KERESAHAN TERHADAP ALIRAN SESAT
Belakangan ini, Indonesia sedang dilanda gelombang besar paham baru keislaman yang beraneka ragam bentuknya dan sangat menyesatkan. Munculnya sikap-sikap ekslusif dan arogan dari para pengusung atau pengikut masing-masing paham tersebut telah semakin meresahkan masyarakat. Merasa diri berhak berupaya mengkaji al-Qur'an atau hadis, merasa diri paling benar dan yang lain salah, menganggap kesesatan itu hanya Allah yang berhak memvonisnya, dan menganggap pemahaman umat Islam tentang agama selama ini keliru, semua dalih itu telah menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu perpecahan di kalangan umat Islam.
Para ulama pun tidak tinggal diam, demi menyaksikan "kekacauan" tersebut. Sebagai wujud tanggung jawab mereka kepada Allah, maka mereka terus berupaya membentengi umat dari serangan paham-paham sesat tersebut, baik secara perorangan melalui mimbar-mimbar masjid atau majlis-majlis ta'im, maupun secara lembaga seperti yang dilakukan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Upaya itu mereka wujudkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan atau fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa paham-paham tersebut sesat dan menyesatkan.
Meskipun begitu, fatwa-fatwa para ulama terutama MUI (Majelis Ulama Indonesia) tersebut seringkali menghadapi kendala, baik dari pihak-pihak yang tidak senang dengan fatwa-fatwa tersebut, maupun dari pihak pemerintah yang tidak selalu siap mengakomodir fatwa-fatwa itu dengan fasilitas hukum, sehingga para ulama terkesan hanyalah sebagai kumpulan orang-orang sok tahu yang gemar mempermasalahkan orang lain, sedang fatwa-fatwa mereka tak ubahnya bagaikan gonggongan anjing yang tidak perlu dihiraukan.
Namun begitu, alhamdulillah, berkat para ulama tersebut, masyarakat banyak yang terselamatkan dari bahaya kesesatan. Mereka dapat mengenal paham-paham sesat dan menjauhinya dengan bimbingan fatwa-fatwa mereka. Meski demikian, bukan berarti keresahan dan perpecahan di kalangan masyarakat Islam dapat hilang dengan mudah. Sistem hukum dan undang-undang yang sekuler serta pemerintahan yang tidak tegas dalam menindak pelaku kesesatan, adalah salah satu yang paling mendukung keleluasaan orang-orang berpaham sesat untuk bertahan dan menyebarluaskan kesesatannya.
Berbeda pendapat adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi undang-undang di negara ini. Sayangnya, karena tidak adanya batasan yang jelas, perbedaan pendapat itu seringkali memasuki wilayah prinsip dalam agama yang seharusnya dihindari. Malahan agamalah yang sering menjadi korban empuk argumentasi perbedaan pendapat itu sambil berlindung di balik payung HAM (Hak Asasi Manusia) yang sekuler. Sehingga sepanjang perbedaan itu masih ada (bahkan dilindungi), potensi perpecahan pun akan tetap eksis.
TIDAK DIANGGAP SESAT TAPI MERESAHKAN
Dalam pada itu, ada aliran atau paham yang tidak pernah difatwakan oleh lembaga formal para ulama Indonesia seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), namun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia bahkan di kalangan umat Islam di dunia terbukti sangat meresahkan. Faham itu bernama Salafi dan Wahabi. Banyak ulama yang secara pribadi bahkan telah terang-terangan menyatakan faham ini sebagai "masalah" di kalangan umat Islam.
Tidak difatwakan sebagai aliran sesat, tidak selalu berarti lurus dan benar. Sebab apa yang hakikatnya lurus dan benar seyogyanya tidak memunculkan masalah dalam prakteknya pada kehidupan sosial, kecuali hanya akan menghadapi tantangan dari orang-orang kafir atau munafik yang tidak suka terhadap Islam.
Pertanyaannya, mengapa kaum Salafi dan Wahabi ini di satu sisi hampir tidak pernah "bermasalah" dengan orang-orang kafir, di sisi lain malah gemar sekali "mempermasalahkan" saudaranya sendiri sesama muslim yang mayoritas tidak sepaham dengan mereka? Bagaimana mungkin pengakuan mereka sebagai pengikut al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. dapat dibenarkan, sementara sikap mereka bertolak belakang dengan ciri-ciri pengikut Rasulullah Saw. yang difirmankan oleh Allah Swt., "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…"(QS. al-Fath: 29)? Ayat al-Qur'an atau hadis Rasulullah Saw. yang manakah yang menyuruh mereka bersikap "keras" terhadap saudaranya yang muslim?
Berbagai kasus ketidaknyamanan yang disampaikan masyarakat di berbagai wilayah akibat fatwa-fatwa dan pernyataan kaum Salafi dan Wahabi inilah yang menjadi motivasi kuat bagi kami untuk membuat buku atau film dakwah ini. Propaganda paham mereka yang lumayan gencar melalui terbitan buku-buku terjemahan dan siaran Radio seperti Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz) telah semakin meresahkan. Menganggap sesat amalan orang lain dengan tuduhan bid'ah dan menganggap hanya diri merekalah yang sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta Sunnah para Shahabat beliau, menjadi tema utama dakwah mereka. Bahkan dengan alasan itu mereka berani mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan terhadap amalan masyarakat yang "berbau agama" di mana fatwa-fatwa tersebut tanpa mereka sadari penuh tipu daya dan fitnah, dan dari sinilah masalahnya dimulai.
Keawaman masyarakat tentang agama telah memberi tempat yang cukup besar bagi mereka untuk menyebarkan paham Salafi dan Wahabi tersebut, sehingga semakin banyak pengikutnya, semakin kuat ekslusivisme mereka. Saat seorang muslim sudah tidak menganggap muslim yang lain sama dengan dirinya, dan saat ia sudah tidak merasa nyaman berkumpul bersama muslim yang tidak sepaham dengannya, maka mengasingkan diri dan mencari kumpulan orang-orang yang sepaham dengannya adalah jalan keluarnya. Itulah ekslusivisme; itulah kesombongan; dan itulah sumber perpecahan.
Lebih ekstrimnya lagi, ketika sudah merasa kuat, propaganda mereka jalankan dengan terang-terangan, bahkan tak jarang (dan ini terbukti) sampai pada perebutan atau penguasaan lahan dakwah seperti masjid, musholla, ta'lim di kantor-kantor, atau minimal merintis kumpulan pengajian tandingan baik di tempat-tempat tersebut maupun di rumah-rumah. Akibatnya, tanpa disadari mereka sudah menguasai sarana kegiatan dakwah di beberapa komplek perumahan, dan telah merebut anggota "jama'ah" pengajian para ustadz di wilayah setempat yang berbuntut pada terganggunya hubungan silaturrahmi antar anggota jama'ah tersebut.
Buku ini dibuat bukan untuk memperbesar jurang perpecahan tersebut, melainkan untuk memperbaiki keadaan yang tidak nyaman itu dan meluruskan apa yang seharusnya diluruskan dengan cara menyingkap kekeliruan-kekeliruan pemahaman kaum Salafi dan Wahabi yang sangat tersembunyi dan hampir tidak pernah disadari oleh para pengikutnya bahkan tokoh-tokoh ulamanya.
Di satu sisi, melalui buku ini kami berharap agar masyarakat awam yang belum terpengaruh dapat membentengi diri dari paham yang merusak silaturrahmi ini, di sisi lain kami juga sangat berharap agar orang-orang yang sudah mengikuti paham Salafi dan Wahabi dapat menyadari kekeliruannya lalu berusaha memperbaikinya, atau bahkan meninggalkannya. Itulah kenapa buku ini kami beri judul "MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI".
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita untuk dapat melihat yang benar sebagai kebenaran dan memberikan kita kekuatan untuk mengikutinya, serta memperlihatkan yang batil sebagai kebatilan dan memberikan kita kekuatan untuk menjauhkan diri darinya. Kepada-Nya lah kami berserah diri, dan kepada-Nya lah kami kembali.
SEKILAS TENTANG SALAFI & WAHABI
Salafi atau Salafiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H) atau yang sering dikenal dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Salafi atau Salafiyah itu sering dipahami sebagai gerakan untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau.
Wahabi atau Wahabiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan kepada pelopornya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/ 1115 H-1206 H). sebetulnya, nama Wahabi ini tidak sesuai dengan nama pendirinya, Muhammad, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya. Sedangkan para pengikut Wahabi menamakan diri mereka dengan al-Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan Allah), meskipun sebagian mereka juga mengakui sebutan Wahabi.
Kedua paham di atas, Salafi & Wahabi, sebenarnya memiliki hubungan tidak langsung yang cukup erat, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah termasuk pengagum Ibnu Taimiyah dan banyak terpengaruh oleh karya-karya tulis Ibnu Taimiyah. Itulah mengapa kedua ajaran mereka memiliki kesamaan visi dan misi, yaitu "Kembali kepada Al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau," sehingga apa saja yang "mereka anggap" tidak ada perintah atau anjurannya di dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau atsar Sahabat Nabi Saw., langsung mereka anggap sebagai bid'ah (perkara baru yang diada-adakan) yang diharamkan dan dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya bentuk suatu kegiatan keagamaan tersebut, dengan dasar hadis Nabi Saw. "… kullu bid'atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar" (setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam Neraka). Dengan visi dan misi inilah maka para pengikut mereka di zaman ini menamai diri mereka dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah(penganut Sunnah Nabi Muhammad Saw. & para Sahabat beliau) yang pada hakikatnya berbeda dari pengertian Ahlus-sunnah wal-Jama'ah yang dipahami oleh para ulama Islam di dunia (yaitu yang mempunyai hubungan historis dengan al-Asy'ari dan al-Maturidi ).
Visi "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta para Sahabatnya" tersebut telah mendorong mereka untuk melaksanakan sebuah misi "memberantas Bid'ah & Khurafat". Sekilas visi & misi itu terlihat sangat bagus, namun dalam prakteknya ternyata seringkali menjadi sangat berlebihan. Mengapa? Karena semua bid'ah & khurafat yang mereka anggap sesat dan wajib diberantas itu mereka definisikan sendiri tanpa mengkompromikan dengan definisi atau penjelasan para ulama terdahulu. Terbukti, pada masa hidupnya saja, baik Ibnu Taimiyah maupun Muhammad bin Abdul Wahab, sudah dianggap "aneh" bahkan cenderung dianggap sesat ajarannya oleh para ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang keseluruhannya menganut paham ahlus-Sunnah wal-jama'ah.
Hal itu terjadi karena Ibnu Taimiyah kerapkali mengeluarkan fatwa-fatwa ganjil mengenai aqidah atau syari'at yang menyelisihi ijma' para ulama, sehingga ia sering ditangkap, disidang, dan dipenjara, sampai-sampai ia wafat di dalam penjara di Damaskus. Dan tercatat ada 60 ulama besar (baik yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya) yang menulis pembahasan khusus untuk mengungkap kejanggalan dan kekeliruan pada sebagian fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dalam begitu banyak karyanya (lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah karya Syaikh Abdullah al-Harary).
Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab yang datang belakangan jauh lebih beruntung. Ia didukung oleh seorang Raja yang berhasil menguasai Mekkah (Hijaz) yang bernama Muhammad bin Sa'ud atau lebih dikenal dengan Ibnu Sa'ud (penaklukan Hijaz ke-I th. 1803-1813 M, penaklukan ke-II th. 1925 M masa Raja Abdul Aziz bin Sa'ud dengan bantuan Inggris sampai sekarang). Itulah mengapa Mekkah, Madinah dan sekitarnya sekarang dikenal dengan "Saudi"/Sa'udi Arabia (dinisbatkan kepada Ibnu/bin Sa'ud atau Aalu Sa'ud/keluarga Sa'ud). Dengan dukungan kekuasaan dan dana dari Raja Ibnu Sa'ud itulah maka ajaran Wahabi menjadi paham wajib di Saudi Arabia, dan menyebar luas sekaligus membuat resah umat Islam di negeri-negeri yang lain.
Mengapa Wahabi dianggap meresahkan? Karena fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang bid'ah dan khurafat yang disebarluaskan itu seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau tradisi keagamaan umat Islam di masing-masing negeri, padahal tradisi mereka itu telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau keutamaannya oleh para ulama ahlus-Sunnah wal-jama'ah. Tradisi keagamaan yang sering dianggap bid'ah dan sesat itu di antaranya: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian, do'a dan zikir berjama'ah, ziarah kubur, tawassul, membaca al-Qur'an di pekuburan, qunut shubuh, dan lain sebagainya yang masing-masing memiiki dasar di dalam agama. Jelasnya, keresahan itu muncul karena fatwa-fatwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) tersebut bertentangan dengan fatwa-fatwa mayoritas ulama yang dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islam di dunia. Akibatnya mereka menjadi seperti orang usil yang selalu menyalahkan dan mempermasalahkan amalan orang lain, lebih dari itu bahkan mereka menganggap sesat orang yang tidak sejalan dengan Wahabi.
(Untuk lebih jelas, baca "I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta. Juga baca "Maqaalaat as-Sunniyyah fii Kasyfi Dhalaalaati Ibni Taimiyah", karya Syaikh Abdullah al-Harary, diterbitkan oleh Daarul-Masyaarii' al-Khairiyyah, Libanon).
Ajaran Salafi Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh murid-muridnya, di antara yang paling dikenal adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ajaran Wahabi disebarluaskan oleh para ulama Wahabi yang diakui di Saudi Arabia, yang paling dikenal di antaranya adalah: Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin Baz, Shalih al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, dan lain-lain. Namun begitu, kita berusaha bersikap proporsional dalam menyikapi ajaran yang mereka sampaikan. Artinya, apa yang baik dan sejalan dengan pendapat para ulama mayoritas maka tidak kita kategorikan ke dalam penyimpangan atau kesesatan.
Perlu diketahui , bahwa meskipun dasar kemunculannya berbeda, namun belakangan Salafi & Wahabi seperti satu tubuh yang tidak bisa dibedakan, yaitu sama-sama memandang sesat atau bid'ah terhadap acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian, ziarah kubur, tawassul, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, berdo'a & berzikir berjama'ah, bersalaman selesai shalat berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, berdo'a menghadap kuburan, dan lain sebagainya. Dan boleh dikatakan, bahwa Salafi & Wahabi sekarang sudah menjadi mazhab tersendiri yang lebih ekstrim dalam berfatwa ketimbang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.
Di Indonesia, fatwa-fatwa Salafi & Wahabi banyak disebarluaskan oleh para mahasiswa atau sarjana yang sebagian besarnya adalah alumni Perguruan Tinggi di Saudi Arabia atau mereka yang mendapat beasiswa di lembaga pendidikan Saudi Arabia. Di samping itu, paham Wahabi juga disebarluaskan melalui buku-buku terjemahan, yang kini menghiasi berbagai toko buku atau stan-stan pameran buku. Bahkan, buku–buku mereka juga dibagi-bagi secara gratis, baik melalui Atase Kedubes Saudi Arabia, maupun lembaga pendidikan Saudi Arabia seperti LIPIA atau yang lainnya. Buku-buku seperti itu juga dibagikan kepada semua Jama'ah Haji secara gratis setiap tahunnya, akibatnya sebagian mereka mengalami perang batin dalam menimbang-nimbang kebenaran.
Di samping melalui buku-buku dan forum-forum kajian keagamaan, fatwa-fatwa Wahabi & Salafi juga disebarluaskan melalui siaran radio, seperti: Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz).
Di Indonesia juga terdapat ormas-ormas Islam yang prinsip dasar atau metodologi ajarannya sama atau hampir sama dengan Salafi & Wahabi seperti Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam), Paderi, Sumatra Tawalib, dan lain-lain (lihat Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 4, hal. 205), hanya saja ada sebagian yang tidak seekstrim mereka. Tetapi kadang sebagian anggota ormas-ormas itupun memiliki sikap ekslusivisme yang sama dengan Salafi & Wahabi, sehingga dalam kajian ini penulis tidak memisahkan mereka sebagai kelompok tersendiri, dan menganggapnya sejenis dengan kaum Salafi & Wahabi jauh lebih layak untuk sebuah pemahaman agama dengan ciri yang sama, entah sebagian ciri atau keseluruhannya.
Dalam kajian ini kami tidak ingin berpanjang kalam tentang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab, menimbang keperluannya yang tidak terlalu urgen dalam pembahasan ini.. Sebab sepertinya, para pengikut mereka sekarang sudah lebih independen dalam berijtihad dan berfatwa mengenai perkara-perkara baru yang mereka anggap bagian dari agama yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.. Bahkan dalam beberapa hal mereka tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab. Hal ini menunjukkan bahwa kaum Salafi dan Wahabi sekarang ini hanya mengambil motto utama yang sangat global dari Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu "kembali kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan Sunnah para Shahabat beliau", sedang dalam perkara-perkara detailnya mereka cenderung pilih-piih.
Itulah kenapa konsentrasi pembahasan ini lebih pada fatwa-fatwa ulama Salafi dan Wahabi, di mana fatwa-fatwa itulah yang sering menjadi sumber masalah bagi kerukunan hidup beragama antar umat Islam.
APA YANG SALAH, DENGAN "KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN & SUNNAH"?
Telah disebutkan di atas, bahwa kaum Salafi & Wahabi memiliki motto "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah". Mereka juga mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya?
Sampai di sini mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur'an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat??! Rasanya, hanya orang gila yang berani menyatakan begitu.
Tetapi, mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat "sumber masalah" yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut.
1. Prinsip "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur'an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur'an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang 'alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku "terjemah" al-Qur'an atau Sunnah. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah, dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah", mereka merasa benar dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur'an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid'ah.
2. Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
3. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
2. Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
3. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah "mencemarkan agama", lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur'an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan "pemurnian agama".
Sesungguhnya, "pencemaran" yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan "pemurnian" yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur'an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur'an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid'ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur'an dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur'an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar