman budaya yang inheren dan permanen.
Namun bagaimanapun, pengakuan terhadap mustahilnya netralitas budaya bukan berarti bahwa mustahil mencapai konsensus mengenai norma-norma atau kerangka yang valid dan yang dapat diterapkan secara universal terhadap konsep-konsep, seperti konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang akan kita diskusikan nanti di bab 3. Sebaliknya, pengakuan seperti itu adalah langkah pertama dalam proses untuk mencapai universalitas sejati melalui konsesus seputar konsep-konsep tersebut, apakah pada tingkat lintas kebudayaan lokal, nasional atau internasional. Berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, misalnya, kedua jenis pemahaman atau pernyataan, baik yang universal maupun yang spesifik, secara kultural atau kontekstual, mengenai hak asasi manusia bisa saling mendukung atau sebaliknya, tergantung pada bagaimana aktor-aktor yang beragam ini memahami unsur-unsur proses yang relevan, dan berinteraksi dengan aktor-aktor, faktor-faktor dan konteks yang lain. Sembari menyadari kemungkinan adanya hasil yang positif dan hasil yang negatif, di sini saya mencoba menengahi ketegangan permanen ini dengan mempromosikan universalitas hak-hak asasi manusia dari perspektif Islam.
Bahwa di sini terdapat ketegangan permanen yang perlu untuk ditengahi bukan berarti bahwa keuniversalan dan kespesifikan kultural atau kontekstual harus dilihat dalam dua posisi yang berlawanan, sehingga seolah-olah seseorang dipaksa menerima penuh atau menolak sama sekali universalitas hak-hak tertentu bagi semua umat manusia. Pandangan binari ini menyesatkan karena pandangan ini mengasumsikan bahwa hak-hak asasi manusia bisa netral secara kultural dan kontekstual, atau bahwa konsep hak-hak asasi manusia yang muncul dalam satu kebudayaan atau konteks tidak bisa diterima oleh kebudayaan-kebudayaan lain untuk diterapkan dalam konteks-konteks lain. Sebuah sistem normatif seperti hak-hak asasi manusia yang mencoba mempengaruhi perilaku masyarakat dan institusi-institusi sosial dan politik yang mengatur kehidupan mereka, hanya bisa menjadi produk kebudayaan, yang harus ditafsirkan untuk diterapkan secara praktis dalam sebuah konteks yang spesifik. Norma-norma seperti itu tidak bisa hanya dibayangkan atau sekadar dipahami secara abstrak, tanpa mengacu kepada pengalaman kongkrit sehari-hari masyarakat yang memang mengejawantahkannya. Namun, keumuman-keumuman pengalaman manusia dan kesamaan-kesamaan dalam konteks juga berarti bahwa sangat mungkin menyusun dan menerapkan strategi-strategi guna mempromosikan nilai-nilai yang sama pada kebudayaan-kebudayaan lain, asalkan usaha-usaha seperti itu mempertimbangkan kerangka acuan internal kebudayaan-kebudayan tersebut. Ini yang saya sebut dengan metodologi legitimasi kultural, sebuah usaha keras untuk membuat pengenalan (introduction) terhadap norma-norma baru atau perubahan (alteration) atas norma-norma atau institusi-institusi yang sudah ada dapat dipahami dan dipertahankan dalam ranah yang baru.
Legitimasi kultural bisa didefinisikan sebagai kualitas untuk menyesuaikan diri dengan perinsip-prinsip atau standar-standar umum budaya yang masih dipersoalkan, dengan cara mendapatkan otoritas dan relevansi dari prinsip dan standar budayanya sendiri. Norma atau nilai-nilai yang absah secara kultural adalah norma yang dihormati dan dilaksanakan oleh anggota sebuah komunitas budaya karena norma itu dapat memenuhi beberapa kebutuhan atau tujuan komunitas dan individu yang ada di dalamnya. Karena itu, kesuksesan proses legitimasi kultural ini juga ditentukan oleh pengakuan kita bahwa legitimasi kultural berlaku untuk institusi atau norma yang baru diperkenalkan atau dimodifikasi. Proses legitimasi kultural sebenarnya tidaklah sesulit yang dibayangkan karena proses yang sama selalu terjadi di dalam setiap kebudayaan melalui kontestasi dan transformasi internal. Karena mungkin saja terjadi konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan di antara berbagai konsepsi yang berlawanan tentang kebutuhan-kebutuhan atau sasaran-sasaran individu dan kolektif, maka norma-norma atau nilai-nilai dalam setiap kebudayaan yang dihormati dan dipatuhi selalu mengalami perubahan dan penyesuaian diri. Pendukung-pendukung perubahan tidak hanya mesti memiliki tuntutan yang dapat dipercaya untuk menjadi orang dalam (insider) kebudayaan, tapi juga mempunyai argumen-argumen yang valid tentang kebudayaan itu untuk meyakinkan penduduk setempat. Dalam hal ini, presentasi dan adopsi perspektif-perspektif alternatif bisa dicapai melalui wacana internal yang koheren di dalam kebudayaan. Kriteria validitas internal dari inisiatif apa pun untuk memperoleh legitimasi kultural untuk perubahan beragam dari satu masalah ke masalah lain di dalam kebudayaan atau masyarakat yang sama, dan beragam juga antar masyarakat, namun kriteria dimaksud tetap bisa dipertanyakan dan diperbaharui.
Meskipun pendekatan ini memungkinkan kebudayaan lokal dipakai untuk membenarkan pelanggaran atau penolakan terhadap eksistensi hak-hak asasi manusia, saya tidak dapat melihat alternatif lain selain metode legitimasi kultural yang bisa terus-menerus ditingkatkan melalui praktik yang ajek. Sebagai contoh, kebudayaan mungkin digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan atau digunakan untuk melegitimasi hukuman fisik terhadap anak-anak untuk ‘kebaikan’ mereka sendiri. Menolak argumen kultural yang diajukan untuk mendukung pandangan seperti itu tampaknya tidak akan berhasil. Para perempuan sendiri malahan sepertinya menerima represi atas diri mereka jika mereka meyakini bahwa represi itu adalah ‘kehendak Tuhan’ atau tradisi abadi komunitas mereka. Sebaliknya, menggunakan pendekatan yang mengakui nilai penting ketertundukan pada kehendak Tuhan atau tradisi lokal, sembari terus mempertanyakan makna nilai tersebut dalam kondisi sekarang ini, nampaknya lebih persuasif. Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Tapi jika dihadapkan pada argumen bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang saya anut dengan hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah.
Otoritas dan relevansi perubahan yang diperoleh dari validitas internal adalah penting karena beberapa alasan yang inheren dalam dinamika-dinamika hubungan-hubungan sosial dan interaksi sosial. Pertama, masyarakat mungkin menganggap perubahan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat, tapi perubahan-perubahan demikian mungkin pada awalnya ditolak sebagai sesuatu yang negatif dan merusak oleh para penjaga tradisi tatanan sebelumnya. Dengan menerima kenyataan ini, setiap pihak yang berdebat mampu menyoal bagaimana cara memahami dan menghadapi sudut pandang pihak lain. Para pendukung dan penentang perubahan sosial tidak perlu dendam. Tentu saja para pendukung perubahan bisa menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang absah bagi masyarakat yang sedang tumbuh, sementara para penentang bisa menyediakan kebutuhan masyarakat yang sama dengan menolak perubahan, hingga kasus perubahan ini diangkat ke permukaan. Bagaimanapun, menegakkan hak-hak asasi manusia berarti juga menegakkan hak-hak orang-orang yang menentang kita atau orang yang tidak kita sukai. Bahkan kita mungkin perlu lebih memperhatikan hak-hak mereka dibanding hak-hak orang yang setuju dengan kita, karena kita lebih mungkin melanggar hak-hak musuh kita di banding hak-hak teman-teman kita. Konsistensi seperti ini penting untuk kredibilitas prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Kedua, karena seorang individu tergantung pada masyarakatnya yang mampu untuk menanamkan atau memaksakan keselarasan pada anggota-anggotanya, kebijakan dan tindakan publik lebih mungkin berjalan seiring dengan norma-norma dan pola-pola perilaku kultural yang ideal dibanding tindakan-tindakan pribadi. Perubahan perilaku publik mungkin membutuhkan waktu yang lama karena individu cenderung menyesuaikan diri setelah norma baru diterima secara luas. Dengan kata lain, perlawanan yang terbuka dan sistematis terhadap norma-norma tradisional sangat mengancam orang-orang yang berkuasa, yakni elit yang memiliki kepentingan tertanam (vested interest) terhadap status quo. Untuk menekan perilaku orang yang tidak selaras, elit-elit itu akan mengeluarkan perintah untuk menjaga stabilitas dan kepentingan vital masyarakat luas, dibanding mengakui kenyataan bahwa kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang coba mereka lindungi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang baik untuk publik, dan substansi masalah yang diperdebatkan menjadi pengganti (proxy) perjuangan yang tak ada habisnya untuk mendapatkan kekuasaan itu. Faktor-faktor ini menekankan hasrat untuk mencari dukungan ideal budaya bagi setiap proposisi kebijakan dan tindakan publik, karena hal itu tidak akan dengan mudah ditolak oleh para penjaga kemapanan dan kebaikan masyarakat, yang menunjuk dirinya sendiri.
Penekanan saya terhadap peran aktor-aktor dan wacana-wacana internal untuk legitimasi kultural atas perubahan sosial tidak menghalangi peran yang bisa dimainkan oleh orang luar (outsiders) dalam mempromosikan perubahan. Tapi aktor-aktor eksternal bisa mempengaruhi situasi internal dengan baik dengan cara mengikuti wacana internal dalam masyarakat mereka sendiri untuk memperjuangkan nilai-nilai yang sama, dengan demikian para partisipan dalam sebuah kebudayaan mampu menunjukkan proses yang sama yang terjadi dalam kebudayaan-kebudayaan lain. Aktor-aktor eksternal juga bisa membantu mendukung hak-hak para partisipan internal untuk menentang persepsi-persepsi yang berlaku, tanpa harus mengintervensi karena hal ini dapat meruntuhkan kredibilitas aktor-aktor internal. Para pendukung perubahan dalam berbagai masyarakat dapat juga menggunakan dialog lintas kebudayaan untuk pertukaran wawasan dan strategi wacana internal dan mendukung penerimaan global atas tujuan-tujuan bersama mereka. Dialog lintas kebudayaan juga bisa menyebarluaskan universalitas nilai-nilai bersama pada tingkat teoretis dan konseptual dengan menggarisbawahi keumuman moral dan filosofis dari kebudayaan-kebudayaan dan pengalaman-pengalaman manusia.
Peran Agensi Manusia
Seperti telah ditekankan, guna menjadikan setiap inisiatif perubahan sosial mengakar dan menjadi praktik sosial yang mapan, maka inisiatif itu harus terjalin berkelindan di dalam tekstur kehidupan sehari-hari dan praktik-praktik sosial masyarakat. Watak proses ini yang lapang dan berjangkauan luas jelas mengindikasikan bahwa perlu adanya aksi di tingkat negara maupun di tingkat masyarakat, dan dua dimensi perubahan ini harus saling mendukung dan saling melengkapi. Metodologi pengamanan legitimasi kultural bagi perubahan sosial juga menekankan strategi perubahan pada tingkat hukum dan kebijakan, sekaligus menjadikan perubahan-perubahan kebijakan itu bermakna dalam kehidupan budaya dan sosial masyarakat. Tapi, pendekatan ini mengasumsikan tipe hubungan tertentu antara negara dan warga negaranya.
Mengharapkan negara bertindak sebagai agensi perubahan institusional yang diinginkan bukan berarti bahwa negara adalah entitas otonom yang bisa bertindak sendiri terbebas dari kekuatan politik dan sosial di dalam masyarakat, atau terbebas sama sekali dari hambatan-hambatan sumberdaya atau faktor lainnya. Kenyataannya, watak dan struktur negara dan kemauan serta kemampuannya untuk bertindak menyeluruh merupakan hasil dari proses politik, ekonomi serta sosiologis internal, dan juga pengaruh-pengaruh eksternal dan internasional. Mengingat sebuah entitas politik tidak memiliki eksistensi yang independen dari orang-orang yang mengontrolnya dan dari mereka yang menerima perintah-perintahnya, maka kemampuan para pejabat untuk bertindak pasti bersifat politis. Meskipun kalangan elit yang mengontrol negara memiliki sumberdaya material dan kekuatan memaksa, mereka bergantung pada kesediaan masyarakat untuk menerima atau setidaknya tak berkeberatan dengan tindakan-tindakan negara. Hal ini semata-mata karena mereka yang mengendalikan negara merupakan sekelompok kecil dari orang-orang yang menerima otoritas negara, dan kemampuan mereka untuk memaksakan kehendak melalui kekuatan langsung tak mempan di hadapan resistensi berskala besar dan terus menerus. Oleh karena itu, mereka yang mengontrol negara perlu meyakinkan mayoritas besar agar tunduk kepada kekuasaan dan otoritas mereka, acap dengan cara mengklaim bahwa mereka mewakili kehendak mayoritas atau bertindak atas kepentingan mayoritas tersebut.
Mengatakan bahwa masyarakat menerima atau menyetujui kebijakan-kebijakan ini tanpa protes, karena mereka tidak tahu apa yang baik bagi mereka, merupakan kesombongan dan pelecehan. Hal itu mungkin asumsi-asumsi dari upaya eksternal untuk memaksakan hak-hak asasi manusia atau sistem normatif lain dalam sebuah masyarakat. Masyarakat tidak akan tunduk kepada otoritas yang mengancam atau merusak kepentingan dasar mereka terhadap eksistensi manusia, baik otoritas itu berdasarkan kekuatan tradisi, atau sikap moral dan keagamaan elit yang berkuasa. Yang saya maksud dengan eksistensi manusia di sini lebih dari sekadar bertahan hidup secara fisik, tapi juga mencakup rasa keadilan sosial dan martabat manusia. Oleh karena itu, tantangan bagi para pendukung perubahan adalah memobilisasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk memperoleh keadilan dan martabat agar dapat mengatasi kekuatan psikologis maupun material dari otoritas lawan dan juga dapat mengatasi risiko-risiko tekanan yang brutal. Mungkin benar bahwa masyarakat secara kultural dikondisikan untuk tunduk kepada otoritas tradisional atau pemimpin-pemimpin keagamaan, tapi kecenderungan ini akan berkurang proporsinya menghadapi kejernihan pandangan-pandangan bahwa perubahan sosial yang dikemukakan cukup meyakinkan untuk mengatasi pengkondisian seperti itu. Dengan kata lain, lemahnya tekad masyarakat untuk melawan pelanggaran hak-hak asasi manusia menggambarkan kekurangan atau kelemahan keyakinan bahwa hak-hak asasi manusia itu penting bagi eksistensi kemanusiaan mereka. Oleh karena itu, cara mengatasinya adalah dengan menaikkan tingkat keyakinan masyarakat bahwa hak-hak itu merupakan sesuatu yang bernilai dan mendasar bagi kehidupan dan kesejahteraan mereka.
Tapi kunci utama untuk semua ini adalah kemampuan agensi manusia dari para pendukung perubahan sosial untuk memotivasi agensi manusia dari masyarakat umum untuk mendukung perubahan, baik dalam artian hak-hak asasi manusia atau yang lainnya. Oleh karena itu, metodologi legitimasi kultural menekankan peran sentral agensi manusia dengan menempatkan dorongan untuk berubah dalam kehidupan kultural dan kehidupan sosial komunitas-komunitas dan individu-individu, ketimbang memandang orang-orang dan komunitas-komunitas sebagai subyek perubahan yang pasif. Pada saat yang sama, agensi manusia beroperasi dalam konteks jaringan aksi dan interaksi sosial, yang menekankan pentingnya kolaborasi dan kooperasi. Jelas tak ada yang terjadi dalam hubungan-hubungan antar manusia, apakah baik atau buruk, kecuali melalui agensi beberapa orang atau kelompok yang bertindak atau gagal bertindak. Tapi juga jelas bahwa konsepsi peran agensi manusia ini mesti mencakup semua umat manusia, khususnya di dunia global saat ini, dan tidak bisa dibatasi hanya pada umat Islam saja. Konsekuensinya hasil dari agensi manusia dalam semua masyarakat juga tergantung pada apa yang terjadi di dunia sekitar kita, tidak hanya pada apa yang terjadi di dalam masyarakat atau komunitas kita sendiri.
Kalau hal ini dihubungkan dengan perspektif Islam yang merupakan fokus utama buku ini, sejarah pemikiran Islam juga menunjukkan bahwa agensi manusia berperan penting dalam perkembangan syariah. Seperti yang telah ditekankan sebelumnya dan akan didiskusikan lebih lanjut dalam bab-bab berikut, sifat yang melekat pada syariah merupakan produk interpretasi-interpretasi manusia terhadap Al-Quran dan Sunnah Nabi. Proses ini dijalankan oleh para ulama dan fuqaha yang mengembangkan dan menerapkan sumber-sumber itu atau metodologi (ushul-al-fiqh) secara benar-benar mandiri dari negara, namun dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan dan urusan-urusan komunitas dan institusi-institusi politik mereka. Para ulama itu juga menerima keragaman pendapat sebagai sesuatu yang sehat dan sebagai ciri kreatif karya mereka, sembari tetap mencoba memperkuat konsesus di antara mereka sendiri dan komunitas mereka. Jadi, setiap prinsip syariah ditetapkan melalui konsesus (ijma’) dan dengan sukarela diterima oleh umat Islam secara luas, dan tak pernah melalui otoritas institusional, baik resmi ataupun bukan. Dengan kata lain, validitas dan otoritas yang mengikat dari prinsip-prinsip syariah selalu merupakan hasil agensi manusia dari para ulama dan komunitas-komunitas umat Islam, yang berlangsung dari generasi ke generasi.
Apresiasi terhadap sentralitas agensi manusia, apakah dalam interpretasi syariah atau perubahan sosial, secara umum membuka segenap kemungkinan kreatif untuk reformasi dan transformasi. Apresiasi ini terutama sekali berguna pada saat krisis yang sangat hebat, seperti yang dialami oleh masyarakat dan komunitas-komunitas Islam sekarang ini, karena krisis itu mendorong mereka untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dan menyoal mengapa institusi-institusi yang ada gagal mewujudkan janji-janji kemerdekaan dan pembangunan. Krisis-krisis ini membuka kesempatan-kesempatan baru bagi agensi kreatif manusia, dan kesempatan itu membuat masyarakat mampu mengontrol kehidupan mereka sendiri dan menyadari tujuan-tujuan mereka sendiri, dengan demikian menjadi sumber dan penyebab jenis transformasi yang saya maksud. Tapi kita tidak mungkin duduk diam dan mengharapkan hasil yang diinginkan terjadi dengan sendirinya, karena masyarakat telah mengalami krisis yang sangat dalam. Kita mesti memakai agensi manusia kita melalui refleksi teoretis dan implementasi praktis untuk memajukan inisiatif untuk sebuah perubahan sosial yang kita inginkan. Benar bahwa, seperti yang dikatakan Kurt Lewin, “tak ada yang begitu praktis selain teori yang bagus.”[1] Tapi dalam pandangan saya teori apa pun hanya praktis jika mungkin dan dapat digunakan manusia secara langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari perspektif ini saya menguraikan apa yang saya harap menjadi teori yang bagus yang bisa memobilisasi dan memotivasi umat Islam di manapun untuk melakukan transformasi sosial yang positif.
Elemen-Elemen Teori Hubungan Islam, Negara, dan Masyarakat
Mengingat kembali apa yang saya katakan di awal bab ini, tujuan dari teori hubungan antara Islam, negara dan masyarakat yang dikemukakan adalah memastikan pemisahan institusional antara Islam dan negara, betapapun organis dan tak dapat dielakkannya hubungan Islam dengan politik. Bagian pertama dari proposisi ini terdengar seperti ‘sekularisme’ sebagaimana yang umum dipahami saat ini, namun bagian kedua mengindikasikan sebaliknya. Hubungan antara agama (dalam hal ini, Islam), negara dan masyarakat selalu merupakan hasil sebuah negosiasi konstan dan sangat kontekstual, bukan sebuah formula yang sudah jadi; baik itu formula pemisahan total atau penyatuan total agama dan negara.
Dengan risiko berterus terang guna menghindari kebingungan dan kesalahpahaman terhadap apa yang saya maksudkan, berbagai macam pemahaman syariah, tentu saja, akan tetap menjadi perkara kebebasan beragama dalam kehidupan praktis individu maupun kolektif, tapi juga akan tunduk kepada perisai-perisai konstitusional yang mapan. Yang menjadi persoalan adalah prinsip-prinsip syariah tidak bisa diselenggarakan sebagai hukum atau kebijakan negara hanya berdasarkan prinsip itu semata, karena sekali sebuah prinsip atau norma dicirikan secara resmi sebagai ‘Sabda Tuhan’, akan menjadi sangat sulit untuk melawan atau mengubah penerapannya dalam kehidupan praktis. Pada saat yang sama, integritas Islam sebagai agama akan menurun di mata para penganutnya maupun penganut agama lain manakala institusi-institusi dan pejabat-pejabat negara gagal mewujudkan janji kebebasan individual dan keadilan sosial. Mengingat prinsip-prinsip etis dan nilai-nilai sosial Islam sangat diperlukan untuk menfungsikan masyarakat Islam secara baik, maka implementasi prinsip-prinsip dan nilai-nilai itu harus sesuai dengan, dan sangat dituntut oleh, hak-hak kaum Muslim untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak ini hanya bisa direalisasikan dalam kerangka kerja pemerintahan yang konstitusional dan demokratis dan hukum internasional karena hal-hal ini pada dasarnya merupakan landasan hukum dan politis yang utama dari hak ini. Hak menentukan nasib sendiri mensyaratkan azas konstitusional yang diperoleh dari kehendak kolektif seluruh penduduk, dan hak ini bisa ditekankan terhadap negara-negara lain karena diterima sebagai prinsip pokok hukum internasional.
Paradoks pemisahan (netralitas agama) dan keterhubungan ini hanya bisa ditengahi melalui praktik yang ajek, bukan melalui analisis atau ketentuan teoritis. Masalahnya kemudian adalah bagaimana menciptakan kondisi yang paling kondusif agar mediasi ini dapat terus berlanjut dengan cara yang konstruktif, daripada mengharapkan penyelesaian tuntas sekali dan selamanya. Dua kutub yang harus ditengahi bisa diklarifikasi sebagai berikut. Pertama, negara teritorial modern seharusnya tidak mencoba menjalankan syariah sebagai hukum positif dan kebijakan publik, juga tak mengklaim penafsiran dokrin-doktrin dan prinsip-prinsipnya bagi warga negara Muslim. Kedua, prinsip-prinsip syariah dapat dan seharusnya menjadi sumber kebijakan dan perundang-undangan publik, tunduk kepada hak-hak konstitusional dan hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara, laki-laki dan perempuan, Muslim dan non-Muslim tanpa diskriminasi. Mediasi ini karenanya menuntut pembaruan aspek-aspek syariah tertentu. Dengan kata lain, prinsip-prinsip syariah tidak bisa menjadi hak istimewa atau dipaksakan begitu saja, tidak juga ditolak sebagai sumber hukum dan kebijakan negara. Keyakinan sebagian besar warga negara sekalipun bahwa prinsip-prinsip syariah merupakan kewajiban agama yang mengikat harus tetap menjadi azas bagi pelaksanaan ibadah kolektif dan individual di kalangan para penganut, tapi tidak bisa digunakan begitu saja sebagai dasar bagi pelaksanaannya oleh negara. Saya melihat pandangan ini tidak hanya sebagai perkara prinsipil, tetapi pandangan ini sangat membantu untuk meyakinkan umat Islam bahwa sekularisme bukan berarti membuang Islam dari kehidupan publik. Sekarang saya akan menjelaskan dengan singkat bagaimana dua elemen utama dari teori ini bisa berjalan bareng dalam mempromosikan kebebasan individu dan keadilan sosial dalam masyarakat Islam.
Mengingat pemerintahan yang efektif menuntut diambilnya kebijakan-kebijakan yang spesifik dan diundangkannya hukum-hukum yang tepat, badan-badan eksekutif dan legislatif negara mesti memilih satu dari sejumlah pandangan yang berlawanan dalam korpus prinsip-prinsip syariah yang kompleks dan massif, sebagaimana telah disebutkan di awal. Pemilihan itu akan serta merta dibuat oleh elit yang berkuasa. Ketika kebijakan atau hukum ditampilkan sebagai amanah ‘Kehendak Tuhan’, akan sulit bagi masyarakat umum untuk menentang atau melawannya. Sebagai contoh, ada sebuah prinsip syariah yang begitu mapan, yang dikenal dengan istilah khulu’, yaitu seorang istri bisa membayar sejumlah uang yang disetujui (atau tidak mengambil hak finansialnya) untuk membujuk suaminya agar mau bercerai. Namun pilihan ini tidak ada di Mesir hingga pemerintah memutuskan untuk mengundangkan prinsip syariah ini pada tahun 2000. Fakta bahwa prinsip ini merupakan bagian syariah tidak serta merta membuatnya dapat diterapkan di Mesir hingga negara memutuskan untuk menerapkannya. Tambah lagi, hukum ini jelas memberikan jalan keluar bagi perempuan Mesir dari perkawinan yang buruk, tapi ketentuan bahwa khulu’ hanya dimungkinkan bila istri mengeluarkan biaya yang besar tidak bisa digugat, karena hukum ini dibuat dalam rangka ‘pengundangan’ prinsip syariah, bukan semata-mata untuk menghasilkan kebijakan publik yang baik. Karena perundang-undangan ini dibingkai dalam kerangka prinsip-prinsip Islam yang mengikat, kemungkinan dan syarat-syarat pemutusan perkawinan yang sah tetap dibatasi oleh prinsip-prinsip umum syariah seperti yang dirumuskan oleh para ulama ribuan tahun yang silam. Pandangan yang lebih umum yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwa subyektifitas dan diversitas inheren dalam prinsip-prinsip syariah mengandung arti bahwa apa pun yang dijadikan undang-undang dan diselenggarakan oleh negara adalah kehendak politik dari elit yang berkuasa, bukan merupakan sistem normatif Islam sebagaimana adanya. Namun, kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan itu akan sulit ditolak atau bahkan didebat manakala ia ditampilkan sebagai kehendak Tuhan.
Untuk menghindari kesulitan-kesulitan seperti itu, saya mengusulkan bahwa alasan bagi semua kebijakan publik dan perundang-undangan harus selalu didasarkan pada ‘nalar publik’, seperti yang telah diterangkan di awal. Muslim dan para penganut agama lain harus bisa mengajukan prakarsa-prakarsa pembuatan kebijakan publik dan undang-undang yang terpancar dari keyakinan-keyakinan mereka, dengan syarat mereka dapat mendukungnya dalam debat publik, yang bebas dan terbuka dengan alasan-alasan yang dapat diterima dan meyakinkan warga negara secara umum, tanpa memandang agama atau keyakinan-keyakinan mereka. Tapi karena keputusan-keputusan dalam praktiknya akan dibuat oleh suara mayoritas yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis, seluruh tindakan negara juga harus selaras dengan perisai-perisai kostitusionalisme dan hak asasi manusia yang melawan tirani mayoritas. Dengan begitu, mayoritas, misalnya, tidak akan bisa menolak keberatan-keberatan atas kebijakan atau perundang-undangan yang melanggar syarat-syarat dasar kesetaraan dan non-diskriminasi. Proposisi-proposisi ini telah seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah yang sah di sebagian besar masyarakat Islam sekarang ini. Namun, proposisi-proposisi itu tidak mungkin diterapkan dengan serius oleh sebagian besar Muslim, kecuali apabila dirasa sesuai dengan pemahaman Islam mereka. Kenyataan inilah yang menjadi alasan pokok yang mendesak saya untuk mempresentasikan teori saya dari perspektif Islam, termasuk menghimbau dilakukannya reformasi terhadap interpretasi tradisional syariah tertentu.
Pendekatan Kontekstual terhadap Sekularisme sebagai Mediasi
Seperti yang telah diuraikan dengan singkat di awal, ada pertimbangan-pertimbangan yang baik untuk menghindari istilah sekularisme. Tapi ada pertimbangan-pertimbangan yang baik pula untuk menggunakan istilah ini guna merehabilitasi konsep tersebut dengan melakukan analisis komparatif. Lagi pula, banyak masyarakat Islam, dari Senegal, Turki sampai negara-negara republik di Asia Tengah, telah terang-terangan menerima istilah ‘sekularisme’ dalam wacana konstitusi dan politik di negeri mereka. Sementara makna dan implikasi-implikasi dari pemakaian seperti itu seharusnya dipahami dan dinilai dalam setiap kasus dan dalam setiap konteksnya, penggunaan umum istilah itu seharusnya tidak diabaikan. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, saya akan menggunakan istilah sekularisme sambil tetap mencoba menghindari implikasi-implikasi negatifnya dengan menekankan elemen-elemen yang terdapat dalam teori yang diusulkan.
Kata sekuler dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin saeculum, yang artinya ‘periode besar waktu’ atau lebih dekat ‘spirit zaman’. Belakangan, maknanya berubah menjadi ‘dunia ini’, yang secara tak langsung berarti ada lebih dari satu dunia. Istilah ini akhirnya diterjemahkan menjadi konsep "sekuler" dan "religius" yang berasal dari ide temporal dan spiritual. Istilah ini juga berkembang dalam konteks Eropa dari ‘sekularisasi’ dalam artian privatisasi wilayah-wilayah gereja, hingga sekularisasi politik, dan kemudian seni serta ekonomi. Garis perkembangan ini tergambar dalam definisi sekularisme di kamus Webster: ‘pengabaian atau penolakan atau pengasingan agama atau pertimbangan-pertimbangan keagamaan’. The Short Oxford Dictionary mendefinisikan sekularisme sebagai ‘doktrin bahwa moralitas seharusnya semata-mata didasarkan pada penghargaan atas umat manusia dalam kehidupannya sekarang ini, dengan membuang semua pertimbangan yang diambil dari keyakinan pada Tuhan atau hari akhirat. Oleh karena itu, istilah ini sering digunakan untuk menandakan gagasan-gagasan, seperti kemunduran agama, kesesuaian dengan kehidupan masa kini, pemisahan dan pembedaan masyarakat dari agama (pemisahan gereja dan negara), transposisi keyakinan-keyakinan dan institusi-institusi agama (beralih dari sumber kekuasan Tuhan ke sebuah gejala kemampuan dan kreasi manusia), ‘desakralisasi’ dunia dan kemudian ‘sakralisasi’ akal pikiran.
Dari perspektif sangat kontekstual yang saya kemukakan dalam buku ini, pandangan-pandangan tentang sekularisme yang saya sebutkan tadi sebagian besar merupakan gambaran-gambaran tentang bagaimana konsep ini berkembang di berbagai negara Eropa dan Amerika Utara, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Seperti yang akan ditunjukkan dalam bab 4, konsep-konsep sekularisme sebegitu rupa diperdebatkan di dalam dan di antara masyarakat-masyarakat yang berbeda, sehingga tidak ada pemahaman dan praktik yang sistematis dan seragam atas prinsip itu, yang bisa cocok dengan satu definisi tertentu. Karena pada kenyataannya sekularisme adalah konsep multidimensional yang menggambarkan elemen-elemen lanskap sejarah, politik, sosial dan ekonomi suatu negara. Demikian pula, sekularisme bagi beragam masyarat Islam harus pula mempertimbangkan dimensi keagamaan dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal, daripada dilihat sebagai usaha untuk memaksakan gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang peminggiran agama ke domain pribadi. Negara dan berbagai organ dan institusinya dipikirkan dan dijalankan di mana-mana oleh orang-orang yang keyakinan agama dan filosofisnya tercermin dalam pemikiran dan tingkah laku mereka. Namun, elit-elit yang berkuasa tidak bisa memaksakan pandangan agama mereka pada orang lain, meskipun mereka berusaha melakukannya pasti mereka akan tersandung pada persoalan-persoalan yang serius. Ketegangan di dalam hubungan-hubungan ini dan kebutuhan untuk menengahinya seharusnya diakui dan diatur, daripada menuntut hal yang tak mungkin berhasil; pemisahan atau penyatuan total agama dan negara.
Alasan lain pentingnya pemahaman sekularisme sebagai mediasi adalah bahwa membatasi konsep ini pada pemisahan agama dan negara bisa memudahkan bersatunya komunitas-komunitas agama yang beragam ke dalam sebuah komunitas politik, semata-mata karena konsep yang demikian hanya membuat klaim-klaim moral yang rendah atas komunitas dan anggotanya. Benar bahwa sekularisme tidak netral secara moral, karena sekularisme mesti menganjurkan etos kewarganegaraan tertentu untuk mencapai tujuan memisahkan agama dan negara, yang bisa sangat maju dan ketat. Namun syarat-syarat moral dan etis konsep ini harus tetap rendah guna mencapai dan mempertahankan konsensus di antara tradisi-tradisi agama dan filsafat yang saling berlawanan. Dengan kata lain, alih-alih menyatukan komunitas-komunitas agama yang berbeda, prinsip ini malah bersifat memecah belah, manakala ia mengklaim untuk memenuhi kebutuhan di luar pemisahan agama dan negara demi kepentingan hidup berdampingan secara damai, dan dalam rangka menanggapi persoalan-persoalan moral dan etis yang lebih luas, terhadap mana masyarakat cenderung untuk semakin tidak setuju. Kebutuhan akan kandungan moral dan etis yang minimal juga berarti bahwa sekularisme dalam pengertian pengasingan tegas agama dari domain publik akan gagal mengilhami dan memotivasi kaum beriman karena tidak bersandar pada fondasi atau justifikasi keagamaan.
Jadi, tuntutan pemisahan yang tegas tanpa memperhitungkan peran publik agama tidaklah realistis dan menyesatkan. Tidak realistis karena ini merupakan pandangan negatif mengenai hubungan agama dan kebijakan publik, menekankan pengasingan etika agama tanpa memberikan alternatif, sehingga gagal mempertimbangkan fondasi-fondasi etis dan moral sebuah kebijakan publik. Pandangan ini juga menyesatkan karena pada kenyataannya ia diam-diam mengasumsikan sebuah moralitas agama yang terpisah dari kebudayaan setiap masyarakat. Soal-soal kebijakan publik, seperti apakah aborsi harus dilegalkan atau tidak, atau bagaimana hak asuh anak setelah perceraian, pasti berdasarkan pada sejumlah fondasi yang dipengaruhi, jika tidak dibentuk secara signifikan, oleh agama dalam masyarakat manapun. Oleh karena itu, sekularisme apabila hanya dimaknai sebagai pemisahan agama dan negara, tidak sanggup memenuhi tuntutan kolektif kebijakan publik. Tambah lagi, pemisahan seperti itu dengan sendirinya tidak bisa memberikan pedoman yang cukup bagi warga negara dalam membuat pilihan personal yang penting dalam kehidupan pribadi atau kehidupan publiknya.
Lagi pula, sekularisme yang hanya sekadar berarti pemisahkan agama dan negara tidak akan cukup untuk menghadapi keberatan-keberatan atau keraguan-raguan yang dimiliki oleh para penganut agama terhadap norma-norma konstitusional dan standar-standar hak-hak asasi manusia tertentu. Sebagai contoh, karena diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat Islam sering dijustifikasi dengan alasan-alasan keagamaan, sumber yang dipakai untuk menjustifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan besar ini tidak bisa dieliminasi tanpa membicarakan dasar pemikiran keagamaan yang diterima secara umum. Ini juga mesti dilakukan tanpa melanggar kebebasan agama atau keyakinan Muslim, yang juga merupakan hak asasi manusia. Wacana sekuler dalam artian semata-mata pemisahan memang bisa menunjukkan rasa hormat pada agama secara umum, seperti yang bisa disaksikan di masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara saat ini, yang bertolak belakang dengan praktik masyarakat Islam. Namun demikian, wacana seperti ini tak mungkin berhasil menangkis justifikasi-justifikasi keagamaan terhadap diskriminasi tanpa menggunakan argumen-balik keagamaan juga. Sebaliknya, prinsip sekularisme yang, memasukkan peran publik agama seperti yang saya usulkan di sini bisa mendorong dan menfasilitasi perdebatan dan perbedaan pendapat di dalam tradisi keagamaan sehingga bisa mengatasi keberatan-keberatan yang berlandaskan agama itu. Ketika masyarakat memastikan bahwa negara netral terhadap agama, kekuasaan negara yang memaksa tidak bisa digunakan untuk menekan perdebatan dan perbedaan pendapat. Namun, ruang aman itu masih perlu digunakan secara aktif oleh warga negara untuk menyebarkan pandangan keagamaan yang mendukung kesetaraan perempuan dan hak-hak asasi manusia yang lain. Nyatanya, pandangan seperti itu diperlukan untuk menyebarluaskan legitimasi keagamaan bagi doktrin pemisahan agama dan negara itu sendiri, dan juga prinsip-prinsip umum yang lain seperti konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia.
Memperkenankan prinsip-prinsip syariah untuk memainkan peran positif dalam kehidupan publik tanpa begitu saja mengimplementasikannya melalui hukum dan kebijakan merupakan keseimbangan pelik yang harus dijaga sepanjang waktu. Sebagai contoh, persoalan-persoalan seperti gaya berpakaian dan pendidikan agama biasanya akan tetap menjadi pilihan bebas, tapi juga bisa menjadi subyek perdebatan publik, bahkan tuntutan kepada pengadilan konstitusional, untuk menyeimbangkan klaim-klaim yang berlawanan. Ini bisa terjadi menyangkut, misalnya, syarat-syarat pakaian yang disarankan untuk keamanan di tempat kerja atau kebutuhan akan pendidikan agama kritis dan komparatif di sekolah-sekolah negeri guna meningkatkan toleransi beragama dan sekularisme. Saya tidak mengatakan bahwa konteks dan kondisi-kondisi untuk bebas memilih pakaian atau pendidikan agama tidak akan kontroversial. Kenyataannya, persoalan seperti itu mungkin menjadi sangat kompleks pada tingkat personal dan masyarakat tertentu. Namun, fokus perhatian saya adalah memastikan kondisi-kondisi sosial, politik dan hukum yang sedapat mungkin adil, terbuka dan inklusif bagi terjadinya negosiasi kebijakan publik dalam persoalan-persoalan seperti itu. Kondisi-kondisi tersebut bisa dijamin, contohnya, melalui penguatan hak-hak dasar personal dan komunitas, seperti hak untuk mendapat pendidikan, kebebasan beragama, dan kebebasan berekspresi, di satu sisi, dan pertimbangan yang sepatutnya terhadap kepentingan dan urusan publik yang absah, di sisi lain. Tak ada formula yang sederhana atau khusus yang bisa diaplikasikan secara otomatis dalam setiap kasus, meskipun prinsip-prinsip umum dan kerangka yang lebih luas untuk menengahi persoalan-persoalan seperti itu akan muncul dan terus berkembang di dalam setiap masyarakat.
Untuk sekadar mengulang, anjuran saya untuk mengakui dan mengatur peran politik Islam tak dapat dipertahankan tanpa reformasi Islam yang signifikan. Saya percaya bahwa sangat penting bagi masyarakat Islam sekarang untuk menanamkan prinsip keteraturan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam politik domestik dan hubungan-hubungan internasional mereka. Ini tidak mungkin terjadi jika interpretasi-interpretasi tradisional syariah yang mendukung prinsip-prinsip seperti perwalian perempuan (qawamah), penguasaan Muslim atas non-Muslim (dzimmah) dan jihad yang agresif dan penuh kekerasan, tetap dipertahankan. Reformasi yang signifikan atas pandangan-pandangan seperti itu perlu karena pengaruhnya yang sangat kuat pada hubungan-hubungan sosial dan perilaku politik umat Islam, bahkan ketika prinsip-prinsip syariah secara tidak langsung diselenggarakan oleh negara. Satu alasan dari seluruh pendekatan saya adalah umat Islam tidak mungkin secara aktif mendukung prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia dan secara efektif ikut serta dalam proses pemerintahan demokratis yang konstitusional jika mereka terus mempertahankan pandangan seperti itu sebagai bagian dari pemahaman syariah. Pentingnya rekonsiliasi ini juga dapat terlihat dari refleksi tentang watak negara teritorial modern dan warga negaranya berikut ini.
Negara bersifat Teritorial, bukan Islami
Konsekuensi yang tak dapat dielakkan dari interpretasi manusia atas teks-teks Islam, seperti yang telah ditekankan di awal, adalah bahwa pandangan-pandangan alternatif tentang Islam dan formulasi prinsip-prinsip syariah selalu mungkin, dan bisa sama-sama valid jika diterima oleh umat Islam. Karena tidak mungkin mengetahui apakah Muslim atau non-Muslim akan menerima atau menolak suatu pandangan kecuali pandangan itu diungkapkan dan diperdebatkan secara terbuka dan bebas, sangatlah perlu untuk mempertahankan kebebasan agar opini, keyakinan dan uangkapan keyakinan terus muncul dan tersebar. Oleh karena itu, ide sensor secara inheren bersifat destruktif dan kontraproduktif bagi perkembangan prinsip dan doktrin Islam; karenanya sangat penting menjaga kemungkinan-kemungkinan perbedaan pendapat sebagai satu-satunya jalan agar tradisi tetap responsif terhadap kebutuhan para penganutnya. Seperti yang nantinya diterangkan dan didiskusikan pada bab-bab selanjutnya, ruang yang diperlukan untuk perbedaan pendapat dan perdebatan itu saat ini diamankan dengan sangat baik melalui pemerintahan demokratis yang konstitusional dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, konsep-konsep modern dan institusi-institusi yang digunakan untuk implementasinya tidak hanya perlu bagi kebebasan beragama warga negara Muslim dan non Muslim di negara teritorial saat ini, tapi juga untuk mempertahankan dan mengembangkan Islam itu sendiri. Sebenarnya, kebebasan berbeda pendapat dan perdebatan adalah hal yang essensial bagi perkembangan syariah itu sendiri karena hal itu memberikan kemungkinan bagi muncul dan berkembangnya konsensus secara bebas di seputar pandangan tertentu, yang menjadi matang dalam prinsip-prinsip yang mapan melalui penerimaan dan praktik oleh generasi-generasi Muslim dalam aneka ragam situasi yang melingkupinya.
Dari perspektif ini saya menentang ide negara Islam yang menjadikan syariah sebagai hukum positif dan kebijakan resmi negara karena alasan-alasan yang sudah diringkas di awal dan akan didiskusikan di bab-bab selanjutnya. Jika klaim-klaim itu benar, negara seperti itu akan diwajibkan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah tradisional seperti sistem dzimmah yang tidak mungkin bisa menerima non Muslim menjadi warga negara. Ide dasar dari sistem ini adalah bahwa setelah penaklukan dan penyatuan wilayah-wilayah baru melalui jihad, Ahli Kitab (terutama Kristen dan Yahudi) harus diperbolehkan tinggal di sana sebagai komunitas yang dilindungi karena mereka tunduk kepada kedaulatan Islam, tapi mereka tidak bisa menikmati persamaan dengan umat Islam. Maka siapa yang dianggap kafir oleh standar-standar syariah sama sekali tidak diizinkan hidup di dalam wilayah negara tersebut kecuali di bawah hubungan aman sementara (aman). Gagasan-gagasan demikian sekarang sangat jelas tak dapat dipertahankan secara moral dan politis, bahkan pendukung-pendukung negara Islam yang paling bersemangat pun tidak mendiskusikan penerapan gagasan itu dalam realitas-realitas negara-negara teritorial yang pluralistik sekarang ini yang secara total terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, politik dan hukum internasional.
Oleh karena itu, apa pun kemungkinan perubahan dan perkembangan yang bisa diusulkan mesti dimulai dengan kenyataan bahwa kolonialisme Eropa dan akibat-akibatnya secara drastis telah mengubah dasar dan sifat organisasi sosial dan politik di dalam dan di antara negara-negara teritorial tempat umat Islam hidup sekarang. Perubahan ini begitu mendasar dan berurat berakar, sehingga kembali ke ide-ide dan sistem-sistem sebelum penjajahan bukanlah pilihan yang mudah. Perubahan dan adaptasi apa pun pada sistem yang berlaku sekarang ini hanya bisa diupayakan dan diwujudkan melalui konsep-konsep dan institusi-institusi yang lahir dari realitas poskolonial baik lokal maupun global ini. Namun banyak umat Islam, dan mungkin mayoritas di banyak negara, tidak menerima aspek-aspek dari transformasi ini dan konsekuensi-konsekuensinya. Penolakan ini tampaknya yang mendasari dukungan nyata umat Islam terhadap kemungkinan negara Islam yang bisa melaksanakan prinsip-prinsip syariah sebagai hukum positif dan yang menyebabkan ambivalensi yang luas tentang kekerasan bermotif politik atas nama jihad. Sangat perlu melakukan reformasi Islam yang signifikan dengan menformulasi ulang aspek-aspek syariah yang problematis tersebut, tapi tidak harus dan tidak berarti pengadopsian teori dan praktik Barat yang memang dominan dalam bidang-bidang ini secara besar-besaran dan tanpa kritik. Untuk mengilustrasikan jenis transformasi Islam internal yang saya maksud, saya akan meninjau secara singkat bagaimana gagasan-gagasan tradisional syariah mengenai dzimmah seharusnya dikembangkan menjadi prinsip-prinsip kewarganegaraan yang humanis dan masuk akal, seperti yang didiskusikan dalam bab 3. Pengembangan gagasan-gagasan tersebut perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan berikut ini.
Pertama, umat manusia cenderung mencoba dan mengalami tipe-tipe dan bentuk-bentuk ganda dan tumpang tindih keanggotaan dalam kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan etnis, identitas keagamaan atau kultural, afiliasi profesional, sosial atau politik, kepentingan ekonomi dan seterusnya. Kedua, makna dan implikasi-implikasi setiap tipe atau bentuk keanggotaan seharusnya ditentukan oleh dasar pemikiran atau tujuan menjadi anggota kelompok dimaksud, tanpa menghalangi atau memperlemah efektifitas bentuk keanggotaan lain. Keanggotaan-keanggotaan ganda dan tumpang tindih seharusnya tidak saling terpisah satu sama lain, kendati cenderung mencapai tujuan-tujuan yang berbeda bagi orang-orang dan komunitas-komunitas. Ketiga, di sini istilah ‘kewarganegaraan’ digunakan mengacu kepada bentuk khusus keanggotaan dalam komunitas politik negara teritorial dalam konteks globalnya, dan oleh karena itu, harus dihubungkan dengan dasar pemikiran atau tujuan spesifik tanpa menghalangi kemungkinan-kemungkinan keanggotaan lain dari komunitas-komunitas lain untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Maksud dari premis tiga lapis ini bukan untuk mengatakan bahwa masyarakat selalu menyadari realitas keanggotaan-keanggotaan ganda mereka, atau menyadari bahwa mereka saling terpaut satu sama lain, dimana setiap anggota merasa cocok dan memerlukan tujuan-tujuan atau dasar pemikiran yang berbeda. Kebalikannya, tampak bahwa terdapat kecenderungan untuk menjatuhkan bentuk-bentuk keanggotan yang berbeda, seperti ketika identitas etnik atau keagaamaan disamakan dengan afiliasi sosial atau politik. Tendensi ini juga berlaku pada penyamaan rasa kebangsaan dengan kewarganegaraan dalam teori politik Barat, yang ditransmisikan kepada umat Islam melalui kolonialisme Eropa dan implikasinya.
Jadi, wacana resmi atau wacana ideologis yang berkenaan dengan azas kewarganegaraan sebagai keanggotan dalam komunitas politik negara teritorial tidak serta merta sama dengan perasaan kepemilikan yang sujektif atau penilaian bebas terhadap kondisi-kondisi aktual berdasarkan perasaan tersebut. Ketegangan-ketegangan seperti itu ada pada mayoritas peradaban di masa lalu dan terus dialami dengan berbagai cara oleh masyarakat-masyarakat yang berbeda sekarang ini. Untuk tujuan-tujuan kita di sini khususnya, perkembangan gagasan kewarganegaraan dalam model negara ‘bangsa’ teritorial Eropa semenjak Pakta Perdamaian Westphalia (1648) cenderung menyamakan kewarganegaraan dengan kebangsaaan. Model ini mendefinisikan kewarganegaraan sebagai bentuk keanggotaan yang disusun secara sengaja dan kadang memaksa dalam sebuah bangsa atas dasar kesamaan identitas etnis dan keagamaan serta kesetiaan politik. Kesamaan etnik dan kesetiaan politik ini merupakan konsekuensi bagi setiap orang yang telah tinggal di wilayah tertentu. Dengan kata lain, kesamaan yang kebetulan antara kewarganegaraan dan kebangsaan tidak hanya merupakan hasil dari proses yang sangat Eropa dan relatif baru, tapi kesamaan ini sering dibesar-besarkan di dalam wilayah itu sendiri dengan mengorbankan bentuk-bentuk keanggotaan lain, khususnya etnis atau agama minoritas. Seperti tercatat di awal, saya lebih suka menggunakan istilah negara teritorial untuk mengidentifikasi kewarganegaraan dengan teritori, daripada negara bangsa karena itu bisa menyesatkan, jika bukan menindas, kelompok minoritas.
Istilah kewarganegaraan digunakan di sini untuk menunjukkan kepemilikan afirmatif dan proaktif atas sebuah komunitas politik pluralis dan inklusif yang mempertegas dan mengatur kemungkinan-kemungkinan berbagai bentuk ‘perbedaan’ di antara orang-orang dan komunitas-komunitas untuk menjamin kesamaan hak bagi semua, tanpa membedakan latar belakang seperti agama, jenis kelamin, kesukuan atau pandangan politik. Istilah ini dimaksudkan untuk menandai pemahaman kultural bersama atas martabat manusia yang setara dan partisipasi politik yang efektif bagi semua. Dengan kata lain, definisi kewarganegaraan di sini disesuaikan dengan prinsip universalitas hak-hak asasi manusia sebagai ‘standar pencapaian umum untuk semua mayarakat dan bangsa’, sesuai dengan Mukaddimah Deklarasi Universal Hak-hak asasi manusia PBB tahun 1948.
Pemahaman tentang konsep kewarganegaraan ini juga didukung oleh prinsip timbal balik (mu’awada), yang juga dikenal dengan Kaidah Utama (Golden Rule), dalam Islam, dan ditegaskan oleh hukum serta realitas politik penentuan nasib sendiri (self-determination). Orang-orang dan komunitas-komunitas harus menegaskan konsep kewarganegaraan ini agar dapat mengklaimnya untuk diri mereka sendiri di bawah hukum internasional dan hukum yang berlaku di negaranya. Dengan demikian, dukungan atas pemahaman kewarganegaraan ini merupakan prasyarat bagi azas moral, legal, dan politik untuk dapat menikmatinya. Umat Islam harus berusaha keras mencapai cita-cita pragmatis ini dari sudut pandang Islam tak peduli apakah orang lain berhasil atau gagal melakukan hal ini
Lagi pula, ada hubungan dialektis antara konsep-konsep kewarganegaraan domestik dan internasional, yang mendasari agensi rakyat pada setiap tingkat untuk menegakkan martabat manusia dan keadilan sosial di mana pun di dunia ini, di dalam atau pun di luar negeri. Prinsip hak-hak asasi manusia ini juga mendasari definisi kewarganegaraan yang diusulkan dalam politik-politik domestik dan hubungan-hubungan internasional, apakah diekspresikan dalam bentuk hak-hak fundamental dalam undang-undang dasar atau hak-hak asasi manusia universal. Warga negara yang bertindak secara politik dan berpartisipasi dalam pelaksanaan Deklarasi HAM Internasional, pada gilirannya, memberikan kontribusi untuk penentuan dan perlindungan hak-hak asasi warga negara pada tingkat domestik. Oleh karena itu, hubungan antara kewarganegaraan dan hak-hak asasi manusia inheren pada kedua paradigma yang saling mendukung ini.
Gambaran-gambaran ini jelas menegaskan pentingnya reformasi Islam yang kreatif, yang akan menyeimbangkan tuntutan antara legitimasi keagamaan dengan praktik politik dan sosial yang bermoral kuat, yang memang tidak cocok dengan gagasan negara Islam. Tapi gagasan mengenai negara Islam memang begitu menarik bagi Muslim dalam konteks global dan domestik sekarang ini hingga justifikasi-justifikasi lain pun mesti dilawan. Misalnya, kadang-kadang ada anjuran bahwa lebih baik membiarkan gagasan tentang negara Islam tetap ada sebagai gagasan ideal dengan tetap mencoba mengontrol atau mengatur praktiknya. Pandangan ini berbahaya karena sepanjang gagasan ini dianggap ideal, beberapa umat Islam akan berusaha menerapkannya sesuai dengan pemahamannya sendiri, dengan konsekuensi yang mendatangkan malapetaka bagi masyarakat Islam maupun masyarakat lainnya. Tidak mungkin mengontrol atau mengatur pelakasanaan gagasan ideal ini tanpa menyoal klaim-klaim intinya bahwa pandangan manusia tentang Islam memiliki nilai keagamaan yang suci. Sekali kemungkinan negara Islam diakui, akan menjadi sangat sulit melakukan resistensi terhadap upaya mengimplemetasikannya karena tindakan ini akan dianggap sebagai bid’ah atau tidak islami.
Mempertahankan gagasan negara Islam sebagai gagasan ideal juga kontraproduktif bagi perdebatan mengenai teori-teori politik, sistem-sistem hukum dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih realistis dan tepat. Bahkan jikapun seseorang bisa mengatasi kesulitan psikologis dalam berargumentasi terhadap apa yang ditampilkan sebagai kehendak Tuhan, tuduhan bid’ah bisa mengakibatkan stigma sosial yang sangat bengis, sehingga, jika tidak mendapat tuntutan dari negara, ia bisa mendapatkan kekerasan langsung dari kelompok-kelompok ekstrimis. Sepanjang ide negara Islam diberi tempat, masyarakat akan tetap terkurung dalam perdebatan yang sudah basi tentang persoalan-persoalan seperti apakah konstitusionalisme atau demokrasi merupakan sesuatu yang ‘Islami’, dan apakah bunga bank boleh atau tidak. Alih-alih, masyarakat tidak akan berusaha mengamankan pemerintahan demokratis konstitusional dan menjalankan pembangunan ekonomi. Perdebatan yang tidak menghasilkan seperti itu membuat mayoritas masyarakat Islam saat ini terkurung dalam keadaan politik yang terus menerus labil dan menjadi negara terbelakang secara sosial ekonomi sejak kemerdekaannya. Umat Islam perlu menerima bahwa konstitusionalisme dan demokrasi merupakan fondasi utama negara itu sendiri dan umat Islam perlu terlibat dalam proses pengamanan konstitusionalisme dan demokrasi ini. Dengan tegas menyatakan bahwa negara tidak akan dan tidak bisa menerapkan pandangan keagamaan apa pun tentang bunga pinjaman (riba) berarti menjamin bahwa hak semua warga negara untuk memilih apakah mempraktikkan atau menghindari bunga bank ini merupakan persoalan keyakinan keagamaan pribadi. Tambah lagi warga negara yang ingin menghindari praktik-praktik itu bisa mendirikan institusi-institusi perbankan mereka sendiri yang terikat pada regulasi negara dan pengawasan publik, seperti usaha-bisnis lainnya. Inilah contoh persoalan-persoalan riil masyarakat Islam sekarang yang tidak bisa dipecahkan dengan perdebatan sia-sia tentang negara Islam yang kacau dan kontra produktif yang menggunakan syariah sebagai dasar otomatis bagi kebijakan dan hukum publik.
Argumen lain dalam mendukung gagasan negara Islam didasarkan pada perbedaan antara syariah dan fiqh. Karena fiqh adalah interpretasi manusia, maka ia bisa diubah dan diatur untuk disesuaikan dengan keadaan masyarakat Islam sekarang ini, sedangkan syariah tetap kekal. Pembedaan ini tidak berguna, karena syariah dan fiqh merupakan hasil interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi dalam konteks sejarah tertentu. Dengan begitu, proposisi apa pun baik yang didasarkan pada syariah ataupun fiqh, tetap sama-sama tunduk kepada risiko-risiko kesalahan manusiawi, bias ideologis atau politik, dan pengaruh kepentingan-kepentingan politik dan sosial para pendukungnya. Lagi pula, dalam praktiknya pembedaan ini sulit dipertahankan karena usaha untuk melakukan pembedaan pun mencerminkan pandangan manusia yang juga memiliki risiko dan keterbatasan yang sama. Sebagai contoh, mungkin saja klaim larangan riba (bunga pinjaman) ditetapkan oleh syariah, tapi bagaimana larangan itu bisa berarti tanpa adanya definisi dan penerapan yang jelas dari fiqh. Mengingat interpretasi manusia atas teks-teks Al-Quran dan Sunnah yang relevan tak dapat dihindarkan dalam persoalan syariah ataupun fiqh, maka sulit membedakan antara keduanya.
Argumen lain yang dimodifikasi dari argumen sebelumnya menegaskan bahwa yang terpenting dari semuanya adalah melaksanakan tujuan-tujuan atau maksud-maksud dasar syariah (Maqasid al-Shari’a), sementara prinsip-prinsip fiqh adalah persoalan yang berubah dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Namun pandangan ini juga bermasalah karena yang disebut-sebut sebagai tujuan-tujuan dasar syariah itu diekspresikan dalam tingkat abstraksi yang begitu tinggi, sehingga tak satu pun dari tujuan itu yang bisa dianggap khas Islam atau cukup spesifik untuk tujuan pembuatan kebijakan dan perundang-undangan publik. Segera setelah dihadirkan dalam istilah-istilah yang lebih konkrit dan spesifik, prinsip-prinsip ini akan langsung terimplikasi oleh kontroversi-kontroversi dan keterbatasan-keterbatasan fiqh yang sudah lazim. Contoh, ‘melindungi agama (hifz al-din)’ merupakan salah satu tujuan dasar syariah, tapi prinsip ini tidak memiliki kegunaan praktis tanpa definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ‘agama’ dalam konteks ini, dan tanpa spesifikasi kondisi-kondisi serta pembatasan-pembatasan yang diperlukan oleh proteksi agama ini sebagai persoalan kebijakan dan perundang-undangan negara. Apakah ‘agama’ mencakup tradisi-tradisi non-teistik seperti Budhisme atau ateisme? Bisakah seorang Muslim mengadopsi agama atau keyakinan lain? Kapan kebebasan agama dibatasi untuk kepentingan publik negara atau hak-hak orang lain? Namun, membicarakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan segera membawa topik ini kedalam bidang fiqh yang memunculkan persoalan hak-hak asasi manusia yang serius dan keberatan-keberatan politik seperti yang digambarkan sebelumnya.
Konsep, Metodologi Studi, serta Pengorganisasian Buku Ini
Guna menggali dan mengembangkan teori Islam, negara dan masyarakat seperti yang digambarkan di atas, saya mempersiapkan dan menerapkan studi yang disajikan dalam buku ini dengan cara memberikan prioritas khusus dengan mempresentasikan ide-ide tentatif saya untuk diperdebatkan di kalangan ulama-ulama Muslim dan pemimpin-pemimpin komunitas sepanjang prosesnya. Dalam hal ini, saya mencoba berbicara tentang perlunya pendekatan persuasif dalam mengembangkan teori itu sendiri, dibanding hanya berusaha melakukannya setelah menerbitkan buku ini. Di lihat dari cakupan dan pokok bahasannya, studi ini terutama sekali berkaitan dengan peran publik syariah dan bukan persoalan-persoalan doktrin dan praktik keagamaan dalam domain pribadi. Studi ini juga berkaitan dengan peran aktual syariah di masa depan, dan bukan syariah sebagai topik sejarah. Dengan kata lain, dari asumsi mendasar saya bahwa syariah akan terus memiliki peran dalam kehidupan publik masyarakat-masyarakat Islam, saya mencoba mengklarifikasi dan mewujudkan peran itu dari perspektif teoretis Islam. Lagi pula, pelaksanaan proyek ini dalam prosesnya tidak hanya mencoba untuk menghimpun dan memikirkan informasi serta pengalaman-pengalaman, tapi juga memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengkomunikasikan ide-ide tertentu mengenai persoalan ini dan mengumpulkan respon-respon dari berbagai sumber Islam.
Oleh karena itu, dimensi perdebatan publik dari studi ini menyatu dengan rencana asli premis teoretis dan hasil yang diharapkannya. Di satu sisi, saya mencoba mengembangkan tesis saya dan implikasi-implikasinya berdasarkan wawasan-wawasan dan refleksi-refleksi pemikiran masa kini dan yang berorientasi masa depan tentang pokok masalah yang mungkin belum dipublikasikan. Saya juga merencanakan dari awal untuk menghubungkan analisis teori saya dengan kebijakan publik dan praktik aktual. Di sisi lain, saya bermaksud untuk mencari cara untuk memberikan kontribusi bagi pemikiran saat ini, sementara pada saat yang sama mencoba menguji kehandalan dan prospek-prospek dari ide-ide saya sendiri, di samping terus memperbaiki dan memperhalus kemampuan saya untuk mengkomunikasikannya secara efektif. Dengan kata lain, saya mencoba menekankan aspek advokasi untuk perubahan, berdasarkan teori yang saya ajukan, dalam proses penelitian dan penulisan ini sendiri dengan berusaha untuk mengidentifikasi keberatan-keberatan yang mungkin ada dan mengembangkan respon-respon yang tepat, ketimbang memberikan pernyataan-pernyataan final, dan menyusunnya dalam isolasi akademik. Saya menekankan kemampuan untuk meyakinkan, begitu pula dengan integritas teoretis serta kepaduan hasil studi ini.
Maka, saya mulai dengan membuat bagan atau draf makalah yang saya distribusikan dan diskusikan dengan para ulama dan pencipta opini (opinion leaders) selama kunjungan ke Jos (Nigeria), Istanbul (Turki), Kairo (Mesir), Kartoum (Sudan), Tasken dan Samarkhan (Uzbekistan), New Delhi, Aligarh, Mumbai dan Cochin (India), Jakarta dan Yogyakarta (Indonesia) antara bulan Januari 2004 sampai Februari 2005. Dengan dibantu oleh peneliti-peneliti lokal, saya mengadakan wawancara-wawancara individual, diskusi-diskusi terbatas, seminar-seminar, dan memberikan kuliah umum selama kunjungan-kunjungan dengan jangka waktu yang beragam di semua tempat ini. Saya juga mengadakan kuliah umum dan seminar-seminar berdasarkan proposal dasar saya dan implikasi-implikasinya di berbagai lokasi di Eropa dan Amerika Serikat. Bahasa pertama yang saya gunakan adalah Inggris, dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab dan Bahasa Indonesia untuk memudahkan diskusi-diskusi terbatas dan wawancara-wawancara individual di Mesir dan Indonesia. Beberapa kali selama proses ini, saya merevisi dan memperluas draf makalah ini untuk merespon komentar-komentar dan saran-saran kritis, saya menerima dan mengembangkannya lewat aktifitas-aktifitas itu. Aspek lain yang penting dari proses yang berorientasi advokasi ini adalah bahwa buku ini pertama kali dipublikasikan di dalam Bahasa Indonesia dan bahasa Urdu untuk mencapai sebanyak mungkin pembaca Muslim di Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Bagaimanapun, saya ingin menyatakan terima kasih, karena informasi utama dan elemen-elemen kunci dari analisis saya didasarkan pada kerja para peneliti lokal di Istanbul, New Delhi, Cochin, Jakarta dan Yogyakarta. Materi yang dikumpulkan dalam bahasa Arab dari Kairo dan Khartoum tidak langsung dimasukkan ke dalam buku ini, tapi akan menjadi landasan versi yang berbeda untuk dipublikasikan dalam bahasa Arab. Setiap peneliti mengumpulkan dan meringkas materi-materi yang sudah dipublikasikan maupun yang belum dan mengadakan wawancara-wawancara dalam bahasa masing-masing (Bahasa Turki, Indonesia dan Urdu) begitu juga dalam bahasa Inggris, semua dilakukan berdasarkan draf makalah dan garis pedoman dari saya. Saya juga terus berkonsultasi dengan mereka selama kunjungan ke tempat-tempat mereka, dan mendiskusikan laporan-laporan penelitiannya.
Selama proses penelitian dan advokasi ini, saya berusaha memberikan perhatian yang sepatutnya terhadap sentifitas khusus beberapa responden Muslim dan patner-patner dialog berkenaan dengan konteks internasional sekarang. Di satu sisi, saya menyadari bahwa teori yang saya kembangkan dan sebarkan melalui studi ini tidak mungkin diterima begitu saja kecuali dengan memperhitungkan kekhawatiran politik dan keamanan masyarakat Islam terhadap hegemoni Barat dan globalisasi ekonomi. Faktor ini tampaknya diperburuk oleh ganjalan permusuhan dan kecurigaan pemerintahan-pemerintahan Barat dan segmen-segmen tertentu masyarakat di sana terhadap Islam dan umat Islam. Ini membuat lebih sulit bagi saya untuk mengembangkan teori yang coba saya hadirkan dalam buku ini. Di sisi lain, saya berusaha menegaskan secara konsisten bahwa Umat Islam seharusnya serius mempertimbangkan argumen yang saya kemukakan tentang sekularisme, pluralisme, konstitusionalisme, hak-hak asasi manusia, dan kewarganegaraan dari perspektif internal agama Islam sendiri, daripada menolaknya sama sekali dan mengatakannya sebagai suatu bentuk pemaksaan oleh Barat atas Islam. Saya coba menunjukkan bahwa demi kemaslahatannya sendiri, umat Islam perlu ikut mengembangkan prinsip-prinsip ini dalam politik domestik mereka dan hubungan-hubungan internasional dan menjadikannya sebagai prioritas mereka sendiri, tanpa menghiraukan apakah pemerintah dan masyarakat Barat melakukannya atau tidak di dalam negeri mereka atau dalam hubungan-hubungan mereka dengan masyarakat Islam.
Pengorganisasian buku ini dimulai dengan diskusi tentang sifat dan tujuan-tujuan teori yang diusulkan melalui penelusuran akar-akarnya dalam pengalaman sejarah masyarakat Islam. Aspek ini dikemukakan dalam istilah-istilah umum di bab pertama, tapi tanpa kutipan sumber-sumber ilmiah, yang akan dilakukan dalam diskusi lebih terperinci di bab 2, dilanjutkan dengan pengembangan premis-premis, sasaran-sasaran dan fondasi-fondasi kesejarahan dari teori yang diusulkan. Persoalan-persoalan konstitusionalisme, hak-hak asasi manusia dan kewarganegaraan dalam perspektif Islam dibahas dalam bab 3. Analisis komparatif yang ditawarkan dalam bab 4 dimaksudkan untuk menekankan sifat sekularisme yang sangat kontekstual di negara-negara Barat, dan menunjukkan bagaimana konsep itu tetap tentatif dan dipertentangkan dalam praktiknya. Seperti yang akan saya tunjukkan di bab ini, tak ada model sekularisme yang baku dengan hasil yang sudah ditetapkan sebelumnya untuk diterapkan secara langsung dan dicangkokkan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Benar bahwa segi-segi karakteristik tertentu dari pluralisme muncul sepanjang waktu, tapi itu adalah hasil analisis teoretis dari pengalaman-pengalaman praktis maysarakat yang berbeda, bukan hasil spontanitas doktrin tertentu. Studi-studi tematik di Turki, India dan Indonesia disampaikan dalam bab 5, 6 dan 7. Tujuannya untuk mengklarifikasi dan mengilustrasikan berbagai aspek teori yang diusulkan mengenai hubungan antara Islam, masyarakat dan negara dalam konteks sekarang ini.
Sebagai penutup bab pertama, saya ingin menyatakan bahwa konteks global negosiasi dalam relasi tiga pihak (tripartite) antara agama, masyarakat dan negara, dewasa ini, secara umum menghadapkan seluruh masyarakat pada tantangan-tantangan yang sama, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan signifikan dalam relasi kekuasaan masyarakat-masyarakat paska kolonial Afrika dan Asia, di satu sisi, dan mayarakat-masyakarat kolonial dan neokolonial Barat, di sisi lain. Akselerasi drastis pola-pola globalisasi ekonomi dan kebudayaan membutuhkan saluran nilai-nilai konstitusionalisme dan universalitas hak-hak asasi manusia dalam kebijakan-kebijakan domestik dan luar negeri seluruh negara. Perkembangan-perkembangan ini juga menekankan pentingnya promosi penguatan kapasitas kelembagaan lembaga internasional maupun domestik untuk menjaga keteraturan hukum dan universalitas hak-hak asasi manusia. Meskipun tantangan-tantangan ini dihadapi oleh seluruh masyarakat, perhatian utama saya sebagai seorang Muslim tertuju pada masyarakat-masyarakat dan komunitas-komunitas Islam, baik sebagai mayoritas maupun minoritas, di negara manapun.
Pesan buku ini ditujukan terutama untuk kaum Muslim di manapun yang tampaknya menderita karena kebingungan dan ambivalensi yang begitu dalam berkenaan dengan syarat-syarat hubungan yang sehat dan konstruktif antara Islam, masyarakat dan negara. Saya secara khusus merasa prihatin dengan implikasi-implikasi serius dari kekacauan dan ambivalensi tersebut terhadap pemerintahan domestik masyarakat-masyarakat dan komunitas-komunitas Islam, dan relasi internasional maupun inter-komunal mereka dengan masyarakat dan komunitas lainnya. Oleh karena itu, saya melakukan studi ini dengan dorongan perasaan urgensi yang kuat sebab saya percaya bahwa kegagalan dalam mengklarifikasi relasi-relasi ini adalah rintangan utama bagi realisasi stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan keadilan sosial di masyarakat-masyarakat Islam dewasa ini. Bukan saya mengatakan bahwa inilah satu-satunya problema yang menimpa masyakarat-masyakarat dan komunitas-komunitas Islam di mana pun, namun saya benar-benar yakin bahwa problema ini merupakan salah satu dari persoalan-persoalan utama mereka semua, dengan tingkatan dan cara yang berbeda-beda, dan aneka akibat yang mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negerinya. Saya juga percaya kebutuhan akan adanya kejelasan teoritis itu mendesak, bahkan jikapun permasalahan-permasalahan pokok itu tidak diperdebatkan secara terbuka dalam istilah-istilah ini. Malah ini justru mengindikasikan pentingnya sebuah refleksi teoretis meski hanya untuk mengklarifikasi dan mengafirmasi ulang gagasan-gagasan yang sudah ada.
Saya pun mencurigai bahwa resistensi yang sengit dari umat Muslim terhadap perdebatan terbuka sejumlah isu yang saya lontarkan mungkin karena kekhawatiran-kekhawatiran bahwa hal ini bisa memberi angin pada para pendukung negara Islam dalam beberapa kasus, atau menyokong sebuah pandangan sekularisme yang anti Islam. Dalam hemat saya, kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu berlebihan dan tak berdasar, namun saya tetap percaya bahwa perasaaan-perasaan seperti itu sepatutnya diperhatikan secara serius. Namun, betapa pun, saya yakin Islam tak dapat diselenggarakan oleh negara, juga tak bisa dilepaskan dari kehidupan publik masyarakat-masyarakat Islam, namun biaya kemanusiaan dari prakarsa-prakarasa yang diyakini gagal semacam itu harus dilawan dengan argumentasi-argumentasi yang disampaikan dengan baik dan tegas, daripada dengan sekadar berharap bahwa mereka akan menyingkir dengan sendirinya, atau berusaha mengkooptasi pemerintah untuk menekan mereka. Tak akan terjadi apa-apa tanpa aksi bersama, mereka yang mengontrol negara selalu lebih cakap dalam mengkooptasi dan memanipulasi kaum intelektual, terutama saat mereka beraksi sendirian atau dalam kelompok-kelompok kecil yang terisolasi secara politis. Dalam banyak kasus, menghindari debat dan refleksi publik tak akan menuntaskan ketakutan tersebut, atau mengurangi kegentingan persoalan-persoalan ini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat-masyarakat dan komunitas-komunitas Islam sekarang ini.
[1] Kurt Lewin, Field Theory in Social Science: Selected Theoretical Papers (New York: Haper & Brothers Publishers, 1951), h. 169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar