Judul: Dzikir Agung Para Wali Allah
Penyunting: Muhammad Nurul Ibad
Editor: Abdillah Halim
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, 2012
Tebal: vi+ 233 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan*
Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun 1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Tiga kiai tersebut sudah dikenal oleh banyak kalangan khususnya dikalangan warga NU. Kiai Hamid Pasuruan dikenal sebagai kiai yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Selain dikenal mempunyai kemampuan spritualitas yang tinggi, Mbah Hamid juga dikenal oleh masyarakat sebagai seorang waliyullah, kekasih Allah yang sampai saat ini pesareannya setiap hari dipenuhi oleh para peziarah.
Kiai Hamim Jazuli atau yang panggilan akrabnya (Gus Miek), adalah sosok kiai yang nyentrik dan kontroversial. Namun meskipun dikenal sebagai sosok kiai yang nyeleneh, nyentrik, dan kontroversial ia mendapat pengakuan dari beberapa kiai khos seperti, Kiai Abdul Madjid, Kiai Mubasyir Mundzir, Kiai Abdullah Umar Kediri, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamid Kajoran. Gus Miek mempunyai keistimewaan yang tinggi, dan kemampuan supranatural. Kemampuan supranatural Gus Miek itu dalam istilah orang pesantren disebut “khariqul adat”, kejadian-kejadian aneh yang sulit dijangkau oleh akal manusia.
Kiai Achmad Shiddiq adalah kiai yang dikenal sebagai perumus Pancasila, dan peletak dasar khittah NU 1926 yang diputuskan di Situbondo. Gagasan dan ide-ide segarnya tentang pembaharuan NU banyak bermunculan darinya, juga kekonsistenannya mengabdi pada NU dan bangsa Indonesia tidak pernah diragukan. Di tahun 1972 Kiai Achmad Shiddiq menjadi pengikut pemula Gus Miek, dan berdakwah bersamanya melalui Dzikrul Ghofilin. Jadi munculnya berdirinya Dzikrul Ghofilin itu tidak terlepas dari tiga kiai, yakni Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika muncul istilah “tritunggal”, sebuah istilah yang masyhur dikalangan pengikut Gus Miek.
Adapun penggagas utamanya sekaligus penulis teks Dzikrul Ghofilin adalah Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek). Beliau banyak mencurahkan perhatian dan tenaga sepenuhnya demi memperjuangkan Dizikrul Ghofilin. Di Surabaya, Gus Miek memulai kegiatan Dzikrul Ghofilin yang hanya diikuti oleh beberapa orang hingga menjadi belasan orang jama’ah. Tempat kegiatannnya berpindah-pindah dari jama’ah yang satu ke jamaa’ah yang lainnya. Sebelum acara Dzikrul Ghofilin dimulai, Gus Miek mengajak jama’ahnya terlebih dahulu berkumpul di makam Sunan Ampel, dengan membaca al-Fatihah 500 kali, baru kemudian berangkat ke rumah yang menerima giliran acara Dzikrul Ghofilin.
Buku “Dzikir Agung Para Wali Allah” yang ditulis oleh Muhammad Nurul Ibad ini, di dalamnya menguraikan sejarah Dzikrul Ghofilin dan pengikut ajaran Gus Miek. Adapun yang menjelaskan sejarah Dzikrul Ghofilin yakni Kiai Ahmad Shiddiq dan Kiai Maftuh Basthul Birri, pengikut dan hafizh al-Qur’an yang aktif mengikuti kegiatan Jantiko Mantab sejak periode pertama. Kiai Maftuh Basthul Birri menilai bahwa amalan dalam Dzikrul Ghofilin seperti al-Fatihah, shalawat, tahlil, dan lain sebagainya adalah amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam sejak dulu. Dan amalan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran akidah ahlussunnah waljama’ah yang dalil dan rujukannya sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits.
Inti ajaran Dzikrul Ghofilin adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berdzikir. Menurut Gus Miek, fadhilah utama Dzikrul Ghofilin adalah murni tujuan akhirat, murni kebahagiaan di akhirat, dan biasanya orang yang benar-benar menata akhiratnya urusan duniawinya juga akan ikut tertata. Dengan demikian, cara termudah menurut Gus Miek adalah dengan mencintai para kekasih Allah dan orang-orang yang shaleh. Jika kita mencintai auliya’ kekasih Allah, dan sholihin orang-orang shaleh, maka besok kita akan dikumpulkan bersama mereka (hal.65).
Dengan membaca buku ini pembaca akan diajak mengetahui lebih jauh apa itu Dzikrul Ghofilin, siapa penggas utamanya, dan apa isi ajaran didalamnya? Penulis buku ini memberikan penjelasan ringkas, dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan mudah dimengerti. Di dalam buku ini juga dilengkapi beberapa teks bacaan yang dipakai pada acara Dzikrul Ghofilin.
Meneladani dan mengikuti jejak spiritual Gus Miek sangatlah penting, lebih-lebih menghidupkan kegiatan Dzikrul Ghofilin yang akhir-akhir ini mulai jarang masyarakat melakukannya. Saat ini umat Islam lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya duniawi saja, tidak memprioritaskan untuk kepentingan akhirat. Padahal tujuan awal didirikannya Dzikrul Ghofilin yang digagas oleh Gus Miek bukanlah untuk kepentingan dunia, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun meskipun sampai saat ini yang melakukan dan melaksanakan Dzikrul Ghofilin mulai jarang, setiap malam Ahad kliwon di pesantren Luhur Al-Husna Surabaya asuhan Prof Dr KH Ali Maschan Moesa masih istiqamah melaksanakan, dan melanjutkan jejak spritual Gus Miek (Dzikrul Ghofilin), yang diikuti oleh masyarakat dan para santri. Wallahu a’lam
* Peresensi Adalah, Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
Penyunting: Muhammad Nurul Ibad
Editor: Abdillah Halim
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, 2012
Tebal: vi+ 233 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan*
Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun 1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Tiga kiai tersebut sudah dikenal oleh banyak kalangan khususnya dikalangan warga NU. Kiai Hamid Pasuruan dikenal sebagai kiai yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Selain dikenal mempunyai kemampuan spritualitas yang tinggi, Mbah Hamid juga dikenal oleh masyarakat sebagai seorang waliyullah, kekasih Allah yang sampai saat ini pesareannya setiap hari dipenuhi oleh para peziarah.
Kiai Hamim Jazuli atau yang panggilan akrabnya (Gus Miek), adalah sosok kiai yang nyentrik dan kontroversial. Namun meskipun dikenal sebagai sosok kiai yang nyeleneh, nyentrik, dan kontroversial ia mendapat pengakuan dari beberapa kiai khos seperti, Kiai Abdul Madjid, Kiai Mubasyir Mundzir, Kiai Abdullah Umar Kediri, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamid Kajoran. Gus Miek mempunyai keistimewaan yang tinggi, dan kemampuan supranatural. Kemampuan supranatural Gus Miek itu dalam istilah orang pesantren disebut “khariqul adat”, kejadian-kejadian aneh yang sulit dijangkau oleh akal manusia.
Kiai Achmad Shiddiq adalah kiai yang dikenal sebagai perumus Pancasila, dan peletak dasar khittah NU 1926 yang diputuskan di Situbondo. Gagasan dan ide-ide segarnya tentang pembaharuan NU banyak bermunculan darinya, juga kekonsistenannya mengabdi pada NU dan bangsa Indonesia tidak pernah diragukan. Di tahun 1972 Kiai Achmad Shiddiq menjadi pengikut pemula Gus Miek, dan berdakwah bersamanya melalui Dzikrul Ghofilin. Jadi munculnya berdirinya Dzikrul Ghofilin itu tidak terlepas dari tiga kiai, yakni Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika muncul istilah “tritunggal”, sebuah istilah yang masyhur dikalangan pengikut Gus Miek.
Adapun penggagas utamanya sekaligus penulis teks Dzikrul Ghofilin adalah Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek). Beliau banyak mencurahkan perhatian dan tenaga sepenuhnya demi memperjuangkan Dizikrul Ghofilin. Di Surabaya, Gus Miek memulai kegiatan Dzikrul Ghofilin yang hanya diikuti oleh beberapa orang hingga menjadi belasan orang jama’ah. Tempat kegiatannnya berpindah-pindah dari jama’ah yang satu ke jamaa’ah yang lainnya. Sebelum acara Dzikrul Ghofilin dimulai, Gus Miek mengajak jama’ahnya terlebih dahulu berkumpul di makam Sunan Ampel, dengan membaca al-Fatihah 500 kali, baru kemudian berangkat ke rumah yang menerima giliran acara Dzikrul Ghofilin.
Buku “Dzikir Agung Para Wali Allah” yang ditulis oleh Muhammad Nurul Ibad ini, di dalamnya menguraikan sejarah Dzikrul Ghofilin dan pengikut ajaran Gus Miek. Adapun yang menjelaskan sejarah Dzikrul Ghofilin yakni Kiai Ahmad Shiddiq dan Kiai Maftuh Basthul Birri, pengikut dan hafizh al-Qur’an yang aktif mengikuti kegiatan Jantiko Mantab sejak periode pertama. Kiai Maftuh Basthul Birri menilai bahwa amalan dalam Dzikrul Ghofilin seperti al-Fatihah, shalawat, tahlil, dan lain sebagainya adalah amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam sejak dulu. Dan amalan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran akidah ahlussunnah waljama’ah yang dalil dan rujukannya sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits.
Inti ajaran Dzikrul Ghofilin adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berdzikir. Menurut Gus Miek, fadhilah utama Dzikrul Ghofilin adalah murni tujuan akhirat, murni kebahagiaan di akhirat, dan biasanya orang yang benar-benar menata akhiratnya urusan duniawinya juga akan ikut tertata. Dengan demikian, cara termudah menurut Gus Miek adalah dengan mencintai para kekasih Allah dan orang-orang yang shaleh. Jika kita mencintai auliya’ kekasih Allah, dan sholihin orang-orang shaleh, maka besok kita akan dikumpulkan bersama mereka (hal.65).
Dengan membaca buku ini pembaca akan diajak mengetahui lebih jauh apa itu Dzikrul Ghofilin, siapa penggas utamanya, dan apa isi ajaran didalamnya? Penulis buku ini memberikan penjelasan ringkas, dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan mudah dimengerti. Di dalam buku ini juga dilengkapi beberapa teks bacaan yang dipakai pada acara Dzikrul Ghofilin.
Meneladani dan mengikuti jejak spiritual Gus Miek sangatlah penting, lebih-lebih menghidupkan kegiatan Dzikrul Ghofilin yang akhir-akhir ini mulai jarang masyarakat melakukannya. Saat ini umat Islam lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya duniawi saja, tidak memprioritaskan untuk kepentingan akhirat. Padahal tujuan awal didirikannya Dzikrul Ghofilin yang digagas oleh Gus Miek bukanlah untuk kepentingan dunia, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun meskipun sampai saat ini yang melakukan dan melaksanakan Dzikrul Ghofilin mulai jarang, setiap malam Ahad kliwon di pesantren Luhur Al-Husna Surabaya asuhan Prof Dr KH Ali Maschan Moesa masih istiqamah melaksanakan, dan melanjutkan jejak spritual Gus Miek (Dzikrul Ghofilin), yang diikuti oleh masyarakat dan para santri. Wallahu a’lam
* Peresensi Adalah, Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar