Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang cukup cemerlang.
Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh beberapa faktor dan peristiwa politik sebagai berikut.
Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan wabah penyakit yang sangat ganas. Dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu segala liku-liku persoalan. Karena itu, kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan hingga kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.
Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H.
Dengan catatan kronologi di atas, Muawiyah pun mampu mengambil alih kuasa kekhalifahan dari tangan pendukung Ali dengan langkah-langkah yang menunjukkan bahwa dia-lah politikus hebat, cakap, dan berpengalaman. Meskipun tak bisa dipungkiri juga akan segala modus kelicikan yang beliau lakukan demi sebuah tampuk kepemimpinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Berdirinya Dinasti Umayah
Dinasti Umayah mengambil nama keturunan dari Umayah ibn Abdi syams ibn Abdul manaf. Ia adalah salah seorang terkemuka persukuan pada zaman jahiliyah, bergandengan dengan pamannya Hasyim ibn ‘Abdi Manaf .
Dari nama umayah tersebut, maka dinasti itu di sebut Dinasti Umayah yang selama pemeritahanya telah terjadi pergantian sebanyak 14 orang khalifah. Mereka adalah Muawiyyah (661-68),Yazid I (680-683), Muawiyah dua(683), Marwan(683-685), Abdul malik(685 -705), al Walid I(705 -715), Sulaiman (715 -717), Umar II(717- 720), Yazid II (720-724), Hisyam (724-743), Yazid III(744), Ibrahim (744), dan Marwan II (744- 750 M).
Semasa kepemimpinan muawiyah peta Islam melebar ke timur sampai Kabul, Ghazni, Kandahar, Balakh, bahkan sampai kota Bukhara. Sementara itu, di front barat panglima Uqbah Ibn Nafi’ menaklukan Carthange (kartagona), ibu kota Binzantium di Ifriqiyah dan mendirikan masjid bersejarah Qayrawan dengan membangun pusat kegiatan militer di kota Qayrawan.
Pemerintahan corak Republik menjadi Monarchi (sulthanat/kingship) selain menerapkan corak pemeritahan yang turun temurun, kekuasan di tetapkan menjadi milik diri Dinasti Umayah. Ialah yang pertama memunculkan jurang antara Arab dan Mawalli. Ia pula yang pertama kali menerapkan Diwan Al-Khatim dan Diwan Al-Barid. Diwan-diwan itu kemudian berkembang maju pada masa Abdul Malik. Di bawah kepala dinas pos ini, ia juga bangun pos-pos pemeriksaan supaya mudah mengontrol gerak musuh.[1]
Namun tak bisa dipungkiri bahwa pada masa pemerintahannya, Muawiyah banyak sekali mendapatkan kecaman yang timbul dari berbagai kelompok masyarakat yang tidak merestui akan berdirinya Dinasti tersebut. Karena, dikatakan bahwa Muawiyah merebut kekuasaan atas jalan yang licik dan kotor. Tapi, meskipun demikian beliau masih saja tegar dalam menghadapi perlawanan tersebut dengan langkah penyelesaian yang akurat.
B. Kemajuan Dinasti Umayyah
Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi, sehingga menjadi negara islam yang besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian pada kebudayaan arab.[2]
Kita bisa lihat pada zaman pemerintahan Abdul Malik, Salih Ibn Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj, mencoba menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi di seluruh negri. Meskipun, bahasa-bahasa asal tidak sepenuhnya dihilangkan. Dalam pada itu, orang-orang non arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai menggunakan bahasa Arab. Perhatian bahasa Arab dimulai diberikan untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab. Hal inilah yang mendorong lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair arab jahiliyah pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami kemajuan.
Bidang pembangunan fisik pun tidak luput dari perhatian para khalifah bani umayyah. Masjid-masjid di semenanjung Arabia dibangun, katedral st. John di Damaskus diubah menjadi masjid. Dan kadetral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan gereja. Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat. Pusat kegiatan ilmiyah ini adalah Kuffah dan Basrah di Iraq.[3]
Di masa Umar bin Abdul Aziz pun, sering diundang para ulama dan fuqaha untuk mengkaji ilmu di dalam majelisnya. Pada masa beliau dilarang mencaci lawan politik dalam khutbah. Bidang keagamaan berjalan karena besarnya motivasi keagamaan pada masa itu, bidang filsafat berjalan karena umat Islam pada akhir Bani Umayyah terpaksa menggunakannya dalam perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani serta diantara sesama penganut Islam.
C. Perkembangan Dinasti Umayah
Pembangunan dan komunikasi yang kurang baik di berbagai provinsi dan kota, membuat Muawiyah berkonsultasi dengan majlis syura. Satu sisi ia cukup membuka ruang demokrasi dengan berkonsultasi dengan anggota dewan majlis syura, namun di sisi lain ia juga mengampanyekan bentuk pemerintahan monarki dengan mengangkat Yazid menjadi putera mahkota, bahkan ia menyampaikan barang siapa tidak terima jika islam maju –bersama kepemimpinan model kesultanannya- maka pedang yang akan meluruskannya. Karena hal tersebut, maka orang-orangpun berduyun-duyun menyatakan sumpah setia kepada Yazid.[4]
Sekalipun muawiyah tahu, bahwa kebanyakan sahabat terkemuka tidak terima dengan munculnya Yazid sebagai penggantinya, namun ia tetap membiarkannya. Contohnya Marwan, Gubernur Madinah yang datang ke Damaskus untuk memprotes kebijakan pengangkatan Yazid sebagai putera mahkota, namun akhirnya ia dipecat.
Masa kekuasaan Yazid sangat singkat yaitu pada 680-683. Ia dibaiat oleh rakyat dengan setengah hati terutama oleh penduduk Mekah dan Madinah. Meskipun pemerintahannya Monarki, namun masih terdapat majelis syura yang menandakan tetap Demokratis. Pada masanya, Yazid ditandai dengan tiga keburukan dan hanya satu kebaikan, yaitu pada tahun Pertama, cucu nabi, Husen terbunuh di Karbala menyebabkan golongan Syi’ah lahir secara sempurna dan menjadi penentang utama kekuasaannya. Tahun Kedua, tentara Yazid menyerang habis-habisan kota Madinah dalam peperangan di Harra yang mengakibatkan citra pasukan islam tercoreng di muka sendiri. Tahun Ketiga, tentara Yazid menyerang dan membakar Ka’bah. Setelah pembantaian di Karbala, mereka berontak dan mengaku Abdullah ibn Zubair menjadi khalifah mereka. Adapun kebaikan yang diperbuat Yazid yaitu mengangkat kembali Uqbah ibn Nafi’ menjadi gubernur kedua kalinya di Ifriqiyah/Qayrawan.[5]
Dari hal-hal yang terjadi pada masa khalifah Yazid, menunjukkan bahwa apabila kekuasaan sudah menjadi rebutan bagi seseorang, maka harapan keadilan dalam kepemimpinan kandas, karena yang ada dalam benak pemimpin yang demikian hanyalah kewibawaan dan pengaruh dirinya di mata rakyat saja, sehingga hak dan kewajiban sebagai pemimpin tidak 100% dijadikan sebagai amanah. Sebagaimana pada masa khalifah Yazid, sejak tahun pertama sampai terakhir penuh dengan keburukan bahkan merupakan masa yang paling buruk dalam sejarah seperti halnya keberanian tentara Yazid membakar Ka’bah yang sangat tidak mencerminkan ke-Islaman sedikitpun.
Abdul Malik setelah menjadi khalifah menghadapi yang banyak tantangan. Satu sisi muncul Muchtar sebagai pembela kematian Husen di karbala, disisi lain musuh utama Umayah, Abdullah ibn Zubair masih khalifah yang mengendalikan Mekah dan Madinah selama 9 tahun, selain itu Khawarij dan Syi’ah menggoyahkan pemerintahan Umayah. Semua lawan ia hadapi dengan cara yang berbeda dan akhirnya dapat membasmi kesemuanya. Saat menjelang wafat, Abdul Malik meninggalkan negara yang aman tentram, makmur, maka ia dijuluki sebagai pendiri Dinasti Umayah yang kedua.
Periode Abdul Malik mulai memasuki periode keemasan dinasti Umayah. Ia mampu mencetak mata uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals. Kemudian dia mendirikan kas negara di Damaskus. Selain itu pertama kali dalam sejarah bahasa arab menggunakan titik (.) dan koma (,) dan memperbaharui Qawa’id yang sudah dimulai sejak Zaman Ali Bin Abi Thalib yang titugaskan kepada abu al-Aswad al-Duwaili. Disamping itu Abdul Malik juga meningkatkan pelayanan pos dan komunikasi, juga memperbaharui perpajakan.[6]
Sungguh sangat tepat bahwa untuk mewujudkan kemajuan suatu negara yaitu menghidupkan kebiasaan yang telah terlupakan sebagaimana halnya Abdul Malik, ia menghidupkan kembali bahasa Arab yang merupakan bahasa utama kaum muslimin dan merupakan bahasa al-Qur’an namun sudah terlupakan, ia menjadikan bahasa arab sebagai penyatu kaum sebagaimana halnya negara kita yang memiliki beragam bahasa, namun disatukan dalam satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia sehingga memudahkan rakyatnya untuk saling mengenal satu sama lain.
D. Keruntuhan Bani Umayah
1. Faktor Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti Umayah adalah karena kekuasaan wilayah yang sangat luas tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik, sehingga menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh pusat.
Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin. Di antara empat belas khalifah yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan hidup bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya.
Situasi semacam ini pun mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan panglima yang sudah berani korup dan mengendalikan negara.
2. Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas mampu berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah yang tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah Umar II wafat, barulah gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti Umayah.
Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamirkan berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pucuk gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju Kuffah.[7] Abbasyiah berkewajiban untuk menundukkan dua kekuasaan Bani Umayah yang besar, yang satu dipimpin oleh Marwan bin Muhammad dan satu lagi oleh Yazid bin Umar bin Hubairah yang berpusat di Wasit.[8] Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu.
As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan untuk menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin tentara tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada pertempuran itu.
Setelah kekalahan itu, Marwan pun tak kuasa lagi menyusun kekuatan, sehingga negeri Syam pun satu demi satu jatuh ke tangan Abbasyiah. Ketika Syam ditaklukkan, Marwan melarikan diri ke Palestina dan berujung pada mautnya di daratan Mesir. Marwan tewas dipenggal kepalanya oleh pasukan Abbasyiah lalu dibawanya ke hadapan Khalifah Abu Abbas as-Saffah lantas bersujud.
Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid mengambil sikap damai setelah mendengar berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh as-Saffah sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada as-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.
E. Komparasi al-Khulafa’ al-Rasyidun dan Dinasti Umayah
Berikut ini hal-hal yang membedakan masa kepemimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah dinasti umayah. Namun, khusus dalam masa kepemimpinan Khalifah Umar II, berbeda dengan khalifah-khalifah dari Dinasti Umayah yang lain. Berikut ini beberapa perbandingan tersebut, di antaranya sebagai berikut.
1. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun system pemerintahan dijalankan atas dasar al-Qur’an, hadits, dan ijma’, sedangkan pada masa Dinasti Umayah dalam menjalankan roda pemerintahan, perintah khalifah segala-galanya dan harus dipatuhi.
2. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun, khalifah menganggap sebagai pelayan masyarakat, sedangkan para khalifah dinasti umayah, menganggap diri mereka sebagai penguasa.
3. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun bertahan karena dukungan rakyat, sedangkan dinasti umayah para khalifah bertahan dengan kekuatan.
4. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun tidak ada satu sukuyang berkuasa terus menerus, sedang pada masa dinasti umayah dalam kekhalifahan hanya merekalah yang menguasai.
5. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun hak berbicara dijamin dan rakyat dapat langsung menghadap khalifah, sedangkan pada masa dinasti umayah hak bicara rakyat ditekan dan jika rakyat menghadap khalifahharus melewati perantara yang disebut hajib.
6. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun system demokrasi berjalan sedang pada masa dinasti umayah suara rakyat tidak dihiraukan.
7. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun tidak memiliki hak terhadap bait al-mal, sedang pada masa dinasti umayah bait al-mal menjadi miliki khalifah sendiri.
8. Pada masa al-khulafa al-Rasyidun, pengaruh jahiliyyah berkurang, sementara pada masa dinasti umayah betambah.[9]
Berpijak dari perbandingan di atas, maka jelaslah bagaimana corak jalannya pemerintahan Dinasti Umayah. Track record Dinasti Umayah tidak sebaik catatan pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Pemerintahan Dinasti Umayah lebih banyak diwarnai dengan noda darah yang terhunus sayatan pedang pasukan Umayah yang tak mencerminkan sama sekali beragama Islam. Kebijakan yang diambil dan diterapkan hanya menjadi tameng kekuasaan yang menuntut keabsolutan. Memang, karenanya banyak sekali pemberontakan yang diselesaikan dengan tuntas, namun sejarah tetap mancatat akan ketidaksehatan pemerintahan yang dijalankan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan latar belakang keluarga Umayah yang sangat lihai dalam urusan politik pada masa jahiliyah, keberadaan Muawiyah sebagai khalifah peertama Dinasti Umayah di tengah-tengah masyarakat muslim kala itu sangatlah banyak menuai berbagai kecaman dari berbagai kalangan di bawahnya.
Beberapa golongan dengan terang-terangan menentang dan tidak mengakui kedaulatan Bani Umayah ini sebagai kedaulatan yang Islami.
Hal itu terbukti dengan kinerja Muawiyah dalam membangun Dinastinya yang mendiskreditkan keberadaan Syiah (pengikut Ali), dengan mengambil sebuah tindakan untuk membunuh mereka semua, sekalipun masih dicurigai. Ditambah lagi dengan ulah khalifah penerusnya yang kebanyakan tak bermoral.
Terhitung hanyalah beberapa khalifah saja yang berkompeten dalam memangku jabatan khalifah yang disematkan kepada mereka. Dengan kecakapan, kepandaian, dan kepiawaian mereka dalam memimpin, mereka mampu menghadirkan berbagai kemajuan dengan sebuah pencapaian gemilang yang sangat berarti bagi perkembangan Islam waktu itu.
Namun, sikap amoral yang ditunjukan oleh khalifah-khalifah yang tak bertanggung jawab dalam mengemban amanat, membuat kedaulatan Bani Umayah berada pada ambang kehancuran. Ketidak sigapan sistem keamanan menangkal intervensi luar, memudahkan berbagai serangkaian usaha untuk melancarkan kudeta. Sampai akhirnya Dinasti Umayah pun jatuh ditumpas Abbasyiah.
B. Hikmah
Berpijak dari kesimpulan di atas, maka seyogianya kita mampu mengambil pelajaran yang sarat dengan nilai luhur keislaman dengan mencamkan pada diri kita bahwa jabatan yang besar dan tinggi yang tersemat pada diri kita, hendaknya kita mampu mensikapinya sebagai amanat yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Bukan sebagai sarana atau fasilitas kepuasan hawa nafsu.
Kita sendiri bisa melihat, bagaimana kedigdayaan Dinasti Umayyah runtuh karena penyalahgunaan jabatan pemerintahan. Sebagian khalifah, wazir, dan jajarannya yang gemar berfoya-foya, lalai dalam bertugas, bahkan tidak memerdulikan lagi nasib rakyatnya. Akibatnya mereka pun hancur diserang pasukan yang selalu fokus dan siap dalam kobaran semangat yang membara untuk menghancurkannya.
Oleh karena itu, cukuplah sejarah menjadi sumber ibrah bagi kita untuk memperbaiki kualitas kehidupan dalam nuansa Islam yang senantiasa menaungi kita. Tidak perlu ada lagi pemimpin yang bersikap dan berlaku amoral yang hanya akan menjadi penyebab kehancuran suatu bangsa dan kaum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam. Jakarta: Akbar, 2007.
Jaelani, Bisri M., Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Karim, M. Abdul, Islam di Asia Tengah. Yogyakarta: Bagaskara, tidak ada tahun.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Rajafindo Persada, 2008.
[1] M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah (Yogyakarta: Bagaskara, tidak ada tahun), hal. 56.
[2] Bisri M. Jaelani, Ensiklopedi Islam (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal. 436
[3] Bisri M. Jaelani, loc. cit. hal. 437.
[4] Ibid. hal. 59.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Rajafindo Persada, 2008), hal. 37.
[6] Badri Yatim, op. cit; hal. 38.
[7] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta:Akbar, 2007), hal. 211.
[8] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1997), hal. 34.
[9] Ibid. hal. 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar