Home » » Perbedaan islam dan Tasawwuf

Perbedaan islam dan Tasawwuf

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 25 Oktober 2011 | 07.48

Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan manhaj Tasawwuf, dan perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber-sumber pengambilan agama  dalam aqidah dan syari'ah. Demikian penegasan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam buknya Fadhoihus Shufiyyah (Cemar-cemarnya Sufisme), Maktabah Ibnu Taymiyyah, Kuwait, 1404H/ 1984M, halaman 43.
Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan aqidah terbatas pada wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul saja, yang  hal  itu yang kita miliki adalah Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits Nabi SAW) saja. Adapun agama sufisme (Ad-Dienus Shuufii) --istilah Abdur Rahman Abdul Khaliq-- yang mereka jadikan sumbernya  adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para wali, dan kasyf (terbukanya tabir hingga mereka tahu  yang  ghaib) yang mereka  dakwakan, dan tempat-tempat tidur (mimpi-mimpi),  perjum­paan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidhir 'alaihis salaam, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (ruhaniyyin).
Adapun sumber pengambilan syari'at bagi ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (Al-Hadits), Ijam' (kesepakatan  para ulama  terdahulu generasi awal Islam), dan  qiyas  (perbandingan, yaitu  pengambilan hukum dengan membandingkan kepada  hukum  yang sudah  ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau  Al-Hadits, dengan  syarat  kasusnya sama, misalnya beras bisa  untuk  zakat fitrah karena diqiaskan dengan gandum yang sudah ada nash  hadit­snya).
 Sedangkan bagi orang-orang tasawwuf,  pembuatan  syari'at mereka  didirikan  di atas mimpi-mimpi  (tidur),  Khidhir,  jin, orang-orang  mati,  syeikh-syeikh,  semua mereka  itu  dijadikan pembuat  syari'at.  Oleh  karena itu  jalan-jalan  dan  cara-cara pembuatan  syari'at  tasawwuf itu  bermacam-macam.  Sampai-sampai mereka mengatakan: Jalan-jalan menuju Allah itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syeikh memiliki tarekat dan manhaj/ jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus, lambang-lambang khusus,  dan ungkapan-ungkapan khusus. Maka tasawwuf  itu  adalah ribuan  agama,  aqidah, dan syari'at; bahkan ratusan  ribu  tidak terhitung  banyaknya,  semuanya itu di bawah apa  yang dinamakan tasawwuf.
Dan  inilah perbedaan asasi (pokok/ dasar) antara Al-Islam  dan tasawwuf.  Islam itu  agama yang  muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan)  aqidahnya,  ibadahnya, dan  syari'atnya. Sedangkan tasawwuf  itu agama yang tidak ada batasannya, tidak ada  pengertian  (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah ataupun  syari­'at-syari'atnya.  Inilah perbedaan yang paling besar  antara  Al-Islam dan tasawwuf. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 43-44).
Garis-garis Besar Aqidah Sufisme
1. Aqidah sufisme mengenai Allah:
 Orang-orang  tasawwuf percaya kepada Allah dengan  aqidah-aqidah yang  macam-macam  di antaranya al-hulul  (inkarnasi,  penitisan/ penjelmaan  Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat  Al-Hallaj (menyebabkan  ia memaklumkan dirinya sebagai  "kebenaran"  dengan ucapan  "anal Haq" = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah  salah  satu nama  Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: "Akulah Tuhan." )
Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah  memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah  sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam  tasawwuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur  al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki  dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an  (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori  kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan  menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam  kesendirian-Nya  itu, terjadilah dialog antara Tuhan  dengan diriNya.
 Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam kata-kata ataupun  huruf-huruf.  Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggianNya  dan Allah  pun  cinta  pada zatNya sendiri. Cinta  yang  tidak  dapat disifatkan  dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud  dan  sebab dari yang banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada,  bentuk (copy)  diri-Nya,  yang mempunyai segala sifat dan  namaNya,  dan
bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah  Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan  memulia­kannya  di syurga dan sebagai khalif di bumiNya. (Drs Shodiq  SE, Kamus Istilah Agama, CV Sienttarama Jakarta, cetakan kedua, 1988, hal  122-123).
Kemudian  akibat pendapatnya yang mengandung kemusyrikan  itu maka  Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran) 244H/  858M  ini dihukum  bunuh  pada tanggal 24 Zulqa'dah tahun  309H/  26  Maret 922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah  ke-18 dari  37  khalifah, Al-Muqtadir bi 'l-lah (Ja'far  Abu  'l-Fadhl, yang  berkuasa  pada tahun 295-320H/ 908-932M.  Selain Al-Hallaj dituduh  membawa  paham yang menyesatkan (paham hulul),  ia  juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi'ah Qaramitah, suatu  kelom­pok Syi'ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat  yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10  sampai abad  ke-11. (lihat Ensiklopedi Islam, Kafrawi Ridwan dkk ed,  PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet V, 1999, huruf H, hal 74-75).
Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Mansur Al-Hallaj (244-309H) dilahirkan di Persia, seorang cucu dari  penganut  Zoroaster,  dibesarkan di Irak. Tokoh inilah  yang  terkenal dengan  "Hululiyin" (para penganut faham panteisme) dan  "Ittihadiyyin" (para penganut faham manunggaling kawula gusti). Ia ditu­duh  kafir, dibunuh dan disalib karena 4 perkara yang  dituduhkan kepadanya:
1.  Karena  berhubungan  dengan  orang-orang  Qaramithah  (Syi'ah ekstrim).
2. Karena ucapannya: "Aku adalah Tuhan Yang Haq."
3. Karena pengikutnya meyakini akan ketuhanan dirinya.
4. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Tentang  kepribadiannya,  banyak  hal-hal  yang  tidak  jelas. Pertama  sikapnya yang  sangat keras  kepala,  membangkang,  dan ekstrim.  Ia  mengarang buku "Al-Thawwasin",  yang  diteliti  dan diterbitkan  kembali oleh Louis Massignon (seorang  orientalis).
 (Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, Al-Mausu'ah  al-Muyassarah fil Adyan wal Madzaahib al Mu'ashirah, diterjemahkan A Najiyulloh  menjadi Gerakan Keagamaan dan Pemikiran,  Akar  Ideologis dan Penyebarannya, Al-Ishlahi Press, Cet I, 1995, jilid II,  hal. 259).
Ulama  yang hidup pada masa itu di antaranya  At-Thabari  ahli tarikh/ sejarah  (w 923M/ tidak  menemui  disalibnya  Al-Hallaj 932M). Al-Asy'ari (260-324H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham Mu'tazilah  selama  sekitar 40 tahun, kemudian berubah  ke  faham yang kini disebut Asy'ariyyah atau Asya'irah, dan kemudian rujuk ke  Manhaj (jalan) Salaf (sahabat, tabi'ien dan tabi'it  tabi'in) dengan menyusun  Kitab Al-Ibanah, kitab  Tauhid  yang  Manhajnya Salaf,  namun para pengikut kini merujuknya bukan ke  yang  Salaf itu tapi ke yang Asy'ariyah yang berdekatan dengan faham  Maturi­diyah.  Beliau  wafat tahun  935M, berarti masih hidup  selama  3 tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 932M. Sedang Junaid Al-Baghda­di,  mufassir shufi pertama, meninggal tahun 910M, saat  itu  Al-Hallaj baru berumur 2 atau 3 tahun, yang kemudian ketika umur  25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad  lantaran fahamnya yang dinilai sangat membahayakan Islam.
Dan  di antara aqidah sufi yaitu Wihdatul Wujud (manunggaling kawula  Gusti, bersatunya hamba dengan Tuhan, lihat pada Bab  Nur Muhammad, Hakekat Muhammad, dan Wihdatul Wujud) di mana tidak ada pemisahan antara Khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang  terakhir yang  tersebar  sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari  ini,  dan diterapkan  akhir-akhir  ini  oleh setiap  tokoh  tasawwuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu 'Arabi, Ibnu Sab'in, At-Tilmasani,  Abdul Karim Al-Jilli, Abdul Ghani  An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya. (Fadhoihus Shufiyyah,  hal 44, Al-Fikrus Shufi cet 4, hal 58, As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 21, terjemahannya, hal 23-24).
Ada pula aqidah shufi yang namanya ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (tasawwuf) sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih  dahulu melalui penghancuran diri (fana') dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam  keadaan baka' (tetap/ bersatu dengan Allah SWT).
Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh shufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam, Iran, 261H/ 874M).
Pada  suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat  subuh Yazid  al-Bustami berkata kepada orang-orang  yang  mengikutinya: Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa'budnii (Sesungguhnya aku ini  adalah  Allah,  tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku)."  Mendengar  kata-kata itu, orang-orang yang  menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.
Menurut pandangan para shufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawwuf.
Dalam keadaan ittihad, seorang shufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan, seperti yang  diucapkan al-Bustami di atas (Sesungguhnya aku  ini Allah, tiada  Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku). Al-Bustami  juga pernah mengucapkan kata-kata: Subhani subhani, ma a'dhama sya'ni (Maha Suci aku, Maha Suci aku, alangkah Maha Agungnya aku).
Al-Bustami juga berkata: Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah).
Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan --aneh-aneh--  yang keluar dari mulut seorang shufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan shufi, kata-kata itu bukan keluar dari seorang shufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui  lisan  seorang shufi tetapi sedang  dalam  keadaan ittihad. Bukan  Zat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT  yang ada  pada diri shufi itulah yang sedang berbicara. (lihat Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 286-287).
Betapa jauhnya kepercayaan shufi itu dari Islam. Allah SWT disamakan dengan jin  atau syetan yang masuk ke diri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan (ke-jin-an/majnun), dan bicaranya ngaco (merancu tak keruan), hanya saja dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah sampai pada
tingkatan (maqom) tertinggi --yang mereka tuduhkan-- yakni  ittihad, menyatu dengan Tuhan. Na'udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu.
Hanya  saja, aqidah sesat ini ditampilkan dengan  nada  miring berupa pembelaan samar di buku yang disebut Ensiklopedi Islam di Indonesia  ini, yang ditangani dan ditulis oleh orang-orang  IAIN (Institut Agama Islam) Jakarta dan lainnya, yang memang editornya ada  seorang  profesor yang dikenal  sebagai  pengajar tasawwuf, sekaligus  pembela  tasawwuf. Pak profesor  itu  pernah  mengajar tasawwuf kepada saya dan teman-teman 40-an orang di Jakarta 1997, yang  rata-rata mempunyai jama'ah dan keluaran  perguruan  tinggi Islam dan insya Allah mampu membaca kitab. Saya katakan pada  Pak Profesor tasawwuf itu dalam perkuliahan, bahwa tasawwuf itu bukan dari Islam, mengotori Islam. Apa itu kasyf (tersingkapnya  hijab, hingga  seorang shufi bisa mengetahui hal ghaib) yang dibeberkan Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111M/ 505H)? Itu bukan ajaran  Islam,
karena teori itu Jayabaya yang sama sekali bukan orang Islam  pun kemungkinan bisa, dengan istilah yang dikenal dengan  "ramalan Joyoboyo".  Di samping itu, Al-Ghazali tidak memperhatikan  Islam secara  penuh.  Dia masih hidup selama 25 tahunan  ketika  Perang Salib  berlangsung  (Tentara  Salib  menduduki Yerussalem tahun 1076M,  sedang Al-Ghazali hidup 1058-1111M) , yaitu perang  besar dan berkepanjangan antara Muslimin dengan Kristen. Namun  sebagai ilmuwan, Al-Ghazali tidak terdengar adanya perhatian dia  tentang perang  jihad  yang sangat besar itu, baik  itu  tulisan  ataupun pidato, padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa, Sunan Mangkunegoro IV yang diangkat-angkat sebagai orang yang  termasuk tokoh  shufi (dijadikan tesis untuk doktor di IAIN  Jakarta  oleh Profesor tersebut dengan tema keshufian) ternyata dia  (Mangkune­goro  IV) itu sendiri jelas-jelas menulis syair  yang  menyatakan bahwa dirinya tidak shalat. Jadi tasawwuf itu jelas bukan  ajaran Islam, bahkan mengotori Islam, tutur saya (penulis).
Bagaimana  reaksi Pak Profesor yang bukan sekadar  mengenalkan apa  itu shufi, namun memang pembawa ajaran tasawwuf itu.  Dengan muka yang cukup tegang (padahal beliau orang Solo Jawa Tengah dan sudah  agak  tua,  yang tampaknya lembut tapi  saat  itu  memerah wajahnya),  beliau  menunjuk-nunjuk saya  sambil berkata:  "Anda belajar  di  mana?! Keluaran mana?! Lalu  belajar  apa?!"  dengan suara  keras  dan mengagetkan teman-teman  yang  berjumlah  40-an orang dalam ruang kuliah itu.
Setelah  saya jawab, beliau hanya berseru: "Anda harus  banyak belajar lagi!"
Ucapan-ucapan beliau itu, di luar perkuliahan dihafalkan oleh seorang teman,  yang kalau bertemu saya lalu dia praktekkan, dengan  menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata  Pak Professor, kemudian ditutup dengan: "Ini marahnya  seo­rang shufi, kamu harus tahu!" ucapnya sambil tertawa-tawa.  Saya­pun tertawa saja ketika dicandai begitu.
Pada  kesempatan berikutnya, rupanya pertanyaan  saya  kepada Bapak Profesor itu diambil hati (diperhatikan betul). Kemungkinan beliau  lantas membuka-buka referensi atau  rujukan  kitab-kitab, untuk  membantah  ucapan  muridnya ini.  Lalu dalam  perkuliahan selanjutnya, beliau menjawab tentang kasus Al-Ghazali tokoh shufi kasyf, dan Mangkunegara IV raja kerajaan (kasunanan)  Mangkunega­ran Surakarta  (Solo) Jawa Tengah, yang  dipersoalkan  tersebut. Kata  Pak Profesor yang jadi salah satu editor Ensiklopedi Islam yang sedang dikritik ini, Al-Ghazali bukannya tak ada perhatian terhadap kegiatan Islam. Buktinya, Al-Ghazali juga pernah berkunjung  ke  Andalus,  guna memberikan gelar  kepada  salah  seorang anggota  kekhalifahan di Andalus. Adapun Mangkunegara IV, toh  di dalam Kitab Nailul Authar disebutkan bahwa shalat itu bisa dijama'. Nah, Mangkunagara IV itu sebelumnya dia "nyantri" di  pesan­tren,  lalu  dipanggil untuk menjadi pegawai  di kerajaan,  jadi sibuk. Memang dalam dua baris syairnya, Mangkunegara IV menyebutkan dirinya tidak shalat.
Tak  tahulah.  Saya dan teman-teman  tidak  bisa  "menjangkau" jawaban  Pak Profesor itu. Apa hubungannya antara  shalat  boleh dijama'  dengan tidak shalatnya Mangkunagara IV, dan  apa  hubun­gannnya antara perhatian yang dituntut oleh Islam dengan  bertan­dangnya Al-Ghazali untuk memberi gelar seorang anggota kekhalifa­han  di  Andalus? Yang bisa dijangkau hanyalah  gumam  yang kewetu (terlanjur  keluar) dari lisan Pak Profesor, bahwa beliau  ketika diuji  tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunagara  IV  kaitannya dengan tasawwuf) di IAIN Jakarta tidak sampai seperti  pertanyaan yang dicecarkan si murid ini.
Pada  lain  kesempatan,  saya ceritakan  hal  tersebut  kepada seorang  teman. Lalu teman saya itu bercerita pula tentang  model jawaban  "marah"  dari "syeikh" shufi yang  pernah  dia  saksikan ketika mendapatkan kesempatan untuk penataran da'i internasional di  Al-Azhar Mesir selama 3 bulan. Dalam suatu  perkuliahan,  ada peserta  (da'i) dari Bangladesh yang mengkritik tasawwuf.  Lantas guru  yang "syeikh"  shufi tidak menjawab  kritikan  itu  dengan jawaban  yang  berkaitan dengan kritikan, namun  hanyalah  marah-marah disertai kata-kata, "Di negerimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak  usah kamu mengkritik-kritik tasawwuf. Urusan di  negerimu saja banyak sekali. Itu yang harus kamu urusi." 
Entah kenapa, kok ada kemiripan antara sesama guru besar tasawwuf  baik yang ada di Jakarta maupun Kairo, kalau dikritik tasawwufnya lalu marah-marah, dan jawabannya ngaco (tidak relevan).  Di samping itu ada kemiripan kenyataan pula, yang  sekolah jauh-jauh  ke Al-Azhar Mesir atau ke Pasca Sarjana  IAIN  Jakarta tahu-tahu  di  masyarakat menyebarkan tasawwuf.  Tidak  semuanya, tetapi bisa dibilang jarang sekali yang kritis terhadap  sufisme. Sebagai  bukti, profesor di IAIN Jakarta tersebut bukannya  meng­kritik Mangkunegara IV yang tidak shalat, tetapi malahan mencari-carikan jawaban dengan mengemukakan bolehnya shalat jama'  (diga­bung  antara dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya').  Padahal antara keduanya (tentang tidak shalat dan tentang bolehnya shalat jama') itu tidak ada kaitannya.
Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini karena sering mendapat­kan  kesempatan untuk menyaksikan ujian doktor di  IAIN  Jakarta, termasuk  ujian beliau (yang jadi editor Ensiklopedi Islam  itu), beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan tersebut. Ujian itu seperti  biasanya, selalu dihadiri oleh Prof Dr  Harun  Nasution,
dekan  Pasca  Sarjana IAIN Jakarta, sebagai salah  satu  penguji. Berkali-kali  saya bertugas meliput ujian  doktor  semacam  itu, karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN  Jakarta untuk meliputnya.
Apa yang kewetu dari lisan Pak Profesor bahwa  ketika  ujian justru  tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti  itu,  memang betul.  Karena Harun Nasution sebagai dekan memang sudah  dikenal arah pemikirannya secara umum adalah mengarah kepada  Mu'tazilah, filsafat, dan sufisme. (Untuk mengarahkan agar kenal dengan faham Mu'tazilah,  misalnya Harun Nasution menanya kepada calon doktor yang  diuji:  "Apa makna Yahdillaahu man yasya'?" Lalu  si  calon doktor menjawab: "Allah memberi petunjuk kepada orang yang  Allah kehendaki." Kemudian  disahut oleh Harun  Nasution:  "Itu  makna menurut  Ahlus  Sunnah. Kalau menurut  Mu'tazilah?"  Bila  calon doktor  tak  bisa menjawab, maka dituntun  oleh  Harun  Nasution: "Allah memberi petunjuk kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki. Jadi yasya' itu dhomirnya/ kata gantinya kembali  kepada "man"  yaitu orang itu sendiri". Lantas calon doktor  itu  (maaf) tampaknya seperti kerbau yang dicocok hidungnya).
Meskipun  sebenarnya  dalam ujian yang saya saksikan  itu  ada penguji  yang  jeli dan mempertanyakan pula tentang  shalat  atau tidaknya Mangkunegara IV, namun wibawa dekan yakni Harun Nasution yang  sudah  bisa dimengerti bahwa sufisme ini  jelas-jelas  dia dukung, ataupun kondisi waktu bisa diatur oleh sang ketua ujian,
maka  pertanyaan  pun tidak sampai menukik  benar.  Bahkan,  saya saksikan, pembangkitan kembali peninggalan Mangkunagara IV  yang pembahasannya dikaitkan dengan sufisme (kedua-duanya ini sebenar­nya  sudah terkubur, tapi digali kembali oleh tangan-tangan  yang 'kemungkinan  mengotori Islam') itu, mendapat sambutan yang  baik dalam  ujian tersebut. Dari sini bisa difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya adalah  sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme (tidak boleh mengakui  bahwa Islam  sajalah yang  benar) dicampur  sufisme  memang  mendorong dimunculkannya ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis  yang diujikan  dan  mendapat sambutan baik tersebut.  Dan  salah  satu sarana yang disisipi misinya untuk disebarkan adalah Ensiklopedi Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang yang diberi  proyek untuk menulis itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk membia­yai kuliahnya hingga mencapai doktor.
Pantaslah  kalau  penggalian kembali tulisan  Mangkunegara  IV tersebut  dihargai, karena misinya sama dengan  misi  orientalis seperti  Louis Massignon dan lain-lainnya yang  menggali  kembali peninggalan-peninggalan tasawwuf yang telah terkubur lalu  ditam­pilkan lagi dan dicetak. Untuk apa? Untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat dengan penjajahan terhadap ummat Islam  sedu­nia dan mengotori Islam, melemahkan serta merancukan. Dan  missi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan pemerintahan Orde Baru dengan menteri-menteri agama Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmid­zi  Taher, dan di zaman reformasi setelah jatuhnya Presiden  Soe­harto adalah Menteri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan  pengiriman dosen-dosen IAIN ke negeri-negeri Barat  untuk belajar "Islam" warisan orientalis. Adapun menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara  tak begitu terdengar apakah  ia  menggencarkan atau  tidak, walau  masanya setelah Mukti  Ali.  Sedang  Quraish Shihab  yang jadi menteri agama selama 70 hari saja, karena  Soe­harto  keburu  jatuh akibat didemo mahasiswa 21 Mei  1998,  walau alumni Al-Azhar Mesir namun tidak tampak mencoba untuk membendung arus  Harun  Nasution  yang pro  orientalis.  Bahkan sebelumnya, ketika  Quraish  jadi rektor IAIN pun tidak  ada  gaungnya  alias tidak terdengar membendung Harunisme. Ketika buku  ini  ditulis, yang  duduk sebagai dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta adalah  Prof Dr Said Aqil Al-Munawar, seorang yang hafal Al-Quran dan  berguru Hadits ke Syeikh Yasin Al-Padangi di Makkah.
Ustadz Aqil ini dari kalangan  NU, beliau hafalannya kuat. Ketika saya sempat diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan, beliau sering sekali menyebut nama Abdul Fattah Abu Ghuddah (tokoh Ikhwanul Muslimin  Syuriah,  ada yang menggolongkannya  shufi juga). Apakah  Pak  Aqil  mendukung orientalis juga dan mendukung shufi, belum bisa saya berkomentar.
Yang jelas, terhadap shufi tentu tidak seperti tulisan saya  ini. Sedang  menteri agama  angkatan Presiden  Gus  Dur  (Abdurrahman Wahid) September 1999 adalah Thalhah Hasan konon orang NU.  Belum terdengar adanya penyetopan terhadap pengiriman dosen-dosen  IAIN ke  Barat  untuk belajar Islam alias sufisme  yang  diprogramkan orientalis  dan Yahudi. Apalagi Presiden Gus Dur justru  dikenal sebagai  orang yang dari awalnya pro Yahudi Israel  dan  bersuara miring terhadap gerakan Islam murni. Jadi, paling kurang, program yang  berbau orientalis dan Yahudi kemungkinan  akan  dilindungi oleh  Gus  Dur. Di samping itu, sekalipun  Harun  Nasution  sudah meninggal dunia, namun kader-kadernya telah banyak, dan  program­nya  masih  berjalan. Meskipun demikian,  kebatilan yang  mereka usung  secara  sistematis dan dibiayai oleh duit  Muslimin  lewat negara,  insya  Allah  akan hancur juga,  karena  gelombang  anti kolonialis,  anti filsafat,  anti tasawwuf,  anti  bid'ah,  anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka tipuan Yahudi;  sema­kin  merebak.  Di antara bukti  nyata,  gagasan reaktualisasinya.
Munawir Sjadzali,  menteri agama yang lama, yang  ingin  merubah hukum  waris Islam, dari 2:1 antara bagian laki-laki dan  perempuan  menjadi 1:1; karena Munawir menganggap hukum Islam  tentang waris  (yang  menegaskan 2 bagian untuk laki-laki  dan  1  bagian untuk perempuan) itu tidak adil, ternyata gagasannya itu   luntur dengan habisnya masa jabatan kementrian Munawir 1993. 
Mengenai pembelaan samar terhadap tasawwuf dalam buku  Ensi itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut:
"Paham-paham ittihad, hulul ataupun wahdah al-wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama syari'at. Oleh  sebab itu, para penulis tentang shufi atau tasawwuf pada abad ke-3  dan ke-4  Hijriah  (masa  subur dan  berkembangnya paham  tasawwuf), seperti Abu Bakar Al-Kalabadi (w 380H) dan Abu Qasim Abdul  Karim al-Qusyairi  (w 465H), enggan menulis  masalah-masalah  tersebut.
Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan kaum Orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk  mengungkapkan khazanah lama miliknya  itu."  (Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 287).
Bagaimana  buku  itu menggambarkan seakan tasawwuf  itu  suatu yang berharga sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam baris-baris  kutipan terakhir tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak dibuat sedemikian rupa, hingga para ulama pun  disebut "ulama-ulama  syari'at",  seakan Islam itu  tidak  komplit  kalau tidak pakai tasawwuf. Sedang para ulama yang ahli hadits,  fiqh, tafsir dsb yang tentu saja faham benar tentang sesatnya tasawwuf, disebutnya ulama-ulama syari'at.
Telah  disebutkan  di atas, bagaimana Imam  Ahmad  bin  Hanbal menasihati murid-muridnya agar tidak mendekati orang sufi.  Imam Ahmad  bin Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat terkenal, yaitu  Imam Hanafi (lahir di Kufah 80H-  w. di  Baghdad 150H/ 700-772M), Imam Maliki (Madinah 93- 179H/  712-798M),  Imam  Syafi'i (Ghazza 150H/ 767M - w.  di  Fusthat Mesir
204H/820M),  dan Imam Hanbali (Baghdad 164H/780M, w.  di  Baghdad 241H/855M). Dalam pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka  itu disebut ulama syari'at (untuk maksud bahwa ada  ulama  tasawwuf) seperti  penyebutan dalam Ensiklopedi itu,  tetapi adalah Imam (madzhab) yang empat, artinya mereka itu ulama, yang tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad (mencurahkan pikiran untuk  menentukan  hukum syara' yang tidak ada dalam nash/teks ayat  ataupun hadits) tanpa bersandar pada orang lain.  Sehingga, ulama-ulama belakangan yang meneruskan ilmu para  mujtahid atau imam  madzhab tersebut, sebenarnya tidak  perlu  disebut  ulama syari'at.  Cukup  disebut ulama. Namun  orang  shufi  menyebutnya ulama  syari'at karena dianggap tidak mengetahui yang batin  atau yang  ghaib. Padahal Nabi Muhammad SAW sendiri tidak  mengetahui yang  ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi tidak tahu apa yang diperbuat Allah untuk Nabi sendiri esok (lihat dalam bab aqidah). Allah berfirman:
"Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah." (An-Naml: 65).
Ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi SAW, mereka mengang­gap bahwa Nabi termasuk orang yang mengaku  bisa  melihat  yang ghaib,  maka mereka menyembunyikan sesuatu di dalam (genggaman) tangan  mereka  untuk  beliau. Dan mereka  berkata  pada  beliau: "Khabarkan  pada  kami, apa dia (yang ada dalam genggaman kami ini)? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan berteriak:
"Innii lastu bikaahinin, wa innal kaahina wal kahaanatu  walkuhhaana fin naar."
(Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu di dalam neraka.") (HR Abu Dawud, 286).
Kembali kepada buku tersebut, untuk menegaskan satu sikap dari suatu buku, ataupun untuk mengemukakan bahwa shufi itu juga perlu dianggap bahwa di sana ada ulamanya, maka maksud-maksud itu  bisa dibaca pula. Sebagaimana Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam  bukunya yang menyoroti shufi itu menyebut shufi sebagai ad-dien as-shufi (agama  sufi),  bukan sekadar aliran shufi, karena  memang shufi ataupun tasawwuf dinilai sebagai di luar agama Islam. Hanya  saja bedanya, pihak  yang satu (pembela shufi) ingin  mendorong  agar shufi  atau tasawwuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang  lain (penolak  shufi)  menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil  bahwa shufi atau tasawwuf itu di luar Islam.  Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti  perin­tah Allah SWT:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang  sesuatu,  maka kembalikanlah  ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul  (sunnahnya), jika  kamu benar-benar beriman kepada Allah dan  hari  kemudian." (QS An-Nisaa'/ 4:59).
Coba kita kembalikan kepada Al-Quran atau Sunnah Rasul, apakah memang aqidah shufi itu cocok. Aqidah shufi  terutama ittihad, hulul,  dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan keghaiban yang tertinggi,  yaitu dzat Allah SWT. Padahal, Nabi SAW  telah menegaskan:
Wallahi innii larosuulullaah, laa adrii maa yaf'alu bii ghodan.
Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti utusan Allah, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah kerjakan padaku esok." (Hadits Riwayat  Al-Bukhari  3/ 358, 6/223 dan 224, 8/ 266 dalam Fathul Bari; dan riwayat Imam Ahmad 6/ 436 dari Ummul 'Ala'  Al-Andhariyah dengan semacamnya).
Selanjutnya, untuk menuntaskan masalah ini, akan dibahas --insya Allah—dalam bab Lemahnya Alasan Shufi dan Pendukungnya.
2. Aqidah Shufi Mengenai Rasulullah SAW
Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah juga ada bermacam-macam  aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa  Rasul  SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang shufi). Dan  Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu  tokoh-tokoh tasawwuf  seperti perkataan Busthami: "Kami telah masuk  lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya."
Abu  Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila  at-Tashawwuf ya  'Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut  kepada  At-Tijani (pendiri  tarekat  At-Tijaniyah). Lalu  Al-Jazairi  berkomentar: Kelanjutan  ucapan At-Tijani ini bahwa  quthub-quthub  (wali-wali yang ada di kutub-kutub dunia) shufi itu menurut pendapat mereka lebih  tahu dibanding Nabi-nabi tentang Allah dan lebih  mengerti tentang syari'atNya  yang mengandung  kecintaan  dan  kemarahan. Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai  hamba-hamba Allah? komentar Abu Bakar Jabir  Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah.  (Ila  at-Tashawwuf  ya 'Ibadallaah,  Jam'iyyah  Ihyait Turats Al-Islami, halaman 40).
Di antara mereka (orang-orang shufi)  ada  yang  mempercayai bahwa Rasul Muhammad itu adalah kubah alam, dan dia itulah  Allah yang  bersemayam  di atas Arsy,  sedangkan  langit-langit,  bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (nur Muham­mad),  dan  dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam di  atas Arasy Allah. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya/  pengikutna.  (fadhoihus Shufiyyah,  hal  44-45,  Al-fikrus  Shufi, hal 58-59, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf,  hal  22, terjemahnya halaman 24-25).
3. Aqidah Shufi Mengenai Wali-wali.
Sufisme  dalam  hal wali-wali juga mempercayai  dengan  keper­cayaan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang  melebihkan wali  di atas nabi. Pada umumnya orang shufi menjadikan wali  itu menyamai/sejajar  dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia (wali) itu mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam.
Orang  shufi membagi-bagi wali menjadi beberapa  bagian,  ada yang disebut wali  Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu di dunia ini, dan ada 4 Wali Kutub yang  memegangi pojok-pojok yang empat di dunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai  kekuasaan di satu benua dari 7 benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba', yang mereka itu memiliki kekuasaan di kota-kota setiap wilayah  di kota. Di kota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali internasional ini menguasai makhluk, dan mereka  punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira', setiap  malam mereka melihat taqdir. Cekak aosnya (pendek  kata), dunia  perwalian (shufi) itu adalah dunia  khurafat  (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total.
Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegak­kan di atas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada  Allah,  dan membutuhkan (pertolongan) Allah. Sebenarnya wali  itu  tidak  bisa menguasai urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan madharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah Ta'ala berfirman:
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan  suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula)  suatu  kemanfaatan." (QS  Al-Jinn/  72:21). (Fadhoihus Shufiyyah, hal  45, Al-Fikrus Shufi, hal 59, As-Shufiyyah 'Aqidah wa Ahdaf hal 22-23).
Sebagian  cerita  yang dikisahkan  orang-orang  shufi memang terjadi, namun bercampur dengan sihir, sebagaimana yang  dijelaskan  oleh  Ibnu Taimiyyah dalam bukunya yang  berjudul Al-Furqan baina  Auliya'ir Rahman wa Auliya'is syaithan  (perbedaan  antara wali-wali  Tuhan  dan wali-wali syetan). Buku  itu muncul waktu orang-orang  mencampuradukkan  antara  sihir  dan  karamah. Ibnu
Taimiyyah  mengatakan  bahwa sebagian orang  musyrik,  baik  dari Bangsa Arab, India, Turki, Yunani, maupun bangsa lain,  mempunyai kegigihan dalam bidang ilmu, kezuhudan, dan ibadah; namun  mereka tidak mengikuti dan tidak beriman kepada para Rasul, tidak membe­narkan  berita-berita yang Rasul bawa, dan tidak mentaati  perin­tahnya.  Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman,  dan bukan pula wali-wali Allah. Mereka  adalah  orang-orang yang dihubungi  dan dihampiri oleh syetan-syetan.  Mereka  dapat mengungkapkan beberapa perkara ghaib, mereka  memiliki  beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir. Mereka  itu tukang  sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah Ta'ala  berfir­man:
"Apakah  akan  Aku beritakan kepadamu,  kepada  siapa  syetan-syetan  itu  turun? Mereka turun kepada tiap-tiap  pendusta  lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu,  dan  kebanyakan mereka adalah orang-orang  pendusta."  (As-Syu'ara: 221-223).
Mereka  bersandar  kepada  Mukasyafat  (penyingkapan  perkara- perkara  yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila  mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid'ah  dalam  ibadah.  Mereka dihampiri  dan didatangi  syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah Ta'ala berfirman:
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." (Az-Zukhruf/ 43:36).
Pengajaran Allah (Dzikrur Rahman) adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya saw, yakni al-Quran.
Barangsiapa  tidak beriman kepada Al-Quran, tidak  membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling  dari Al-Quran, kemudian syetan  datang  menjadi teman setia baginya.
Seseorang  yang  selalu berdzikir kepada  Allah,  baik  malam maupun  siang, disertai dengan puncak kezuhudan  dan  kesungguhan beribadah  kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang  Allah turunkan, yakni Al-Quran, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Syetanlah yang  membawanya  ke  angkasa sehingga ia  mampu  terbang.  (Ibnu
Taimiyyah,  Al-Furqan baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'is  syaithan, 1396H, hal 11 seperti dikutip Laila binti  Abdillah  dalam As-Shufiyyah  Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan, Riyadh,  cetakan  I, 1410H,  halaman 24-25, dan terjemahan Indonesia Mewaspadai  Tasawuf, Wala Press, Bekasi, I, 1416H/ 1995, hal 28-30).    
Wali Allah menurut Al-Quran
Wali  Allah  menurut Al-Quran tidak seperti  yang  digambarkan oleh  orang tasawwuf. Tetapi wali Allah yaitu  orang-orang yang beriman  dan  bertaqwa, seperti yang ditegaskan Allah  SWT  dalam firmanNya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada  kekha­watiran  terhadap mereka dan tidak (pula) mereka  bersedih  hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka  berita  gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akherat." (QS Yunus/ 10: 62, 63, 64).
Dimaksudkan dengan wali-wali Allah dalam ayat ini ialah orang-orang  mukmin dan mereka selalu bertaqwa,  sebagai  sebutan bagi  orang-orang yang membela agama Allah, dan orang-orang  yang menegakkan hukum-hukumNya di tengah-tengah masyarakat, dan  seba­gai lawan kata dari orang-orang yang memusuhi agamaNya,  seperti orang-orang musyrikin dan orang kafir.
Dikatakan  tidak ada kekhawatiran bagi mereka,  karena  mereka yakin  bahwa janji Allah pasti akan datang,  dan  pertolonganNya tentu  akan  tiba, serta petunjukNya tentu membimbing  mereka  ke jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka,  mereka tetap bersabar menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakkal kepada Allah.
Dan  tidak pula gundah hati, karena mereka telah meyakini  dan rela  bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan  alam  dan seluruh  isinya tunduk dan patuh di bawah hukum-hukum  Allah  dan berada  dalam  genggamanNya. Mereka tidak gundah  hati  lantaran berpisah  dengan dunia, karena kenikmatan yang akan diterima  di akherat adalah kenikmatan yang lebih besar. Dan mereka takut akan menerima adzab Allah di hari pembalasan, karena mereka dan  selu­ruh  hatinya telah dibaktikan kepada agama  menurut  petunjukNya. Mereka  tidak  merasa kehilangan sesuatu  apapun,  karena  telah mendapatkan petunjuk yang tak ternilai besarnya.
Kemudian daripada itu Allah SWT menjelaskan siapa yang  dimak­sud dengan wali-wali Allah yang berbahagia itu, dan apakah sebab­nya  mereka itu demikian. Penjelasan yang didapat di  dalam  ayat ini; wali itu ialah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa. Dimaksud  beriman di sini ialah orang yang beriman kepada  Allah, kepada  malaikatNya, kepada kitab-kitabNya,  kepada  Rasul-rasul-Nya, dan kepada hari qiyamat, dan segala kepastian yang baik  dan yang  buruk semuanya  dari Allah, serta  melaksanakan  apa  yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Sedang yang dimaksud dengan bertaqwa ialah memelihara diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, baik  hukum-hukum Allah yang mengatur tata alam semesta, ataupun hukum syara'  yang mengatur tata hidup manusia di dunia.
Sesudah itu Allah SWT menjelaskan bahwa mereka mendapat khabar gembira, yang mereka dapati di dalam kehidupan mereka di dunia dan  kehidupan  mereka di akherat. Khabar  gembira  yang  mereka dapati  ini,  ialah khabar gembira yang telah  dijanjikan  Allah melalui  Rasul-Nya. Khabar gembira yang mereka dapatkan di  dunia seperti kemenangan yang mereka peroleh di dalam menegakkan  kali­mat Allah, kesuksesan hidup lantaran menempuh jalan yang  benar, harapan  yang diperoleh sebagai khalifah di dunia, selama  mereka tetap berpegang kepada hukum Allah dan membela  kebenaran  agama Allah  akan mendapat husnul khatimah. Adapun khabar gembira  yang akan  mereka  dapati di akherat yaitu selamat  dari kubur,  dari sentuhan api neraka dan kekalnya mereka di surga 'Adn.  (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986, juz 11, halaman 418-419).
Ada orang yang mengatakan, bahwa wali Allah itu orang keramat, dapat mengerjakan perkara-perkara yang ajaib dan  aneh,  seperti berjalan  di  atas air, dapat menerka yang dalam hati  orang  dan sebagainya. Maka yang demikian itu, bukanlah menurut istilah  Al-Quran,  melainkan menurut istilah orang tasauf. Bahkan  ada  juga yang  disebut wali Allah, orang yang kurang akalnya,  dan  ganjil perbuatannya.  (Prof  Dr H Mahmud Yunus, Tafsir Quran  Karim,  PT Hidakarya Agung  Jakarta, cetakan ke-27, 1988M/  1409H,  halaman 300).
Jelaslah bedanya, antara wali Allah menurut Al-Quran, dan wali Allah menurut orang tasawwuf atau shufi. Orang yang kurang  akal­nya  dan ganjil perbuatannya pun disebut wali, itu jelas di  luar ajaran Al-Quran.
Mafhum  mukhalafahnya (pengertian tersiratnya), ketika  orang-orang  justru mengangkat-angkat orang model terakhir itu  sebagai wali  dan  dihormati, bahkan dijadikan pemimpin  yang  menentukan urusan  orang  banyak, boleh diduga keras bahwa  orang-orang  itu memang  telah lari dari Al-Quran. Dan itulah  sebenarnya bencana bagi  ummat Islam. Namun anehnya, di khutbah-khutbah Jum'at  atau di pengajian pun diserukan oleh para khatib --yang  model  itu-- untuk bersyukur kepada Allah SWT atas telah dipilihnya orang yang mereka anggap wali --padahal sebenarnya sama sekali bukan-- itu.
Ya Allah, tunjukilah hamba-hambaMu yang lemah ini, agar tidak terseret oleh ocehan mereka yang sangat jauh dari ajaranMu itu.
4. Aqidah Shufi Mengenai Surga dan Neraka:
Mayoritas  orang  shufi (menurut Abdur  Rahman  Abdul  Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut surga merupakan suatu  aib besar.  Seorang wali tidak boleh menuntutnya (mencari surga)  dan barangsiapa menuntutnya, dia telah berbuat aib.
Menurut  mereka, yang patut dituntut adalah al-fana' (menghancurkan  diri  dalam proses untuk menyatu dengan Allah  SWT)  yang mereka  klaim (dakwakan) terhadap Allah, dan  melihat  keghaiban, dan mengatur alam... Inilah surga orang shufi yang mereka klaim.
Adapun  mengenai neraka, orang-orang shufi  berkeyakinan  juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang shufi yang  sempur­na. Karena takut terhadap neraka itu watak budak dan bukan orang-orang  merdeka.  Di antara mereka ada yang berbangga  diri  bahwa seandainya ia meludah ke neraka pasti memadamkan neraka,  seperti kata  Abu Yazid al-Busthami (Parsi, w. 261H/ 874M).   Dan   orang
shufi yang berkeyakina dengan Wahdatul  Wujud (menyatu  dengan Tuhan),  di antara mereka ada yang mempercayai bahwa  orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan  keni'matannya, tidak kurang dari keni'matan surga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 46).  Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi, Fushushul Hukm.
Orang  jahil  di  masa kita sekarang  kadang  menyangka  bahwa aqidah mengenai surga (model shufi) ini adalah aqidah yang  ting­gi,  yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan  surga  dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan lagi (jelas)  menyelisihi aqidah kita yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa:
Mereka  berdo'a  kepada Kami dengan harap  (roghoban)  dan  takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu'." (QS  Al-Anbiyaa': 90).
Ar-roghob  yaitu  mengharapkan surga Allah  dan  keutamaanNya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksaNya, padahal para nabi  itu mereka  adalah sesempurna-sempurnanya manusia  (segi)  aqidahnya, keimanannya, dan keadaannya.            
Dan  (landasan) dari As-Sunnah: Perkataan seorang  Arab  Badui kepada Nabi SAW:
"Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik  bacaan lirihmu (dandanik  --suara  tak terdengarmu)  dan  bacaan  lirih Mu'adz.  Namun  hanya aku katakan, "Ya Allah,  aku  mohon  surga kepadaMu,  dan berlindung kepadaMu dari neraka." Lalu  Rasulullah saw berkata: "Sekitar itu juga bacaan lirih kami." (Hadits Riway­at Ibnu Majah).
Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang shufi untuk  diwujud­kan  yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan (surga)  dan tanpa merasa takut (neraka), maka menyeret mereka kepada bencana. Mereka berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu  yang disebut fana' (meleburkan diri) dengan Tuhan, dan  ini  menyeret mereka kepada  al-jadzdzab (merasa melekat dengan Tuhan), kemud­ian  menyeret mereka pula kepada al-hulul (inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam  diri manusia), kemudian menyeret mereka pula pada puncaknya  kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan  hamba/manunggaling  kawula Gusti). (As-Shufiyyah aqidah wa  ahdaf,  hal 26-27).
5. Aqidah Shufi Mengenai Iblis dan Fir'aun
Mengenai iblis, kebanyakan orang shufi, khususnya para penga­nut kepercayaan wihdatul wujud, berkeyakinan bahwa iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama  tauhid­nya. Karena menurut anggapan mereka, iblis tidak mau sujud kecua­li kepada Allah. Dan mereka mengklaim bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan memasukkannya ke surga. Demikian pula anggapan  mereka,  Fir'aun  adalah  seutama-utamanya  orang  yang mentauhidkan (mengesakan)  Allah (muwahhidien).  Karena  Fir'aun berkata: "Saya adalah Tuhanmu yang tertinggi" maka ia  mengetahui hakekat, karena setiap yang wujud itu adalah Allah, kemudian  dia (Fir'aun)  menurut klaim mereka, telah beriman dan masuk  surga. (lihat  Syarh Fushushul Hukm, halaman 418, Fadhoihus Shufiyyah,
hal 47, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal 27-28, Al-Fikrus shufi, hal 60).
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger