Home » » Studi Analisis-Historis tentang Perbedaan dalam Hukum Islam) Akar Historis Eksistensi Hukum Islam (Fiqh)

Studi Analisis-Historis tentang Perbedaan dalam Hukum Islam) Akar Historis Eksistensi Hukum Islam (Fiqh)

Written By Moh Wahyudi on Rabu, 08 Februari 2012 | 05.50

Secara umum, pembahasan fuqaha dalam fiqh menjelaskan tentang hukum dari sebuah permasalahan yang bersifat parsial dalam suatu realitas. Fiqh sendiri merupakan hasil penalaran seseorang yang mampu memahami maksud hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad.

Permulaan kelahiran fiqh terjadi pada masa kerasulan. Sepanjang masa ini, pengetahuan terhadap hukum diperoleh melalui ketetapan wahyu, meski hukum tersebut diputuskan oleh Nabi saw dengan ijtihad. Jika terjadi kekhilafan dalam memutuskannya, wahyu akan turun sebagai pembenar terhadapnya, seperti dalam pemungutan tebusan (fida') terhadap para tawanan perang Badar. Dan jika wahyu tidak turun, maka itu merupakan sebuah pengakuan (iqrar) terhadap kebenaran ijtihad Nabi saw. Allah swt berfirman: "wa ma yantiqu 'anil hawa in huwa illa wahyun yuha".(an-Najm: 3-4)
Waliyullah al-Dahlawi dalam kitabnya al-Inshaf fi Asbab al-Ikhtilaf mendeskripsikan eksistesnsi fiqh di zaman Rasulullah saw, bahwa fiqh pada waktu itu belum terbukukan dan juga tidak ditemukan mode pembahasan hukum seperti yang telah dilakukan oleh para fuqaha madzhab. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan tentang suatu hukum sangat sedikit. Sehingga, pada saat itu tidak ditemukan perbedaan dalam hukum. Hal ini, disebabkan adanya otoritas tunggal yang dipegang oleh Nabi saw dalam menetapkan hukum.
Begitu juga pada masa sahabat, tidak ditemukan ijtihad dan perbedaan dalam penetapan hukum didalamnya kecuali sangat sedikit. Dari Maimun bin Mahran, ia berkata: Abu Bakar ketika ditanya tentang hukum, maka ia kembali kepada al-Quran. Jika ditemukan, maka ia memutuskanya dengan hukum tersebut. Jika tidak ditemukan, maka kembali pada sunnah. Dan bila tidak ditemukan dalam sunnah, maka beliau bertanya kepada penduduk sekitar; apakah Rasulullah saw pernah memutuskan hukum tersebut atau tidak. Jika belum ditemukan, baru beliau mengumpulkan tokoh masyarakat untuk memusyawarahkannya. Begitu juga dengan umar bin khottob dalam hal ini.
Adapun, perbedaan fuqaha pada masa ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pengetahuan terhadap sunnah Nabi saw, minimnya kepercayaan terhadap eksistensi sunnah saw, perbedaan dalam memahami teks (nash), dan proyek ijtihad terhadap permasalahan yang tidak ditemukan dalam teks.
Sedangkan periode awal perkembangan fiqh tumbuh pada masa para tabi'in. Para mufti pada waktu itu disebut dengan "al-Qurra". Syaikh Ali al-Khafif menjelaskan, pada zaman Tabi'in ini, dalam pemberian fatwa ada dua aliran: aliran yang bertempat di Irak yang cenderung bersandar pada penalaran, kias, penelitian tentang tujuan-tujuan (maqashid) hukum dan alasan-alasannya sebagai dasar ijtihad. Dan aliran yang hanya bersandar pada bukti-bukti atsar (peninggalan, yakni tradisi atau sunnah) dan nash-nash. Aliran ini bertempat di Hijaz. Keberadaan dua aliran itu merupakan bentuk yang wajar dari situasi yang terdapat di Hijaz dan Irak.
Secara umum, terdapat tiga hal yang terkait dengan perkembangan fiqih pada masa ini, yaitu: perluasan wilayah kajian fiqh, meningkatnya kuantitas perbedaan fuqaha di dalamnya, tersebarnya periwayatan hadits dan pengaruhnya terhadap fiqh, dan kemunculan dua aliran yang terkenal dengan sebutan "madrasah ahli ra'yu" dan "madrasah ahli hadits". Berkaitan dengan sebab banyaknya muncul perbedaan fuqaha pada masa ini, diantaranya: tersebarnya fuqaha di berbagai Negara-negara Islam yang memiliki perbedaan, baik tradisi dan budaya atau konsep sosial-ekonomi yang telah berlaku di dalamnya, sulitnya menerapkan bentuk ijtihad dengan konsep "Syura" yang menghasilkan sebuah kesepakatan tunggal seperti yang berlaku di zaman khulafaurrasyidin, dan masyarakat belajar fiqh terhadap masing-masing fuqaha dan dalam memecahkan masalah berpegang terhadap fatwa mereka.
Fiqh mengalami kemajuan yang pesat pada permulaan abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H. Hal ini, tidak terlepas dari beberapa faktor, antara lain: perhatian dan peran serta khalifah Abbasiyah terhadap kesejahteraan fiqh dan para fuqaha, perluasan wilayah Islam mulai dari Spanyol sampai ke Cina yang memiliki ragam dan warna tradisi yang berbeda, kemunculan para mujtahid dengan kapabilitas fiqh yang mendalam, dan adanya pembukuan hadits sehingga dapat diketahui keshohihan dan kedhoifannya.
Kemajuan pada fase ini ditandai dengan kemunculan madzhab-madzhab, yang memiliki orientasi dan metode pemikiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, hingga setiap madzhab memiliki pengikut masing-masing. Dalam menetapkan hukum, mereka mengikuti dasar dan kaidah penggalian hukum dari para Imam madzhabnya, yang kita kenal dengan kaidah "Ushul Fiqh". Pembukuan kaidah ini diprakarsai oleh Imam Syafi'i, lalu diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dan kemudian dikembangkan oleh para pengikut madzhab.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa pembukuan ilmu ini sangat membantu fuqaha dalam mengembangkan fiqh dan menjelaskan sumber penetapan hukum dalam madzhab. Bahkan, juga merupakan penyebab munculnya perbedaan fuqaha dalam menetapkan hukum Islam. Pada masa ini, muncul hipotesa fiqh atau yang kita kenal dengan fiqh "Iftiradli", yaitu menetapkan hukum dari suatu permasalahan yang akan terjadi dengan mengvisualisasikannya.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nahdliyin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger