Sebagai pembuka yang akan saya kisahkan adalah cerita tentang asal usul kota Tulungagung. Ternyata ada banyak menarik yang layak untuk disimak dan menjadi tambahan pengetahuan baru.
Wilayah Tulungagung ternyata sudah dihuni sejak zaman pra sejarah dulu. Yang dianggap sebagai penghuni awal adalah homo wajakensis. Manusia pra sejarah yang fosilnya ditemukan oleh Eugene Dubois di daerah Tulungagung Selatan. Lokasi penemuannya konon terletak di dusun Nglepung desa Wajak Kecamatan Campurdarat.
Nama Tulungagung sebenarnya berasal dari dua kata 'Toeloeng dan Agoeng. Arti dari dua kata itu Toeloeng berarti mata air dan Agoeng berarti besar. Sebelumnya nama kota ini adalah Kabupaten Ngrawa. Penyebutan kata Ngrawa sendiri konon dari banyaknya daerah berawa yang ada atau dalam bahasa jawanya “Ngrowo”. Tulungagung awalnya hanya merupakan bagian dari distrik dari kabupaten Ngrawa. Waktu itu ibu kotanya masih berada di daerah Kalangbret.
Sejak beberapa tahun lalu ada koreksi mengenai penentuan hari jadi kota Tulungagung. Merunut dari prasasti yang ditemukan di daerah Thani Lawadan yang kini diyakini bernama Wates, Campurdarat uisa kota ini sudah termasuk sangat tua usianya. Dari prasasti Lawadan menunjukkan kota ini berdiri sejak tahun 12 November tahun 1205.
Prasasti yang bertanggal 18 Nopember 1205 -- hari Jumat Pahing- dikeluarkan oleh Prabu Srengga raja terakhir kerajaan Daha. Raja yang terkenal dengan nama Prabu Dandanggendis. Isinya kurang lebih berisi pemberian keringanan pajak dan hak istimewa semacam bumi perdikan atau "sima". Alasannya pemberian ''hadiah'' tersebut adalah karena jasa prajurit Lawadan atas dedikasi dan bantuan mereka kepada kerajaan dalam mengusir musuh dari Timur. Berkat bantuan para prajurit Lawadan sang raja yang tadinya harus meninggalkan kraton dapat kembali berkuasa.
Pada jaman Mataram Islam yaitu jaman Sri Pakubuwono I dan VOC tahun 1709 mengadakan perjanjian nama Kalangbret tetap digunakan sebagai ibukota kabupaten Ngrawa. Begitu juga pada perjanjian Giyanti (1755) nama Kalangbret disebut salah satunya wilayah manca negaranya kerajaan Yogyakarta.
Kalangbret sebagai kadipaten Mancanegara Mataram terbentuk sejak perjanjian Giyanti. Wilayah tersebut selanjutnya dijadikan ibu kota kabupaten Ngrawa tahun 1750-- 1824 Masehi. Yaitu mulai masa Mataram Islam hinnggan jaman colonial. Bupati pertama Kabupaten Ngrawa adalah Kyai Ngabehi Mangundirono.
Nama ''Kalang bret '' telah dikenal sejak tahun 1255 M (prasasti Mula -Malurung) dan disebut ulang dalam Negara Kretagama (1635 M) dengan nama Kalangbret. Atas dasar tersebut legenda yang ada tentang asal Kalabret dari adipati kalang yang tewas dalam kondisi tersembret-sembret oleh pangeran Lembu peteng dimentahkan.
Sebelum bernama kabupaten Ngrawa di wilayah Tulungagung sudah berdiri Katumenggungan Wajak tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Katumenggungan ini bertahan hingga pembentukan kadipaten Ngrawa dengan pusat pemerintahan di Wajak sejak perjanjian Giyanti. Ini terjadi antara tahun 1615 - 1709 M pada masa Mataram Islam dan masa kolonial.
Saat masih berbentuk Katumenggungan yang menjadi tumenggung adalah Senapati Mataram bernama Surontani. Tokoh yang sangat melegenda tersebut dimakamkan di Desa Wajak Kidul Boyolangu.
Katumenggungan Wajak berakhir dengan berdirinya Kabupaten Ngrawa beribu kota di Kalangbret. Nama "Rawa'' telah dikenal sejak tahun 1194 M (Prasasti Kemulan) dan disebut ulang dalam Negarakertagama (1365 M). Nama ini kemudian berubah menjadi ''Ngrawa''.
Saat tampuk kepemimpinan berada di tangan KRT Pringgodiningrat Bupati Ngrawa ke IV, yang memerintah tahun 1824 --1930, ibu kota kabupaten Ngrawa dipindahkan kesebelah Timur sungai Ngrawa yaitu pada lokasi sekarang ini. Selanjutnya kota baru ini dijadikan pusat pemerintahan atau ibu kota Kabupaten Ngrawa. Terjadi pada masa colonial sampai sekarang .Pada tahun 1800--an sampai 1901 nama ''Toeloeng Agoeng'' dipakai sebagai nama salah satu dist rik dalam wilayah Kabupaten Ngrawa. Nama Kabupaten Ngrawa berubah menjadi Kabupaten Tulungagung pada tanggal : 1 April 1901 yaitu pada masa pemerintahan bupati Ngrawa ke 11: RT Partowijoyo. Pada jaman pemerintahan Majapahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak dapat dikuasai. Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan Raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru umumnya juga merupakan mata telinga daripada perguruan negara. Demikian juga hubungannya dengan perguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai Pacet. Kyai Pacet mengajarkan ngeilmu Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya : 6. Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono.
Pada suatu hari Kyai Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada pertemuan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet juga menceritakan bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan paguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu gurunya. Kyai KasanBesari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan paguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus trang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Kasanbesari meninggalkan tempat pesamuan.
Dengan kepergian Kyai Kasanbesari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bonorowo untuk tetap menjadi murid Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedua muridnya tersebut?karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-muridnya yang lain supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Pangeran Lembu Peteng.
KYAI KASANBESARI INGIN MEMBUNUH Kyai Pacet
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Bedalem dan Pangeran Kalangdalam wawancaranya Pangeran Bedalem mengatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia akan terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Kasanbesari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berotak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan membunuh Kyai Pacet.
Pada waktu Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi dengan tanpa diketahui oleh pihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap menerkamnya. Kyai Kasanbesaridan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang-langgang. Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa ia tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG”, dan setelah dilihatnya tampaj bahwa Kyiai Pacet memegang cahaya yang kemudian diberi nama Kyai Gledhug, sedang desa dimana Kyai bersemedi sampai sekarang bernama Gledhug.
Selesai bersemedi Kyai Pacet segera mengejar kedua orang yang sedang berlari itu. Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan ilmu kanuragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular besar. Kedua bintang itu berkelai, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari menderita kekalahan oeh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. KyaiKasanbesari terus berlari melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke padepokan untuk mengerahkan semua muridnya guna menangkap Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang. Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyaibesari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Akhirnya Kyai Kasanbesari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putera dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di ditu, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara kandung ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke Tamansari untuk mencari Pangeran Kalang. Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Putri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi disitu. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran Kalang yang sedang bersembunyi di Tamansari dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem. Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi sangat larah sekali, terus pergi ke Tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan dir dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, Rumah Kyai Becak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Becak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anaknya tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “NGIDErI PArI”. Kyai Becak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai Becak kalah dan mati terbunuh. Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuh ayah mereka adalah Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah pertempuran. Banguntulak dan Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka tempat di mana ia mati dinamakan Boyolangu. Sedangkan tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama dengan Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat ditangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya di buang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri.
Punakawan Pangeran Lembu Peteng yang telah mengasuhnya sejak kecil memberitahukan hal tersebut kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan,ialah Adipati Trenggalek yang diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Majapahit. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan peristiwa terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti duduk perkaranya maka Perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan wadya balanya. Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jazad dari Pangeran Lembu Peteng tak jua ditemukan. Sungai di mana jenazah Pngeran Lembu Peteng dibuang, oleh perwira Majapahit diberi nama Kali Lembu Peteng.
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala tentara Majapahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri dengan menceburkan diri ke sebuah kedung. Kedung tersebut lalu diberi namaKedung Bedalem. Oleh karena Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat menggantikan Pangeran Bedalem adalah Pangeran Kalang.
Bala tentara Majapahit disebar untuk mencri Kyai Besari. Putra Majapahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi pencarian ini kena dirunduk oleh Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung hinga meninggal dunia. Kedung ini lalu dinamakan Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh karena Kyai Besari tidak menyerah maka timbullah peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka Korowelang. Dukuh tersebut oleh sang perwira dinamakan dukuh Tunggulsari. Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat elar Patih Gajah Mada.
Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan oleh Rr. Inggit, adik dari Reta Mursodo janda almarhum pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan Retno Mursodo tidak menyetujuinya. Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama dengan Retno Mursodo meninggalkan Betak dan melarikan diri ke Plosokandang. Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilagan jejak, sehingga ia mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten Betak tetapi tidak mau melapor, maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.
KYAI PLOSOKANDANDANG DIPErSALAHKAN
Salah seorang murid Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno, disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari Plosokandang. Pada suatu hari ia bertemu dengan dua orang putri dari Kadipaten Betak, yang tak lain adalah Rr, Inggit dan Retno Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh Retno Mursodo diceritakan semua, dan karena Kyai Singotaruno tidak berkeberatan melindunginya, meskipun ia tahu bahawa tindakannya itu membahayakan dirinya.
Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya apakah Kyai Singotaruno mempunyai tamu yang berasa dari Betak. Kyai Sin gotaruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorangpun, tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin melihat ke belakang. Rr. Inggit dan Retno Mursodo ketika mendengar hal itu segera berkemas dan melarikan diri ke arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah kepada Kyai Singotaruno. Ia dianggap salah dan dijatuhi hukuman gantung.
Oleh karena Rr, Inggit takut bila sampai di pegang oleh Adipati Kalang, maka ia berputus asa dan terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Desa tempat Rr. Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang dinamakan desa Beji. Adapun Retno Mursodo terus melarikan ke gunung cilik.
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang melawan Kyai Besari, Rr.Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama mBok Rondo dadapan. mBok Rondho mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko Bodho terpikat oleh kecantika Rr. Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak dengan halus oleh Rr. Kembangsore. Oleh karena Joko Bodho selalu mendesak maka pada suatu hari ketika mBok Rondho sedang bepergian , asalkan Joko Bodho mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodho menyetujui perdyaratan tersebut dan pergi meninggalkan Rumah. Ikatan janji ini tidak diketahui oleh MBok Rondho Dadapan.
rr. Kembangsore juga pergi ke gunung cilik, maka ketika mBok Rondho pulang, ia mendapati Rumah telah dalam keadaan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi ke kesana-kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya ditemukannya Joko Bodho sedang duduk termenung menghadap ke arah barat. Dipanggilnya berulang kali tidak mendapat jawaban, karena jengkelnya mBok Rondho lupa dan mengumpat “bocah diceluk kok meneng bae koyo watu”. Seketika itu juga kaena sabda mBok Rondho, Joko Bodho berubah menjadi batu. mBok Rondho menyadari atas keterlanjuran kata-katanya, maka ia lalu berharap; “besok kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri namagunung Budheg”.
RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Adipati Kalang mendengar bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya adalah Rr. Kembangsore. Selain menjadi seorang pendeta ia juga menjadi seorang empu. Resi ini mempunyai dua orang abdi kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO.
Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah sebagai berikut! Kalau pusakanya ditikamkan ke sebuah pohon beringin daunnya rontok dan pohonnya tumbang maka dialah pemenangnya. Selanjutnya, bilamana Resi Winadi yang kalah maka Resi bersedia tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya jika Resi yang menang dan pangeran berkeinginan untuk memiliki pusaka miliknya maka pangeran harus pergi sendiri ke Gunung cilik dan bila sudah mulai naik harus berjalan jongkok, tidak boleh memandang wajah sang Resi sebelum diperbolehkan.
Setelah cntrik mengerti akan tugas yang diberikan, berangkatlah ia. Kecuali menugasi Sarwo, Resi Winadi juga memberi tugasSarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar untuk mencabut sumbat ijuk yang ada di tamansari. Adapun letaknya adalah di bawah batu gilang.
Setelah datang di Betak, cantrik Sarwo menhadap Adipati Kalang dan mengutarakan maksudnya. Sang Adipati menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadu kekuatannya. Pusaka Kadipaten Betak dicoba terlebih dahulu ke pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi apapun. Sekarang giliran pusaka gunung cilik. Setelah ditikamkan, pohon beringinpun langsung Rontok dannya dan tumbang pohonnya.
Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati Kalang bersedia menyetujuinya. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo, dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik.
Di tamansari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat lidi segera mencari dan menemukan sabut tersebut. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak-pun banjir dan terendam oleh air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan menaiki sebuah getek.
DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
waktuSarwono sedang menghadap Resi Winadi, datanglah Ibunya Rr. Mursodo. Maka saling berceritalah tentang Riwayatnya masing-masing. Tak lupa disebutkan pula tentang kematian Rr. Inggit yang dikarenakan Pangeran Kalang. Mereka sangat gembira karena dapat bertemu kembali. Kemudian datanglah Patih Majapahit engan bala tentaranya yang ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat itu tampak dari kejauhan kedatangan dua orang. Yang seorang datang dengan berjalan jongkok dan menyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo. Setelah dekat Sang Resi memerintahkannya supaya memandangnya. Alangkah malu dan terkejutnya Pangeran Kalang. Karena yang disembah-sembahnya tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut Pangeran Kalang melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh tentara Majapahit.
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Majapahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehinga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka. Tempat di mana Pangeran Kalang tertangkap ini dinamakan CUWIRI. Meskipun telah terluka parah Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, tetapi tertangkap lagi dan badannya disembret-sembret oleh anak buah Patih Gajah Mada. Tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini dinamakan desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah diapun bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya. Tempat tersebut oleh patih Gajah Mada dinamakan Kali Ngesong. Setelah keadaan aman patih Gajah Mada kembali ke Majapahit.
Mayat Pangean Kalang yang berada di dalam song lama kelamaan terbawa arus sampai ke timur sampai ke suatu tempat. Mayat (batang—bhs. Jawa) tersangkut pada akar pohon yang menjulang ke sungai, sehingga sampai sekarang tempat di mana ditemukannya mayat tersebut dinamakan desa Batangsaren. Tidak lama kemudian mayat tersebut terbawa arus lagi sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas pertapaan Rr. Kembangsore hingga sekarang, menjadi tempat pesadranan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar