Jakarta, NU Online
Kehalalan sebuah produk saat ini oleh publik masih dipahami apakah benda yang dimakannya mengandung babi dan alkohol saja, tanpa mempertimbangkan apakah proses pengolahannya memenuhi unsur syariah. Karena itu, tema yang selalu diperbincangkan, berputar pada apakah produk tersebut mengandung babi dan alkohol apa tidak?
Demikian dikatakan oleh Ketua Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) Prof Dr Maksum Mahfudh dalam perbincangan dengan NU Online di Gedung PBNU baru-baru ini. Ia berpendapat, proses pengolahan dari bahan baku sampai menjadi bahan siap saji merupakan hal yang sangat krusial.
Dari pengecekan di lapangan yang dilakukan oleh tim Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU), banyak sekali makanan yang diproses secara tidak halal atau najis, sehingga produk akhirnya menjadi haram. Sebagai contoh, ayam secara alamiah halal dimakan, tetapi ketika proses penyembelihannya tidak benar, maka menjadi bangkai sehingga haram dimakan.
Di sejumlah restoran, Maksum mengatakan, pihaknya BHNU juga menemukan prosedur menyucikan bahan baku juga tidak memenuhi unsur kehalalan seperti tempat cuci piring yang airnya digunakan berkali-kali, tidak dibersihkan dengan air yang mengucur, atau pengolahan bahan makanan yang masih berpotensi tercampur dengan najis sehingga kehalalannya diragukan, meskipun bahan makanan yang dimasak berasal dari produk halal. Publik juga bisa menilai sendiri, bagaimana proses memasak pedagang kaki lima, apakah kira-kira sudah halalan thayyiban.
Ia menambahkan, paradigma halal yang didasarkan pada sifat kebendaan, menyebabkan sebagian besar auditor halal berlatar belakang sarjana pangan dan bio-kimia karena diasumsikan mereka mengetahui zat-zat yang ada dalam sebuah produk, padahal mereka tidak tahu proses pengolahan makanan secara halal dari bahan mentah sampai siap saji. Para santri yang belajar ilmu tentang thoharoh (kesucian) lah yang benar-benar memahami masalah ini. “Kalau sarjana pangan kan tidak tahu, bagaimana kategori air itu disebut najis, suci tetapi tidak mensucikan, sampai dengan air yang suci tetapi bisa digunakan untuk mensucikan benda lain. Dalam pandangan agama, bersih belum tentu suci,” kata Maksum Mahfudz.
Para sarjana pangan, pemahamannya pada unsur healthy atau kesehatan makanan, padahal dalam kehalalan dan kesehatan tidak selalu sama. Dalam konteks produk halal, maka yang dicek adalah kehalalan produk dari seluruh najis. Mereka tetap diperlukan, tetapi tidak bisa bekerja sendirian.
“Kalau ingin melihat kandungan babi atau alkoholnya, profesor pun tidak bisa melakukan karena harus dicek di laboratorium,” tandasnya.
Dengan perubahan paradigma ini, maka para auditor halal seharusnya bukan sarjana pangan, kimia-bio kimia, teknik industri atau farmasi. Mereka memiliki kompetensi untuk menjadi analis di laboratorium, tetapi untuk memahami proses pengolahan produk secara halal, para santri yang belajar fikih lebih memiliki kompetensi.
“Kami ingin mengubah paradigma tersebut dan kami memiliki banyak SDM. Kalau bukan santri, tidak paham bagaimana prosedur pengolahan makanan yang halal, ini sudah terbukti di lapangan” tegasnya.
BHNU akan memberdayakan pada santri dari berbagai pesantren NU yang tersebar di seluruh Indonesia dan selanjutnya akan memberi mereka pelatihan tambahan yang diperlukan untuk bisa menjadi auditor halal.
Salah satu upaya yang kini dilakukan adalah memberikan pelatihan prosedur memproses makanan secara halal bagi usaha kecil dan mikro dengan melibatkan para santri senior. (mukafi niam)
Foto: Antara
Kehalalan sebuah produk saat ini oleh publik masih dipahami apakah benda yang dimakannya mengandung babi dan alkohol saja, tanpa mempertimbangkan apakah proses pengolahannya memenuhi unsur syariah. Karena itu, tema yang selalu diperbincangkan, berputar pada apakah produk tersebut mengandung babi dan alkohol apa tidak?
Demikian dikatakan oleh Ketua Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) Prof Dr Maksum Mahfudh dalam perbincangan dengan NU Online di Gedung PBNU baru-baru ini. Ia berpendapat, proses pengolahan dari bahan baku sampai menjadi bahan siap saji merupakan hal yang sangat krusial.
Dari pengecekan di lapangan yang dilakukan oleh tim Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU), banyak sekali makanan yang diproses secara tidak halal atau najis, sehingga produk akhirnya menjadi haram. Sebagai contoh, ayam secara alamiah halal dimakan, tetapi ketika proses penyembelihannya tidak benar, maka menjadi bangkai sehingga haram dimakan.
Di sejumlah restoran, Maksum mengatakan, pihaknya BHNU juga menemukan prosedur menyucikan bahan baku juga tidak memenuhi unsur kehalalan seperti tempat cuci piring yang airnya digunakan berkali-kali, tidak dibersihkan dengan air yang mengucur, atau pengolahan bahan makanan yang masih berpotensi tercampur dengan najis sehingga kehalalannya diragukan, meskipun bahan makanan yang dimasak berasal dari produk halal. Publik juga bisa menilai sendiri, bagaimana proses memasak pedagang kaki lima, apakah kira-kira sudah halalan thayyiban.
Ia menambahkan, paradigma halal yang didasarkan pada sifat kebendaan, menyebabkan sebagian besar auditor halal berlatar belakang sarjana pangan dan bio-kimia karena diasumsikan mereka mengetahui zat-zat yang ada dalam sebuah produk, padahal mereka tidak tahu proses pengolahan makanan secara halal dari bahan mentah sampai siap saji. Para santri yang belajar ilmu tentang thoharoh (kesucian) lah yang benar-benar memahami masalah ini. “Kalau sarjana pangan kan tidak tahu, bagaimana kategori air itu disebut najis, suci tetapi tidak mensucikan, sampai dengan air yang suci tetapi bisa digunakan untuk mensucikan benda lain. Dalam pandangan agama, bersih belum tentu suci,” kata Maksum Mahfudz.
Para sarjana pangan, pemahamannya pada unsur healthy atau kesehatan makanan, padahal dalam kehalalan dan kesehatan tidak selalu sama. Dalam konteks produk halal, maka yang dicek adalah kehalalan produk dari seluruh najis. Mereka tetap diperlukan, tetapi tidak bisa bekerja sendirian.
“Kalau ingin melihat kandungan babi atau alkoholnya, profesor pun tidak bisa melakukan karena harus dicek di laboratorium,” tandasnya.
Dengan perubahan paradigma ini, maka para auditor halal seharusnya bukan sarjana pangan, kimia-bio kimia, teknik industri atau farmasi. Mereka memiliki kompetensi untuk menjadi analis di laboratorium, tetapi untuk memahami proses pengolahan produk secara halal, para santri yang belajar fikih lebih memiliki kompetensi.
“Kami ingin mengubah paradigma tersebut dan kami memiliki banyak SDM. Kalau bukan santri, tidak paham bagaimana prosedur pengolahan makanan yang halal, ini sudah terbukti di lapangan” tegasnya.
BHNU akan memberdayakan pada santri dari berbagai pesantren NU yang tersebar di seluruh Indonesia dan selanjutnya akan memberi mereka pelatihan tambahan yang diperlukan untuk bisa menjadi auditor halal.
Salah satu upaya yang kini dilakukan adalah memberikan pelatihan prosedur memproses makanan secara halal bagi usaha kecil dan mikro dengan melibatkan para santri senior. (mukafi niam)
Foto: Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar