Home » » Orang Nyeleneh Dianggap sebagai Pembaharu

Orang Nyeleneh Dianggap sebagai Pembaharu

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 25 Oktober 2011 | 07.40


    Fitnah yang menimbulkan kerancuan faham itu telah berlangsung lama dan secara internasional, sehingga para pembaharu yang pada hakekatnya adalah nyebal atau nyeleneh alias aneh bila dilihat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah ditempatkan pada posisi yang seolah-olah mereka itu adalah Mujaddid, setarap dengan Mujtahid. Pengangkatan dan penempatan secara tidak sah itu justru disahkan dengan cara diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta se-Indonesia, bahkan kemungkinan sedunia, terutama studi Islam di Barat. Bukan sekadar sampai tingkat sarjana namun sampai tingkat pasca sarjananya.
    Kriminalitas di jajaran keilmuan seperti ini tidak langsung bisa dihadang begitu saja, dan tak mudah diinterupsi. Mereka jalan terus dari waktu ke waktu secara sistematis kelembagaan, berkait berkelindan. Itu masih ditambahi dengan dukungan dan dekengan pemerintah lewat lembaga-lembaga lain, swasta yang mengadakan kerjasama entah itu penelitian atau pembelajaran dan sebagainya. Masih pula disebarkan lewat pencetakan buku-buku, penulisan karya-karya ilmiah, seminar, dan disebarkan lewat media-media massa, baik cetak maupun elektronik.
    Bagaimana kaum revivalis, pemurni agama, dan pemegang teguh ajaran Islam yang punya ghirah Islamiyah mau mencegatnya, ketika kriminalitas telah menyusup secara sistematis di dunia keilmuan, pendidikan, dan struktur pemerintahan/ kelembagaan bahkan media massa? 
    Kriminalitas tidak boleh dibiarkan. Itu hukum di manapun dalam percaturan hidup ini. Dalam hal ini, bukan karena para tokoh yang punya pemikiran nyeleneh (aneh) itu sejak semula sosok orangnya merupakan musuh. Bukan. Tetapi karena pemikirannya yang dianggap berbahaya bagi kemurnian Islam, maka harus diambil tindakan. Dan masalahnya sudah menjadi dua:
   Pertama pelontaran pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam.
   Kedua, para pelontarnya justru diposisikan sebagai pembaharu, yang dalam Islam disebut mujaddid, yang hal itu mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah.
   Jadi pencetus penyeleweng yang seharusnya dihukum, malah diposisikan sebagai orang terhormat, yaitu dianggap sebagai mujaddid/ pembaharu. Ini berarti sudah memutar balikkan perkara, yaitu penyeleweng ajaran Islam justru didudukkan sebagai pejuang dan pemikir Islam. Inilah kriminalitas yang cukup berbahaya, maka harus diadili.
    Oleh karena itu umat yang punya kesempatan untuk mengadili, maka mereka melaksanakan pengadilan, di antaranya pengadilan atas Ali Abdul Raziq (Mesir) tahun 1925. Pengadilan itu dilakukan oleh tokoh-tokoh alim ulama Al-Azhar di bawah pimpinan almarhum Muhammad Abul Fadhal Al-Jiwazi dalam rapat khusus dengan 24 anggota alim ulama, tanggal 22 Muharram 1344H bertepatan dengan 12 Agustus 1925M.
   Ali Abdul Raziq tiba dan mengucapkan Assalamu’alaikum,  tetapi tak seorangpun yang menjawab salamnya itu. Sesudah diadakan tanya jawab yang cukup lama, akhirnya rapat para alim ulama itu memutuskan, menghukum tertuduh (Ali Abdul Raziq) dengan mengeluarkannya dari  barisan alim ulama Islam.
    Sebagai tindak lanjut dari hukuman itu: (Rapat khusus para ulama ini) menghapus nama Ali Abdul Raziq dari daftar Universitas Al-Azhar Mesir dan lembaga-lembaga Islam lainnya, memecat dari semua jabatan, memutuskan gaji-gajinya dari tempat kerjanya dan menyatakan tidak layak untuk melakukan pekerjaan sebagai pegawai, baik agama maupun non agama.
      Pemecatan Syekh Ali Abdul Raziq itu sesuai dengan undang-undang Al-Azhar tahun 1911, yang memberikan mandat kepada Hai’ah Kibaril ‘Ulama (Badan Ulama Terkemuka) untuk mengeluarkan ulama yang tidak sesuai sifat kealimannya dari barisan ulama, dengan kesepakatan 19 kibaril ‘ulama. Undang-undang itu baru sekali diterapkan yaitu untuk Syaikh Ali Abdul Raziq yang kitabnya membentuk arus sekular.
   Adapun alasan-alasan dijatuhkannya hukuman tersebut menyangkut isi buku al-Islam wa Ushulul Hukm (Islam dan dasar-dasar hukum) yang Ali Abdul Raziq karang di antaranya:

  1. Syekh Ali menjadikan syari’at Islam sebagai syari’at rohani semata, tidak ada hubungannya dengan pemerintahan dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.
  2. Syekh Ali menganggap jihad Nabi saw itu untuk mencapai kerajaan. Zakat, jizyah, ghonimah dan lain-lain pun demi mencapai kerajan juga, dengan demikian semua itu dianggap keluar dari batas-batas risalah Nabi saw, bukan peristiwa wahyu dan bukan perintah Allah SWT. Forum ulama membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad fi sabilillah, ayat-ayat khusus zakat, cara pengaturan uang sedekah, pembagian ghonimah (harta rampasan perang).
  3. Berkenaan dengan anggapannya bahwa tatanan hukum di zaman Nabi saw tidak jelas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Kemudian ia menetapkan bagi dirinya suatu madzhab, katanya: “Sebenarnya pewalian Muhammad saw atas segenap kaum mukminin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum pemerintahan.” Ini cara berbahaya yang ditempuhnya, melucuti Nabi saw dari hukum pemerintahan. Anggapan Syekh Ali itu bertentangan dengan ayat:
إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله. (النساء: 105).
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu.” (QS An-Nisa’: 105).

  1. Syekh Ali menganggap tugas Nabi hanya menyampaikan syari’at lepas dari hukum pemerintahan dan pelaksanaannya. Kalau anggapannya itu benar, tentulah ini merupakan penolakannya terhadap semua ayat-ayat hukum pemerintahan yang banyak terdapat dalam Al-Qur’anul Karim dan bertentangan dengan Sunnah Rasul saw yang jelas dan tegas .
  2. Ia mengingkari kesepakatan (ijma’) para sahabat Rasulullah saw untuk mengangkat seorang Imam dan bahwa menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat orang yang mampu mengurus permasalahan agama dan dunia.
  3. Ia tidak mengakui kalau peradilan itu suatu tugas syari’at.
  4. Ia beranggapan bahwa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq dan pemerintahan Khulafaur Rasyidin sesudahnya tidak agamis. Ini justru kelancangan Syekh Ali yang tidak agamis.[1]

    Hukuman  berkaitan dengan syari’at juga dijatuhkan terhadap. Khalaf Allah di Mesir yang ditentukan hukuman fasakh nikahnya (batalnya pernikahan).
   Itulah yang oleh Kurzman disebut sebagai korban kekerasan, secara tidak proporsional. Tetapi kalau dari kacamata yang lebih jernih, sebenarnya yang terjadi adalah hukuman terhadap pelaku kriminalitas pemikiran yang dilancarkan dengan sistem kriminal pula. Yaitu, pemikiran (orang sekuler ataupun Islam Liberal) itu sendiri sudah bernilai menohok Islam, lalu dipasarkan secara sistematis lewat jalur-jalur strategis yaitu pendidikan, kelembagaan, dan media massa. Maka ketika umat Islam punya kekuasaan untuk mengadilinya, diadililah, dan dijatuhi hukuman. Sebagaimana tokoh Tasawuf, Al-Hallaj yang berfaham hulul (melebur dengan Tuhan) dan itu menyesatkan aqidah umat, maka dia diadili dan dihukum mati di jembatan Baghdad tahun 309H/ 922M.[2]
   Dan ketika umat Islam tidak memiliki kekuasaan untuk mengadili mereka yang bergerak di bidang kriminal lewat keilmuan itu, maka ada beberapa macam yang umat tempuh. Hingga pelaku kriminal lewat pemikiran itu ada yang ditembak mati ketika keluar dari mobilnya, seperti tokoh sekuler yang dianggap murtad yaitu Faraq Fauda di Mesir 1993. Ada yang “diadili” secara seminar khusus seperti Nurcholish Madjid di Masjid Amir Hamzah di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, Desember 1992. Ada yang dikucilkan dari masjid-masjid ataupun kajian-kajian, seperti teman-teman dan murid-murid Nurcholish Madjid khabarnya disingkiri oleh banyak pengurus masjid atau lembaga Islam di Jakarta. Bahkan hanya sebagai pendukung Nurcholish Madjid saja bisa terkena imbasnya. Contohnya, dalam rapat pendirian/ pembentukan Partai Bulan Bintang (PBB) setelah jatuhnya Presiden Soeharto 1998, yang di sana ada Pak Anwar Haryono bekas petinggi partai Islam Masyumi dan tokoh-tokoh lainnya, ketika Prof Dawam Rahardjo (yang dikenal sebagai pendukung Nurcholish Madjid) –saat itu tidak hadir-- diusulkan dalam calon kepengurusan, langsung ada yang berteriak keras: “Jangan! Dawam itu orang sesat, dia!”  Keruan saja seluruh hadirin kaget, namun tidak ada yang membantah teriakan itu.

    Memuktazilahkan IAIN
 
    Di Indonesia, penyusupan pemutarbalikan keilmuan yang dilakukan Harun Nasution dan kawan-kawannnya atau murid-muridnya sejak 1977 itu satu sisi dianggap oleh pemrakarsanya sudah bisa merubah dan memuktazilahkan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau –menurut klaim Harun Nasution adalah merasionalkannya. Itu jelas diakui dengan nada bangga oleh Harun Nasution ketika penulis wawancarai tahun 1992[3]. Tetapi dari sisi lain, pemuktazilahan bahkan pengislam liberalan seperti itu bagi orang yang jeli adalah menambah derita alumni IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia.
Kenapa?
   Satu sisi, dipojokkannya pendidikan Islam dengan berbagai cara secara internasional (itu merupakan salah satu cabang ghozwul fikri/ serbuan pemikiran) di antaranya dengan cara dipersempit  lapangan kerja bagi alumninya, menimpa juga pada alumni IAIN dan perguruan tinggi Islam pada umumnya. Dari satu sisi itu saja sudah menderita. Masih pula pada gilirannya, setelah masyarakat tahu bahwa IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia itu diprogram untuk dimuktazilahkan, bahkan diliberalkan sampai  nyeleneh (aneh), maka lembaga-lembaga Islam kemungkinan besar akan pikir-pikir lebih dulu kalau untuk menggunakan tenaga dari lulusan IAIN atau perguruan tinggi Islam produk Indonesia. Sehingga, penerimaan tenaga di lembaga-lembaga Islam --untuk mencari amannya-- daripada memilih tenaga yang sudah teracuni oleh pemahaman liberal ataupun Muktazilah maka lebih memilih alumni Timur Tengah, ataupun LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), atau pesantren-pesantren yang diyakini fahamnya tidak nyeleneh.
   Kalau demikian halnya, maka lapangan kerja alumni IAIN dan perguruan tinggi Islam seakan hanya di Departemen Agama, itupun bersaing dengan alumni-alumni dari mana-mana. Dan mungkin masih ada sedikit peluang yaitu di media massa yang kira-kira memilih orang-orang yang dekat dengan sekuler, kiri, atau Islam yang suka nyeleneh.
    Keengganan masyarakat Islam untuk mempercayai  kehandalan IAIN, berbalik arah dibanding rasa percaya diri yang bahkan mungkin berbau arogansi/ kesombongan sebagian dosen atau alumni dan mahasiswanya. Memang ada dosen-dosen yang namanya mencuat di tingkat nasional, walau bukan dalam ilmu Islamnya, misalnya sebagai komentator politik atau peristiwa-peristiwa sesaat, dadakan. Atau ada yang dipuji-puji koran yang seide dengan mereka, karena nilainya yang bagus dan bisa menulis pikiran-pikiran gurunya –yang pada hakekatnya adalah nyeleneh belaka, dan diterbitkan di penerbitan non Islam alias Katolik, misalnya. Tetapi, kebanggaan yang disandang dengan sedikit arogansi itu tiba-tiba ada kepedihan yang dirasakan pula, karena warga dosen IAIN Jakarta pun di masyarakat dikhabarkan bahwa ada 8 orang yang menjadi pengajar di Institut Apostolos, tempat menggodok calon-calon penginjil nasional. Bahkan lebih prihatin lagi, karena ada yang setelah dikuliahkan atas nama studi Islam ke negeri kafir Barat ternyata dia kemudian ketika balik lagi untuk mengajar di IAIN ia tidak sholat, dan bahkan berani bilang, apakah kalau orang kafir tidak boleh mengajar di IAIN?
   Kegetiran itu menyurutkan kesombongan yang sempat muncul sementara tadi, dan masih diliputi kegetiran pula, karena masyarakat menyayangkan terhadap IAIN lantaran gejala tumbuh suburnya Forkot (aliran kiri bahkan menurut masyarakat dianggap sebagai berbau komunis) di  perguruan tinggi Islam itu. Kata Abdul Qadir Jaelani, seorang da’i dari Bogor Jawa Barat, tumbuh suburnya Forkot / Forum Kota di IAIN Jakarta terutama Fakultas Ushuluddin itu karena di sana ada pengajarnya, orang Jesuit, Nasrani Fanatik, yaitu Fran Magnis Suseno SJ.
    Bagaimanapun, IAIN adalah perguruan tinggi Islam yang memberikan pengajaran di tingkat akademik bagi anak-anak Muslim. Umat Islam Indonesia punya banyak perhatian padanya, maka kondisi yang seperti itu sebenarnya menjadi keprihatinan bagi Muslimin Indonesia, walau mungkin jadi “kebanggaan” bagi segelintir orang yang punya misi tertentu dan telah bisa mengubah IAIN sebagai sasaran misinya.
    Kalau dulu Pak Dr Said Agil Al-Munawar belum tampak mampu mewarnai IAIN Jakarta walaupun jadi direktur Pasca Sarjananya, maka apakah ketika beliau jadi Menteri Agama tahun 2001 ini akan mampu mengubah visi dan misi IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia, dari Muktazilah dan nyeleneh serta liberal, menjadi Islam yang benar sesuai ajaran Nabi saw.
    Seorang Harun Nasution bisa merubah IAIN, kemudian kebablasan, kemudian sekarang entah arahnya ke mana seperti itu. Padahal dia bukan menteri.  Barangkali orang Brunei kini bersyukur, karena mereka telah berani menolak Harun Nasution untuk mengajar di perguruan tinggi Brunei Darussalam tahun 1985-an.  Sebaliknya Abah Anom di Tasik Malaya Jawa Barat yang pemimpin tarekat –yang menurut fatwa para Ulama  Lajnah Daaimah Saudi Arabia dinyatakan sesat menyesatkan— itupun bersyukur, karena hanya seorang pemimpin tarekat di desa yang terangkat namanya di masa Orde Baru ternyata punya murid seorang Prof Dr Harun Nasution hingga lebih melancarkan pengajaran-pengajarannya yang belum tentu sesuai dengan Islam itu. Antara syukur yang satu (orang Brunei yang menolak Harun Nasution) dengan syukur yang lain (Abah Anom yang menerima Harun sebagai muridnya) itu berbeda arah.
 


   [1]Lihat Islam di Tengah Persekongkolan Musuh Abad 20, Fathi Yakan, GIP, juga lihat Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, 1994, hal 83-85.
[2]Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, cetakan 3, 1422H/ 2001M, hal 77.
[3]Dalam wawancara 1992, Harun Nasution mengatakan: IAIN sudah berubah. Faham sunnatullah ini masuk di filsafat dan teologi, bukan hanya di Fakultas Ushuluddin tetapi di seluruh fakultas di 14 IAIN. Hanya yang berkembang betul di Jakarta, kemudian di Yogya. Pengembangan itu sudah banyak tenaganya. Mahasiswa yang dikirim ke luar negeri banyak. Dan yang sudah berkecimpung di sini banyak. Seperti Nurcholish Madjid, Din Syamsuddin, Komaruddin, dan akan datang Azyumardi. (Saya/ penulis tanyakan: Ini bisa dikatakan era Muktazilah?). Ya, sudah masuklah. Tapi saya tidak suka disebut Muktazilah, tapi rasional. Muktazilah itu orang Barat menyebutkan Rasionalis, sedang Ahlis Sunnah dan Jabbariyah itu Tradisionalis. (Lihat buku Rukun Iman Diguncang, Pustaka An-Naba’, Jakarta, cetakan II, Mei 2000, halaman 6).      
Share this article :

1 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger