Home » » KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL (BAGIAN 2)

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL (BAGIAN 2)

Written By Moh Wahyudi on Selasa, 12 Maret 2013 | 01.10

 
 DALIL PERINTAH & LARANGAN
Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua kategori, yaitu:
1. Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur'an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.
2. Yang dilarang , yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.
Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai' (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul (dari harta fai') kepadamu maka terimalah dia" (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan "apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia" dengan makna "apa yang diperintahkan Rasul …" berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.
Dalil lain yang mereka ajukan adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR. Bukhari).
Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang diperintahkan secara pasti.
Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti sunnah & larangan melakukan bid'ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula --terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid'ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan.
Kategori Ketiga
Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu "yang tidak diperintah juga tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah "Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu."
Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap tahun ya Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila aku jawab ' ya' maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu". Kemudian beliau bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian".
Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada "yang diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.
Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang dilarang". Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:
"… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. " (QS. An-Nuur: 63)
Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah "melakukan apa yang tidak diperintahkan".
Bila melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak" (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami atasnya". Kata "amr" memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata "amara - ya'muru" yang berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya adalah "menguasai". Jadi, bila kalimat "amara 'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat "amarnaa 'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa 'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat janggal bila diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti "perintah", kata "amara" lebih tepat diiringi huruf "bi" (dengan), seperti firman Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).
Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid'ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya.
Kata amr pada "amrunaa" di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama) kami". Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya pun kata "amrunaa" diartikan sebagai "perintah kami" dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami", bukan " yang tidak ada perintah kami atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
"Tidak sesuai perintah" mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan. Sedangkan "tidak tidak ada perintah kami atasnya " mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus.
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara "yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat" dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)
"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah mendiamkan beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan", "menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala ”mendiamkan beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan". Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai "rahmat" ??!
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari'atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang "rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum "boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut.
Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap dianggap "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara baru di dalam ajaran agama" dan "perkara baru yang berbau agama".
Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran agama" dengan "perkara baru yang berbau agama", dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid'ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana "rahmat" yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau.
Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap "rahmat" yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya".
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا
"Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan" (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ
"Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"
atau dalam kaidah lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada
dalil yang menyuruhnya."
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin.
Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan.
Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in.
Hasilnya, syi'ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka.
3. Dalil sesatnya setiap bid'ah
Menyangkut bid'ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i)
Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid'ah.
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid'ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid'ah dengan ungkapan:
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
"Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya"
Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid'ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid'ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal "berbau agama" atau "berbau ibadah" yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid'ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin' Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid'ah.
Yang demikian karena mereka mendefinisikan bid'ah dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan "setiap bid'ah adalah kesesatan", Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu?
Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu:
1. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut bersifat umum , artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru "berbau agama" yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya.
Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, "inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak". Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:
... لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ ...(رواه البخاري )
"Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …" (HR. Bukhari)
2. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebutbukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud "sesatnya" muhdatsat dan bid'ah yang sesungguhnya.
Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do'a I'tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur'an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan 'Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur'an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid'ah shalat tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.
Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid'ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid'ah sebagai kesesatan tanpa kecuali.
Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah dhalalah/sayyi'ah (bid'ah yang sesat/buruk) dan bid'ah hasanah/mahmudah (bid'ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid'ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah, muharramah).
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah diniyyah/syar'iyyah (bid'ah agama/syari'at) dan bid'ah duniawiyah (bid'ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid'ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid'ah I'tiqadiyah (bid'ah aqidah) dan bid'ah 'amaliyah (bid'ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid'ah mukaffirah (bid'ah yang menyebabkan kafir) dan bid'ah ghairu mukaffirah (bid'ah yang tidak menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid'ah mukaffirah, bid'ah muharramah, bid'ah makruhah tahrim, dan bid'ah makruhah tanzih (lihat Ensiklopedia Bid'ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid'ah-bid'ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).
3. Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik.
Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun'ah fii tahqiq ma'na al-Bid'ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi'I berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به
"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) " (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).
4. Definisi bid'ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid'ah seperti yang mereka buat, yaitu: "”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal". Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi, "Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau." Mereka juga mengklasifikasi bid'ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid'ah, tapi mereka sendiri melakukan bid'ah. Aneh, kan?!
Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid'ah (syar'iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis "Setiap bid'ah adalah kesesatan", atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di satu sisi menolak pembagian bid'ah kepada hasanah & sayyi'ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar'iyyah & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga dianggap bid'ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur'an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid'ah, melainkan termasuk dalam mashlahat mursalah (kemaslahatan umum).
Mereka juga berdalih bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah, bukanlah bid'ah, meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena "sarana dihukumi menurut tujuannya" (lilwasaa'il hukmu al-maqashid), sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu syari'at yang diperintahkan di dalam agama (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 29-30).
Kalau begitu, kenapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan dan istighatsah yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, bershalawat kepada Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo'a, berbagi rezeki atau sedekah, dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?
5. Bila segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka."
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di dalam 'Aunul-Ma'buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi & Wahabi). Bagaimana mungkin mereka dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka banyak yang bertentangan dengan ijma' mayoritas ulama.
Kemungkinan ada orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa dibenarkan, sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf (mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in sekitar 300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di abad ke-12 lebih tidak pantas lagi.
Menolak adanya pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah dhalalah/madzmumah dan bid'ah hasanah/mahmudah, maka secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid, sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi'I yang diakui oleh para ulama sebagai mujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya di abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger