Pluralisme menjadi tema pokok “Tuhan tidak perlu dibela”. “Tapi umat-Nya atau manusia pada umumnya yang sebenarnya justru perlu dibela” ketika mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Penulis tidak hanya melihat agama Islam secara subyektif, tapi haruslah secara obyektif. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain. Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”. Namun yang disayangkan dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain bahwa “Islamku” yang paling benar.
Sementara yang dimaksud dengan “Islam Anda”, lebih merupakan apresiasi dan refleksi penulis terhadap tradisionalisme atau ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, penulis memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menurutnya, “kebenaran” semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman. Keberagamaan semacam itu diartikan oleh penulis sebagai “Islam Anda” yang juga perlu dihargai. Menurutnya, “kebenaran” semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman.
Sedangkan “Islam Kita” lebih merupakan kepedulian dan keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Tujuan tentang “Islam Kita” juga mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Muslimin seluruhnya. Dalam konteks ini, penulis menyadari adanya kesulitan dalam merumuskan “Islam Kita”. Itu karena pengalaman yang membentuk “Islamku” berbeda bentuknya dari “Islam Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri dalam mengartikan “Islam Kita”. Namun persoalan mendasar dalam konteks “Islam Kita” itu terletak pada adanya kecenderungan sekelompok orang untuk memaksakan konsep “Islam Kita” menurut tafsiran mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurutnya bertentangan dengan semangat demokrasi.
Penulis juga tidak sepakat dengan konsep Negara Islam. Tidak ada itu yang namanya konsep Negara Islam. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Selain itu, penulis juga mengutuk kekerasan dan terorisme yang mengatsnamakan Islam. Karena Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskriminatif. Satu-satunya pembenaran bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Dalam pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya masih mengalami pendangkalan makna Islam. Mereka menganggap Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alahi). Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah. Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah memahami Islam, ketika memahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca oleh Rasul-Nya.
Dengan demikian tidak ada manusia yang paling benar dan manusia yang paling salah. Dalam Negara demokrasi seperti Indonesia ini, kita perlu memberi porsi yang sama rata dan sama rasa terhadap masyarakat, agama dan menjunjung tinggi demokrasi itu sendiri. Karena Indonesia merupakan Negara yang multikultur bro. berapa banyak suku, bahasa, budaya, agama yang ada di Indonesia? Ketika kita masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kita sudah diberi pelajaran Pendidikan Kewargenagaraan dan di dalamnya kita perlu sikap toleransi tenggang rasa, gotong royong. Ideologi Pancasila adalah harga mati. Perlulah kita menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Ingat juga semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda – beda tetapi tetap satu jua bro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar