Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, keputusannya dalam membentuk Badan Halal NU (BHNU) semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan warga NU agar organisasinya memiliki badan halal sendiri.
“Saya tidak merasa niat menyaingin siapapun, hanya mengabulkan permintaan dari warga NU, baik konsumen maupun produsen, tidak ada rasa menyaingi siapapun, tidak merasa bersaing atau berlomba,” katanya di gedung PBNU, baru-baru ini.
Rancangan UU Jaminan Produk Halal (JPH) saat ini tengah dibahas di DPR dan belum ada titik temu terhadap isu-isu krusial seperti siapa yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal, apakah monopoli MUI, Kemenag atau ormas Islam diizinkan turut mengeluarkan sertifikasi.
Kang Said menjelaskan, dirinya sudah melaporkan kepada Menteri Agama Suryadharma Ali tentang pendirian BHNU dan Menag setuju sertifikasi halal tidak dimonopoli satu pihak, tetapi boleh dilakukan oleh lembaga lain yang memenuhi syarat.
“Begitu NU mendirikan BHNU, banyak yang simpati dan siap membantu, dari UGM, IPB, Sucofindo,” katanya.
BHNU, katanya, lebih menekankan upaya untuk membantu warga NU yang memiliki usaha kecil dan ingin mendapatkan sertifikat halal yang mudah, murah dan transparan. “Bahkan untuk warteg-warteg, kita tidak meminta bayaran,” paparnya.
HM Sulton Fathoni, direktur informasi BHNU menjelaskan, pihaknya banyak melakukan pembinaan, edukasi dan pelatihan produk halal kepada para pemilik UKM, dua kali di Jakarta dan satu kali di Jawa Barat dan hal ini akan terus dikembangkan.
Selanjutnya menindaklanjuti pendirian BHNU, di Jawa Timur, sudah ada dua pesantren yang merintis sertifikasi halal bagi UKM di daerah lokasi pesantren tersebut.
Sulton menjelaskan, pembinaan dan pelatihan ini merupakan langkah awal untuk memperoleh sertifikasi halal karena kalau sudah benar-benar memperolah sertifikasi halal, maka konsekuensinya berat bagi BHNU, terkait dengan nama besar NU di belakangnya.
“Rata-rata restoran kesulitan dalam memenuhi standar penyucian bahan baku agar tidak terkena najis. Jika ayam yang dipotong tiga sampai lima gampang, tetapi kalau sudah ratusan, mereka sendiri kesulitan,” paparnya.
Keberadaan banyak lembaga pemberi seritifikasi halal menurutnya sangat penting.
“Jika ada 3 juta warung dan restoran, apa semuanya mampu dikelola oleh MUI, sepuluh badan halal saja tidak mampu mengelola. Berdasarkan pengalaman NU dalam mengurus standar halal restoran Solaria saja butuh dua bulan,” tegasnya.
Karena sifatnya pelayanan, maka NU tidak meminta bayaran, tetapi juga tidak mengeluarkan uang. Semua biaya yang dikeluarkan semuanya harus diurus sendiri seperti biaya pengujian di laboratorium, hotel, tiket atau biaya lain yang diperlukan. (mukafi niam)
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, keputusannya dalam membentuk Badan Halal NU (BHNU) semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan warga NU agar organisasinya memiliki badan halal sendiri.
“Saya tidak merasa niat menyaingin siapapun, hanya mengabulkan permintaan dari warga NU, baik konsumen maupun produsen, tidak ada rasa menyaingi siapapun, tidak merasa bersaing atau berlomba,” katanya di gedung PBNU, baru-baru ini.
Rancangan UU Jaminan Produk Halal (JPH) saat ini tengah dibahas di DPR dan belum ada titik temu terhadap isu-isu krusial seperti siapa yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal, apakah monopoli MUI, Kemenag atau ormas Islam diizinkan turut mengeluarkan sertifikasi.
Kang Said menjelaskan, dirinya sudah melaporkan kepada Menteri Agama Suryadharma Ali tentang pendirian BHNU dan Menag setuju sertifikasi halal tidak dimonopoli satu pihak, tetapi boleh dilakukan oleh lembaga lain yang memenuhi syarat.
“Begitu NU mendirikan BHNU, banyak yang simpati dan siap membantu, dari UGM, IPB, Sucofindo,” katanya.
BHNU, katanya, lebih menekankan upaya untuk membantu warga NU yang memiliki usaha kecil dan ingin mendapatkan sertifikat halal yang mudah, murah dan transparan. “Bahkan untuk warteg-warteg, kita tidak meminta bayaran,” paparnya.
HM Sulton Fathoni, direktur informasi BHNU menjelaskan, pihaknya banyak melakukan pembinaan, edukasi dan pelatihan produk halal kepada para pemilik UKM, dua kali di Jakarta dan satu kali di Jawa Barat dan hal ini akan terus dikembangkan.
Selanjutnya menindaklanjuti pendirian BHNU, di Jawa Timur, sudah ada dua pesantren yang merintis sertifikasi halal bagi UKM di daerah lokasi pesantren tersebut.
Sulton menjelaskan, pembinaan dan pelatihan ini merupakan langkah awal untuk memperoleh sertifikasi halal karena kalau sudah benar-benar memperolah sertifikasi halal, maka konsekuensinya berat bagi BHNU, terkait dengan nama besar NU di belakangnya.
“Rata-rata restoran kesulitan dalam memenuhi standar penyucian bahan baku agar tidak terkena najis. Jika ayam yang dipotong tiga sampai lima gampang, tetapi kalau sudah ratusan, mereka sendiri kesulitan,” paparnya.
Keberadaan banyak lembaga pemberi seritifikasi halal menurutnya sangat penting.
“Jika ada 3 juta warung dan restoran, apa semuanya mampu dikelola oleh MUI, sepuluh badan halal saja tidak mampu mengelola. Berdasarkan pengalaman NU dalam mengurus standar halal restoran Solaria saja butuh dua bulan,” tegasnya.
Karena sifatnya pelayanan, maka NU tidak meminta bayaran, tetapi juga tidak mengeluarkan uang. Semua biaya yang dikeluarkan semuanya harus diurus sendiri seperti biaya pengujian di laboratorium, hotel, tiket atau biaya lain yang diperlukan. (mukafi niam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar