Kembali tentang Islam liberal, tampaknya di Indonesia lebih tidak terarah ke Islam lagi. Kalau Syah Waliyullah (India abad 18) yang oleh Kurzman dianggap sebagai cikal bakal Islam Liberal itu disebut sebagai revivalis (salafi) tapi agak akomodatif dengan tradisi, kini tahun 2001, Islam Liberal di Indonesia sudah sampai pada pemahaman pluralisme, menganggap semua agama itu sama atau paralel, semua menuju keselamatan, dan tidak boleh memandang agama orang lain dengan agama yang kita peluk.[1]
Di samping itu, orang yang di urutan pertama dalam barisan Islam Liberal yaitu Nurcholish Madjid jelas-jelas menegaskan bahwa Islam itu hanya al-din yang artinya agama, berarti tidak ada sangkutannya dengan pengurusan negara. Buktinya, menurut Nurcholish, Islam juga disebut al-din, sedangkan al-din itu untuk menyebut agama-agama lain pula, yang kenyataannya tidak untuk mengurusi negara.
Pendapat Nurcholish itu tercantum dalam artikelnya yang berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, dimuat di buku Kurzman, Wacana Islam Liberal.
Kutipan:
Nurcholish menulis: “Apologi bahwa Islam adalah al-Din bukan agama semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain, yang akhirnya melahirkan apresiasi ideologis-politis totalier, itu tidak benar ditinjau dari beberapa segi. Pertama ialah segi bahasa. Di situ terjadi inkonsistensi yang nyata, yaitu perkataan al-Din dipakai juga untuk menyatakan agama-agama yang lain, termasuk agama syirk-nya orang-orang Quraisy Makkah. Jadi arti kata itu memang agama; karena itu, Islam adalah agama.”[2]
Tanggapan:
Cara membolak-balik istilah lewat bahasa semacam itu, sering menjadikan orang yang tidak faham, menjadi bingung. Namun bagi yang faham, justru bisa mengatakan, seperti kata Pak Rasyidi, pemikiran semacam itu berbahaya karena pemikirannya sederhana.
Memang berbahaya, karena logikanya sangat sederhana. Islam itu al-Din, sedang al-Din itu digunakan untuk nama-nama agama lain, yang semua agama lain itu dia anggap tidak mengatur negara. Jadi Islam juga tidak ada urusannya dengan negara.
Coba dilihat di Al-Qur’an, apakah artikel Nurcholish yang dimuat di buku Kurzman itu benar. Ternyata di Al-Qur’an, kata al-Din itu ada yang artinya undang-undang. Yaitu dalam Surat Yusuf ayat 76:
ما كان ليأخذ أخاه في دين الملك إلا أن يشاء الله. (يوسف: 76).
“…Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dinil Maliki (undang-undang Raja), kecuali Allah menghendakinya.” (QS 12/ 76).
Di sini kata din artinya adalah undang-undang. Dan itu kaitannya adalah untuk menghukum saudara Yusuf yang di dalam kantongnya terdapat sukatan Raja.
Dalam Mukhtashor Tafsir At-Thobari dijelaskan: Tidaklah Yusuf untuk menghukum saudaranya itu dalam hukum raja dan kesultanannya, karena tidak ada dalam hukum raja itu untuk menjadikan pencuri jadi budak, tetapi ini adalah hukum yang ada dalam syari’at Ya’qub. Tetapi kami (Allah) berbuat demikian padanya dengan kehendak Kami.[3]
Dalam Tafsir itu din diartikan hukm (hukum) dan syari’ah (jalan/ hukum). Jadi, pengembalian kepada bahasa seperti yang diinginkan Nurcholish pun, tidak sesederhana yang dia lontarkan, dengan cara memukul rata atau menggeneralisir alias main gebyah uyah, menganggap bagai garam semuanya asin. Karena ternyata, kata al-Din di Al-Qur’an tidak hanya berarti agama –ritual, tetapi ada juga yang maknanya undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan.
Setelah dia menyalahkan orang Islam padahal dia sendiri hujjahnya/ argumentasinya justru salah, kemudian masih pula dia lanjutkan dengan menyalahkan orang lagi dengan menganggap bahwa orang Islam inferior, rendah diri. Coba kita simak petikan tulisan Nurcholish Majid selanjutnya:
Kutipan:
“Kedua ialah persoalan mengenai titik tolaknya. Meskipun tidak disadari, atau lebih tepatnya, tidak diakui, dapat dilihat dengan jelas bahwa titik tolak apologi itu ialah “inferiority complex”, yaitu perasaan bahwa Islam, selain menggarap bidang spiritual, juga menggarap bidang-bidang kehidupan lainnya sehingga “tidak kalah” dalam segala bidang dengan ideologi-ideologi Barat. Hal itu secara tidak langsung mengakui akan keunggulan bidang-bidang politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya dari aspek hidup material ini atas bidang spiritual dan agama. Pola pikiran ini jelas merupakan kekalahan total seorang Muslim menghadapi invasi cara berpikir materialistis dari Barat.”[4]
Tanggapan:
Pernyataan Nurcholish Madjid itu tidak perlu ditanggapi, karena tuduhan Nurcholish bahwa umat Islam berapologi seperti di atas (point pertama), ternyata justru Nurcholish sendiri yang hujjahnya tak sesuai dengan ayat Al-Qur’an. Hanya main gebyah uyah pukul rata dari segi bahasa, dan terbukti salah. Setelah dia menyalahkan orang tapi justru dia sendiri yang salah, lalu ia menganggap umat Islam berapologi dengan titik tolak yang ia tuduhkan yaitu perasaan rendah diri. Tuduhan itu tanpa guna, karena persoalan pokoknya sudah jelas, hujjah Nurcholish justru yang tak berlandasan, dan berlainan dengan ayat Al-Qur’an. Perkara dia kemudian mengalasinya dengan tuduhan semacam itu, terserah saja.
Selanjutnya Nurcholish menyatakan:
Kutipan:
“Aspek lainnya lagi ialah bahwa, dapat dibuktikan, dalam sumber-sumber ajaran Islam, khususnya al-Qur’an, bidang penggarapan Islam itu memperoleh ketegasan dan kejelasannya dalam bidang spiritual, yaitu bidang keagamaan.”[5]
Tanggapan:
Pernyataan NM itu mengingkari ketegasan dan kejelasan di dalam al-Qur’an yang bukan bidang spiritual. Pengingkaran itu berhadapan dengan nash/ teks ayat Al-Qur’an secara nyata. Karena bidang-bidang yang bukan spiritual bahkan ada yang dinamakan hudud yang dari segi bahasa saja sudah punya arti ketentuan-ketentuan yang batasannya pasti. Yaitu mengenai hukuman-hukuman atas pelanggaran yang dilakukan. Contohnya, hukuman atas pelaku zina:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing seratus kali dera…” (QS An-Nur/ 24: 2).
Juga ada qishosh, yang arti secara bahasa saja sudah menunjukkan makna balasan yang setimpal. Sampai rincian tentang melukai saja Al-Quran menegaskan dan menjelaskan:
“Dan Kami telah tetapkan kepada mereka di dalamnya (Taurat), bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka pun ada qishoshnya…” (QS Al-Maaidah/ 5: 45).
Dalam hal waris, Allah telah menegaskan dan menjelaskan dalam Al-Qur’an ketentuan-ketentuanNya. Di antaranya bisa dikutip:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak wanita…”(QS An-Nisaa’/ 4: 11).
Kemudian bagian masing-masing ahli waris ada rinciannya pula dalam Al-Qur’an.
Kemudian bagian masing-masing ahli waris ada rinciannya pula dalam Al-Qur’an.
Tentang orang-orang yang dilarang untuk dinikahi pun dirinci dalam Al-Qur’an secara tegas dan jelas. Bahkan untuk utang piutang pun ditegaskan agar dicatat dan diadakan 2 saksi laki-laki Mukmin, ditegaskan dalam ayat terpanjang dalam Surat Al-Baqoroh: 282.
Dengan kenyataan ini, maka yang tidak jelas justru penuduhnya. Sebagai penuduh yang baik, mestinya mendatangkan bukti-bukti bahkan saksi. Bukti tidak ada, sedang saksi palsu berupa para muqollid dan saksi yang tak memenuhi syarat keadilannya mungkin banyak, tapi mereka itu sebenarnya juga tidak berguna.
Selanjutnya, berikut ini saya kutip bagian akhir tulisannya agak panjang.
Kutipan:
“Faktor kedua adalah legalisme, yang membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam” itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi yang serba legalistik kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikih adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak. “Fikihisme” ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan reformasi pun umumnya masih memusatkan sasarannya kepada bidang itu. Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam” itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.
Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dengan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.
Memang antara agama dengan negara tidak dapat dipisahkan, sebagaimana telah diterangkan di muka. Melalui individu-individu warga negara, terdapat pertalian yang tidak terpisahkan antara motivasi (sikap batin bernegara) dan aksi (sikap lahir bernegara).”[6]
Tanggapan:
Bagaimanapun, landasan berpikir Nurcholish Madjid itu telah gugur, yaitu pada butir pertama di atas, yang dia menyalahkan orang namun justru dirinya sendiri hujjahnya bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Sebenarnya uraiannya yang terakhir itu tidak usah dikomentari, sudah jelas, landasannya keropos. Tetapi, cara dia bikin istilah penyudutan (?) yaitu apa yang ia sebut fikihisme, lalu dia katakan kehilangan relevansinya walau sudah diperbarui; itu semua adalah penafian realitas.
Tentang Negara Islam, sebenarnya adalah realita sejarah, dari zaman Nabi saw sampai Khulafaur Rasyidin dan para khalifah ataupun para sultan yang berlanjut selama berabad-abad; itu adalah satu bentuk pemerintahan Islam. Yang dipakai pun hukum Islam atau syari’at Islam. Itu adalah kenyataan, bukan dongeng. Bahkan adanya pemerintahan Islam atau sekarang bisa disebut negara Islam itu sudah sejak sebelum adanya fiqh.
Kenapa Nurcholish Madjid memutar balikkan fakta, sehinga ia katakan: “…legalisme membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam”… Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikh adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah.”
Selama manusia itu jujur, dia akan mengakui, pemerintahan Islam jelas sudah ada sejak sebelum munculnya fiqh yang Nurcholish sebut abad kedua Hijrah, karena pemerintahan Islam sudah berdiri sejak Nabi saw di Madinah. Tetapi kenapa Nurcholish katakan: pemikiran apologetik “Negara Islam” itu akibat pemahaman legalisme, dan legalisme itu merupakan kelanjutan fikihisme?
Nurcholish boleh menuduh seperti itu, apabila yang terjadi di dunia ini adalah: Belum pernah ada Pemerintahan/ Negara Islam, tetapi fiqh sudah tumbuh dan berkembang, lalu membawa umat Islam ke arus legalisme, barulah kemudian orang berapologetis “Negara Islam”.
Apakah kenyataan di dunia ini seperti itu?
Jelas tidak! Pemerintahan Islam sudah berlangsung lebih dulu, baru kemudian disusun fiqh oleh para ulama. Sedang fiqh itu sendiri isinya bukan melulu agar umat Islam mendirikan Negara Islam.
Jadi tuduhan Nurcholish itu dari segi realita sejarah dan kenyataan di dunia sudah tidak cocok, sedang dari segi penyudutan kepada fiqh pun tidak kena.
Lalu Nurcholish masih pula melontarkan tuduhan.
Kutipan:
“Susunan hukum ini (maksudnya fiqih, pen) juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam” itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya.”
Tanggapan:
Terhadap tuduhan Nurcholish Madjid itu, perlu diketahui, fiqih itu adalah ilmu tentang mempraktekkan Islam, baik dalam beribadah maupun dalam hidup di dunia ini[7]. Jadi persoalannya bukan karena umat Islam berharap menunjukkan bahwa aturan-aturan syari’at Islam itu lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya, lalu berapologi dengan “Negara Islam”, tetapi Negara Islam itu adalah realita sejarah dan bahkan ijma’ sahabat. Negara Islam itu menjalankan hukum-hukum Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Adapun fiqih itu adalah jalan untuk mempraktekkan Islam, baik itu oleh umat Islam maupun oleh pemerintah. Masing-masing ada aturannya.Hal-hal yang pelaksananya hanya pemerintah, seperti mengadili kasus-kasus, maka harus ditangani oleh pemerintah, bukan dilaksanakan oleh umat secara sendiri-sendiri. Dan hal yang harus dilaksanakan oleh umat secara sendiri-sendiri, baik itu ibadah maupun mu’amalah, maka dilaksanakan oleh umat sendiri. Seperti ibadah sholat, jual beli dan sebagainya, dilaksanakan oleh masing-masing individu. Dan ada juga yang dilaksanakan secara kerjasama pemerintah dan umat, seperti pendidikan, da’wah dan sebagainya.
Praktek-praktek itu diatur dengan hukum fiqih, karena memang fiqih adalah tatacara mempraktekkan/ mengamalkan Islam. Maka fiqh menurut istilah adalah hukum-hukum syari’ah amali/ praktis.
Jadi, kalau kehidupan modern dianggap tidak bisa dijangkau oleh fiqih, atau fiqih dianggap tidak bisa lagi untuk mengatur kehidupan modern, itu sama dengan mengatakan Islam tidak bisa dipraktekkan dalam kehidupan modern.
Kenapa?
Karena fiqih itu adalah Islam praktis/ amali. Kalau Islam amali ini harus diganti dengan “Islam Liberal amali” yang dianggap mampu untuk diterapkan di dalam kehidupan modern, maka wadah operasionalnya adalah “Negara Islam Liberal” yaitu negara sekuler yang menolak adanya Negara Islam dan bahkan menolak penerapan syari’at Islam dalam kehidupan.
Walaupun diputar-putar, intinya sama, menolak syari’at Islam. Titik.
Yang jadi persoalan, untuk menolak syari’at Islam, kenapa harus melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak berlandaskan bukti-bukti?
[1] Yang dikembangkan dalam Islam Liberal adalah inklusivisme dan pluralisme. Inklusivisme itu menegaskan, kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan soliter sebagai penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Tapi, paradigma ini tetap tidak kedap kritik. Oleh paradigma pluralis, ia dianggap membaca agama lain dengan kacamata agamanya sendiri. Sedang paradigma plural (pluralisme): Setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan Plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Dengan itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (paradigma eksklusif) atau yang melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Rahman: 1996). Dari Islam yang tercatat sebagai tokoh pluralis adalah Gus Dur, Fazlurrahman (guru Nurcholish Madjid, Syafi’I Ma’arif dll di Chicago Amerika, pen), Masdar F Mas’udi, dan Djohan Effendi. (Abdul Moqsith Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta, Media Indonesia, Jum’at 26 Mei 2000, hal 8). Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, Pustaka Al-Kautsar, Jakrta, cetakan pertama, 2001, hal 116-117.
[3] Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, Mukhtashor Tafsir At-Thobari, Darus Shobuni, Kairo, 1402H, jilid 1, hal 406.
[7] Fiqh menurut istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliyah/ praktis yang diupayakan dari dalil-dalilnya yang terperinci. (Al-Jarjani, At-Ta’rifat, Al-Haramaian, Jeddah, hal 168).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar