Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari seorang sastrawan religius, Aguk Irawan MN. Judulnya “Pesan Al-Qur’an Untuk Sastrawan, Esai-Esai Budaya dan Agama”. Dalam bukunya ini Aguk ingin menunjukan jalan sastrawan dalam berkarya itu selamat. Selamat itu dimaknai, sastrawan dan karyanya bermanfaat, menyebarkan rahmat. Selamat itu baik dirinya, orang lain dan karyanya, baik di dunia dan akhirat. Dan jalan keselamatan itu menurut Aguk berkaitan dengan landasannya berpijak pada sabda Tuhan, Al-Qur’an.
Aguk memulai tulisanya dengan menjelaskan bahwasannya sebelum Al-Qur’an turun, masyarakat Makkah sudah memiliki tradisi bersusastra. Namun kesusastraan mereka, amoral dan hedonis. Mereka menjadi masyarakat yang mengeksklusifkan diri, tercerabut dan mencerabutkan diri dari masyarakat. Salah satu kehadiran Al-Qur’an adalah melakukan kritik atas keberadaan sastrawan jenis ini.
Di sinilah kemudian Aguk menyebutkan Al-Qur’an memiliki perhatian terhadap sastrawan berikut karya sastranya. Ini dibuktikan dengan bagaimana Al-Qur’an menyebutkan kata penyair secara khusus dan jelas sebanyak 10 kali, dan dengan bentuk sinonimnya sekitar 60 kali dan secara istimewa, bahkan menyebut satu surahnya, dengan nama as-Syu’ara (26), berisi keistimewaan peran sastrawan.
Di dalam konteks historis, saat perang Muktah, perang antara pasukan Nabi dengan pasukan Romawi. Jumlah pasukan Nabi sangat sedikit. Ketika melihat pasukan Romawi yang begitu banyak, nyali Muslimin menjadi ciut, saat itulah Ibnu Rahwah tampil dengan puisi-puisi patriotiknya yang mampu mendobrak semangat juang pasukan Nabi, sehingga perang berhasil dimenangkan. Atas jasanya tersebut Rasulullah sering menatap sang penyair dengan wajah tersenyum dan berkata, “padamu semoga Allah memberi kemantapan hati.”
Namun di sisi lain, Allah berfirman, “Al-Qur’an bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun…” (QS al-Haqqah; 41-42). Disini Aguk menunjukkan perbedaan bahwa Nabi bukan seorang penyihir juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamulah (Al-Qur’an).
Jadi ketika Al-Qur’an diturunkan kepada para penyair jahiliyah Makkah, Al-Qur’an menciptakan fungsi baru dalam kesusastraan. Al-Qur’an tidak menginginkan puisi hanya dipakai sebagai alat untuk mengkhayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan, atau hanya untuk mengumbar nafsu dan sejenisnya. Karenanya, Al-Qur’an hanya membenarkan puisi yang sejalan dengan kebaikan. (Hlm 37-38).
Dalam tulisan lain, Aguk mengkritisi keberadaan sastra pop Islam. Dalam hal ini Aguk memposisikan sebagai penengah. Aguk tidak menyetujui kalangan yang mengatakan sastra Islam atau sastra pesantren itu tidak ada. Namun begitu Aguk tidak menyetujui fenomena merebaknya sastra islami di pasaran sekarang adalah representasi sastra Islam. Itu bukan sastra Islam, melainkan sastra mujamalah (basa basi) Islam.
Bagi Aguk sastra islami adalah sastra membumikan nilai-nilai Islam, dengan berbagai substansinya, dan tidak berhenti pada teks sebagai eksplorasi estetis, namun juga mengutamakan isi. Sastra islami hadir semacam wudlu (pembersih) dari perjalanan peradaban yang karut marut oleh hedonisme. Aguk lalu mengkritik terhadap sastra Islam pop selama ini terjebak pada permukaan simbol-simbol Islam secara berhamburan, tanpa disertai dengan substansi penting dan hikmah. (Hlm 48-49).
Secara garis besar buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan penulisnya di berbagai media. Sub judulnya esai-esai budaya dan agama. Namun sejatinya tidak semua kumpulan tulisan ini merupakan bentuk tulisan esai, melainkan ada beberapa tulisan berjenis opini dan makalah. Kemudian tulisan naskah berbentuk esai tersebut secara garis besar adalah esai budaya dan agama. Padahal ada beberapa tulisan bertemakan politik dan ekonomi.
Buku ini dibagi dalam empat tema besar. Pertama antara sastra dan pesan agama, ini merupakan inti dari judul naskah buku ini berkaitan pesan Al-Qur’an untuk sastrawan. Kedua jati diri dan identifikasi lewat seni. Dalam tema ini buku ini mengetengahkan bagaimana seniman berseni berkaitan dengan jati diri, identitas berhadapan dengan kenyataan. Ketiga problem tekstualitas dan modernitas. Di sinilah beberapa tema pemikiran, sosial, politik dan ekonomi muncul secara tak sengaja dikaitkan dengan jenis esai budaya dan agama yang menjadi tema besar buku ini. Keempat ruang publik dan nasib humaniora. Tema ini mengungkapkan bagaimana kesenian dan senimannya berada di ruang publik dan atau menciptakan ruang publik yang diinginkannya manusiawi dan berperadaban.
Salah satu kelemahan buku ini, temanya bersebaran, kurang meluas apalagi mendalam. Namun buku ini sebenarnya tetap menarik, mengungkapkan jalan keselamatan bagi seorang sastrawan dengan pijakan kalam Tuhan, Al-Qur’an. Tentunya ini relevan dengan kondisi kesusastraan kita, berkaitan dengan munculnya berita sastrawan yang melakukan tindakan asusila dan polemik terbitnya 33 tokoh sastrawan berpengaruh di Indonesia, yang salah satu namanya diragukan pengaruhnya sebagai sastrawan.
Aguk dalam hal ini terlihat layaknya kebanyakan kalangan Nahdliyin, cenderung memilih tengah-tengah, menolak ekstrem kiri dan kanan, menolak terlalu liberal dan material, memunculkan spiritual. Oleh karenanya Aguk menolak sastra pop islami yang menjadikan sastra Islam islamnya basa basi. Dan Aguk menolak sastra kontemporer, sastrawangi, yang hanya menghadirkan pembebasan diri manusia untuk berlendir, menggumbar syahwat. ***
Judul Buku ; Pesan Al-Qur’an Untuk Sastrawan, Esai-Esai Budaya dan AgamaPenulis ; Aguk Irawan MN
Penerbit ; Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan I ; 2013
Tebal Halaman ; X + 434 hlm
Peresensi: Muhamad Rifai, pemerhati buku, tinggal di Temanggung
Aguk memulai tulisanya dengan menjelaskan bahwasannya sebelum Al-Qur’an turun, masyarakat Makkah sudah memiliki tradisi bersusastra. Namun kesusastraan mereka, amoral dan hedonis. Mereka menjadi masyarakat yang mengeksklusifkan diri, tercerabut dan mencerabutkan diri dari masyarakat. Salah satu kehadiran Al-Qur’an adalah melakukan kritik atas keberadaan sastrawan jenis ini.
Di sinilah kemudian Aguk menyebutkan Al-Qur’an memiliki perhatian terhadap sastrawan berikut karya sastranya. Ini dibuktikan dengan bagaimana Al-Qur’an menyebutkan kata penyair secara khusus dan jelas sebanyak 10 kali, dan dengan bentuk sinonimnya sekitar 60 kali dan secara istimewa, bahkan menyebut satu surahnya, dengan nama as-Syu’ara (26), berisi keistimewaan peran sastrawan.
Di dalam konteks historis, saat perang Muktah, perang antara pasukan Nabi dengan pasukan Romawi. Jumlah pasukan Nabi sangat sedikit. Ketika melihat pasukan Romawi yang begitu banyak, nyali Muslimin menjadi ciut, saat itulah Ibnu Rahwah tampil dengan puisi-puisi patriotiknya yang mampu mendobrak semangat juang pasukan Nabi, sehingga perang berhasil dimenangkan. Atas jasanya tersebut Rasulullah sering menatap sang penyair dengan wajah tersenyum dan berkata, “padamu semoga Allah memberi kemantapan hati.”
Namun di sisi lain, Allah berfirman, “Al-Qur’an bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun…” (QS al-Haqqah; 41-42). Disini Aguk menunjukkan perbedaan bahwa Nabi bukan seorang penyihir juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamulah (Al-Qur’an).
Jadi ketika Al-Qur’an diturunkan kepada para penyair jahiliyah Makkah, Al-Qur’an menciptakan fungsi baru dalam kesusastraan. Al-Qur’an tidak menginginkan puisi hanya dipakai sebagai alat untuk mengkhayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan, atau hanya untuk mengumbar nafsu dan sejenisnya. Karenanya, Al-Qur’an hanya membenarkan puisi yang sejalan dengan kebaikan. (Hlm 37-38).
Dalam tulisan lain, Aguk mengkritisi keberadaan sastra pop Islam. Dalam hal ini Aguk memposisikan sebagai penengah. Aguk tidak menyetujui kalangan yang mengatakan sastra Islam atau sastra pesantren itu tidak ada. Namun begitu Aguk tidak menyetujui fenomena merebaknya sastra islami di pasaran sekarang adalah representasi sastra Islam. Itu bukan sastra Islam, melainkan sastra mujamalah (basa basi) Islam.
Bagi Aguk sastra islami adalah sastra membumikan nilai-nilai Islam, dengan berbagai substansinya, dan tidak berhenti pada teks sebagai eksplorasi estetis, namun juga mengutamakan isi. Sastra islami hadir semacam wudlu (pembersih) dari perjalanan peradaban yang karut marut oleh hedonisme. Aguk lalu mengkritik terhadap sastra Islam pop selama ini terjebak pada permukaan simbol-simbol Islam secara berhamburan, tanpa disertai dengan substansi penting dan hikmah. (Hlm 48-49).
Secara garis besar buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan penulisnya di berbagai media. Sub judulnya esai-esai budaya dan agama. Namun sejatinya tidak semua kumpulan tulisan ini merupakan bentuk tulisan esai, melainkan ada beberapa tulisan berjenis opini dan makalah. Kemudian tulisan naskah berbentuk esai tersebut secara garis besar adalah esai budaya dan agama. Padahal ada beberapa tulisan bertemakan politik dan ekonomi.
Buku ini dibagi dalam empat tema besar. Pertama antara sastra dan pesan agama, ini merupakan inti dari judul naskah buku ini berkaitan pesan Al-Qur’an untuk sastrawan. Kedua jati diri dan identifikasi lewat seni. Dalam tema ini buku ini mengetengahkan bagaimana seniman berseni berkaitan dengan jati diri, identitas berhadapan dengan kenyataan. Ketiga problem tekstualitas dan modernitas. Di sinilah beberapa tema pemikiran, sosial, politik dan ekonomi muncul secara tak sengaja dikaitkan dengan jenis esai budaya dan agama yang menjadi tema besar buku ini. Keempat ruang publik dan nasib humaniora. Tema ini mengungkapkan bagaimana kesenian dan senimannya berada di ruang publik dan atau menciptakan ruang publik yang diinginkannya manusiawi dan berperadaban.
Salah satu kelemahan buku ini, temanya bersebaran, kurang meluas apalagi mendalam. Namun buku ini sebenarnya tetap menarik, mengungkapkan jalan keselamatan bagi seorang sastrawan dengan pijakan kalam Tuhan, Al-Qur’an. Tentunya ini relevan dengan kondisi kesusastraan kita, berkaitan dengan munculnya berita sastrawan yang melakukan tindakan asusila dan polemik terbitnya 33 tokoh sastrawan berpengaruh di Indonesia, yang salah satu namanya diragukan pengaruhnya sebagai sastrawan.
Aguk dalam hal ini terlihat layaknya kebanyakan kalangan Nahdliyin, cenderung memilih tengah-tengah, menolak ekstrem kiri dan kanan, menolak terlalu liberal dan material, memunculkan spiritual. Oleh karenanya Aguk menolak sastra pop islami yang menjadikan sastra Islam islamnya basa basi. Dan Aguk menolak sastra kontemporer, sastrawangi, yang hanya menghadirkan pembebasan diri manusia untuk berlendir, menggumbar syahwat. ***
Judul Buku ; Pesan Al-Qur’an Untuk Sastrawan, Esai-Esai Budaya dan AgamaPenulis ; Aguk Irawan MN
Penerbit ; Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan I ; 2013
Tebal Halaman ; X + 434 hlm
Peresensi: Muhamad Rifai, pemerhati buku, tinggal di Temanggung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar